Bujur Bumi 09 : Zombi dan Vampir

"Selamat pagi, Nyonya Affandra," sapa pria tinggi di belakang Achala.

Wanita itu tidak perlu repot memastikan siapa gerangan. Hanya mendengar dari suaranya, aroma tubuhnya yang bercampur keringat sehabis berolahraga, Achala sudah hafal siapa pelakunya. Belum lagi lengan kokoh memeluk posesif pinggangnya dan mencium belakang kepalanya, semua Achala khatam mengenali.

Achala berbalik menghadap Affandra. Pria itu masih mengenakan kaus pendek gelap dengan training senada. Peluh di pelipisnya pun masih bisa Achala lihat.

"Mau mandi dulu atau sarapan dulu?" tawar Achala membawa satu mangkuk besar nasi goreng buatannya ke tengah meja makan.

"Sarapan aja dulu." Affandra mengikuti langkah istrinya menuju meja makan. Menjatuhkan bobot tubuhnya ke kursi sebelah kanan. "Juang belum bangun, Sayang?"

"Kayaknya belum, deh, Mas. Dia bangunnya kecepetan tadi. Jadi, habis subuhan tidur lagi," terang Achala menaruh piring dan alat makan ke hadapan Affandra serta menuangkan segelas jus jeruk ke dalam gelas kaca.

Pria itu bangkit keluar dari meja makan, mengayunkan tungkai panjangnya ke arah kamar. "Mas coba lihat dulu. Bobok di kamar kita, kan?" tanyanya sembari berlalu.

"Iya. Kalau anaknya belum bangun, jangan dipaksa, Mas. Biarin aja dia bangun siang, libur juga sekolahnya."

Tidak ada sahutan dari pria yang tetap mengayunkan langkah lebarnya itu. Embusan napas gusar Achala hempaskan. Ia paham, suaminya itu suka sekali mengganggu kedamaian anak semata wayangnya. Ujung-ujungnya ia juga yang repot saat sang anak merengek sebab tidurnya diganggu. Selanjutnya, Affandra seolah tuli dengan segala rengekan sang anak, semuanya akan kembali ke Achala yang akan menenangkan Juang sampai berhenti merengek.

Achala melanjutkan aktivitas di dapur, memasak untuk sarapan telah selesai. Wanita itu melirik jam dinding yang tergantung apik di atas dispenser. Jarum pada jam menunjuk di angka delapan lewat tiga puluh menit. Langkahnya bergeser sedikit, mengeluarkan beberapa sayuran yang tersimpan di kulkas, menyiapkan bahan yang akan ia masak untuk makan siang.

"Morning, Macha." Suara khas dari bocah kesayangannya menyapa.

Achala berbalik, senyumnya tertarik tinggi saat mendapati Juang di balik punggung kokoh ayahnya. Lengan kecil itu melingkar di leher Affandra. Pria dewasa itu sedikit merunduk, membantu anaknya turun dan duduk di kursi meja makan.

"Mau sarapan nasi goreng atau roti?" tanya Achala pada Juang seraya menyimpan piring berisi nasi goreng ke hadapan Affandra.

Bocah yang mungkin nyawanya masih berada di tempat tidur itu menatapnya dengan fokus. Achala tak tahu maksud dari tatapan anaknya. Wanita itu bergabung di meja makan, duduk di samping Juang yang berseberangan dengan suaminya.

"Abang mau minum susu dulu, Macha."

"Oke. Boleh," sahutnya.

"Sayang, mas mau kopi, dong." Pria besar itu mengambil kesempatan.

Achala mengangguk, meraih satu mug keramik bergambar tokoh kartun dan bertuliskan "Abang" pada sisinya. Cangkir yang sengaja mereka pesan bulan lalu. Tidak hanya satu, tetapi tiga. Milik Achala bergambar seorang wanita dengan nama "Macha" dan yang satu lagi "Papaf" milik Affandra.

Menyimpan secangkir kopi di hadapan Affandra, Achala kembali duduk di tempat semula. Keluarga kecil itu menikmati sarapan dengan obrolan ringan. Beberapa kali Achala menoleh ke sisi kiri, tumben sekali putranya tidak banyak berceloteh seperti biasanya. Pagi ini Juang sangat tenang menikmati tiap sendok nasi goreng yang masuk ke mulutnya.

Netra Achala bertemu dengan sang suami. Melalui lirikan isyarat mata, si wanita melemparkan kode pertanyaan, apa yang terjadi pada putranya. Pria itu tak acuh, mengangkat bahunya, tanda jika ia pun tak mengerti situasi putranya.

