Bujur Bumi 32 : Sudah Tidak Berguna

Kepala Achala penuh, Tuhan memang mengatur segalanya, tetapi ini benar-benar di luar dugaannya. Ia pasti sudah mengira jika suatu hari akan bertemu di suatu tempat atau satu acara dengan Lintang. Namun, ia tidak menyangka jika alasan Lintang menceraikannya dulu berada sangat dekat dengannya sekarang ini. Entah ia yang terlalu bodoh hingga bersikap denial atau mereka pemain ulung. Padahal seharusnya dari pertemuannya dengan Jeuna, semua pemberian Vanilla yang serba tahu apa yang ia sukai. Semua sudah sangat jelas ini tentang dirinya.

Begitu pula dengan Jeuna, wanita itu benar-benar di luar dugaan. Merasa bodoh karena pernah iba terhadap Jeuna, Achala menggeram kesal. Ia menyesal telah bersimpati dengan cerita Jeuna yang telah dipisahkan dari putrinya. Dasar gundik murahan. Sekarang rasa simpatinya untuk wanita itu sudah tidak berguna.

Achala tak sama sekali terpikir wanita itu adalah bagian penghancur rumah tangganya dulu, bahkan tidak sengaja melihat Lintang tempo hari tampak bahagia bersama seorang wanita dan anak laki-laki dalam gendongannya. Ia merasa semakin bersimpati pada Jeuna, sempat beranggapan mungkin saja Jeuna adalah korban, tanpa ia sadari jika korban yang sebenarnya adalah dirinya.

"Terbukti sekarang! Vanilla adalah anak Lintang dan Una. Alasan kenapa aku diceraikan dulu." Achala bergumam, bibir bawahnya ia gigit sembari berpikir lagi.

Achala menelisik layar ponsel, beberapa saat lalu balasan pesan dari wali kelas Juang masuk ke ponselnya. Wanita itu menghubungi wali kelas anaknya, meminta data lengkap siswa-siswi teman sekelas Juang untuk membuktikan dugaannya, bahkan Achala berbohong pada suaminya. Katanya, ia meminta data nama teman-teman sekelas Juang, untuk keperluan mengundang di acara ulang tahun Juang. Padahal yang ia pinta pada guru kelas Juang adalah data lengkap.

Pada kolom barisan nama Orchida Elvanilla Darmawan. Dilihat dari nama belakang anak itu saja Achala sudah merapatkan rahang. Ia benar-benar merasa bodoh, bagaimana bisa ia tidak menyadari belakang nama anak itu yang tentu memakai nama atau marga ayahnya.
Garis senyum getir terlukis di wajah Achala, menertawakan kebodohannya.

Satu teka-teki yang seakan membelit dada Achala terurai satu. Napasnya naik turun.

"Atau jangan-jangan yang dimaksud wanita gundik tentang keparat itu kembali lagi ke wanita yang dia cintai adalah perempuan itu? Jadi, alasan dia menceraikanku juga karena perempuan itu, bukan karena Una?"

Bajingan, sialan! Dia punya banyak simpanan istri ternyata. Manusia berengsek dan perusak bertemu. Mereka memang pantas untuk bersatu.

Sudahlah ... sudah tidak ada gunanya lagi Achala memikirkan itu semua. Menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan, mencoba menenangkan gejolak emosionalnya.

Mencoba mengeyahkan semua perihal yang menyakitinya beberapa tahun lalu. Achala tak mau peduli bagaimana kehidupan manusia-manusia tak punya hati itu, sekarang yang terpenting, ia punya Affandra sebagai suami yang bertanggung jawab, Juang putra yang baik dan menggemaskan, itu sudah dari cukup membuatnya bahagia.

Achala bangkit dari posisinya, pergerakannya tak sengaja menjatuhkan tas yang semula ada di samping kanannya. Suara gaduh terdengar, emosi wanita itu kembali naik hingga ke ubun-ubun. Achala menendang tas itu sehingga menghantam kotak sampah di sudut ruang kamarnya.

