Bujur Bumi 08 : Sweeter than Hot Chocolate

Cerita ini akan direpublish 2-3x seminggu. Spam coment di sini kalau aku telat update.

***

Sudah berapa kali Achala menoleh ke sudut ruangan. Akhirnya, lemari jam klasik dengan musik mesin quartz mirado itu menunjukkan eksistensinya. Dentang dari jam berbunyi sebanyak delapan kali, tetapi bukan bunyi itu yang Achala tunggu. Melainkan kepulangan suaminya.

Tidak biasanya pria itu pulang lewat pukul tujuh malam dan tidak memberi kabar apa pun padanya. Achala beranjak, melangkah menuju ke meja sofa. Meraih ponselnya yang ia simpan di sana. Sekilas ia melirik sang buah hati yang tengah asyik dengan buku gambarnya.

Baru juga ingin menghubungi sang suami, rungu Achala menangkap suara deru mesin mobil memasuki garasi rumah mereka kemudian disusul suara nyaring klakson. Achala tahu, itu pasti Affandra. Sudah menjadi ciri khas pria itu, sebelum mematikan mesin mobil menekan klakson terlebih dahulu.

"Papaf pulang!" teriak Juang antusias.

Bocah itu berlari mendahului Achala menuju pintu utama. Sebelum tangan kecilnya meraih gagang pintu, Affandra sudah terlebih dahulu muncul, merentangkan kedua lengannya menyambut sang buah hati.

"Hai, jagoan," sapa Affandra meraih tubuh si kecil ke dalam gendongannya.

"Kok, tumben telat, Mas?" Achala meraih tangan Affandra, mencium punggung sang imam keluarga.

"Iya, Sayang. Tadi mau pulang, tapi karena hujan. Jadi, mas tunggu dulu sampai agak reda."

Achala mengangguk, alasan Affandra bisa diterima. Memang benar demikian adanya, bahkan aroma tanah setelah diguyur hujan pun masih bisa dirasakan.

Mereka berjalan menuju ruang tengah, di mana tempat Achala dan Juang menunggunya tadi. Netra Affandra jatuh pada stoples di atas meja.

"Juang ada tugas sekolah, judulnya kegiatan bersama bunda. Aku pikir tadi dia mau beres-beres kamarnya. Eh, ternyata ngajakin bikin kukis," jelas Achala seakan paham makna tatapan Affandra pada benda berisi kukis cokelat tersebut.

"Papaf cobain, deh. Abang tadi yang bikinnya. Ya ... dibantu macha juga, tapi sedikit." Juang menyipitkan mata sebelah kirinya, telunjuk dan ibu jarinya yang tidak menyatu berada di depan wajahnya. Isyarat sedikit yang ia maksud.

"Oh, ya? Wah ... hebat dong anak papaf." Affandra berujar, reaksinya yang takjub membuat sang buah hati tersenyum bahagia.

Juang diturunkan duduk di sofa, bersebelahan dengan sang ayah. Tangan Affandra meraih stoples, mencicipi kukis tersebut. Kue kering yang katanya hasil buatan bocah lima tahun itu sendiri, hanya sedikit dibantu oleh ibunya.

Affandra mengunyah pelan, ekspresinya sengaja dibuat sedemikian rupa. Seolah sangat menikmati makanan berbentuk beruang dengan mata merahnya. Tidak buruk untuk hasil tangan bocah lima tahun. Hanya saja ... Affandra tidak begitu menyukai makanan manis seperti cokelat.

"Wah ... ini adalah kukis terenak di seluruh dunia." Affandra berkata seraya menampilkan mimik wajah yang berlebihan, menggigit lagi separuh kue kering itu hingga tandas.

"Papaf, bohongnya berlebihan," cibir Juang mencebikkan bibirnya.

Affandra tertawa, anaknya memanglah cerdas. Tidak bisa ditipu dengan gampang. Pria itu berdiri dari duduknya sembari mengusap puncak kepala sang anak.

"Papaf ke kamar dulu, ya. Mau mandi. Tadi kamu lagi ngapain? Lanjutin aja, oke?"

Juang mengangguk, kembali pada kertas bergambar dan pensil warnanya. Menggoreskan warna merah pada gambar robot kesukaannya.

Pasutri itu berjalan menuju kamar mereka, meninggalkan anak semata wayangnya di ruang tengah bersama dunianya sendiri. Langkah mereka sudah dibawa ke dalam ruangan yang paling pribadi bagi Achala dan Affandra. Si pria bergegas melepaskan dasi yang membelit di leher, menyimpan jam tangan pada lemari penyimpanan. Sedangkan si wanita menyiapkan baju bersih untuk suaminya.

"Mas, tadi di kantor cabang?" tanya Achala di sela kegiatannya.

"Iya, Sayang. Ada meeting tadi di cabang," jawabnya seraya meraih  handuk yang Achala angsurkan dan melingkarkannya di pinggang.

Achala duduk di kursi meja riasnya, menghadap sang suami yang sibuk melucuti pakaian di tubuhnya. Pria itu membuka baju dan melemparnya ke keranjang pakaian kotor.

