Bujur Bumi 18 : Kembali Ditinggal

Duduk di tepi tempat tidur, Achala mengernyit saat sang suami mengeluarkan satu koper berukuran sedang dari dalam lemari, belum lagi tas berisi laptop yang biasa pria itu bawa ke kantor sudah rapi di atas nakas.

"Mau ngapain, Mas?" Achala mencari jawaban teka-teki di kepalanya.

"Proyek di Surabaya ada kendala sedikit. Mas harus mantau langsung ke sana," ujar Affandra seraya membuka lebar koper yang ia keluarkan tadi.

Achala bangkit dari posisi duduknya, mendekat ke arah Affandra. "Kapan? Besok?"

Meraih beberapa potong kemeja dari dalam lemari kemudian menyimpannya di atas koper yang sudah terbuka itu. Affandra menatap lekat wajah bingung istrinya dan kembali berkata, "Pesawatnya berangkat jam tujuh malam. Masih ada waktu lima jam lagi."

Pupil Achala membesar, ia pikir suaminya akan berangkat siang atau besok pagi. Sedikit merasa kesal, kenapa sang suami baru memberitahunya sekarang.

"Kok, Mas baru bilang, sih? Kalau gitu aku kan bisa packing baju Mas dari tadi."

Setelah beberapa saat tadi bahagia dengan lilin aromaterapi, sekarang Achala harus menekuk wajahnya dengan kabar yang Affandra sampaikan. Beberapa jam lagi, pria itu akan berangkat ke Surabaya untuk meninjau langsung perkembangan bisnisnya di sana. Itu artinya ia akan kembali ditinggal bersama sang buah hati.

"Paling lama tiga hari, Sayang. Nggak usah bawa baju banyak. Bawa seadanya aja. Kalau sekiranya aman, mas langsung balik, kok."

Senyum Achala tak jua mengembang meskipun pria itu berkata tak akan lama di sana, ia duduk bersila di depan koper yang terbuka. Bisa-bisanya Affandra memberitahu saat keberangkatan tinggal beberapa jam lagi. Kalau tahu begitu, sejak awal mungkin Achala memilih untuk tidak makan siang di luar atau segera menyiapkan keperluan suaminya ketimbang bersemangat membuka paket dari Jeuna.

Bukan itu faktor utama yang membuatnya kesal. Entah kenapa, keberangkatan Affandra kali ini sedikit membuatnya berat. Membayangkan akan ditinggal lagi dan hanya berdua bersama putranya dalam beberapa hari. Tidak! Achala tidak akan melarang suaminya untuk berangkat ke Surabaya. Ia tahu ini adalah resikonya menikahi seorang pebisnis.

"Perasaan belum genap satu bulan dari terakhir Mas ke Surabaya. Sekarang kita ditinggal lagi," lirih Achala seraya menyimpan dua setel kemeja Affandra ke dalam koper.

Pria itu turut berjongkok di depan koper yang sudah Achala ambil alih. "Maaf, ya. Mas akan lebih sering ninggalin kalian selama proyek ini belum kelar. Doain semoga semuanya lancar."

Achala paham, selama proyek Surabaya belum selesai, ia dan putranya akan sering ditinggal seperti ini, bahkan ini bukan kali pertama mereka ditinggal Affandra ke luar kota urusan bisnis.

Wanita itu masih menekuk wajahnya, seakan berat sekali memberi sedikit senyuman pada sang kepala keluarga. Bukan bermaksud untuk tidak mau mendoakan kelancaran suaminya dalam bekerja, tetapi wanita itu masih sedikit kesal dengan keberangkatan Affandra yang terkesan mendadak.

Achala paham bagaimana ambisiusnya Affandra saat sedang di dunia bisnis. Namun, tetap saja ia merasa sebal. Tidak bisakah pria itu memberitahu setidaknya satu hari sebelum berangkat, bukan tinggal beberapa jam lagi seperti ini.

Mengembuskan napas panjang. Wanita itu merentangkan kedua lengannya, meminta pelukan sang suami sebagai stok penyemangatnya untuk beberapa hari ke depan. Tak usah menunggu lama, lengan kokoh Affandra sudah merangkum tubuh Achala, mengecup lama dahi dan puncak kepala Achala.

"Baik-baik di rumah, ya. Nanti mas minta tolong sama Pak Dirman biar Bi Marni nemenin kalian kalau malam."

"Nggak usahlah, Mas. Kita nggak apa-apa berdua aja. Takutnya nanti ngerepotin Bi Marni."

Di dalam dekapan sang suami, Achala berujar. Sungguh ia tidak mau merepoti pasutri yang telah banyak membantunya itu. Achala memejamkan sejenak matanya, menikmati usapan telapak tangan Affandra di punggungnya wanita. Sejujurnya, Affandra pun berat meninggalkan anak dan istrinya sekarang ini. Namun, perkembangan bisnis itu harus dipantau langsung olehnya.

