Bujur Bumi 13 : Untuk Vanilla
Pagi yang sibuk untuk seorang Achala Annandhita. Ia harus menyiapkan segala keperluan dua bayi dengan usia yang berbeda. Lima menit yang lalu ia sudah selesai membantu si kecil menemukan kaus kaki favoritnya. Sekarang wanita itu tengah menyiapkan sarapan untuk mereka. Achala berharap, tidak ada panggilan dari si dewasa untuk menemukan sesuatu yang tidak pria itu temukan. Semoga semua yang Achala siapkan tadi sudah lengkap sesuai kebutuhan suaminya hari ini.
Wanita itu sibuk mengolesi selai di atas roti bakar. Tubuh ramping yang sudah dibalut seragam mengajar itu bergerak lincah, menumpukkan roti selai di atas piring porselen berwarna putih gading. Menuang susu untuk Juang dan kopi hitam untuk Affandra.
"Pagi, Honey."
Achala mengangkat kepala, tersenyum lebar saat pria itu mendekatkan wajahnya untuk meminta morning kiss yang biasa ia dapat dari istrinya. Affandra duduk di seberang Achala, meraih satu piring berisi roti lapis selai dan memulai sarapannya.
"Anaknya mana, Sayang?" Affandra bertanya di sela kunyahannya.
Biasanya, anak kecil itu sudah siap dengan duduk di kursi meja makan yang sudah disetel untuk dirinya. Menikmati susu cokelat hangat favoritnya. Namun, pagi ini belum juga Affandra temukan anak itu di meja makan. Hanya ada tas sekolah berwarna biru lembut di atas meja.
"Tadi udah di sini, tapi balik ke kamar. Katanya mau bawa sesuatu untuk temen ceweknya. Kemarin temannya itu ngambek gitu."
Affandra menyesap kopi dari cangkir keramik. "Temen cewek? Vanilla?"
"Emang Juang punya temen cewek yang lain? Kan tahu sendiri, anaknya nggak mau main sama anak perempuan lain." Achala menggeleng samar mengingat tentang putranya yang tidak mau berteman dengan anak perempuan. Ya ... selain Vanilla.
"Abang itu belum punya sepupu atau saudara perempuan. Sekalinya ketemu sama tante yang modelan kayak Biela. Suka jahilin dia. Makanya dia suka sebel temenan sama anak perempuan." Affandra menjelaskan perihal bagaimana anaknya tidak punya teman perempuan.
Achala menarik senyum. Ada benarnya juga ucapan suaminya. Mungkin karena anak itu belum punya saudara atau pun sepupu perempuan, baik dari pihak Affandra maupun dirinya sendiri.
Achala kembali berujar, "Semalem dia cerita, mau bawain bunga dari kertas origami untuk Vanilla sebagai permintaan maaf."
"Manis banget bibitku itu." Affandra berucap pongah.
Achala berdecih. Heran, kenapa suaminya itu bangga sekali dalam hal seperti ini. Seolah anaknya itu sudah beranjak dewasa, padahal enam tahun saja belum genap.
"Macha, bagus tidak?" Suara nyaring itu bergema mendekat.
Juang berlarian membawa dua kertas origami yang sudah berbentuk bunga lipat. Achala menelisik yang ada di tangan Juang, bunga dari kertas lipat dengan berbeda warna itu cukup apik untuk buatan anak lima tahun. Walaupun, ada beberapa garis lipatan tidak lurus sempurna, tapi biarlah. Toh, di dunia ini juga tidak ada yang benar-benar lurus.
"Bagus, Sweetie. Oh, iya agar lebih manis Abang kasih ini juga ya buat Vanilla." Achala mengangsurkan dua bungkus cokelat dan permen.
Telunjuk kecil itu menggaruk pelipisnya. "Macha, tahu dari mana kalau ini buat Vanilla?" Juang bingung dari mana sang mama tahu, padahal ia tidak menyebutkan nama saat bercerita semalam.
"Hmmm ... tahu, dong. Macha bisa tahu walaupun Abang nggak cerita."
"Terima kasih, Macha."
Tanpa pertanyaan lagi, anak itu menyimpan cokelat dan permen pemberian sang mama ke dalam tasnya. Juang merangkak naik ke tempat duduk, netra kecilnya berpusat pada roti bakar yang Achala masukkan ke sebuah wadah bekal.
"Macha, abang bekalnya roti lapis bakar diberi selai?"
Achala mengangguk, berhenti dari kegiatannya memasukan potongan roti bakar. Menatap sang anak, menanti bibir kecil itu berkata lagi. Kalau-kalau minta diganti bekal yang akan ia bawa.
"Mau ganti? Mama juga masak nasi goreng sama nuget."
