Bujur Bumi 07 : Orchida Elvanilla
Nyanyian dari lagu anak-anak yang ceria menyambut pagi, mengiringi perjalan keluarga kecil itu untuk memulai aktivitas masing-masing. Si pengendali kereta besi yang sedang membelah jalanan sesekali memperhatikan tingkah sang anak yang duduk di kursi tengah melalui spion dalam.
Bocah berseragam motif batik oranye yang dilapisi rompi sebagai luarannya, dasi kupu-kupu, serta tanda pengenal yang tergantung di leher sudah cukup menunjukkan jika dia murid TK bukan siswa SMA apalagi pegawai kantoran.
Juang duduk tenang dengan seatbelt membelit tubuh kecilnya, hanya tangannya yang bergerak lincah mengiringi nyanyian favoritnya.
"Seneng banget, sih, Bang. Mau ketemu temen baru yang kemarin, ya?" Achala menggoda Juang. "Abang punya temen baru, loh, Paf. Cewek ... cantik lagi," lanjut Achala memberi informasi pada suaminya yang duduk di balik kemudi.
Achala menceritakan apa yang ia temui kemarin siang saat menjemput Juang. Anak perempuan cantik yang ia ketahui sebagai siswa pindahan dan menjadi teman baru anaknya.
"Bener, Bang? Kenalin dong ke papaf temen barunya."
"Papaf kan udah punya macha. Vanilla sama abang cuma temenan, nggak lebih, Macha."
Pasutri itu tergelak bersama mendengar tutur sang anak. Belajar dari mana pula bocah lima tahun itu tentang hubungan pertemanan tidak lebih. Achala sedikit memutar tubuhnya ke belakang, netranya memperhatikan Juang yang sibuk dengan pemandangan dari luar jendela mobil.
"Mama kan tadi bilang temen Abang, mama nggak bilang lebih."
"Vanilla itu anak baru, Papaf. Dia belum punya temen. Makanya abang temenin dia main." Juang menjelaskan lagi dengan tangan bergerak ribut.
"Oh, jadi namanya Vanilla? Manis banget namanya kayak permen. Temenan aja dulu, nanti udah gede baru pacarin, ya, Bang?"
"Mas, mulai, deh. Anak masih kecil udah diajak ngomong yang nggak-nggak. Ilmu kamu deketin semua cewek di kampus dulu nggak usah diturunkan ke anaknya, ya." Achala berkata sinis, menyindir kelakuan suaminya semasa di kuliah dulu. Terang-terangan ia berdecak kencang, memukul ringan lengan Affandra.
Affandra tertawa, ia menyadari jika semasa kuliah dulu banyak sekali cewek yang ia dekati, termasuk Achala kala itu. Namun, hati Achala sudah terpikat pada satu laki-laki, yaitu teman dekat Affandra.
Affandra percaya, istilah jodoh tak ke mana. Terbukti sekarang, Tuhan tetap menyatukan mereka meski sudah punya cerita masa lalu masing-masing.
"Temenan aja, ya, Nak. Vanilla kan cewek, Abang cowok. Kalau main nggak boleh kasar, ya. Temennya dijagain. Oke?" Achala memberi sedikit nasihat pada putra kesayangan.
"Baik, Macha. Abang nggak nakal ke Vanilla." Juang mengangguk kuat, mengangkat kedua jempolnya ke atas.
"Anak pinter!"
Tak kalah dari Juang, Achala pun mengangkat kedua jempolnya sebagai apresiasi tinggi untuk sang anak. Ia kembali duduk menghadap ke depan, perjalanan mereka hampir sampai di sekolah.
"Mas, mau mampir dulu ke yayasan? Atau langsung ke kantor?"
"Langsung ke kantor, Sayang. Soalnya kerjaan kemarin belum kelar. Kalian pulang dijemput sama Pak Dirman."
"Lembur lagi?"
Menoleh sejenak pada sang istri, Affandra kembali berujar, "Nggak, kok. Nanti mas usahain pulangnya agak sorean, ya."
Memutar kemudi mengambil jalan sebelah kiri setelah menyalakan sein, mobil Affandra menepi di depan pintu gerbang tinggi. Sudah sampai di depan sekolah Juang, Achala melepas sabuk pengamannya kemudian turun menghampiri anak kecil yang sudah tidak sabaran ingin turun.
Juang melompat turun, meraih tasnya di jok samping. Sembari menyapa para guru yang sudah berdiri menyambut muridnya, Achala membenahi tali tas Juang yang melintir di bahu kecil anak itu. Belum juga selesai, Juang sudah bergerak heboh. Melambaikan tangan ke sebuah mobil yang Achala lihat kemarin siang. Ada anak perempuan yang turun dari mobil dengan dibantu susternya.
