Bujur Bumi 27 : Papanya Vanilla
Achala tengah sibuk membongkar lemari tempat penyimpanan berkas-berkas kerjanya. Memilah kertas-kertas lama itu untuk disingkirkan jika dirasa sudah tak berguna. Lembar per lembar wanita itu membaca tulisan yang ada di kertas, tetapi tetap saja apa yang ia cari belum juga ditemukan.
"Aduh! Di mana, ya. Kok bisa lupa, sih, nyimpennya di mana," gumam Achala menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Gini, nih. Kalau nggak dibutuhin ada, kalau lagi dicari nggak ada."
Wanita itu duduk bersila di depan lemari yang hanya setinggi pinggang orang dewasa. Seperkian menit kemudian, tubuhnya sedikit terhuyung ke depan. Bocah laki-laki menubruk punggungnya, lengan kecil anak itu melingkar di bahu hingga leher Achala. Bergelayut manja pada sang mama.
"Macha ... macha, sedang apa? Macha sibuk?"
"Mama lagi cari sesuatu. Abang udah kerjakan PR?" Achala bertanya sembari mengusap lengan Juang di lehernya.
"Sudah, Macha." Juang beralih duduk di samping Achala.
Lima menit berlalu, anak itu tampak bosan memperhatikan sang mama yang sibuk dengan kertas-kertas. Satu album foto berukuran besar menarik perhatian Juang. Ia bangkit, meraih dengan susah payah album berwarna biru tua itu dari dalam lemari paling bawah.
"Macha, ini adik bayi."
Achala menoleh pada Juang yang duduk memangku album foto kenangan itu. Adik bayi yang ia sebut adalah potret dirinya sewaktu masih bayi.
"Itu Abang masih bayi." Achala menjelaskan siapa sosok bayi gempal di dalam foto itu.
Achala kembali pada kegiatannya, tak menghiraukan sang buah hati yang sesekali menyebutkan nama orang yang ia lihat dari selembar kertas kenangan itu.
"Ini abang ... ini papaf ... ini oma sama opa." Juang membalik lembaran berikutnya. "Abang lagi digendong macha. Macha, kenapa ada papanya Vanilla di sini?" tanya Juang pada foto yang ia tunjuk.
Sontak Achala terkejut, sejak kapan papa dari anak perempuan itu ada pada album kenangan keluarga mereka. Achala tak melihat sosok asing pada foto yang sedang Juang buka, orang-orang pada album semua ia kenali.
Achala mengernyit, ia tidak tahu foto mana yang dimaksud Juang tentang ayahnya Vanilla itu. Atau jangan-jangan Ayah Vanilla adalah teman mereka semasa kuliah dulu. Itu sebabnya ada di dalam potret kenangan tersebut.
"Papanya Vanilla? Mana coba mama lihat, papanya Vanilla yang mana, Sayang?"
Juang membalik lagi foto yang ia lihat tadi. "Ini papanya Vanilla, Macha."
Anak itu menunjuk satu foto, tampak di sana sebuah potret Achala menggendong Juang yang baru saja lahir, seorang pria yang duduk di sampingnya mengulurkan lengan merangkul bahu Achala. Tersenyum menghadap kamera dengan sangat apik diabadikan pada selembar kertas.
Achala ingat, foto itu diambil saat ia masih berstatus istri Lintang. Saat mereka menjenguk Juang yang baru berusia beberapa hari. Saat di mana ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sosok bayi laki-laki yang memiliki berat 3,5 kg.
"Kenapa Papa Vani sama Macha? Vani mana?"
Juang mengangsurkan album foto ke Achala. Menunjuk satu pria di samping Achala. Bagaimana bisa Lintang si penoreh lukanya di masa lalu, disebut ayah dari anak perempuan yang sangat Achala kenali itu.
Berdeham canggung, susah payah Achala menelan ludahnya sendiri. Tenggorokannya seakan ada yang mengganjal. Sungguh, Achala tak ingin lagi membahas pria bedebah itu. Apalagi membayangkan jika Vanilla adalah alasan Lintang menceraikannya dahulu.
"Ini temen papaf sama mama waktu sekolah dulu, Sayang. Mirip aja mungkin sama papanya Vanilla."
Ya, Achala yakin ayah dari anak perempuan yang sudah terlanjur ia sayangi itu bukan bajingan Lintang. Ia sangat yakin, mengingat ia pernah bertemu secara tak sengaja dengan Lintang dan istrinya. Anak mereka pun bukan perempuan melainkan laki-laki.
"Nggak, Macha. Ini bener papanya Vanilla. Abang dulu ketemu."
"Dulu itu kapan, Sayang?"
Achala masih menepis, masih tidak mau percaya. Bisa saja Juang salah, mengingat karena jarak waktunya sudah lama, padahal yang sebenarnya Juang bertemu dengan orang yang mirip Lintang.
"Kemarin ... kemarinnya lagi. Waktu itu, Macha bawain pai apel, terus ... abang kasih pai apel sama Vani."
Achala mengingat-ingat lagi kapan ia membawakan bekal Juang pai apel. Menggigit bibir bawahnya, jika sesuai dengan apa yang anak itu sebutkan, itu terjadi dua hari lalu.
