Bujur Bumi 11 : Benar-benar Anak Affandra
"Mbak, bagi tips dong biar nggak ribut mulu sama pasangan."
Achala yang tengah membereskan buku-bukunya di atas meja mengerutkan dahi dalam, ia menoleh pada sosok yang baru saja datang, duduk di sebelahnya dengan secara tiba-tiba meminta petuah tentang pasangan.
Jika sudah begini, Achala bisa menebak, teman sejawat yang sudah ia anggap seperti adik sendiri ini pasti sedang perang dingin dengan sang kekasih. Tak menghiraukan Kalila, Achala masih fokus pada kegiatan membereskan buku dan tasnya.
"Kamu belum mau pulang?" tanya Achala seraya duduk di samping gadis itu setelah selesai memasukkan buku di laci mejanya.
Kalila menggeleng, bahunya yang bersandar di tempat duduk sedikit merosot. Gadis itu menelisik jam tangan di pergelangan tangannya, helaan napas singkat ia embuskan.
"Nantilah, Mbak. Masih sebel aku, tuh sebenernya."
"Kenapa? Ribut lagi?"
Gadis itu menoleh ke kanan, alisnya terangkat. "Mbak, nikah sama duda beranak satu kayak Pak Affandra, enak nggak? Kata temenku, kalau sama duda itu kita lebih diratukan, gitu."
Achala tertawa renyah mendengar ucapan Kalila. "La, pasti pernah denger istilah yang katanya perempuan akan diratukan jika pada pria yang tepat. Ya, itu. Mau statusnya duda atau bujangan, kalau dia orang yang tepat akan punya caranya sendiri membahagiakan pasangan."
"Tapi pacarku itu cuek banget, Mbak. Kayak nggak cinta gitu, loh."
"Kamu kenal dia udah berapa lama? Selama ini sikap dia gimana?" Achala bertanya sembari mengetikkan sesuatu menghubungi Pak Dirman—sopir yang biasa menjemput ia dan Juang.
"Udah dari kuliah, sekitar semester tiga. Sikap dia ... ya, gitu. Emang rada mirip kulkas berjalan dari dulu. Nggak ada romantis-romantisnya kayak cowok orang-orang."
"Ya, berarti emang udah karakter bawaan dia gitu, La. Kamu harus bisa ngerti itu. Nggak semua cowok love language-nya sama, La."
"Iya, Mbak bener. Mungkin aku aja yang kurang bersyukur punya dia."
Menarik napas panjang, perempuan itu meraih tas kemudian membereskan buku-buku di atas mejanya. Bel tanda pulang sudah berbunyi sejak tiga puluh menit lalu.
"Panjang umur, baru juga diomongin." Kalila bergumam, ia kembali menoleh pada Achala. "Mbak, masih lama? Aku udah dijemput, nih. Atau mau aku temenin sebentar?"
Achala menggeleng, memberi isyarat agar Kalila segera menyelesaikan urusannya dengan sang pacar. Senyum Achala mengembang saat Kalila berpamitan.
Netra Achala nanar, memperhatikan Juang yang berlarian dari koridor hingga masuk ke ruang guru dengan riang. Anak itu melompat-lompat kecil memberitahu Achala tentang orang yang ia temui.
"Pelan-pelan ngomongnya. Mama nggak paham, Sayang."
Tangan kecil yang terkepal itu bergerak ribut, kemudian menunjuk ke arah luar. Bibir mungil serupa milik Affandra itu berujar pelan, mengulangi ucapannya dengan intonasi yang wajar.
"Ada papaf di depan sana, Macha. Abang lihat papaf mau ke sini. Kita pulang sama papaf, ya, Macha?"
Achala memeriksa ponselnya yang disimpan di dalam tas. Tidak ada pesan dari suaminya atau panggilan masuk. Tumben sekali pria itu tidak mengabari jika akan menjemput mereka.
Namun, pesan yang baru saja masuk menjadi jawaban atas pertanyaan di benaknya. Pesan dari Pak Dirman itu memberi tahu jika Affandra yang akan menjemput mereka karena sekalian ada yang mau di urus di yayasan.
"Iya, kita pulang sama papaf. Di mana papafnya tadi?"
Juang menarik tangan Achala, membawa wanita itu ke depan pintu ruang guru. Telunjuk kecil itu mengarah ke seberang lapangan. Benar, Achala bisa melihat jika pria yang mengenakan setelan jas abu gelap dengan dalaman kemeja putih itu suaminya. Persis seperti tampilan yang ia siapkan pagi tadi. Netra Achala terus mengikuti langkah Affandra yang berjalan di tengah lapangan bersama para jajaran Yayasan Cendana Bakti.
