Bujur Bumi 12 : Foto Masa Lalu

Ibu dan anak itu dipertemukan takdir, diikat dengan hubungan sambung. Achala bahagia bisa menjadi peran penting dalam hidup bocah lima tahun itu. Anak laki-laki yang menjadi pelipur laranya.

Rasanya masih Achala ingat jelas, bagaimana suara tangisan Juang saat masih bayi. Bagaimana suara menggemaskan anak itu untuk pertama kali memanggilnya mama. Sungguh, anak laki-laki duplikat ayahnya itu membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama.

Berjarak satu meter darinya, anak itu duduk di depan meja lipat, sibuk menuliskan kata per kata pada buku tugasnya. Wanita itu tersenyum samar, memandangi anugerah yang Tuhan titipkan padanya. Jika dilukiskan, miliaran aksara indah pun tak sebanding dengan indahnya hadiah Tuhan yang satu ini.

"Kok ngelamun?"

Achala tersentak, kecupan basah di dahinya membuyarkan kenangan masa lalu tentang makhluk polos yang sudah tumbuh dengan sangat baik. Wanita itu tersenyum, waktu sudah sangat banyak bergeser tanpa ia sadari.

"Udah selesai mandinya? Kok, nggak manggil. Tumben ...," sindir Achala pada suaminya.

Biasanya, pria serupa dengan Juang itu tidak pernah beres menemukan barang, bahkan untuk sesuatu yang kecil saja semua keperluannya disiapkan oleh Achala. Termasuk hal sepele seperti pakaian tidur yang akan ia kenakan. Bak buah jatuh tak jauh dari pohon, anak dan bapak itu sama saja. Sama-sama bergantung pada Achala.

Affandra menghempaskan bobotnya di sofa sebelah Achala, menyimpan lengannya di belakang punggung wanita itu. Sekali lagi, kecupan basah ia bubuhkan di pipi kiri Achala.

"Dia ngerjain PR?" tanya Affandra, melirik Juang yang fokus pada buku dan alat tulisnya.

"Jangan diganggu!" Achala memberi peringatan pada pria itu.

"Cuma nanya doang, Sayang. Galak banget, sih."

Achala mencebik, wanita itu sudah hafal betul segala tingkah suaminya. Tipe ayah yang suka menjahili anaknya, tetapi saat sang putra sudah merengek sampai menangis semua akan ia kembalikan pada istri.

Juang mendongak, mata kecil itu menatap kedua orang tuanya bergantian. Seruan dari arah sofa membuyarkan konsentrasinya. Pensil yang ia gunakan untuk menulis sudah berubah fungsi menjadi penggaruk di kepalanya.

"Ada apa, Nak?"

"Macha, jika U untuk umbrella. Lalu, V untuk apa?"

Anak itu sedang mendapat tugas menuliskan nama benda dan hewan berdasarkan abjad dalam bahasa Inggris. Untuk huruf yang ia sebutkan tadi, Juang kesulitan sehingga meminta bantuan dari sang mama.

"V for Vanilla. And Vanilla for Juang Winanra Manggala Putra!" seru Affandra menimpali ucapan anaknya.

Namun, bukannya mendapat pencerahan. Juang justru menyatukan alisnya karena bertambah bingung. Jelas-jelas perintah pada buku tugasnya menyebutkan nama benda dan hewan, bukan nama orang.

"Nama benda, Papaf. Bukan nama orang. Gimana, sih, Papaf. Begitu saja tidak tahu."

Achala tertawa puas saat sang suami mendapat cibiran dari putra semata wayangnya. Ia paham ke arah mana ucapan Affandra. Wanita itu hanya menggeleng tidak habis pikir.

"Tuh, dengerin! Nama benda, Papaf. Bukan nama orang. Lagian anak masih kecil diajarin yang nggak-nggak." Achala semakin gencar mencibir Affandra.

"Macha, tolong bantuannya. Abang tidak bisa berpikir lagi. Kepala abang penuh."

"Penuh dengan apa, Nak?"

Achala kembali tergelak, hanya karena penggunaan bahasanya yang baku, ucapan Juang menjadi sangat menggemaskan. Perempuan itu mengedarkan pandangan mencari ide benda di sekitarnya. Netranya jatuh pada benda bulat yang tak henti bergerak mengelilingi luasnya ruang keluarga.

"Hmm, V for Vacum?" Achala menunjuk Robotic Vacum Cleaner yang ia maksud.

"Iya, benar. Macha hebat, papaf tidak!" serunya lagi, kemudian kembali fokus melanjutkan tugas menulisnya.

