Bujur Bumi 26 : Kamu Tuh Enggak Diajak.
Kereta besi milik Affandra merangkak pelan melewati gerbang tinggi rumah orang tuanya. Membunyikan klakson dan menurunkan kaca jendela, Affandra menyapa dua penjaga keamanan yang bekerja di rumah besar itu.
Affandra mematikan mesin mobil, saat dirasa sudah memarkirkan mobilnya dengan benar di atas carport. Melepas sabuk pengaman yang membelit tubuhnya, pria itu mendorong pintu mobil dan mengajak istrinya untuk segera turun.
Achala berdecak samar, ia sudah khatam bagaimana suaminya. Dibilang romantis, kadang kala pria itu bersikap tak peka sama sekali. Contohnya, seperti sekarang ini, boro-boro turun membukakan pintu untuk istrinya. Hanya satu kalimat ajakan yang ia ucapkan. Namun, kadang kala pria itu mendadak jadi suami romantis mengajak istrinya makan malam berduaan di luar. Walaupun, dengan cara dadakan seperti tadi, tetapi tetap Achala akui ia bahagia.
"Yo, mbok istrinya ditungguin, sih, Sayang." Achala menyindir suaminya yang berdiri di teras rumah mertuanya.
"Lah? Ini mas berdiri di sini, nggak langsung masuk. Ya, nungguin kamu, Sayang."
Achala menarik senyum datar, mengangkat tinggi ibu jarinya ke depan wajah. Ia malas berdebat, suaminya sedang mode tak peka, percuma jika dipaksa. Akan membuang energi saja.
Tangan pria itu menekan bel beberapa kali, menunggu pintu terbuka. Rumah besar yang pernah Affandra tinggali ini sangat banyak menyimpan kenangan baginya. Termasuk saat ia harus kembali ke sini, membawa Juang bayi setelah empat puluh hari ditinggal mendiang istrinya terdahulu. Kemudian keluar lagi dari rumah ini dan kembali ke rumah mereka yang sekarang setelah seminggu menikahi Achala.
"Eh, Mas Affandra, Mbak Acha. Silakan masuk."
Berbeda orang, berbeda pula panggilan. Jika ART ibunya itu bekerja di sini sejak ia remaja atau bahkan setelah ia menikah, mereka akan memanggil pria itu dengan "Affandra." Berbeda lagi jika ART tersebut sudah bekerja pada orang tuanya sejak ia kecil, bahkan dari sebelum ia lahir. Misalnya, seperti Bi Marni dan mendiang ibunya, mereka memanggilnya dengan nama "Fandra".
"Setelah aku pikir-pikir, yang manggil kamu Affa itu cuma aku, mami, sama siapa lagi, Mas?"
Mengayunkan tungkai menjelajah ke ruangan dalam, pria itu menoleh pada wanita yang berjalan di sampingnya.
"Nggak ada lagi selain kalian berdua," ujarnya sembari menyentil hidung Achala. "Panggilan itu kayak kekanakan nggak, sih?"
Achala tersenyum lebar. "Nggak! Justru itu panggilan sayang yang paling aku sukai. Iya, kan, Mas Affa?"
Wanita itu bergelayut manja di lengan suaminya, tangan Affandra yang bebas mengusap ubun-ubun Achala. Belitan tangan Achala di lengan kokoh itu harus ia urai secara mendadak, saat suara mertua laki-lakinya menyapa.
"Kalian baru datang?"
"Ngapain, Pi? Mau ngeronda?"
Achala memukul lengan suaminya, bukannya membalas sapaan dan menyalami pria paruh baya itu, suaminya justru nyeletuk seperti itu. Ya, kalau dilihat-lihat ucapan Affandra tidak ada salahnya juga. Mertua laki-lakinya itu mengenakan kaus putih polos, bawahan sarung kotak-kotak, dan membawa senter yang masih menyala.
"Papi habis dari halaman samping, tadi mainan Juang jatuh dari jendela kamar atas, minta diambilin. Udah papi bilang besok aja beli yang baru. Mami kamu ngomel-ngomel karena cucunya ngambek," jelas ayahnya Affandra panjang lebar seraya menunjuk robot-robotan kecil berwarna merah keemasan di tangannya.
"Sekarang anaknya mana, Pi? Belum tidur—"
"Macha ...."
Panggilan dari bocah laki-laki sontak membuat tiga orang dewasa itu menoleh serempak, Juang berlari menuruni anak tangga. Refleks Achala turut berlari ke arah tangga, khawatir anak itu terguling dan jatuh.
"Jalan aja, Sayang. Pelan-pelan turunnya."
