Bujur Bumi 20 : LDR

"Macha, besok sekolah?"

Achala menoleh pada si penanya, anak itu rebahan di tempat tidurnya, tampak jelas sekali sudah mulai mengantuk. Tangan kecilnya mengucek matanya yang berair.

"Ya, sekolah dong, Nak. Kan besok hari Senin." Achala kembali menyiapkan tas sekolah Juang.

Melirik jam dinding dengan gambar karakter tokoh pahlawan berwarna merah dan keemasan yang tergantung di atas meja belajar, sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Achala memasukkan buku gambar serta alat tulis pada tas sekolah Juang. Usai dengan urusan itu semua, ia kemudian menyimpan tas anaknya di kursi meja belajar.

Mengayunkan tungkai ke arah ranjang, putra semata wayangnya masih menatap pergerakannya dengan mata yang mulai meredup. Achala tersenyum, merangkak naik ke ranjang bocah itu.

"Bobok sama mama lagi, yuk, Bang." Achala memeluk tubuh kecil itu dengan sayang.

"Abang sudah besar, Macha. Kata papaf, abang harus tidur sendiri." Juang berujar, setelahnya membuka mulutnya lebar. Sudah berapa kali anak itu menguap.

"Tapi kemarin Abang tidur sama mama. Katanya, mau nemenin mama biar nggak kesepian."

Juang menggeleng kuat, malam ini ia tak mau terbuai. Ia harus tidur sendiri di kamarnya. Jika kemarin malam ia luluh bujuk rayu sang mama mengatasnamakan kesepian dan takut tidur sendirian. Tidak untuk malam ini, anak itu tak mau terlena lagi.

"Ya udah, deh. Kalau nggak mau tidur sama mama, nggak apa-apa. Abang tidur aja, nanti mama pindah kamar kalau Abang udah tidur."

Achala mengecup dahi sang anak, mengusap ubun-ubun Juang dengan sayang. Tak lupa dalam hati ia panjatkan doa baik untuk semangat hidupnya yang satu ini. Menarik selimut hingga batas dada anak itu, menyimpan guling di samping kanan dan langsung dipeluk erat oleh bocah itu. Atensi Achala beralih pada benda canggih miliknya yang berbunyi di atas meja belajar Juang.

Achala berjalan menuju sumber suara, meraih benda canggih itu. Dahi Achala mengernyit saat ada satu pesan yang masuk di ponselnya. Bukan hanya perkara pesan yang dikirimkan, tetapi si pengirim juga menjadi alasan.

Ini yang kirim chat, Vanilla, papanya, atau bundanya?

Wanita itu masih berpikiran positif. Mungkin saja chat yang datangnya dari nomor ayahnya Vanilla tersebut adalah Vanilla sendiri yang mengirimkan.

Membuka room chat dan membaca barisan kalimat yang ada di sana. Andai ini pesan dari Vanilla, Achala berdecak kagum, betapa ia sangat menyukai anak cantik dan cerdas itu. Achala sering melihat atau membaca isi chat pada ponsel pribadi milik Juang, tak lebih dari berbagai macam emoticon yang memenuhi layar dan voice note. Sekalipun ada kata, hanya kalimat pendek yang anak itu ketik. Sangat berbeda dengan yang ia baca dari pesan Vanilla.

Papanya Vanilla :
Selamat malam Macha. Selamat beristirahat, terima kasih untuk hari ini. Aku senang bisa main ke rumah Macha dan Juang.

Namun, anak-anak tetaplah anak-anak. Pesan itu pun tak luput dibubuhi beberapa emoticon meski tidak sebanyak yang sering Juang kirimkan. Achala sengaja tak membalas pesan singkat itu, takut-takut jika ia balas kemudian akan ada balasan lainnya dan membuat anak di seberang sana mengurungkan niatnya untuk tidur.

Achala menyimpan ponselnya di saku piama, kakinya bergerak lincah ke sana kemari, membereskan kamar Juang. Pandangannya jatuh pada satu pigura, foto Juang berusia sekitar lima enam bulanan. Digendong di bahu sang ayah. Achala tersenyum, anak bayi menggemaskan itu sekarang sudah tumbuh dengan baik. Tentu Achala ingat kapan foto ini diambil.

Mengusap kaca pigura, Achala bergumam, "Jangan cepat-cepat besarnya, Nak. Mama masih mau kamu bergantung ke mama."

Sebelum menyimpan kembali pigura itu, Achala mengalihkan manik kecokelatannya pada sosok yang mengenakan kaus hitam dalam selembar foto itu. Sudah dua hari mereka terpisah jarak, bertukar kabar via ponsel.

"Tumben bapak satu anak ini belum telepon."

Ya, selama di Surabaya tak membuat pria itu lupa pada kebiasaannya. Menelepon sang istri setelah selesai dengan urusan bisnisnya, menanyakan apa saja yang dilakukan oleh anak istrinya hari ini. Kadang kala obrolan mereka bisa memakan waktu hingga dua jam, sebelum akhirnya beristirahat.

Achala menyimpan kembali pigura itu. Meraih ponselnya dari saku kemudian mengetikkan sesuatu pada room chat suaminya. Tidak membutuhkan waktu lebih dari lima menit, ponsel Achala berdering nyaring. Wanita itu menarik senyum tinggi saat layar ponsel menampilkan foto Affandra dan dirinya.