Sudah capek-capek narik napas embuskan meredakan emosi, tas sialan ini bikin emosi lagi. Setan!

Achala tak hentinya mengumpat dalam hati. Tas yang akhir-akhir ini menjadi benda favoritnya ternyata pemberian Lintang melalui Vanilla kini sudah tergelak di lantai.

"Semoga aja Vanilla tidak berkelakuan buruk kayak orang tuanya!"

Belum puas hanya dengan membuang tas itu ke dalam kotak sampah, tungkai Achala diayunkan ke laci penyimpanan. Mencari benda sejenis cuter, tetapi hanya ada gunting di sana. Pepatah mengatakan, tak ada kayu ranting pun jadi. Tepat sekali untuk Achala lakukan saat ini.

Wanita itu membawa gunting kemudian berjongkok di depan kotak sampah, meraih kembali tas berwarna hitam itu. Seolah melampiaskan emosinya yang belum tuntas, Achala menggunting tali tas itu dengan segala umpatan dalam hatinya. Mencacah bagian depan dan belakang tas hingga menghasilkan beberapa lubang. Achala tak peduli jika tas itu dibeli dengan harga yang sangat mahal.

Puas merusak tas pemberian Lintang dan membuangnya, Achala menarik dan mengembuskan napas beberapa kali. Mengusap dadanya yang bergemuruh hebat, Achala memejamkan matanya sejenak.

Tenang, Cha. Untuk apa menghabiskan tenaga memikirkan bajingan Lintang itu. Keparat itu sudah tidak berguna.

Achala keluar kamar, netranya mengedarkan mencari keberadaan putra dan suaminya. Ayah dan anak itu masih di tempat yang sama terakhir ia tinggalkan tadi. Mengulas senyuman saat yang ia cari sedang berbaring asyik bercengkrama di atas kasur matras ruang tengah. Sempat menggeleng samar, tentu sudah tahu bukan? Bahwasanya Juang adalah duplikat ayahnya. Lihat saja caranya berbaring dengan menyanggah kepala dan posisi tubuhnya yang miring, persis seperti yang Affandra lakukan.

Achala mengayunkan tungkai kembali ke arah dua laki-laki serupa, tetapi tak sama itu. Duduk di belakang punggung Affandra, tangan wanita itu langsung memeluk suaminya dari belakang. Dagu Achala disimpan di bahu Affandra, senyumnya mengembang menghadap wajah sang anak.

"Lagi ngobrolin apa kalian? Mama boleh gabung? Seru banget kayaknya."

"Ini pembicaraan hanya sesama laki-laki, Macha."

Achala mengembungkan pipi, wajahnya—pura-pura—cemberut mendengar penolakan secara halus dari putra semata wayangnya. Belum lagi suara gelak keras Affandra seakan mengejeknya.

"Jadi, mama nggak diajak, nih? Abang nggak sayang mama?" Masih berpura-pura merajuk Achala menekuk wajahnya.

Anak itu beranjak dari posisi duduk, tangan kecilnya membentang memeluk Achala dan mencium pipi Achala.

"Bukan seperti itu, Macha. Abang sayang Macha, tapi ini benar-benar pembicaraan sesama laki-laki saja." Juang memberi alasan agar sang mama tidak salah paham.

Affandra semakin keras menertawakan istrinya. Anaknya menyayangi Achala, itu benar. Hanya saja Juang benar-benar harus menolak kehadiran Achala karena mungkin baginya ini adalah rahasia sesama pria.

"Papaf nggak sayang mama?" Achala bertanya tiba-tiba, "seneng banget kayaknya ngetawain aku?" sindir Achala pada pria yang terpaksa berhenti tertawa.

"Sayang banget, dong." Affandra memutar tubuhnya sedikit ke belakang. Meraih kepala Achala dan meninggalkan kecupan di pipi sang istri.

