Bujur Bumi 16 : Makan Siang di Luar
Achala tercenung saat mobil yang Affandra kendarai sudah berhenti di sebuah mall, ia masih tidak paham tiba-tiba sekali suaminya mengajak makan siang di luar.
Bukan pusat perbelanjaannya yang membuat wanita itu tak mengerti dengan situasi, tetapi resto yang mereka tuju. Tempat makan yang memberikan kenangan tersendiri dalam hubungan mereka. Tempat yang sama pula ketika Affandra mengutarakan niatnya ingin melamar Achala.
"Udah lama banget kita nggak ke sini, Mas."
"Gimana, suka nggak ke sini lagi?"
"Iya, abang suka, Papaf."
Bukan Achala yang menyahuti, melainkan bocah lima tahun yang duduk di samping kanan Achala. Wanita itu tertawa pelan mendengar ucapan Juang yang salah paham, mungkin anak itu pikir pertanyaan sang ayah ditujukan untuknya.
"Emang Abang pernah ke sini?" tanya Achala jahil.
Juang mengangguk kuat. "Pernah dulu, waktu abang masih kecil."
"Emangnya sekarang udah besar?"
Achala semakin gemas dengan tingkah anaknya yang sok merasa sudah besar. Padahal, usianya saja masih beberapa bulan lagi genap enam tahun.
"Sekarang sudah lima tahun setengah, waktu dulu masih kecil."
Karakter tidak mau kalah anak ini benar-benar menurun dari ayahnya. Tadi di perjalanan menuju kemari, ayahnya yang tidak mau kalah, sekarang anaknya. Achala berdecak samar. Namun, Juang benar, dua setengah tahun lalu ia pernah ke sini. Menjadi saksi pertama kali ayahnya mengutarakan niat baik untuk calon ibu sambungnya, tetapi tentu ia tidak bisa mengingat momen itu. Anak tiga tahun mana yang sudah bisa menyimpan memori suatu momen dalam otaknya, dengan jangka waktu lama.
Achala masih ingat jelas, niat hanya ingin mengajak Juang bayi jalan-jalan dan memberinya hadiah, tetapi justru ia yang diberi hadiah kabar tak terduga oleh ayah anak itu, bahkan foto Affandra dan Juang di tempat ini kala makan siang itu, masih Achala simpan. Juang yang masih berusia hitungan bulan sangat menggemaskan digendong di bahu sang ayah. Siapa sangka, foto yang bermula hanya untuk disimpan saja, justru membawa Achala menjadi bagian penting dalam hidup orang-orang itu.
Lama menunggu makanan mereka sampai, suasana resto pun tidak sepi pengunjung. Ibu dan anak asyik bercanda. Jangan tanyakan kegiatan apa yang Affandra lakukan selama menunggu. Tentu saja pria itu berkutat dengan iPad-nya seperti biasa, mengecek perkembangan bisnis baru yang sedang ia geluti di Surabaya.
"Macha, nanti abang beli pensil warna yang baru, ya?"
Achala menoleh pada sosok kecil yang baru saja membuat satu permintaan. "Bukannya ... pensil warna, krayon, dan alat menggambar Abang masih ada?"
"Tapi abang udah nggak suka yang itu, Macha. Abang mau yang kayak Vani pakai."
Achala mencondongkan tubuhnya ke arah samping kanan, bibirnya membisikkan sesuatu di telinga kiri anaknya.
"Coba bilang dulu ke papaf." Achala memberi kode melalui lirikan matanya ke arah Affandra yang masih sibuk menekuri benda canggih di tangannya. "Papaf, kartunya boleh dipinjem nggak? Abang mau beli peralatan sekolah." Achala mengajari Juang meminta izin pada sang ayah.
Juang menarik lengan kemeja ayahnya, menggoyang-goyangkan lengan si dewasa. Belum juga menyampaikan niat seperti yang Achala ajarkan tadi. Pria itu cukup peka meski sang anak belum bersuara.
"Iya, boleh. Mau beli sekarang? Nanti makanannya datang gimana?" Affandra mengangsurkan kartu kreditnya dari dalam dompet.
"Nanti aja, Sayang. Setelah kita selesai makan," sahut Achala meraih benda tipis berwarna hitam itu.
"Bang, bilang apa ke papaf." Achala mengingatkan anak itu tentang tiga hal yang selalu ia ajarkan, yaitu tolong, terima kasih, dan maaf.
"Terima kasih, Papaf."
Affandra tak menyahuti, tetapi justru sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Pipinya disodorkan ke arah wajah Juang. Anak itu tahu apa yang diminta ayahnya, satu kecupan ringan Juang bubuhkan di pipi kanan Affandra. Senyum serupa dari ayah dan anak itu mengembang bersamaan.
"Permisi," ucap salah satu wanita membawa nampan berisi makanan pesanan mereka.
Dua pelayanan dengan seragam resto itu menyimpan semua makanan yang dibawa ke atas meja. Selesai dengan tugasnya, meninggalkan keluarga kecil tersebut untuk menikmati makan siangnya.
