Bujur Bumi 23 : Krisan Putih

Achala mengayunkan tungkainya menuju parkiran staf dan dewan guru. Hari ini ia sengaja meminta izin Affandra untuk membawa mobil. Katanya, ia ingin menemui seseorang setelah pulang mengajar.

Affandra tidak pernah melarang keras Achala untuk membawa kendaraan sendiri, tetapi pria itu lebih menganjurkan jika istrinya diantar sopir saat ingin berpergian.

Civic Hatback berwarna putih itu sudah keluar dari area parkir. Mengemudi pelan menuju pintu gerbang utama, netra Achala menangkap siluet Kalila berdiri di samping pos satpam. Achala membuka setengah kaca mobil dan menekan klakson satu kali untuk mengalihkan atensi perempuan itu padanya.

"La, beneran nggak mau ikut mbak aja?"

"Nggak usah, Mbak. Kita kan nggak searah. Lagian nanti aku mabok perjalanan, biasa naik angkot tiba-tiba naik mobil mewah. Muntah ntar aku."

Lagi-lagi Kalila menolak, celetukan gadis itu membuat Achala tergelak. Memiliki rekan kerja seperti Kalila membuat Achala merasa beruntung, kerap kali ia merasa terhibur dengan candaan Kalila.

"Ya, udah. Kalau gitu mbak anter aja ke simpang depan, yuk. Banyak angkot di sana."

Menggerakkan tangannya dengan heboh, Kalila benar-benar menolak. Bukan karena takut muntah seperti yang ia sebutkan, tetapi karena sesuatu hal yang menjadi alasan perempuan itu tidak menerima ajakan Achala.

"Nggak usah, Mbak. Serius, deh. Soalnya ... Theo udah jalan jemput."

Achala berdeham, sekarang ia mengerti kenapa gadis itu menolak. Harusnya, Achala bisa lebih peka saat gadis itu sedikit berdandan dan menyemprotkan parfumnya sebelum keluar dari kantor guru tadi.

"Oh, dijemput ayang ceritanya. Pantesan tadi sibuk banget touch up. Mana parfum hampir satu botol habis." Mata Achala memicing, kepalanya menggeleng samar. Ia menggoda gadis itu.

"Mbak! Nggak segitunya juga." Kalila mendelik tajam, tidak terima dengan ucapan Achala yang dianggapnya hiperbola.

"Ya udah, kalau gitu mbak duluan, ya. Mau jemput Juang dulu."

"Oke, Mbak. Hati-hati nyetirnya."

Meninggalkan Kalila di tempatnya, mobil wanita itu berjalan lambat memasuki area parkir gedung sebelah dan turun setelahnya. Sedikit tergesa mengayunkan tungkainya, wanita itu sempat memeriksa ponsel. Orang yang akan ia temui sudah mengirimkan pesan dan menuju tempat yang mereka sepakati.

Netra Achala mengedar ke taman yang biasa ia temui saat menjemput anaknya. Ia mengernyit sesaat, tumben sekali anak itu bermain sendirian, ke mana Vanilla yang biasa menemaninya. Achala kembali melangkah, segera menghampiri putra kesayangan.

"Bang, pulang yuk."

"Macha ...." Juang melompat girang, tidak sabar sekali sepertinya menunggu sang mama.

Achala meraih tangan si kecil, berjalan ke arah kelasnya untuk berpamitan pada guru dan mengambil tas Juang yang masih tertinggal di dalam kelas. Achala yang pada dasarnya sedang terburu-buru, tidak banyak berbasa-basi pada guru putranya. Usai berpamitan, ibu dan anak itu segera menuju parkiran. Celotehan dan pertanyaan dari sang buah hati, Achala tanggapi seadanya.

"Macha, dipanggil Vani."

"Hah?"

Achala menoleh pada kursi samping kirinya. Baru saja hendak menyalakan mesin mobil. Anaknya menunjuk keluar jendela, dua orang perempuan berbeda tinggi berdiri di sana, mengetuk-ngetuk kaca mobil tempat Juang duduk.

Achala sangat terburu-buru ingin segera meninggalkan parkiran sekolah Juang. Ia tidak tahu jika Vanilla masih di sekolah. Achala pikir, anak perempuan itu sudah dijemput oleh susternya. Itu sebabnya, tadi ia tak melihat Vanilla bermain bersama Juang.

Wanita itu kembali turun, memutari mobil ke samping kiri. Achala tersenyum pada seorang guru yang berada di samping Vanilla. Tangannya terulur mengusap kepala Vanilla yang mengenakan topi bulat berwarna oranye terang.

"Ada apa, Miss?" sapa Achala lebih dulu. "Vanilla belum dijemput?"

"Bu Acha, maaf jadi mengganggu. Ini ... tadi Vanilla nyusulin Ibu."

Achala berjongkok di hadapan anak perempuan itu. "Vanilla mau apa, Nak? Suster belum jemput?"

