Bujur Bumi 10 : Deeptalk
"Wahai rakyatku, besok ada pesta panen raya. Kalian diwajibkan untuk mengumpulkan madu satu sendok saja dari setiap tempayan madu di rumah kalian."
Buku dongeng yang terbuka itu menampilkan gambar yang menarik dari setiap lembarnya. Hampir setiap malam menjadi rutinitas Achala membacakan dongeng sebelum menghantarkan Juang ke dalam mimpinya.
Dari sekian judul buku cerita yang Achala beli minggu lalu, malam ini pilihan Juang untuk Achala bacakan adalah kisah 'Raja Lebah dan Sesendok Madu'. Karya dari salah satu penulis buku anak-anak ini sangat disukai oleh ibu dan anak itu, selain tampilan buku yang menarik, isi ceritanya pun inspiratif.
Baru dua lembar yang Achala baca, ia mengintip ke wajah Juang, memastikan bocah itu sudah terlelap atau belum. Namun, Achala tergagap saat Juang mendongak. Mata anak itu masih terjaga. Baiklah, Achala harus menyelesaikan membaca dongengnya sampai anak laki-laki yang bersandar nyaman di dadanya itu benar-benar terbuai di alam mimpi.
"Setelah semua rakyat menyumbangkan madunya, sang raja langsung memerintahkan prajurit untuk menyimpan tempayan besar tersebut di dalam ruang penyimpanan," lanjut Achala membuka lembar berikutnya.
Telunjuk kecil itu mengarah ke satu gambar. "Lihat lebahnya gendut, Macha. Satunya lagi kurus. Rakyat lebahnya mendorong guci madu ke dalam goa," ujar Juang menelisik tiap adegan yang digambarkan pada buku cerita tersebut.
Achala menanggapi ucapan Juang dengan anggukan, setelah selesai menyelesaikan ucapannya bocah itu tampak membuka lebar mulutnya, matanya pun sudah mulai meredup. Achala sempat melirik jam dinding yang tergantung di atas meja belajar Juang, Jam dengan motif khas anak-anak tersebut menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit.
"Ketika tempayan dibuka, raja terkejut dan bersedih ketika melihat tempayan tersebut hanya berisi air. "
Tidak hanya sekadar membacakan, Achala pun sangat mahir mengekpresikan dari setiap dialog yang terdapat pada buku dongeng. Suaranya yang lembut menjadi faktor utama anak itu lebih cepat menjemput mimpi.
Achala menutup buku tersebut dan menyimpannya kembali di lemari meja belajar Juang. Pertahanan anak itu benar-benar kalah dengan rasa kantuknya. Ibu dari satu anak itu membenahi posisi tidur sang anak, menyelimutinya, dan membubuhkan satu kecupan ringan di dahi bocah laki-laki itu.
Setelah semua berada pada posisi yang benar, Achala meninggalkan kamar anaknya dan segera beristirahat juga. Senyum Achala mengembang sempurna. Dua langkah ia melewati pintu kamar mereka, keberadaan sang suami sudah bisa ia tangkap. Pria dengan setelan piama berwarna gelap itu duduk bersandar di kepala tempat tidur, tangan yang selalu menggenggam hangat itu lincah di atas layar iPad-nya.
"Mas, masih ada kerjaan?"
Achala merangkak naik ke tempat tidur, memposisikan dirinya di samping sang suami. Pria itu menoleh, mencondongkan wajahnya lebih mendekat ke wajah sang istri. Kecupan singkat dari bibir Affandra, Achala dapatkan.
"Cuma meriksa email aja, kok, Sayang."
"Mas, aku mau cerita, deh. Tahu nggak—"
"Di store Gucci ada tas terbaru?"
Achala mengerutkan dahi, ucapannya terpotong. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba sang suami menyebutkan salah satu brand ternama tersebut.
"Kok, store Gucci, sih! Bukan itu, tapi—"
"Tapi di store Balenciaga?"
Bibir wanita itu mencebik. Ia kesal, ucapannya selalu dipotong dengan menyebutkan merek dagang itu. Achala semakin sebal dengan Affandra ditambah dengan pria itu tanpa dosa menyengir menggodanya.
"Nggak tahu, akh! Sebel aku sama kamu. Orang aku mau cerita tentang Biella." Achala menarik selimut membelakangi Affandra.
Si pria tergelak, menyimpan iPad-nya di nakas. Kemudian beringsut memeluk dari belakang wanita yang terlanjur merajuk itu. Affandra kecup berulang belakang hingga bahu Achala, mengeratkan pelukannya di pinggang wanita itu.
"Mau cerita apa, Sayang? Hmm? Kayaknya serius banget. Maaf, mas cuma bercanda."
Achala berbalik, menatap wajah menyebalkan suaminya. "Aku mau cerita, bukan mau minta tas baru."