Achala menoleh pada pria di sampingnya. Si suami sudah sibuk dengan iPad-nya, mungkin tidak mendengar seruan sang anak yang kembali meledeknya. Tangan Achala terulur ke wajah sang suami, membenahi rambut yang jatuh menutupi dahi si pemimpin keluarga.

"Sayang, lihat, deh." Affandra mengangsurkan iPad-nya.

Achala menelisik barisan kata dan angka yang tertera di sana. Sedikit banyaknya wanita itu paham tentang laporan bisnis yang sedang Affandra bangun. Mengingat Achala adalah lulusan ekonomi terbaik pada masanya dan punya riwayat kerja yang cukup baik.

"Ini laporan proyek di Surabaya? Apa nggak terlalu berisiko, Mas? Peluangnya kecil banget, loh, ini." Achala menggerakkan jarinya pada layar benda canggih tersebut. Menggeser pada tampilan layar berikutnya.

"Makanya kamu doain terus suamimu ini, biar bisa menang di tender kali ini. Ya, walaupun peluangnya kecil."

"Pasti! Aku selalu doain suamiku tercinta. Semoga diberi kemudahan dan keselamatan dalam kerja. Diperlancar rezekinya."

Affandra tersenyum lebar. "Amin. Thank you , Honey."

"Macha, abang udah selesai mengerjakan PR."

Achala menoleh, mengalihkan atensi pada putra semata wayang yang berjalan mendekat membawa buku tulisnya, meminta sang mama untuk mengoreksi hasil kerjanya.

Perempuan itu meneliti barisan kata yang Juang tulis. Sesekali senyumnya merekah saat melihat ada huruf yang dirasa penulisannya kurang rapi. Belum lagi ukurannya yang tidak sama. Ada yang terlalu besar, ada yang terlalu kecil. Ada pula yang terlalu berdempetan dan berjauhan.

"Iya, udah bagus, tapi besok-besok nulisnya lebih rapi lagi ya, Nak. Pinter Abang."

Bocah yang bergelayut manja di pangkuannya itu tersenyum lebar. Pelukan di pinggang Achala ia eratkan. Achala mengecup puncak kepala Juang, mengusap belakang kepalanya dengan sayang.

"Macha, ada bunda."

Achala menunduk, memperhatikan wajah Juang. Ia bingung bunda mana yang anak itu maksud. Mengingat di sekolah anak itu, ada beberapa guru yang dipanggil dengan sebutan demikian. Atau ... mendiang bunda kandungnya?

Juang meraih buku tulisnya dari tangan Achala, membuka halaman terakhir. Netra Achala melebar saat Juang mengangsurkan dua lembar potret masa lalu. Bukan terkejut karena Juang dapat mengenali sosok Khairani Ningtyas bersama ayahnya dalam foto itu. Bagaimanapun, Khairani tetap ibu kandung Juang meskipun anak itu belum pernah melihat sang ibu kandung, tetapi melalui foto, Juang tetap diajarkan bahwasannya wanita lemah lembut itu adalah bundanya.

Namun, yang menjadi alasan Achala mendadak gagu saat foto masa lalu itu ada di tangannya adalah lembar foto yang satunya. Atau tepatnya sosok yang ada di barisan paling kanan itu sangat Achala kenali. Samar Achala mengingat, foto yang diambil saat acara di kampus mereka dulu. Saat ia masih menjadi junior Affandra. Momen setelah acara itu yang sangat Achala ingat, di mana ia baru saja menerima pernyataan cinta dari pria yang tak lain adalah teman baik dari suaminya.

"Mantan kamu apa kabar?" Affandra bertanya tiba-tiba.

Achala sontak menoleh pada sosok yang melemparkannya pertanyaan. Untuk apa sang suami menanyakan kabar mantannya? Setelah putusan sidang perceraian Achala dan pria bajingan itu hingga sekarang, Achala benar-benar tidak peduli dengan sosok penoreh luka itu. Mau di posisi seperti apa pun, bagaimanapun, wanita itu tetap tidak bisa memaklumi perbuatan dari mantan suaminya.

Achala berdeham singkat, bangkit dari sofa yang menopang bobotnya hampir satu jam lamanya. "Aku mau ke dapur. Mas mau kopi atau cokelat hangat?" tawarnya pada si pria dengan gestur tubuh yang masih menyisakan kecanggungan.

Tanjung Enim, 22 Sept 2022
Republish, 15 Maret 2023
Salam Sayang
Rinbee 🐝

Bagaimana, tahu kan sekarang siapa sosok mendiang ibu kandung Juang.

Yang kemarin nanya siapa visualisasi Juang. Ini aku spill 👇
Wkwkwkk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top