Vanilla menggeleng pelan. "Miss Zahra," panggil anak itu pada gurunya, mata kecil itu menatap sang guru kemudian beralih lagi pada Achala. "Macha kan suka berkebun ... aku mau kasih bunga kecil ini untuk Macha. Di rumah aku sudah banyak yang besar."

Achala tertawa pelan, bunga kecil yang dimaksud anak itu adalah bibit bunga yang siap dipindahkan ke pot. Atensi Achala beralih pada telunjuk mungil yang menunjuk bibit bunga yang dipegang sang guru.

Krisan Putih?

"Macha suka bunga kisyan, kan? Macha menanam bunga ini, kan?"

Achala mengernyit dalam, dari mana anak perempuan ini tahu jika ia sangat menyukai bunga Krisan putih? Alih-alih memikirkan dari mana Vanilla tahu tentang semua ini, Achala justru tertawa saat anak itu salah menyebutkan nama bunganya yang terdengar sangat menggemaskan.

"Ini namanya Krisan, Sayang. Terima kasih, ya. Nanti macha tanam di rumah."

Achala meraih bibit bunga Krisan yang Miss Zahra ulurkan. Wanita itu kemudian bertanya, "Vanilla belum dijemput, Sayang?"

Wajah anak itu kembali murung. Netra Achala beralih pada si dewasa dengan kerudung ungu muda. Miss Zahra menarik senyum, tangannya terulur mengusap puncak kepala Vanilla.

"Udah nggak apa-apa. Vanilla sama miss di sini, ya. Mungkin sebentar lagi dijemput." Miss Zahra tersenyum pada Achala. "Tadi suster Vanilla telepon, belum bisa jemput Vanilla. Mungkin sekitar jam satu siang baru dijemput."

"Macha, aku boleh ikut Juang pulang? Na-nanti Sus Sari jemput di rumah Juang." Vanilla berkata penuh harap.

Achala tak tega sebenarnya. Jika ia meninggalkan Vanilla, anak itu akan sendirian di sini. Jika ia menemani di sini akan lebih tidak mungkin, mengingat ia ada janji menemui seseorang.

"Macha ada urusan, Nak. Nggak langsung pulang."

"Macha, Vani ikut saja, Macha." Juang menyahut, kepalanya menyembul dari jendela mobil.

Menghela napas panjang, Achala tak bisa menolak untuk permintaan putra semata wayangnya. Achala meraih ponselnya di saku blazer.

"Gini aja, Miss Zahra. Saya telepon wali Vanilla. Anaknya saya bawa dulu. Nanti kami bisa ketemuan di mana atau jemput Vanilla di rumah saya."

Miss Zahra mengangguk, ia bukan tak bertanggung jawab pada amanat orang tua Vanilla, tetapi ia tahu sedang berhadapan dengan siapa sekarang. Tidak mungkin istri dari pemilik yayasan tersebut akan menculik anak di sekolah ini.

Achala menelepon susternya Vanilla, awalnya ia menghubungi nomor papanya Vanilla, tetapi tak ada jawaban. Wanita itu hanya meninggalkan pesan pada kolom chat papanya Vanilla.

"Oh, baik, Sus. Jadi, nggak apa-apa, ya, Vanilla saya bawa dulu. Kasihan juga sendirian di sekolah masih dua jam lagi dijemput."

Achala menggigit bibir dalamnya, ponsel yang ia tempelkan di telinga kanannya menjadi penghubung ia dan orang di seberang sana. Sesekali Achala mengangguk mendengarkan penuturan sang suster.

"Oke, baik. Terima kasih, Sus. Nanti saya kabarin tempat ketemuannya. Atau bisa juga jemput di rumah saya."

Achala menutup panggilan, menyimpan kembali benda pipih ke dalam saku blazer. Achala menjelaskan pada Miss Zahra tentang nasib Vanilla setelah ini. Perempuan berwajah ayu mengangguk paham mendengar tutur Achala.

"Yeeey ... Vani ikut kita, Macha?"

"Iya, Vanilla ikut kita. Nanti Vanilla dijemput Sus Sari, ya, Sayang."

Usai dengan segala urusan sabuk pengaman, kedua anak itu duduk di jok belakang. Achala segera meninggalkan parkiran menuju tempat yang menjadi pertemuannya. Ada satu yang membuat Achala tak habis pikir, tentang ayah Vanilla yang tak pernah mengangkat panggilan telepon darinya, tetapi memberi izin dengan mudah anaknya dibawa oleh Achala melalui pesan chat.

Udahlah, mungkin emang papanya Vanilla sibuk. Lagian ini masih jam kantor. Kamu aja yang berlebihan, Cha. Penasaran banget dengan mantannya Kak Una.

Tanjung Enim, 30 Maret 2023
Salam

Puas masih lancar?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top