Bujur Bumi 19 : Kedatangan Vanilla

Menatap takjub hasil karyanya, Achala tersenyum puas saat satu loyang puding cokelat berhasil ia buat. Tak lupa, wanita itu juga memasak makanan lain demi menyambut anak perempuan yang belakangan ini sering ada di sekitarnya.

Achala menyimpan puding itu ke dalam lemari pendingin, menyeret langkah ke ruang tengah mencari keberadaan sang putra. Juang asyik bergelung di atas karpet berbulu memainkan ponselnya. Namun, mata Achala menyipit saat menangkap ada sesuatu yang aneh pada lengan anak itu.

"Bang, mama bilang apa kalau main ponsel?"

Juang bangkit, ia sering kali mendengar nasihat sang mama. Jika bermain ponsel harus dengan posisi duduk yang benar dan layar ponsel tidak begitu dekat dengan mata. Hal itu seakan terekam apik di kepala Juang.

Achala meraih lengan kanan Juang, menelisik kulit putih sang anak. Ada bercak kemerahan di tangan anak itu. Bukan luka atau gigitan nyamuk. Achala ingat betul dari bangun tidur sampai selesai mandi, noda itu belum ada di putranya.

"Bang, ini lengan Abang kenapa?"

Juang menggeleng bingung, mata kecilnya juga turut memperhatikan lengannya dengan noda kemerahan. Memeriksa lengan yang satunya, ia menunjukkan jika di tangan kirinya pun terdapat bercak yang sama.

"Abang kenapa mainin cat?" Achala bertanya pada anak itu.

"Nggak, Macha. Abang mainan ponsel dari tadi."

"Tapi ini lengan Abang kena cat basah, Sayang. Ini kenapa bisa begini? Dari mainan cat di mana?"

Menggeleng kuat, Juang tetap tidak tahu datangnya noda kemerahan cat basah itu dari mana. Ia justru mengedikkan bahu saat pertanyaan itu keluar lagi dari sang mama.

Achala menghela napas sejenak. Baiklah, sepertinya pertanyaan Achala yang salah. Ia harus mengubah pertanyaan. Kadang kala pertanyaan "kenapa" tak serta-merta dapat dijawab dengan kata "karena" oleh anak seusia Juang.

"Tadi habis mandi, sebelum nonton kartun. Abang pergi ke mana?"

Bola mata Juang berputar beberapa detik ke atas, mengingat-ingat ke mana ia setelah selesai mandi pagi tadi. Mengembungkan pipinya dengan gemas, Juang masih berusaha mengumpulkan ingatan sebelum akhirnya, menatap lekat wajah ibunya.

"Tadi ... habis mandi abang ke belakang. Lihat Kakek Dirman ngecat pagar belakang."

"Terus?" Achala bertanya lembut.

Masih menunggu sang anak melanjutkan cerita, agar teka-teki noda merah di lengan anak itu terungkap. Bocah itu seketika berdiri, memperagakan yang ia lakukan di halaman belakang tadi.

"Abang kan berdiri begini, ya, Macha." Juang berdiri, tangannya di depan dada.

"Ini pagar, kan, Macha?" Lagi-lagi tangannya bergerak ribut mengisyaratkan jika di depannya ada pagar tinggi tak kasat mata. "Nah, tangan abang cuma sandaran aja di sana. Kakek Dirman di sana sedang kerja oles-oles cat di pagar," tunjuknya kira-kira setengah meter dari keberadaannya ada Pak Dirman—tak kasat mata.

Achala mengangguk paham. Dari semua gambaran yang Juang jelaskan sudah bisa terbayang di kepala wanita itu. Baiklah, kesimpulannya adalah tanpa disadari noda cat yang didapat anak itu berasal dari pagar pembatas halaman belakang.

Achala beranjak menuju gudang samping, ia pernah melihat sang suami menggunakan sesuatu untuk menghapus cat yang terkena di tangannya. Lima menit kembali dari gudang, Achala mengajak sang putra untuk ke wastafel. Membersihkan lengan Juang dengan pain remover, mengusapnya lembut hingga noda cat benar-benar hilang, kemudian membersihkannya lagi dengan sabun.

"Sekarang bersih, Macha." Juang mengangkat lengannya tinggi, memamerkan pada sang mama.

"Iya, bersih. Sekarang cari handuk, keringkan tangannya."

Anak itu berlari ke kamarnya, Achala kembali pada kegiatannya. Melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu pembatas ruang tengah, sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Achala membagi atensinya saat bel berbunyi nyaring. Kedatangan Vanilla yang sudah ditunggu sejak tadi, membuat bocah laki-laki itu berlari dari kamarnya ke pintu utama.

"Cepat buka, Macha. Itu Vani, Macha."

"Sabar, Sayang "

Membuka lebar pintu rumah mereka, senyumnya terbit saat melihat anak perempuan dengan pakaian serba merah muda berdiri di depan pintu. Netra Achala beralih pada sosok wanita muda yang sudah pernah Achala lihat sebelumnya.