"Ya, udah kalau emang mama nggak bisa ikutan. Kalian lanjutkan aja pembicaraannya. Mama mau ke belakang nyiram bunga." Achala beranjak dari sana, mengayunkan tungkai ke halaman belakang.

Sesampai di tempat tujuan, wanita itu tidak melakukan seperti apa yang ia ucapkan pada anak dan suaminya. Meraih kantung plastik sampah, Achala meraih pot bunga Krisan yang baru ia tanam dua hari lalu. Menumpahkan tanah beserta bunganya ke dalam kantong, ia juga membuang bunga lain pemberian Lintang melalui Vanilla. Ia tak mau taman bunganya dipenuhi oleh pria itu.

Achala sempat mengutarakan impian kecil pada Lintang dulu, ia ingin memiliki rumah kaca yang dipenuhi berbagai jenis tanaman bunga di halaman belakang rumah mereka. Namun, itu Pria itu telah menghancurkan impian kecilnya, bukan cuma taman bunga, bahkan istana mereka pun Lintang runtuhkan seketika dengan menghadirkan selir di antara mereka.

"Sayang, tadi mas lihat di kamar—loh? Kok, bunganya dibuang?"

Affandra yang baru muncul dari balik pintu penghubung merasa bingung melihat apa yang Achala lakukan pada anak ke duanya itu. Ya, wanita itu merawat bunga-bunganya seperti anaknya sendiri. Katanya, tanaman bunga itu adalah anaknya setelah Juang, sekarang kenapa malah dihancurkan dan teronggok tak berdaya di dalam kantong besar berwarna hitam.

"Sudah tidak berguna, Mas. Mau aku ganti sama bibit bunga yang baru."

Affandra menaikkan alis, alasan istrinya belum bisa ia cerna secara baik. Bersandar di kosen pintu penghubung, Affandra mengedikkan bahu, tak mau bertanya lebih jauh perihal bunga itu.

"Terus kalau tas pemberian Vanilla? Kok, rusak gitu. Bukannya tadi masih kamu pakai? Talinya juga putus."

Achala tak melihat ke wajah Affandra, ia masih sibuk membereskan pekerjaannya, tetapi ia tetap menyahut, "Aku nggak mau pakai tas itu lagi. Aku nggak suka pakai pemberian papanya anak itu."

Berkerut dalam kening Affandra mendengar penuturan sang istri. Ia masih belum bisa membaca apa yang terjadi pada istrinya. Kemarin saja, tas itu selalu ia pakai ke mana-mana sekarang membuangnya dengan mudah. Padahal, istrinya bukanlah tipe perempuan yang gampang membuang barang jika masih bisa digunakan. Affandra tahu barang itu sengaja Achala rusak kemudian ia buang.

"Ya, udah nanti beli aja yang baru."

Achala mendongak, menoleh ke samping kiri. "Really?"

"Hmm ... sesuka kamu."

Wanita itu beranjak, tersenyum lebar menghampiri sang suami. "Makasih, Sayang." Achala mengangkat kedua tangannya ke depan, "tangan aku kotor. Nggak bisa peluk kamu."

Tak tinggal diam, telapak tangan besar milik Affandra merangkum wajah istrinya, mengikis jarak di antara keduanya Affandra mengecup bibir ranum istrinya. Tidak hanya sekali, tetapi dua kali. Kecupan terakhir cukup lama dan dibumbui dengan sedikit lumatan.

"Nggak apa-apa nggak dipeluk, yang penting ini ...," ujarnya mengecup bibir Achala lagi sekilas dan kemudian berlalu meninggalkan wanita.

"Kamu akan selalu dapat lebih dari ini, asalkan selain aku dan almarhumah Mbak Tyas. Nggak akan ada istri kamu yang lain.

Alis Affandra bertaut, banyak sekali yang tak ia mengerti dari ucapan istrinya hari ini.

Tanjung Enim, 21 Oktober 2022
Rinbee 🐝

Maafkan Macha yang dari kemarin berkata kasar ya, Bestie. 😆


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top