Bujur Bumi 14 : Jeuna

"Jadi, Vanilla anak Kak Una?"

Jeuna Latica, sosok yang Achala sapa dengan panggilan Kak Una tersebut tidak banyak mengalami perubahan. Masih bertahan dengan model rambut lurus di atas bahu, bahkan cara berpenampilan pun masih tetap sederhana dan anggun seperti dulu.

Perempuan yang Achala ketahui memiliki sifat lemah lembut dan tenang itu adalah salah satu kakak tingkatnya di kampus dulu. Keaktifan Jeuna di kampus tak pelak membuatnya mudah dikenali dan diingat oleh mahasiswa lainnya. Satu dari kakak tingkat yang Achala tahu berteman cukup dekat dengan Affandra, karena berada di organisasi yang sama.

Pantas saja, saat pertama kali bertemu Vanilla, Achala merasa tak asing lagi. Terutama di bagian mata, bibir, dan wajah bulatnya. Kini, rasa penasarannya terjawab sudah, dari pertemuan tidak sengaja mereka di depan gerbang sekolah TK tiga puluh menit lalu, anaknya perempuan bernama Vanilla itu ia ketahui adalah putri dari sang kakak tingkat.

"Iya, Vanilla putriku. Nggak mirip, ya?"

Achala mengibas-ibaskan telapak tangan di udara. "Justru sangat mirip Kak Una. Aku dari lama, loh, Kak. Mikir Vanilla mirip siapa, ya. Nggak asing wajahnya, tapi lupa mirip siapa. Ternyata anak Mama Una, toh."

Kedua wanita itu bercengkrama, reuni yang tak disangka-sangka itu membawa keduanya ke sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah Juang, tak terkecuali kedua bocah lima tahun itu, anak-anak itu berada di meja sebelah Achala, menikmati es krim dari mangkuk masing-masing.

"By the way, sekarang Kak Una tinggal di Jakarta lagi? Terakhir aku dengar, balik ke Bandung, 'kan?"

"Belum tahu, Cha. Masih mikir-mikir, mau cari kerja di sini atau tetap di Bandung."

Wanita itu tersenyum, tetapi ada kesedihan tersirat dari bola matanya. Achala menyadari itu, hanya saja ia tak mau bertanya terlalu jauh. Mengingat hubungannya dan Jeuna di masa lalu bukanlah tergolong sangat dekat. Sosok wanita berdarah Sunda itu cukup tertutup kepribadiannya di mata Achala.

"Oh, gitu. Kalau Kak Una jadi tinggal di Jakarta, kabarin aku, ya. Kita kan bisa hangout bareng. Nanti aku ajak Kak Una ke tempat makan yang enak-enak."

Achala menarik senyum tinggi, berhadapan dengan Jeuna yang memiliki karakter tidak begitu banyak berbicara, cukup membuat ia kesulitan membangun obrolan agar suasana tetap hangat. Namun, bukan Achala namanya jika tidak bisa melakukan itu semua.

"Oh, iya, Kak. Maaf ya lancang, tadi aku telepon suaminya Kakak. Soalnya Vanilla belum dijemput," ujar Achala kembali tersenyum canggung.

Wanita yang duduk di depan Achala itu mengaduk-aduk minumannya. Pandangannya menunduk, mimik wajahnya seketika berubah sendu, Achala semakin merasa tidak enak hati pada Jeuna.

"Kak Una, maaf, ya. Aku nggak bermaksud—"

"Nggak apa-apa, Cha. Aku yang minta maaf." Jeuna memotong ucapan Achala cepat. "Oh, ya. Tadi kamu sempat ngobrol di telepon sama papanya Vanilla?"

Achala menggeleng, bukan bermaksud menutupi. Namun, begitulah adanya. Telepon darinya memang diangkat, tetapi orang di seberang sana tak menyahuti ucapannya, justru langsung mematikan sambungan secara sepihak.

"Nggak, Kak. Teleponnya diangkat, tapi papanya Vanilla nggak ngomong. Mungkin lagi meeting kali, ya? Kalo beneran lagi meeting, sampein maaf aku ya, Kak. Udah ganggu meeting suami Kak Una." 

"Dia bukan suamiku lagi, Cha. Aku dan papanya Vanilla udah berpisah, bahkan Vanilla belum berusia satu tahun sudah dipisahkan dariku."

Achala berdeham singkat, pertemuan dengan sang kakak tingkat ini benar-benar membuat Achala canggung. Lebih sialnya lagi, semua kecanggungan ini berasal dari ucapannya sendiri. Sungguh, ia tak tahu cerita sebenarnya tentang Jeuna dan mantan suaminya itu.

"Sekali lagi maaf ya, Kak. Aku nggak bermaksud menyinggung."

Wanita itu tersenyum teduh, meraih telapak tangan Achala dengan lembut. Aura positif yang ia punyai tak banyak berubah, tetap sama seperti dulu saat mereka masih berstatus senior junior di kampus. Itu yang membuat Achala menyukai sosok Jeuna.

"Kakak minta maaf, ya, Cha."

Achala mengernyit, kenapa wanita ini tiba-tiba meminta maaf. Memangnya dosa apa yang pernah ia perbuat pada Achala. Bukannya mereka baru saja bertemu setelah sekian tahun lamanya. Netra Achala menatap lekat pada mata Jeuna yang bulat.

"Maaf kenapa, Kak?"

"M-maaf, kalau nanti kamu akan direpotin oleh Vanilla," ungkapnya sedikit terbata, "kakak titip Vanilla, ya. Mungkin setelah ini kakak nggak bisa ketemu Vanilla lagi."