"Nanti kalo udah selesai kerja, jangan lupa telepon kita," pungkas Achala sedikit manja.

"Iya, Sayang. Kapan sih mas lupa sama anak istri tercinta. Lagian cuma tiga hari doang. Kangen banget, ya, kamu?"

Kepalan tangan Achala memukul pelan dada bidang Affandra. Pria itu tidak tahu saja jika sedang rindu. Jangankan tiga hari, tiga jam pun serasa tiga tahun. Mengusap pelan kepala istrinya, Affandra membisikkan sesuatu yang membuat Achala membuka lebar pupil matanya.

"Anaknya dititipkan dulu, gih, di Bi Marni belakang. Papaf kangen Macha, masih ada waktunya untuk sekali aja."

Achala menguraikan pelukan, beberapa pukulan ia layangkan ke lengan suaminya. Jelas Achala tahu ke mana arah pembicaraan Affandra. Apa katanya, kangen? Bisa-bisanya ia berujar seolah sudah lama tidak mendapatkannya. Baru pagi tadi Achala keramas karena ulahnya yang mengatasnamakan sunah Rasul. Padahal masih banyak amalan lain yang bisa dilakukan suami istri dalam menjalankan sunah junjungannya, bukan hanya merujuk ke hal kebutuhan batin saja.

Menarik kembali istrinya ke dekapannya, tangan besar Affandra merangkum wajah Achala. Mengikis jarak antara wajah keduanya, bibir pria itu mengecup sekali. Aroma dan rasa manis pelembab bibir yang Achala kenakan seakan menjadi candu untuk mengulangi lagi kegiatan itu.

Dua insan itu terhanyut, bertukar saliva adalah hal yang lazim dalam permainan yang sedang mereka lakoni. Termasuk tangan Affandra yang sudah bergerilya menyelusup ke dalam blouse yang Achala kenakan. Sesaat kemudian Achala tergagap, menguraikan kegiatan mereka saat dentuman daun pintu kamar menghantam dinding, terdengar sangat memekakkan telinga. Belum lagi rengekan dari putra semata wayangnya di ambang pintu.

"Machaaa ... peluk."

Achala mendorong tubuh Affandra, pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Mengalihkan atensi pada Juang, napas wanita itu masih naik turun sebenarnya, pair jantungnya bekerja dua, bahkan tiga kali lebih cepat dari biasanya. Merentangkan kedua lengan, Achala memberi kode pada sang anak agar masuk ke pelukan.

Langkah kecil itu sudah dibawa ke arah Achala. Kurang dari tiga puluh senti untuk berhambur memeluk wanita kesayangannya. Namun, harus terhenti saat lengan dewasa lainnya meraih tubuh kecil Juang hingga melayang ke udara.

"Sini sama papaf dulu. Peluk-peluk papaf dulu," ujar Affandra menggendong Juang seraya menciumi wajah hingga kepala putranya.

"Papaf! Abang mau peluk macha. Ih ... turunin abang mau sama macha. Nggak mau sama papaf."

Bibir bawah Affandra turun, memasang wajah bersedih menatap wajah kecil Juang. "Papaf mau ke Surabaya. Abang nggak kangen papaf nantinya?"

"Surabaya? Kerja di sana?"

"Hmm ... kerja di sana, tiga hari." Affandra mengangkat tiga jarinya ke atas. "Abang mau ikut nggak?" lanjutnya dengan senyum khas memancing keributan.

"Mas ...." Achala memanggil dengan nada peringatan. "Nanti dia ngamuk beneran pengin ikut, gimana? Awas aja kamu."

"Tidak, akh! Abang tidak mau ikut. Abang sama macha saja. Abang kan laki-laki, bertugas menjaga macha kalau Papaf sedang tidak ada."

Anak yang pintar, Achala mengangguk setuju, mengacungkan ibu jarinya ke ayah dan anak itu. Ia bangga pada putra semata wayangnya yang bersikap—sok—dewasa dengan bahasa baku yang sesuai dengan aturan penggunaan dalam kamus besar bahasa Indonesia. Meski sering mendengar Juang menggunakan bahasa baku, tetapi terkadang masih juga membuatnya tergelak saat sang bocah sudah menggunakan gaya bahasa itu.

Tanjung Enim, 03 Oktober 2022
Republish, 24 Maret 2023
Rinbee 🐝

Aduh... Bestie..maaf ya kalau ada kalimat 21+ mengingat ini bulan ramadhan.

Selamat berpuasa untuk bestie royal semuanya 🥳🥳🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top