Selama ini Achala tidak pernah tahu siapa ayahnya Vanilla. Ia hanya mengetahui ibunya saja. Saat pertemuannya dengan Jeuna pun, wanita itu tidak pernah menyebutkan siapa nama mantan suaminya. Achala bingung dengan keadaan ini. Ia ingin tidak mempercayai apa yang Juang tuturkan, tetapi ucapan anak kecil tidaklah berdusta.
Jika benar Lintang adalah ayah dari Vanilla, itu berarti wanita pendosa yang tega menghancurkan rumah tangganya dulu adalah Jeuna? Sosok wanita yang bulan lalu bertemu dengannya, menitipkan satu dari alasan rumah tangganya hancur.
Jemari lentik milik Achala meremat kuat kertas foto yang ia genggam. Luka masa lalu itu terbuka lagi. Kenangan pahit yang ingin ia kubur dalam-dalam, tanpa ia sedari berada paling dekat dengan dirinya.
Masih bisa Achala ingat jelas, bagaimana semua cerita yang Jeuna tuturkan tentang perpisahannya dengan ayahnya Vanilla. Jika ini faktanya, Achala berdecih dalam hati, mengejek dirinya sendiri, ia benar-benar bodoh. Seseorang yang ia kasihani itu, bahkan ia berjanji menjaga dan menyayangi putrinya adalah sosok selingkuhan mantan suaminya dulu. Namun, logika Achala menolak untuk tidak ingin percaya, ia ingat kemarin sempat melihat Lintang secara tidak sengaja.
"Macha, ini abang masih bayi. Berarti Vani juga masih bayi? Kan kita sama-sama TK." Juang masih bertanya tentang foto itu.
Pertanyaan Juang seakan menarik Achala untuk mengingat luka dalam itu. Achala ingat, satu bulan dari ia dan Lintang menjenguk Juang yang baru lahir kala itu, hari jadi pernikahan mereka yang seharusnya menjadi momen bahagia, tetapi justru menjadi goresan luka tak kasat mata. Semua karena pengakuan Lintang tentang wanita lain yang tengah mengandung benih cintanya dan akan segera lahir juga.
Kalau ini benar papanya Vanilla, temanmu itu lahir beberapa setelahnya, Nak.
Achala menggeleng samar, ini belum tentu benar. Lagi-lagi logikanya menolak. Bisa saja anaknya salah, ia pun belum punya bukti kuat untuk membuktikan jika Lintang adalah ayah anak perempuan manis yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
"I-iya, mungkin, Sayang. Kalian seumuran." Suara Achala bergetar, menahan mati-matian dadanya yang bergemuruh hebat.
Berpura-pura tenang seperti biasa, tetapi benaknya penuh dengan pikiran tentang Vanilla, Lintang, anak laki-laki yang digendong pria itu kemarin, serta siluet wanita yang masuk ke mobil yang sama dengan Lintang.
Enggak. Belum tentu itu benar. Juang pasti salah.
"Abang, waktu kita ke Pepper Lunch, Abang masih ingat?"
Anak itu mengangguk kuat. "Iya, masih ingat, Macha."
"Di sana, Abang lihat nggak ada papanya Vanilla?"
Juang menggaruk kepalanya, bibirnya ditarik ke samping. "Tidak, Macha. Abang tidak lihat papanya di sana. Vani juga dijemput Sus Sari, kan?"
"Ya, berarti ini ...." Achala menunjuk pria dengan kaus polo hijau tua dalam lembaran foto. "Bukan papanya Vanilla, Sayang. Oom ini teman mama, bunda, dan Papaf waktu sekolah dulu."
"Kenapa berfoto dengan Macha? Papaf ke mana?"
"Ya, karena kita berteman. Sama kayak Abang berteman dengan Vanilla. Ini papaf yang motoin."
"Kenapa nggak ada foto Macha dan Papaf gendong Abang seperti ini? Kenapa oom ini, Macha? Papaf sama bunda?"
Lagi-lagi pertanyaan kritis anak itu membuat Achala menggigit bibir dalamnya. Menghela napas pendek, wanita itu mengusap pipi anak laki-laki kecintaannya. Mau dari mana ia menjelaskan tentang hubungan yang sesungguhnya tidak lurus ini. Ada banyak hal rumit yang tentu belum bisa anak seusianya untuk paham.
"Sayang, udah malam, loh. Abang ke kamar, ya. Nanti mama nyusul."
"Papaf?"
Mengusap ubun-ubun Juang, Achala kembali berujar, "Papaf lagi ada kerjaan di ruang kerja."
"Tapi abang mau peluk papaf sebelum bobok."
Wanita itu mengangguk. "Iya, boleh peluk papaf sebelum bobok, tapi setelahnya langsung ke kamar, ya? Jangan ganggu papaf, oke?"
Juang bangkit dari posisi duduknya, tak lupa kecupan ringan ia bubuhkan pada pipi Achala kemudian mengayunkan tungkai kecilnya ke ruang kerja sang ayah. Omong-omong soal Affandra suaminya, sepertinya Achala harus merahasiakan dulu ini pada suaminya.
Enggak. Bukan Vanilla, bukan juga Kak Una. Lagian waktu ketemu kemarin, Mas Lintang dengan anak cowok seumuran Juang. Vanilla pulang dijemput Suster Sari.
Tanjung Enim, 15 Oktober 2022
Republish, 05 April 2023
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top