"Macha, kenapa baru jemput? Abang bosan lihat Uncle Ekal bermain games saja." Anak itu mengadu pada sang mama, tangannya terkepal, kakinya menghentak-hentak lantai, bibir mungil itu tak hentinya bergerak lucu.
"Heh, anak kecil, diem nggak? Udah untung tadi diajak main."
Sosok yang baru saja turun dari lantai atas menimpali.
Ibu dan anak itu mengalihkan atensi, Achala menarik senyum pada adik sepupunya itu. Anak dari omnya itu mengangkat tangan mengarah ke Affandra yang berdiri di belakang Achala.
"Hi, what's up, Bro?"
"Mulai, deh, Haekal. Dari tadi suka banget gangguin keponakannya." Suara nenek dari Juang itu menimpali.
"Oma, Uncle Ekal main games terus. Berisik ... teriak-teriak."
"Heh, anak kecil. Kamu tuh nggak diajak, ya, Nak." Haekal menyimpan telunjuknya di depan bibir, isyarat agar Juang diam.
"Papaf, pukul Uncle Ekal, dia nakal!" Juang berteriak, telunjuk kecil itu mengarah tajam ke Haekal.
"Nggak boleh gitu, Sayang. Abang 'kan jarang ketemu sama Uncle Haekal."
Affandra maju beberapa langkah ke arah Haekal yang sudah cengengesan. Tangan pria itu terangkat seolah akan memukul si sepupu, tetapi seruan Achala menghentikannya.
"Mas, ada anaknya, loh. Bercanda jangan kelewatan."
Mana mungkin pula Affandra memukul Haekal sungguhan, ia masih cukup waras untuk melakukan itu. Mungkin inilah cara sesama pria dalam bercanda. Anak dari pamannya ini terpaut tujuh tahun darinya, tetapi cukup dekat dengan Affandra maupun dengan keluarganya.
"Ngapain lo di sini? Rumah ortu gue nyaman banget, ya? Kok, nggak ngabarin kalo ke Jakarta?"
"Mau ngobrol di sana aja? Rumah ini luasnya 500 meter, loh? Mami rasa banyak ruangan yang layak daripada di bawah tangga." Mertua Achala itu menyindir. Netranya beralih ke Achala yang sudah menggendong sang buah hati. "Cha, kamu ikut mami aja. Bawa anaknya sini."
Achala mengayunkan tungkai mengikuti ayunan langkah sang mertua, putra semata wayangnya nyaman di dalam gendongan layaknya anak koala yang menempel pada induknya. Tiba-tiba Achala berhenti saat Juang bergerak rusuh.
"Uncle, stay away! Jangan dekat sini. Kamu tuh nggak diajak."
Mampus, Haekal. Anak lima tahun itu membalikkan kalimat yang tadi ia gunakan untuk meledeknya. Apakah ini bisa dikatakan senjata makan Tuan?
"Sayang, nggak boleh gitu. Itu uncle Abang."
Suara gelak tawa terdengar dari belakang Achala, wanita itu menoleh mendapati sang suami dengan puas menertawakan Haekal yang diusir oleh Juang. Achala mendaratkan bokongnya di sofa panjang sebelah sang mertua.
"Abang kenapa belum bobok? Sudah jam sepuluh, loh, ini?" Achala bertanya pelan, mengusap dahi kesayangan yang duduk di pangkuan dan bersandar nyaman di dadanya.
"Juang kebangun. Tadi mami tinggal udah tidur, kok. Bangun-bangun nyariin mainannya yang tadi sore jatuh." Wanita paruh baya di samping Achala menjelaskan perihal cucunya.
"Abang sudah bobok tadi, Macha. Telinga abang sakit, Uncle Ekal teriak-teriak main games. Abang pusing."
"Yeee ... uncle lagi. Kan tadi udah sepakat kita. Panggilnya kakak, jangan uncle. Oke?"
Affandra berdecak mendengarnya. "Mana bisa gitu. Lo tua, mah tua aja. Kalo udah jadi om-om akuin aja."
"Diem lo, Mas. Lo tuh nggak diajak. Gue gini gara-gara lo, ya. Masih enak-enak dipanggil kakak, malah dikasih keponakan." Haekal mencibir.
Affandra geram, kaki panjangnya menyepak betis Haekal. Ia ingin melakukan lebih sebelum akhirnya, berhenti karena pelototan sang istri.
"Yaaa ... takut sama istri. Baru dipelototi doang. Kicep lo, Mas?"
Heran, yang model begini mau jadi dokter ahli saraf. Dia aja saraf.
Tanjung Enim, 14 Oktober 2022
Republish, 5 April 2023
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top