"Mas, masakannya nggak banyak berubah, ya. Masih enak kayak dulu."
"Mungkin chef-nya masih sama, Sayang."
Achala menikmati tiap suapan pada makan siangnya, rona bahagia tak hentinya terpancar. Satu dari keinginannya dalam membina keluarga adalah seperti sekarang ini. Punya waktu khusus menikmati setiap momen untuk dilewati bersama. Walaupun, hanya hal kecil seperti makan di satu meja yang sama baik itu di luar maupun di rumah.
"Macha, abang mau udangnya aja. Nggak mau sayurnya."
Juang menyingkirkan wortel dan brokoli ke piring Achala. Anak itu suka makan capcay, tetapi tidak mau makan sayurnya. Juang adalah anak yang tergolong sulit makan sayur seperti ayahnya, padahal Achala sangat menyukai sayuran dan selalu mengajarkan Juang untuk menyukai sayur.
Kedua orang dewasa itu sudah selesai dengan makan siang mereka, tersisa bocah laki-laki yang masih menikmati kunyahan terakhirnya. Achala meraih dua lembar tisu, mengelap bibir anaknya hingga bersih.
"Macha, ayo beli buku gambar," ajaknya tak sabaran.
"Iya, tunggu sebentar lagi, ya. Turunin dulu nasi di perut Abang. Lima menit lagi, oke?"
Mesti tak sabar lagi, anak itu menuruti titah Achala. Kembali menikmati puding makanan penutup favoritnya. Ekspresi lucu yang sesekali memeriksa jam pada pergelangan tangan Achala membuat wanita itu benar-benar gemas.
"Mas, mau langsung bayar? Kita mau ke toko sebelah. Mas mau tunggu di sini atau gimana?"
Affandra menyimpan iPad-nya, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Duluan aja, nanti mas nyusul. Itu anaknya udah nggak sabaran banget."
Achala membenarkan ucapan sang suami. Wajah anak kecil yang baru saja keluar dari mejanya itu sudah berubah sebal. Benar-benar tidak sabaran ingin segera ke toko ATK sesuai janji Achala yang hanya lima menit lagi.
"Ya, udah. Kita duluan, ya. Kalau nggak ketemu telepon aja," pesan Achala sebelum akhirnya meraih lengan si kecil, bergandengan meninggalkan sang suami.
Membereskan semua barangnya di atas meja, Affandra pun segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Cukup panjang antrian, ia berdiri di barisan belakang. Beruntung ia menyuruh anak dan istrinya untuk pergi lebih dahulu. Jika tidak, bisa dibayangkan betapa bertambah merengut anak itu saat harus menunda lagi ke tempat favoritnya.
Satu per satu antrian di depan Affandra sudah selesai, tersisa tiga orang lagi. Affandra menoleh saat bahunya ditepuk seseorang di belakangnya. Mata Affandra membesar saat sosok yang sangat berpengaruh di kehidupan Achala berdiri tegap di depannya.
"Lintang! Lo ngapain di sini?"
Pria itu tersenyum miring, mengedikkan kedua bahunya, ia tertawa meremehkan atas pertanyaan teman baiknya semasa dulu. Bola matanya berputar ke samping sejenak.
"Ini tempat umum. Gue juga makan siang di luar. Sepertinya ... bahagia sekali keluarga kecil kalian. Lo juga pasti bahagia bisa miliki Acha setelah gue lepas," ucapnya sedikit maju dan berbisik di telinga Affandra. Tak lupa decihan mengejek juga tercetak jelas.
Rahang Affandra mengeras, jika sedang tidak berada di khalayak ramai, mungkin Affandra sudah mengubah judul pertemuan dengan sahabat lama menjadi pertengkaran masalah lama. Mencoba menghela napas panjang, Affandra mengabaikan pria di belakangnya. Menyelesaikan pembayaran secepat mungkin dan pergi dari sana.
Tangan Affandra masih terkepal kuat seiring dengan langkah lebarnya untuk pergi. Sudah beberapa langkah ia meninggalkan pintu resto tersebut, pria itu terlonjak saat sang istri berada di jarak kurang dari dua meter di depannya. Refleks pria itu menoleh ke pintu resto, ia takut jika Lintang masih di sana atau bahkan baru saja keluar.
"Mas, udah selesai? Ditungguin nggak nyusul-nyusul. Kita nggak dapat yang dicari. Mau cari ke lantai atas aja."
Tanpa menjawab, Affandra meraih bahu sang istri, membawanya segera meninggalkan tempat itu.
Affandra gugup, berharap Achala tak melihat pria masa lalu istrinya tersebut. Ya, Affandra takut Achala bertemu dengan Lintang, mantan suami dari istrinya. Demi Achala, Affandra melupakan persahabatannya dan Lintang yang sudah terjalin sejak duduk di bangku sekolah menengah.
Tanjung Enim, 30 September 2022
Republish, 22 Maret 2023
Salam
Rinbee 🐝
Apakah kita sudah berada di konflik?
Mana yang kemarin nanyain mas Lintang? Tuh ... udah nongol dia di akhir bulan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top