"Baiklah, ini waktunya deep talk. Jangan bercanda," ujar Affandra, tetapi mimik wajahnya tidak menggambarkan demikian.
Pria itu masih saja tersenyum menggoda. Wajah merajuk Achala menjadi hal yang paling menyenangkan untuk ia saksikan.
"Pada suatu hari ...." Affandra kembali berucap memancing rasa kesal Achala.
"Tuh, kan! Nyebelin banget. Udah, akh. Nggak jadi ceritanya!"
Affandra semakin tergelak, meraih tubuh istrinya agar lebih merapat tanpa menyisakan jeda. Menghidu aroma body lotion istrinya adalah perihal yang tak dapat ia lewatkan. Aroma manis dan menyegarkan itu menjadi candu jika sudah menyatu di kulit tubuh Achala, terutama bagian leher. Pria itu senang sekali menciumi bagian itu.
"Mau cerita nggak?" tanya Affandra semakin intens mencumbu tengkuk Achala.
Achala beringsut mendekati sang imam keluarga dengan posisi tubuh sedikit menyamping, wanita itu menyandarkan wajahnya di dada ternyaman suaminya, lengan kurus Achala memeluk erat perut pria kecintaannya. Tangan Affandra tak lantas diam saja, ia mengusap lembut rambut kelam sebahu istrinya, berhenti menggoda dan menjadi pendengar yang baik.
"Tadi ada Biel mampir ke sini. Dia kasih kabar, kalau dia udah hamil." Achala tertawa getir. "Tadi Juang tanya ke aku, di perut macha kapan ada adik bayinya? Mas, tahu nggak, bahkan dia udah kasih sebutan untuk adiknya."
Affandra menipiskan bibir, penasaran juga sebutan apa yang anaknya berikan untuk calon adiknya kelak. "Emang, namanya siapa, Sayang?"
"Little Boo. Juang panggilnya adik Little Boo. Gemes banget, ya."
Affandra mengeratkan pelukan, tidak ingin wanita itu menjadi terbebani dengan pertanyaan polos dari putranya. "Are you okey? Maafin, ya. Dia belum ngerti apa-apa. Tadi Biella juga udah ngabarin mas."
Achala sedikit mendongak. "Kok, minta maaf? Ya, aku nggak apa-apa. Lagian wajar aja Juang minta adik."
"Wah ... kode, nih? Yuk, kita kasih. Lembur sampe pagi mas jabanin."
"Mas! Mulai, deh. Nggak bisa dipancing dikit." Achala mendelik tajam ke wajah Affandra yang berekspresi tanpa dosa itu.
Affandra tersenyum kikuk, ia berhenti tertawa dan kembali serius. "Iya, terus ... ada apa dengan Biel?" Affandra mengembalikan topik pembicaraan mereka.
"Kamu, tuh, kalau di kantor nggak usah galak-galak kenapa, Mas? Kasihan, loh, adikmu itu."
Affandra bergerak, membenahi bantal yang ia sandari. "Mas cuma nggak mau dia manja, Sayang. Ya ... mungkin yang mas lakuin ini sedikit keras."
"Awas, ya. Kalau ada apa-apa sama kandungan Biella karena stres di kantor. Kamu orang pertama yang aku cari."
Achala mengancam suaminya, telunjuk lentik itu mengarah ke wajah Affandra. Isyarat jika ucapannya tidak main-main. Pria itu meringis mendapat ultimatum dari sang istri.
Menurunkan telunjuk tersebut dari depan wajahnya, Affandra mengecup jari-jari yang lain. Memainkan cincin kawin yang melingkar di jari manis Achala. Cincin bermata berlian kecil yang ia sematkan setelah ijab kabul itu tidak pernah lepas dari jemari Achala.
"Mas, gimana kalau kita promil?"
Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur bebas dari bibir Achala. Affandra menarik senyum tinggi. Pasalnya di tahun pertama pernikahan mereka, pria itu sudah pernah menawarkan. Namun, Achala belum ingin ke sana.
"Mau kapan?" Affandra bertanya antusias.
"Jangan sekarang, deh. Kan kamu lagi sibuk proyek baru." Achala tampak menimbang-nimbang apakah keputusannya sudah tepat atau belum.
"Ya ... kita periksa aja dulu, Sayang. Programnya bisa nanti."
"Nanti aja, Mas. Daripada setengah-setengah, mending kita tunggu kamu udah nggak sibuk lagi aja."
Mencium dahi sang istri, Affandra berujar, "Apa pun keputusan kamu, mas hargai. Paling penting mas tetap cinta kamu bagaimanpun keadaan kita nantinya."
Tanjung Enim, 20 September 2022
Republish, 10 Maret 2023
Salam Sayang
Rinbee 🐝
Hei, ini adalah hari ulang tahunku.
Doakan aku semoga sehat terus, banyak duit, dan jadi orang kaya.
😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top