Gantian Achala yang menggenggam tangan Jeuna. Ia benar-benar tidak mengerti persoalan yang tengah dihadapi wanita ini dengan mantan suaminya. Terlalu rumit untuk ia mengerti. Namun, pernah merasakan gagal dalam berumah tangga membuat Achala seketika iba. Merasa senasib dengan apa yang Jeuna alami.

"Kak Una nggak usah khawatir soal Vanilla. Anaknya baik, kok. Lagian temannya anakku, berarti anakku juga." Achala tersenyum menenangkan.

Jeuna menatap lekat wajah Achala. Beberapa kali Achala memalingkan wajah, merasa bingung arti tatapan wanita itu. Achala berdeham demi mengusir rasa canggung yang kembali tercipta. Ia mengalihkan atensi pada dua bocah di sebelahnya. Seperti biasa, kedua anak itu sibuk dengan buku bergambar dan dunia mereka sendiri.

"Berhubungan sama orang yang masih terikat dengan cinta masa lalunya, itu sulit ya, Cha? Selamanya mereka akan tetap terikat."

Sebentar, ini Kak Una pertanyaan atau pernyataan.

Achala menoleh saat kalimat itu tiba-tiba disampaikan oleh wanita yang masih menatapnya. Menyelami manik bulat Jeuna, mencari tahu penyebab kegundahan hati perempuan itu, Achala tak menemukan jawaban di sana. Jeuna masih tetap tenang, menyembunyikan permasalahan yang mungkin sangat berat untuk ia pikul sendirian.

"Aku mencintai dia sejak lama, tetapi aku juga menjadi salah satu saksi saat dia menyatakan cinta pada perempuan lain. Aku mengambil keputusan bodoh yang mungkin aku sesali seumur hidup."

Achala mendengarkan segala penuturan Jeuna, membiarkan wanita itu bercerita yang mungkin sedikit bisa mengurangi beban yang ia tanggung selama ini.

"Aku pikir, setelah adanya Vanilla di tengah kami. Hubungan kami akan harmonis seperti rumah tangga lainnya, tetapi aku salah."

Jeuna meremas tisu yang ia genggam, membentuk bola tisu dengan bentuk tak beraturan. Wajahnya telah menunduk menelisik hasil karyanya pada tisu yang ia koyak dengan perasan gelisah.

"Laki-laki itu masih memikirkan cinta dan masa lalunya. Selama menjalani pernikahan dengannya, aku benar-benar sakit."

"Hubungan Kak Una dan papanya Vanilla ...."

"Aku terlalu buta dengan perasaanku, Cha. Dia datang menawarkan surga dunia dengan bodohnya aku menerima."

Achala meraih jemari Jeuna, menggenggam erat tangan wanita itu. Achala tak habis pikir, bagaimana kejam dan bajingannya pria yang berstatus mantan suami Jeuna.

"Setelah aku memberinya Vanilla, ia membuangku tanpa perasaan dan kembali pada wanita yang ia cintai, bahkan untuk menemui anakku saja aku kesulitan."

Jeuna menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Netra bulatnya menatap sendu buah hatinya pada meja di sebelah.

Memalingkan wajahnya menghadap Achala, Jeuna kembali berkata, "Aku tidak punya pilihan lain selain meninggalkan Vanilla bersama mereka, tapi bagaimanapun itu ... aku tetap bersyukur putriku punya bunda, papa, dan tumbuh dengan baik. Kalau ia bersamaku, mungkin Vanilla tidak akan mendapat kasih sayang dari seorang ayah."

Cerita yang wanita itu sampaikan cukup mengiris hati Achala. Apalagi menyangkut ibu dan anak yang dipaksa berpisah. Namun, diamnya Jeuna membentuk kepribadian yang tangguh. Tak Achala lihat barang setitik air mata pun pada wanita ini. Mungkin ia menyembunyikannya atau wanita itu sudah terlalu lelah menangis. Sekarang sedikit banyaknya Achala mengerti permasalahan orang tua Vanilla dan siapa bunda yang disebut anak itu tadi.

Jeuna mendongak, senyumnya terlukis samar. Menarik beberapa lembar tisu lagi dari dalam kotak berwarna merah muda, Jeuna menyeka sudut matanya yang terlanjur berair.

"Oh, iya. Aku denger-denger kamu nikah sama Affandra? Akhirnya, dia bisa dapetin kamu. Nggak bertepuk sebelah tangan lagi."

Achala membulatkan matanya, ia baru tahu perihal ini. Affandra, pria yang jadi suaminya sekarang itu, ternyata menyimpan perasaan untuknya, bahkan sejak lama?

"Eh, tunggu. Maksudnya, Mas Affandra udah suka aku dari lama, gitu, Kak?"

Mata bulat Jeuna mengerjap untuk beberapa saat. Achala benar-benar tidak tahu atau malu mengakuinya?

"Kamu nggak tahu, Cha? Affandra udah suka kamu sejak kalian maba kali. Cuma ya kalah cepat dengan temennya. Kamu, sih, terlalu fokus di satu cowok doang. Cuma Lintang doang."

Achala menelan kasar salivanya, menunduk sejenak saat nama Lintang disebut secara gamblang oleh Jeuna. Nama yang mungkin seumur hidupnya tidak ingin ia dengar lagi. Apalagi bertemu dengan si pemilik nama. Setelah kejadian tak berperikemanusiaan beberapa tahun silam terjadi, Achala sangat membencinya.

Tanjung Enim, 27 September 2022
Republish, 20 Maret 2023
Salam Sayang
Rinbee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top