"Abang, mau nambah nasi gorengnya?" tanya Achala ragu.

"I am full, Macha." Juang menjawab dengan santai, menghabiskan susu di cangkirnya.

"Mau handphone? Main games?" tawar Achala mencoba mencari tahu apa yang sedang anak itu pikirkan dengan kepala kecilnya.

Jawaban Juang hanya sebatas gelengan kepala, tanda menolak tawaran Achala. Dahi wanita itu semakin berkerut dalam, benar-benar belum mengerti situasi yang membuat putranya agak berbeda pagi ini. Biasanya, di hari libur yang dicari anak itu adalah ponsel pintarnya. Achala dan Affandra memang sepakat memberi anaknya ponsel sendiri, tetapi masih di bawah pengawasan mereka. Misalnya, Juang bermain ponsel hanya saat hari libur sekolah dan itu pun dibatasi waktu.

"Macha, are you oke?" tanya Juang tiba-tiba.

Affandra tampak sudah selesai dengan sarapannya. Sibuk dengan iPad di genggamannya. Entah apa yang sedang ia kerjakan.

Mendengar pertanyaan dari Juang, Achala segera menjawab, "Ya, macha oke, Sayang. Why?"

Tampak ragu, anak itu menatap Affandra dan Achala bergantian. Sungguh, Achala semakin tidak mengerti. Ada apa dengan putranya pagi ini. Achala tersenyum lebar saat Juang menatapnya lekat.

"Tadi abang lihat papaf ganti baju. Bahu papaf dan punggungnya juga ada luka cakaran," pungkas anak itu dengan polos.

Perasaan tidak enak semakin kencang berembus. Achala mendelik tajam pada pria yang masih menelisik pekerjaannya itu. Ini pasti ada kaitannya dengan ayah anak satu tersebut. Kalimat aneh apa lagi yang Juang dengar pria itu.

Achala meraih gelas berisi jus jeruk miliknya, membasahi tenggorokan yang kering. Menunggu cerita Juang selanjutnya.

"Leher Macha juga merah-merah."

Achala gelagapan, menutupi lehernya dengan rambut. Bibir bawahnya ia gigit. Tebakannya benar, hal ini pasti berhubungan dengan ucapan pria di seberangnya. Ingin sekali Achala mengumpat saat kepolosan bocah ini harus ternodai dengan pemilihan kalimat yang salah oleh pria itu—yang sialnya berstatus ayah kandung dari anaknya.

"Papaf bilang, semalam papaf pulang ada zombi di persimpangan jalan. Bahu papaf digigit zombinya. Punggungnya dicakar zombi."

Suami macam apa itu, istrinya disamakan dengan mayat hidup. Lagian aku gitu juga ulah dia.

Achala mengulurkan tangan, mengusap kepala Juang dengan lembut. "Nggak ada zombi, Sayang. Papaf cuma bercanda."

"Papaf juga bilang, leher Macha digigit vampir penghisap darah." Juang mendongak, mengalihkan atensi pada sang ayah. "Iya, kan, Paf?"

"Hmm." Affandra hanya menjawab dengan dengungan.

Baiklah, vampir penghisap darah dan zombi, sedang berkolaborasi ya semalam.

Affandra tidak berani menatap wajah Achala. Ia tidak sanggup mendapati pelototan dari istrinya jika sudah menyangkut dengan anak itu.

"Mama cuma digigit nyamuk, Sayang. Nggak ada zombi atau vampir. Nanti kalau beneran ada, mama kasih jus jeruk aja vampirnya. Biar nggak gigit leher, nggak menghisap darah lagi." Achala menjelaskan dengan nada bercanda. Bersikap seolah biasa saja di tengah gemuruh dadanya yang hebat.

Achala melirik Affandra yang mendorong kursi, beranjak dari posisinya. Wanita itu tersenyum penuh arti dengan pergerakan suaminya.

"Iya, kan, Paf? Bilang ke vampirnya, nggak boleh gigit-gigit leher lagi, ya. Awas kalau gigit leher lagi, nanti nggak dikasih jatah makan," tukas Achala penuh makna. Membuat Affandra menyengir canggung, berbanding terbalik dengan Achala tersenyum penuh kemenangan.

Tentu saja pria itu tahu, ke arah mana maksud ucapan istrinya. Termasuk jatah makan yang diucapkan penuh penekanan oleh Achala. Affandra bergedik ngeri jika itu benar-benar terjadi.

Tanjung Enim, 16 September 2022
Republish, 8 Maret 2023
Salam Sayang ❤️
Rinbee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top