Bujur Bumi 36 : Tolong Berhenti
"Tolong berhenti, bisa keluarkan semua yang ada di tasnya?"
"Pak, jangan sembarangan pegang-pegang barang orang, dong!"
"Tahu, nih. Dikira kita maling, apa?!"
Achala berhenti di depan pintu sebuah toko di pusat perbelanjaan. Menunggu di depan dua orang sekuriti dan tiga orang remaja masih mengenakan seragam sekolah yang dilapis kardigan.
Tidak! Achala tidak bermaksud untuk menjadi penonton dalam penggeledahan tas remaja-remaja yang diduga mencuri di toko itu. Hanya saja, kejadian itu pas di depan pintu masuk toko yang hendak Achala sambangi.
Tadinya wanita itu berniat mencari kemeja untuk suami dan putranya. Namun, ia urungkan. Langkahnya memutar ke arah eskalator naik ke lantai tiga. Tujuannya adalah toko pakaian anak-anak. Achala mendongak, membaca nama toko yang ia cari. Senyumnya tersungging samar, langkah pasti ia bawa masuk ke toko yang bisa dikatakan favoritnya dalam mencari keperluan putra semata wayangnya.
Menjelajahi dari rak satu ke yang lainnya. Achala benar-benar dibuat kalap jika sudah urusan berbelanja pakaian anak-anak. Belum lagi pesona pakaian anak perempuan selalu membuatnya ingin memborongnya. Satu kali, Achala pernah membeli satu set baju bayi perempuan. Tidak berguna memang, hanya saja rasa inginnya mengalahkan logika warasnya.
"Mbak, itu ada warna gelap?" tanya Achala pada seorang pegawai toko, ia menunjuk kemeja anak laki-laki pada patung.
"Untuk umur berapa, Kak?"
"Lima, enam tahunan, Mbak."
"Tunggu sebentar, ya, Kak. Saya cek dulu."
Achala mengangguk, langkahnya berkeliling lagi mencari yang lainnya. Atensinya jatuh pada rak sepatu, berbagai model sepatu anak ada di sini. Mulai untuk formal, santai, bahkan untuk sekadar jalan-jalan.
"Lucu banget yang ini." Achala mengeluarkan ponsel dari dalam tas, memotret sepatu yang ia maksud.
Membuka kolom chat, Achala mengirimkan gambar tersebut ke suaminya. Kembali berkeliling, netranya lagi-lagi tergoda pada pernak-pernik berwarna merah muda.
Lucu banget ini untuk anak cewek.
Seketika Achala menghentikan gerakan hendak meraih tas kecil itu. Entah dari mana datangnya, bayangan senyum Vanilla terlintas di benak Achala. Membayangkan anak manis itu mengenakan tas tersebut membuat Achala tersenyum getir.
"Coba, sebelum tahu siapa bapakmu, pasti macha beliin ini untuk kamu."
Omong-omong soal Vanilla, Achala sudah lama tidak bertemu anak itu. Ia sengaja menghindari agar tidak bertemu dengan putri dari Lintang dan Jeuna itu. Vanilla memang tidak berdosa dalam hal ini, tetapi rasa kecewa Achala pada orang tua anak itu membuatnya sulit untuk berdamai dengan keadaan sekarang.
Achala tersentak saat ponsel di tangannya bergetar hebat. Menarik senyum tinggi, suaminya menjadi alasan akan itu. Achala menggeser ke arah tanda hijau, membawa ponsel itu ke telinga kanan.
"Halo, Mas?"
"Di mana, Sayang? Belanja sama anaknya?"
"Nggak, Mas. Anaknya di rumah mami. Tadi minta antar ke sana. Aku sendirian."
"Uangnya cukup? Kenapa, sih, kebiasaan nggak bawa kartu kreditnya."
Achala menggaruk hidungnya. "Ya, maaf. Kalau mau transfer, sih, boleh."
Kode Achala sangat halus. Ia mengirimkan gambar sepatu anak-anak itu pada suaminya. Bukan masalah foto yang dikirimkan membuat suaminya menelepon, melainkan kalimat jika wanita itu hanya memegang uang pas sementara ATM dan kartu kredit yang Affandra berikan tidak ia bawa, ia hanya memegang ATM pribadinya saja. Achala sangat ingin membeli sepatu itu untuk Juang.
"Ya, udah mas transfer nanti. Mau belanja apa lagi?"
Achala bergerak mundur, memberi jalan pada pengunjung yang ingin melihat rak yang menjajakan kebutuhan anak perempuan itu.
"Habis ini mau belanja keperluan dapur, sih. Sekalian aja mumpung ke sini."
"Hmm ... oke. Bawa mobil sendiri?"
"Iya, Mas."
"Ya, udah, hati-hati pulangnya. Mas transfer sekarang, ya."
"Hmm ... makasih, Mas."