Juang menggeleng pelan. Bibirnya mengerucut, pipinya mengembung. "Abang boleh bawain roti untuk Vanilla juga nggak?"
"Boleh, mama lebihin dua potong ya buat Vanilla."
"Tapi Macha ...."
Achala menutup wadah bekal berwarna biru muda itu. Wanita itu duduk di samping sang anak, turut serta dalam kegiatan sarapan pagi yang tak boleh mereka lewatkan.
"Kenapa, Bang?"
"Abang mau nuget, Macha. Rotinya buat Vanilla aja. Kata Vanilla, roti bakar buatan Macha enak. Nggak seperti buatan susternya."
Achala beranjak, hendak melangkah ke kabinet penyimpanan mengambil satu wadah yang lain untuk bekal nasi goreng nuget Juang.
"Sayang, sarapan dulu. Nanti aja nyiapinnya." Affandra menegur sang istri, netranya melirik sang anak. "Macha sarapan dulu, ya, Bang."
Pria itu tahu betul kebiasaan Achala yang terkadang melewatkan sarapan demi menyiapkan kebutuhan putranya dan dia.
"Tapi, Mas-"
"Sarapan dulu!" Affandra berujar tegas. "Nanti setelah kamu selesai sarapan, kan bisa."
Tak mau membantah, Achala kembali duduk. Meraih roti tawar dan mengolesinya dengan selai cokelat kacang kesukaannya. Obrolan hangat tercipta dari keluarga kecil itu. Mendengarkan celotehan sang anak tentang anak perempuan yang menjadi temannya di sekolah. Tentang Affandra yang bercerita progres tender yang sedang ia perjuangkan.
Menjadi seorang istri sekaligus ibu adalah hal yang sangat Achala syukuri. Di satu sisi ia bisa menjadi teman berbagi cerita dengan sang suami dalam hal pekerjaan, dalam hal mengurus buah hati mereka, dan masih banyak lagi rencana mereka di masa depan.
Di sisi lainnya, wanita itu sangat menikmati perannya sebagai madrasah pertama bagi anaknya. Memberi nasihat untuk putra semata wayangnya, membisikkan kalimat cinta tiada tara, dan memilah mana yang bahaya dan aman untuk anaknya melangkah saat berada di dunia luar.
Acara sarapan sudah selesai, orang pertama yang beranjak dari kursi makan adalah Affandra. Pria itu meraih jas yang sengaja disampirkan di sandaran kursi kemudian meraih tas.
"Papaf panasin mobil dulu, ya."
Affandra keluar dari kursi makan, mengecup puncak kepala sang anak sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan. Tak berbeda jauh dari suaminya, Achala pun beranjak keluar dari meja makan. Meraih sepatu kecil sang anak kemudian berjongkok di depan Juang yang masih duduk di kursi.
"Macha tahu tidak?"
"Mama tidak tahu, Sayang. Apakah ada hal serius yang ingin Abang sampaikan?"
Achala mengikuti alur sang anak yang terkadang menggunakan bahasa terlampau baku. Menggelikan memang, tetapi cukup menyenangkan mendengar anak lima tahun berbahasa sesuai aturan kaidah bahasa Indonesia.
"Kemarin Vanilla cerita, mamanya ada lagi."
Achala mendongak, belum bisa mencerna maksud "ada lagi" yang Juang sampaikan. Memangnya selama ini ibu anak perempuan itu ke mana? Apakah maksudnya adalah sang ayah seorang duda yang baru menikah lagi.
"Wah, Vanilla punya mama baru?"
"Bukan mama baru, tapi mama lama, Macha."
Selesai memasang sepatu anaknya, Achala kembali memeriksa isi tas Juang. Takut ada sesuatu yang belum masuk ke dalam sana. Tak lupa bekal Juang ia masukkan ke tas bagian depan.
"Memangnya mama Vanilla ke mana, Sayang?"
"Vanilla bilang, dia tidak pernah bertemu dengan mamanya dari kecil. Dia tinggal sama papa dan suster. Mamanya pergi ninggalin dia."
Memangnya kalian sudah besar? Kalian sekarang juga masih kecil, Nak.
Achala tersenyum miris. Ia tak mau langsung mempercayai cerita Juang. Memang, anak kecil tidak pernah berbohong, tetapi perlu diingat juga bahwasanya anak kecil masih dipenuhi dunia khayalan. Jika cerita ini memang benar adanya, miris sekali rasanya. Di saat ia berjuang demi buah hati, sementara ini ada seorang ibu dengan teganya pergi meninggalkan sang buah hati begitu saja.
"Ini untuk Vanilla. Bilang Vanilla, kalau suka roti bakar buatan mama, minta aja lagi. Anggap aja mama, mama Vanilla sendiri."
Tanjung Enim, 23 September 2022
Republish, 20 Maret 2023
Salam Sayang
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top