Netra Achala menelisik mobil Pajero Sport hitam tersebut, sang suster kembali masuk ke mobil dan tanpa basa-basi mobil tersebut melaju meninggalkan mereka.
"Selamat pagi, Macha."
"Vanilla, kamu kok panggil macha juga?"
"Aku denger kamu kemarin panggilnya gitu. Aku boleh panggil macha juga, kan?"
Achala tercenung, jika kemarin anak ini hanya diam saja melihatnya. Berbanding terbalik dengan pagi ini, Vanilla menyapanya lebih dulu. Saat si kecil bermata bulat itu memanggilnya dengan panggilan yang sama dengan Juang, hati Achala tersentuh. Sungguh, Achala sangat menyukai anak kecil, apalagi anak perempuan. Munajat yang tidak pernah putus ia bisikan di setiap sujudnya adalah diberi kesempatan memiliki seorang anak.
"Selamat pagi, Sayang." Achala membalas sapaan Vanilla tak kalah ramah.
Wanita itu melirik name tag yang tergantung di leher Vanilla. Achala tercenung beberapa detik pada tanda pengenal itu. Bisa Achala baca, ada biodata singkat Vanilla. Nama depan anak itu yang menarik perhatian Achala lebih jauh.
"Orchidia Elvanilla?" Achala menyebutkan nama yang tertera di bawah foto Vanilla.
"Iya, Macha. Itu nama lengkap aku."
"Nama Orchidia dari bunga anggrek?" Achala bertanya antusias jika sudah berhubungan dengan bunga.
Vanilla mengangguk. "Iya, papa yang kasih nama. Papa juga suka aroma manis vanila."
Unik, jika biasanya kaum perempuan yang akan memberi nama bunga untuk anaknya. Berbeda dengan anak ini, sang ayahlah yang memberikan nama semanis itu. Achala jadi teringat, dulu sekali ia pernah ingin memberi nama anak perempuannya kelak dengan nama-nama latin dari bunga. Achala tak menyangka, bahwasanya ada orang yang sepemikiran dengan idenya.
Achala menoleh saat guru-guru Juang memberi salam pada sosok pria yang berdiri di sampingnya, kedua tangannya disimpan di saku celana. Berdiri tegap setelah mengangguk membalas salam sapaan.
"Eh, Mas. Sampe lupa aku. Oh, iya kalau Mas berangkat aja, takutnya nanti telat. Nggak apa-apa, aku aja yang anter Juang sampe kelasnya."
"Kamu nanti gimana?"
Affandra sedikit bingung, jika biasanya sang istri akan mengantar batas gerbang dan menitipkan Juang pada gurunya yang menunggu di depan. Kali ini wanita itu ingin mengantar putra mereka sampai masuk.
"Aku ... gampang, bisa jalan nanti ke SD hitung-hitung olahraga pagi. Atau nanti kalau ada Kalila lewat, bisa nebeng dia," balas Achala agar sang suami tidak perlu mengkhawatirkan dirinya.
"Ya, udah kalau gitu. Mas berangkat dulu, ya." Affandra mengulurkan tangan ke depan Achala, sigap disambut oleh wanita itu.
"Halo Vanilla. Temen Juang, ya?" sapa Affandra pada anak perempuan berambut lurus di atas bahu. Anak itu sedang asyik mengobrol dengan sang anak.
Vanilla mendongak, menarik senyum. Gadis kecil yang manis, ia membalas sapaan Affandra. "Halo, Om. Iya, aku Vanilla."
Affandra mengeluarkan tangannya dari saku celana, mengusap puncak kepala anak perempuan itu. "Temanan yang baik, ya, sama Juang," ujar Affandra lembut pada Vanilla.
"Bang, papaf berangkat, ya. Belajar yang pinter," ujar Affandra berpamitan pada sang buah hati.
"Bye, papaf." Juang melambaikan tangannya.
"Ayo ... kita masuk?" Achala meraih kedua tangan kecil itu. Kiri dan kanan Achala menggandeng posesif.
"Macha," panggilnya.
Sekali lagi itu bukan Juang yang memanggil, melainkan Vanilla. Achala mengalihkan atensinya, sedikit menurunkan pandangan pada sosok di kirinya.
"Aku boleh, 'kan, panggil macha sama kayak Juang?" Vanilla tersenyum tipis, pipi kirinya yang dihiasi lesung pipi itu turut membuat senyumnya semakin manis.
"Boleh, dong, Sayang."
Senyum Vanilla, mata bulat Vanilla, belum lagi lesung pipinya waktu tersenyum. Benar-benar familier.
Tanjung Enim, 13 September 2022
Republish, 3 Maret 2023
Salam Sayang ❤️
Rinbee 🐝
Peraturannya masih sama yang, Bestie. Ketuk kolom komentar di sini kalau aku lama update. 🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top