Gerakan cepat menggeser tanda hijau Achala lakukan. Wanita itu ingin cepat-cepat melihat wajah sang suami. Senyumnya semakin lebar kala sambungan video call sudah tersambung, Achala melambaikan tangannya ke layar. Tampak di seberang sana Affandra sibuk mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk di bahunya.

"Udah balik hotel, Mas?" tanya Achala retorik.

"Anaknya mana, Sayang? Lagi di kamarnya, kan?"

Achala mengarahkan kamera depan ponselnya ke arah tempat tidur Juang. Tampak anak itu sudah nyaman dengan buaian selimut dan guling dalam pelukan.

"Udah nyenyak, Mas. Capek dia seharian habis main."

"Capek habis dari mana? Kalian keluar?"

Achala berjalan ke arah pintu. Menekan sakelar lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Wanita itu masih memegang ponselnya, tetapi langkahnya sudah menuju kamar mereka.

"Tunggu, Mas. Aku balik ke kamar dulu. I want to tell you something," ucapnya setelah berada di tengah ruangan kamar mereka.

"Apa, Sayang?"

Achala langsung merangkak ke tempat tidur, ponselnya yang masih ia genggam menampilkan pergerakan acak di layar. Wanita itu membenahi rambutnya yang panjang saat sudah menemukan posisi yang nyaman, bersandar pada tumpukan bantal.

"Mas, tahu nggak—"

"Nggak tahu, Sayang. Kan kamu belum cerita."

Gelak tawa terdengar di seberang sana. Bisa-bisanya pria itu bercanda, memotong pembicaraan saat sang istri ingin berbicara serius.

"Ish! Jangan bercanda, Mas!" Achala merenggut menatap layar ponselnya.

"Iya ... iya. Serius sekarang. Mau cerita apa mamanya Juang tersayang?"

"Tadi siang, Vanilla kan main ke sini sama papanya. Terus barusan aja ada yang chat, ternyata dari nomornya papanya Vanilla. Ngucapin selamat malam. Manis banget, kan?"

"Jangan yang aneh, ya, Cha. Suami kamu nggak ada di rumah." Suara Affandra terdengar tegas memperingatkan.

Achala menahan tawa, melalui layar ponselnya dapat ia lihat ekspresi tak suka dari pria itu, terlebih lagi panggilan sayang sudah Affandra tanggalkan. Sengaja Achala membalas suaminya dengan sedikit dibumbui kebohongan. Kini, giliran Achala yang tergelak. Ia benar-benar tidak tahan melihat wajah suaminya.

"Nggak ... nggak becanda doang, kok, Sayang. Tadi emang ada Vanilla main ke sini, tapi ya sendirian." Achala menjelaskan sesekali gelak tawanya belum juga mereda. "Udah dong, Sayang. Muka kamu jelek tahu nggak kalo gitu. Aku mana berani nerima tamu laki-laki saat suami aku jauh."

"Aku percaya sama kamu."

"Ya, udah serius ... serius. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Achala membasahi bibirnya, "kamu selama proyek ini belum selesai, itu artinya akan sering bolak-balik Jakarta—Surabaya, Mas?"

"Hmmm ... iya. Sementara proyek ini belum kelar, kita akan sering LDR, kata orang muda sekarang sih, gitu."

"Aku masih muda, Mas. Kamu doang yang udah tua." Achala kembali tergelak.

"Iya, nggak apa-apa aku tua, tapi semangat dan stamina aku muda terus."

"Udah, ah, bercanda mulu!"

"Kan kamu yang mulai lagi, Sayang. Mas udah serius juga."

Achala mengusap sudut matanya yang berair. Malam ini, wanita itu puas sekali menggoda hingga menertawakan suaminya.

"Gini ... kamu kan akan lebih sering bolak-balik, nih. Gimana kalau cari apartemen aja di sana, Mas? Daripada hotel, mending sewa apartemen. Jadi, kalau kamu ke Surabaya udah nggak repot nyari tempat tinggal."

Affandra menggaruk dagunya. Pria itu tampak menimang-nimang saran istrinya. Ada benarnya juga ucapan Achala. Namun, ia belum mau memikirkan itu sekarang. Mungkin lain kali, ia butuh fokus pada rapat besok.

"Iya, Sayang. Nanti mas pulang kita omongi lagi, ya."

"Kapan pulang, Mas?"

Pria itu menyunggar rambutnya, netra mereka bertemu secara virtual. menipiskan bibirnya, Affandra berpikir sejenak sebelum akhirnya kembali berkata, "Besok, tapi kayaknya sampai Jakarta sore, Sayang. Soalnya, pagi masih harus ada rapat sama tim proyek."

"Mau dijemput nggak di bandara?" Achala menawarkan diri.

"Boleh, tapi jangan nyetir sendiri, ya. Diantar Pak Dirman."

Achala mengangguk, mengangkat jempol ke depan layar ponsel. "Sip, Bos!"

"Ya, udah. Mas tutup, ya, Sayang. Mau ada kerjaan buat rapat besok. Selamat beristirahat. Papaf sayang kalian berdua."

"Ok, see you, Honey."

Tanjung Enim, 06 Oktober 2022
Republish, 26 Maret 2023
Rinbee 🐝

Coba kencengi komen di sini kalau mau aku update lagi setelah buka puasa. 10 komen aja deh. Komen "Mau Triple update"
Kurang dari 10 batal. 😜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top