Sambungan telepon terputus, getar singkat datang dari ponsel Achala, diiringi dengan notifikasi dari mobile banking-nya. Menyimpan ponselnya ke dalam tas, Achala kembali ke tempat semula. Senyumnya terangkat, pegawai yang sama sudah memegang kemeja anak dengan tiga warna yang berbeda.
"Gimana, Mbak? Ada nggak warna gelapnya?" Achala berhenti di depan patung kecil yang mengenakan kemeja yang ia tunjuk tadi.
"Ini ada, Kak. Silakan dilihat-lihat."
Achala meraih satu warna lembut, dalam bayangannya potongan baju itu sangat cocok dengan Juang. Namun, yang ia cari adalah warna gelap.
"Anaknya kalau pakai ukuran ini kira-kira pas nggak, Kak?"
Pegawai toko itu membeberkan kemeja berwarna navy, Achala menelisik bahan serta motifnya. Sepertinya cocok untuk balita yang akhir-akhir ini lagi senang-senangnya ke rumah omanya itu. Kulit putih anak itu dipadukan dengan warna apa pun, rasanya cocok semua.
"Aku ambil yang ini, ya, Mbak. Oh, iya. Sekalian sepatu di sana ada size agak lebih besar sedikit?"
"Yang mana, Kakak?"
Achala berjalan ke tempat di mana ia melihat benda itu tadi. Meraih sepatu berwarna putih abu. Menunjukkan pada sang pegawai.
"Oh, maaf, Kakak. Untuk merek yang itu size hanya tersisa yang kecil. Kalau kakaknya mau, ada model lain mau, Kak? Ini baru masuk, loh, Kak. Cakep banget pasti cocok untuk anaknya. Aku jamin, deh."
Dasar marketing. Achala tersenyum tinggi memperhatikan perempuan muda yang sedang sibuk mengambil satu kotak sepatu dengan merek yang sama, tetapi berbeda model dan warna itu. Caranya melayani pengunjung sangat Achala sukai. Mungkin inilah yang membuat perempuan 28 tahun itu selalu langganan di toko ini.
"Boleh, deh, yang ini."
Tersenyum bahagia sekali pegawai itu saat berhasil menjual barang dagangannya. Memasukkan barang belanjaan Achala ke satu keranjang. Achala kembali berkeliling, lagi-lagi baju anak perempuan menjadi salah fokusnya. Berdiri di depan etalase, menelisik gaun berwarna peach di sebuah patung anak perempuan berambut sebahu. Mengingatkan pada sosok lain. Ya, lagi-lagi Vanilla. Entah apa yang membuat pikiran Achala selalu ke anak itu.
"Mbak, boleh lihat tas kecil yang ada di patung nggak?" Achala berujar pada perempuan tadi yang mengikutinya dari belakang.
Namun, ada yang ganjil. Tadi saja pegawai perempuan itu akan bergerak cepat dan cekatan mengambil apa yang Achala inginkan. Sekarang malah bergeming saja di belakangnya. Achala menoleh, memastikan orang di belakangnya. Ia takut salah orang, mengira sosok itu adalah pegawai toko ternyata pengunjung lagi. Akan sangat malu, bukan?
Bola mata Achala membesar, apa yang ia takutkan benar terjadi. Siluet yang berdiri tak jauh di belakangnya bukan sang pegawai, melainkan Lintang. Sosok menyebalkan yang akhir-akhir ini sangat tidak tahu malu. Achala masih belum mengerti kenapa pria itu bersikap sangat bebal.
Pandangan mereka bersirobok, senyum Lintang terangkat tinggi hingga memamerkan lubang di pipinya, persis seperti Vanilla. Tangan Achala terkepal, bola matanya berputar ke atas untuk beberapa detik. Ia benar-benar muak dengan pemandangan di depannya. Memutar tubuh meninggalkan Lintang, tangan Achala dicekal pria itu.
"Tolong berhenti dulu, Cha."
Menepis kasar tangan pria itu. "Anda yang harusnya berhenti muncul di hadapanku!"
"Aku cuma mau berbicara dengan kamu, Cha."
"Lintang Darmawan, tolong berhenti! Saya istri orang lain sekarang, bukan istri kamu lagi. Saya sangat mencintai suami dan keluarga saya. Tolong berhenti mengganggu kedamaian rumah tanggaku. Juga ... berhenti mengirimkan hadiah atau bunga. Saya tidak ingin suami saya tahu semua ini. Jadi, tolong berhenti!"
Lintang tercenung mendengar perkataan Achala panjang lebar dan penuh penekanan, terlebih pada kalimat ia mencintai suami dan keluarga barunya. Rahang Lintang mengetat, ia tak terima. Tidak ada yang bisa memiliki Achala seutuhnya, termasuk Affandra, sahabat baiknya. Apa pun akan pria itu lakukan asal Achala tak dimiliki siapa pun, termasuk mengusik ketenangan rumah tangga matan istri tersebut.
Tanjung Enim, 26 Oktober 2022
RinBee 🐝
Sorakin LIntang, yuk. Kasian ya pria gagal move on. Wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top