"Macha, abang mau ke sana. Mau ke papaf."
"Papaf lagi sibuk, Sayang. Nanti aja, ya?"
Anak itu mengentakkan kakinya, wajahnya merengut. Meski merasa kesal, Juang tetap mematuhi titah sang mama. Tangan kecilnya meraih telapak tangan Achala, masih memperhatikan gerak-gerik si dewasa yang sudah berjalan di koridor.
"Papaf!" teriak Juang memanggil saat keberadaan Affandra sudah tidak begitu jauh dari posisi mereka berdiri.
Pria dewasa yang Juang panggil mengembangkan senyuman, tangannya terangkat memberi kode agar putra semata wayangnya menghampiri ke sana.
"Pelan-pelan aja, Bang." Achala memperingatkan Juang yang berlarian menuju ke tempat Affandra.
"Juang itu benar-benar anak Affandra."
Sontak Achala menoleh pada sumber suara. Si pelaku yang memberikan pernyataan tersebut berdiri dengan kaki rimpuhnya. Achala sempat mengernyit dengan pernyataan wanita berusia sekitar 57 tahun itu. Jelas Juang adalah anak Affandra, anak siapa lagi? Anak kucing?
Achala mengangguk ramah pada wanita yang tak diketahui sejak kapan berdiri di belakangnya. Wanita itu membenahi hijabnya yang sedikit berantakan, dahinya terlihat masih lembab.
"Selamat siang, Bu. Habis dari salat zuhur?" sapa Achala bisa menebak jika wanita tersebut sehabis dari musala belakang.
"Selamat siang. Belum pulang, Bu?" balas wanita itu.
"Sebentar lagi, Bu. Masih nungguin Pak Affandra belum kelar sama orang yayasan."
Achala menarik senyum pada wanita yang ia ketahui guru senior di SMP Cendana Bakti. Dua tahun lagi wanita itu akan pensiun.
Achala turut mengikuti ke mana pandangan wanita itu. Manik tua itu memperhatikan Affandra bersama orang-orang yayasan dengan Juang berada di gendongannya. Achala tak menanyakan maksud dari pandangan itu, tetapi bisa ia lihat jika pandangan tersebut serupa seorang ibu yang bangga pada anak laki-lakinya.
"Saya itu dulu guru biologi Affandra," tukasnya mengalihkan atensi ke Achala.
"Oh, iya. Berarti ibu tahu betul bagaimana Pak Affandra waktu SMP, ya, Bu?" Achala tertawa renyah.
Guru Mas Affa waktu masih SMP. Beliau pasti banyak nyimpen aib Mas Affa.
"Dari waktu TK, SD, dan SMP, Affandra itu sudah sekolah di sini. Baru SMA dia sekolah di luar. Katanya bosan sekolah di sekolahan punya bapak sendiri." Wanita itu tertawa pelan.
Achala memutar badan menghadap wanita itu. "Bu, Pak Affandra dulu waktu masih SMP, anaknya gimana? Bandel nggak?"
Wanita itu mengusap lengannya, tawa kecil menghiasi bibir dengan lipstik natural tersebut. Ia berkedip sejenak, mungkin mengumpulkan kenangan tentang anak laki-laki yang dulu muridnya, sekarang menjadi pimpinan di yayasan tempat ia mengabdi.
"Kalau mau melihat Affandra semasa sekolah, lihat saja anaknya, persis. Affandra anak yang cukup cerdas. Cuma saya ingat betul, waktu itu saya pernah hukum Affandra karena bermain-main saat praktik di lab, dia terang-terangan mengatakan tidak suka dengan mata pelajaran IPA, dia lebih suka mapel ekonomi, tapi meskipun begitu nilai biologinya selalu bagus."
Achala mengedarkan pandangan, menyapu tiap sudut lapangan dan koridor. Tidak ia temukan pria yang sedang ia dibicarakan bersama guru biologinya. Mungkin sudah masuk ke aula bersama para jajarannya. Hanya ada Juang di depan pintu aula. Entah sedang apa anak itu di sana, tertawa salah tingkah di antara siswi-siswi SMP.
Benar-benar anak Affandra, nggak bisa lihat cewek cantik dikit. Ngapain cobak dia di sana, mau godain cewek SMP? Kamu masih TK, Nak.
Tanjung Enim, 19 September 2022
Republish, 12 Maret 2023
Salam sayang ❤️
Rinbee 🐝
Yuuhuuu... Selamat hari Minggu bestie semuanya 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top