"Eh, sama suster? Kirain diantar papanya. Ayo ... ayo masuk, yuk?"

Wanita itu tersenyum ramah. "Diantar sama Bapak juga, Bu. Bapak nunggu di mobil." Suster Sari menunjuk keberadaan mobil papanya Vanilla yang berada di depan gerbang luar.

"Oh, gitu. Sus Sari masuk, ayo."

"Nggak usah, Bu. Terima kasih, saya ngantar saja. Nanti Non Vanilla dijemput lagi."

"Baiklah, nanti saya hubungi lagi. Vanilla main di sini dulu,ya, Sus."

Sang suster berpamitan. Achala kira, mungkin hari ini akan bertemu dengan ayahnya Vanilla. Sejujurnya, Achala penasaran juga dengan mantan suami dari Jeuna itu.

Mengalihkan atensinya ke Vanilla yang masih berdiri di tempat yang sama, anak itu memeluk satu buket bunga dengan ukuran sedang. Bunga tulip putih dan merah muda itu dirangkai dengan sangat indah.

Vanilla mengangsurkan bunga itu ke Achala. "Untuk Macha," ujarnya kemudian melirik Juang. "Juang, maaf aku nggak bawa apa-apa buat kamu."

Sedikit merendahkan tubuhnya, Achala meraih pemberian anak perempuan itu dan berucap, "Nggak usah repot-repot, Sayang. Makasih, ya, bunganya cantik. Siapa yang pilihin?"

"Papa. Kata papa kasih bunga ini aja, pasti suka. Macha suka?"

Siapa yang tidak suka diberi bunga, rasanya hampir semua perempuan suka bunga. Termasuk Achala yang memang penggemar bunga.

Membawa dua bocah itu ke ruang tengah, menjatuhkan bobot mereka di sofa, Achala kembali bertanya, "Tadi Vanilla yang telepon macha? Pakai nomor papa? Macha mau dong nomor telepon Vanilla, bukan nomor papa."

"Papa punya dua ponsel, yang satu buat kerja suka papa bawa ke kerja kantor, tapi yang itu nomor papa juga, ponselnya ada di rumah nggak papa bawa, aku suka pakai telepon bunda."

Meski dengan kalimat yang sesungguhnya masih berantakan, tetapi wanita itu mengerti maksud penjelasan Vanilla. Setiap hari berhadapan dengan siswa SD kelas satu, membuat Achala sedikit banyaknya mengerti bahasa anak-anak seusia Vanilla dan Juang.

"Terus ... kemarin Vanilla kan bertemu dengan mama setelah lama nggak ketemu. Seneng nggak?"

Duduk di sofa dengan kaki pendeknya seraya berayun teratur. Menjawab semua pertanyaan Achala, membuat anak itu terlihat semakin manis dan menggemaskan.

"Aku seneng, Macha. Aku sayang Mama Una."

"Vanilla punya nomor telepon mama nggak?"

Menggeleng lemah, netra anak itu menatap lekat di wajah Achala. "Nggak punya, Macha. Kata papa,  mama juga nggak akan mau ketemu aku di kapan-kapan hari lagi."

Ayah macam apa itu, mengajari anaknya untuk menjauhi ibu kandungnya sendiri. Aku semakin penasaran seperti apa mantan suaminya Kak Una itu. Egois.

Achala tidak habis pikir dengan pria itu. Di saat ia menjadi ibu sambung yang bertekad selalu mengajarkan Juang untuk menyayangi mendiang ibu kandungnya, ini justru terang-terangan memisahkan anak dan ibu. Meracuni otak polos anak itu pula.

"Sayang, dengar macha, ya. Bagaimanapun juga, Mama Una itu tetap mama kamu. Jangan lupain itu, ya. Tetep sayangi Mama Una."

"Baik, Macha. Aku sayang mama kok, tapi kata papa mama nggak sayang aku. Mama pergi ninggalin aku sama papa."

"Sayang, mama kamu—"

"Macha, kapan abang main sama Vani. Macha bercerita terus dengan Vani."

Achala menoleh ke ujung sofa, si pemotong ucapannya itu sudah merengek dengan wajah yang cemberut. Benar juga, sejak tadi kehadiran putranya sedikit terabaikan. Dalam hati ia mengutuk perbuatan ayahnya Vanilla, tetapi ia—tidak sengaja—melupakan anaknya.

"Maaf ... maaf, Sayang. Ya udah, kalian main aja, ya. Mama siapin makan siang dulu. Mau puding cokelat dan eskrim nggak?"

"Maauuu ...." Juang dan Vanilla serentak menjawab.

Tanjung Enim, 04 Oktober 2022
Republish, 26 Maret 2023
Rinbee 🐝

Nanti siang, mau aku Doble update gak, nih? Atau triple?
Komen dong, please 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top