"Mas, apa nggak sebaiknya yayasan diurus Biella aja. Mas fokus ke perusahaan cabang," usul Achala pada suaminya.

Bukan apa-apa, Achala terkadang merasa iba pada pria itu. Setiap hari sibuk dengan pekerjaan di yayasan, belum lagi perusahaan pabrik sepatu yang dibangun oleh mendiang kakeknya pun harus ia urus.

"Mas belum percaya sepenuhnya sama Biella, Sayang. Mas nggak mau citra yayasan rusak hanya karena kinerja dia yang buruk. Mereka masih harus banyak belajar dulu. Kerja di kantor aja masih males-malesan."

Achala bangkit, memungut baju kotor Affandra yang tidak masuk ke keranjang saat pria itu melemparnya tadi.

"Ya, kan bisa dikasih kesempatan dulu, Mas. Kita mana tahu kalau nggak dikasih kesempatan."

"Honey, Biella itu beda dengan Dilla. Mas lebih percaya kalau yayasan di tangan Dilla. Mas juga nggak tahu, kenapa anak kembar itu beda banget karakternya." Affandra berdecak mengingat perbedaan yang dimiliki Nadilla dan Nabiela—adik kembarnya.

Dilla yang memiliki karakter tegas dan jiwa pemimpin, sementara Biellla lebih cenderung masih labil dan plin-plan, mungkin karena ia anak bungsu. Itu sebabnya, Affandra lebih percaya jika yayasan yang sudah dikelolah ayah mereka itu akan berada di tangan yang tepat, yaitu Dilla.

"Tapi Dilla masih nyelesaiin S2-nya, Mas."

Affandra melipat kedua lengannya di depan dada, netranya menelisik ke sang istri yang sudah duduk di tepi tempat tidur.

"Jadi, malam ini topik perdebatan kita adalah perusahaan, Biella, dan Dilla. Mas belum boleh bebersih, nih?" sindir Affandra pada Achala.

Achala tertawa kecil, ia bangkit dari posisinya. Mengayunkan tungkai menghampiri prianya. "Mas mandi aja dulu. Coffee or hot chocolate? Aku buatin, ya?"

Affandra tersenyum miring, tiba-tiba pinggang Achala ditarik lebih merapat ke tubuhnya. Tangan Achala mendarat di dada bidang suaminya yang sudah bertelanjang dada. Wajahnya mengikis jarang yang ada, memagut bibir ranum sang istri.

"Balas, Sayang," titah Affandra pada sang istri. Ia malas jika hanya dirinya yang bergerak aktif dalam aktivitas pertemuan bibir mereka.

Achala mengalungkan lengannya di ceruk leher Affandra, menikmati serta mengimbangi permainan sang suami. Napasnya sudah tersengal, tetapi pria itu semakin intens bermain dengan benda kenyal itu. Achala mendorong dada Affandra, melepas pagutan mereka.

"Enough," ujarnya di sela mengatur napas.

"This is better than hot chocolate. Bibir kamu lebih manis dari apa pun di dunia ini," bisik pria itu dengan nada rendah, mengusap bibir sang istri dengan ibu jarinya kemudian berbalik menuju kamar mandi.

Ucapan Affandra mungkin sedikit vulgar, tetapi mampu memporak-porandakan hati Achala. Wanita itu menyukai bagaimana cara suaminya memuji dari setiap bagian yang ada di tubuhnya. Wajah Achala menghangat, telapak tangannya menangkup kedua pipinya. Senyum merekah wanita itu masih bertengger apik di wajahnya.

"Macha ...."

Entah sejak kapan, Achala benar-benar tidak menyadari keberadaan sang putra, anak itu berdiri di ambang pintu memamerkan kertas yang tadi dia warnai. Achala menggigit bibir dalamnya, khawatir aktivitas berperang bibir dengan sang suami tadi disaksikan oleh Juang.

"Abang, sejak kapan di sana, Nak? Kok, mama nggak tahu?"

"Maaf, Macha. Abang nggak ketuk pintu dulu. Abang baru masuk, Macha," cicit si kecil takut-takut.

Achala berjongkok, mengusak puncak kepala Juang. "Nggak apa-apa, Sayang. Mama cuma kaget. Abang mau apa, hmm?"

Senyum anak itu terangkat, deretan gigi susunya terlihat. "Lihat ini abang yang warnai. Bagus nggak, Macha?" tanyanya melebarkan kertas gambar yang ia warnai.

Achala meraih kertas itu, maniknya memperhatikan hasil kerja keras sang putra kesayangan. "Bagus banget, Sayang. Good job!" seru Achala mengangkat jempol kanannya. Achala sadar, kebutuhan anak bukan hanya sekadar materi yang cukup, tetapi ia juga perlu apresiasi dan validasi.

Beringsut maju menghampiri sang mama, Juang melingkarkan lengan pendeknya ke ceruk leher Achala. Meninggalkan satu kecupan singkat di pipi kanan wanita itu.

"Thank you, Macha."

"Sama-sama, Sweetheart."

Tanjung Enim, 15 September 2022
republish, 05 Maret 2023
Salam Sayang ❤️
Rinbee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top