Bujur Bumi 06 : Weekend

"Macha ... sepatu abang mana?"

"Di rak paling atas, Sayang. Cari lagi yang bener coba. Baru kemarin mama simpen di sana."

Jika Minggu pagi sebelumnya bocah itu akan sengaja bangun siang, tidak untuk hari ini. Sebelum pukul tujuh Juang sudah bangun, bersiap mandi dan bersemangat sekali mengumpulkan sendiri semua yang akan ia kenakan. Ya, walaupun dengan cara banyak bertanya akan keberadaan barang tersebut pada sang mama. Sesuai janji sang ayah, jika ia sudah keluar dari rumah sakit dan benar-benar sehat, mereka akan menghasilkan akhir pekan dengan jalan-jalan ke mall. Main motor balap, katanya.

"Macha ... abang pakai baju ini?"

Juang berlari dari kamarnya menuju dapur, membawa sepotong kemeja berwarna biru lembut. Achala memutar badan dan menghentikan gerakan tangannya mengocok telur. Menyelisik penampilan sang anak yang hanya mengenakan kaus singlet dan celana Chinos selutut.

"Iya, kemeja favorit Abang, kan?"

"Abang mau samaan dengan papaf, Macha. Nggak mau pakai baju ini." Juang mengangsurkan kemeja tersebut ke Achala.

Wanita itu menyimpan mangkuk berisi telur kocok untuk membuat omelet. Dahinya mengernyit singkat, pasalnya kemarin malam saat Affandra berjanji akan pergi bersama pada weekend ini, Juang sendirilah yang memilih kemeja itu. Kenapa sekarang mendadak berubah.

"Papaf pakai baju apa? Papaf mana, Macha?"

"Masih olahraga di luar."

Menyampirkan kemeja Juang di pundak kanannya, Achala berjongkok di depan sang putra, melucuti kaus dalam anak itu.

Dasar bocah lima tahun, ucapannya saja yang besar, bisa mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan orang dewasa. Nyatanya, mengenakan kaus dalam saja masih terbalik, depan jadi belakang, belakang jadi depan.

"Lama banget, abang udah mau jalan-jalan ke mall, Macha!" Juang menghentakkan kakinya.

"Sabar, Sayang. Kita sarapan dulu, mama aja belum kelar masak. Papaf juga belum siap-siap."

Juang merengut, bibirnya maju beberapa senti dari sebelumnya. Anak itu berbalik berjalan ke arah kamarnya, panggilan dari Achala pun tak ia hiraukan, ia benar-benar kesal. Setelah lama menunggu hari ini, sekarang harus menunggu lagi sang ayah yang belum bersiap. Ia terlalu bersemangat untuk ini.

"Kenapa?"

Sosok berdiri di samping Achala bertanya. Wanita itu mendongak mendapati Affandra dengan wajah penuh peluh. Pria itu mengalungkan handuk kecil di lehernya.

"Biasa, anak kamu. Ngambek tuh, lama nungguin papafnya olahraga. Padahal udah nggak sabar mau pergi jalan-jalan." Achala berujar sembari bangkit dari berjongkok.

Affandra tertawa kecil, menarik pinggang istrinya agar lebih mendekat. "Sama kayak mamanya semalem, suka ambekan kalau nggak dikasih jatah," ucap Affandra di depan wajah Achala.

Achala mendorong dada suaminya sedikit mundur. "Dih! Apaan, sih. Ngaco, mana ada aku minta duluan gitu."

Pria itu melipat tangan di depan dada, tersenyum jahil pada sang istri. "Masa, sih? Terus siapa dong, semalem yang ngambek tidur munggungi suaminya hanya karena minta dibelikan tas baru."

Achala mengedikkan bahu, mencoba berpura-pura tidak tahu siapa yang Affandra sindir. Si pria tidak mau kalah menggoda sang wanita, kepalanya ia simpan di ceruk leher Achala. Merebahkan dahinya di bahu wanita itu.

"Udah sana ... sana. Kamu bujuk dulu itu anaknya ngambek di kamar."

"Aku kapan kamu bujuk?" tanya Affandra melebihi manjanya Juang.

"Tahun depan udah 33 tahun, Pak. Ingat umur!"

Affandra menarik garis senyum datar, manja dengan istri sendiri tidak ada batasan usia, kan? Kenapa wanita itu senang sekali mengingatkan perkara usianya yang sudah kepala tiga lebih sedikit.

Meninggalkan satu kecupan di dahi Achala, pria itu berbalik mengayunkan tungkai jenjangnya ke arah kamar sang putra.

***

Suara musik kencang ala anak-anak memenuhi satu lantai di sebuah mall terbesar di Jakarta, belum lagi teriakan nyaring bersahutan menggema. Rona bahagia tampak jelas di wajah Juang saat menemukan banyak teman sebaya di tempat ini.

Anak itu menaiki perosotan panjang berwarna kuning terang, meluncur dengan bahagia dan jatuh di kolom bola warna-warni dengan gelak tawa. Aksi bocah itu tak pelak mengundang kedua orang tuanya untuk menarik senyum tinggi.

Tampak dari jarak beberapa meter, pasutri itu duduk di meja bundar dengan minuman segar di atas meja, tetap mengawasi anak mereka meski dari kejauhan.

"Seneng banget dia, Mas. Udah lama banget Juang pengin ke mall sama kamu, tapi papanya sibuk mulu."

"Maaf, ya. Urusan di Surabaya emang lagi butuh perhatian banget, Sayang," ujar Affandra bersalah.

"Udah nggak apa-apa, Mas. Lagian anaknya juga pinter, kok. Kalau aku bilang papa lagi kerja di luar, Juang langsung bisa ngerti."

Menyeruput jus jeruk di hadapannya, menikmati air berwarna kuning kental itu membasahi kerongkongan, membuat dada bagian dalam turut menjadi sejuk. Sungguh, Affandra merasa beruntung bisa menikahi wanita hampir tanpa cela seperti Achala.

"Oh, iya, Sayang. Kamu nggak mau belanja? Katanya mau beli tas?" Affandra merogoh saku celananya, mengeluarkan satu kartu dari dompet kulit berwarna gelap, kemudian mengangsurkannya ke hadapan Achala.

"Nanti ajalah, Mas. Juang juga lagi main, nanti dia nyariin aku."

Achala mengedarkan pandangan mencari keberadaan sang buah hati. Netranya berhenti pada sosok kecil yang sedang menaiki jaring-jaring hingga mencapai terowongan di atas sana. Achala tak khawatir, di belakang Juang ada petugas laki-laki mengawasi anak-anak yang bermain.

"Juang pasti lama, Sayang. Biar mas jagain dia di sini, tadi aja dia udah ngomong habis ini mau main ke tempat lain."

"Oke, baiklah. Di kartu ini banyak uangnya, kan? Jangan marah ya nanti kalau aku kosongkan."

Affandra mengerutkan hidung, gelengan kepalanya bergerak samar. "Yakin mau ngabisin buat hal pribadi kamu? Yang ada malah nanti kamu belanja baju aku sama Juang, punya kamu nggak ada."

Affandra benar, setiap kali berbelanja wanita itu selalu mengutamakan keperluan sang suami dan putranya terlebih dahulu, bahkan terkadang justru ia lupa akan keperluannya.

"Iya ... iya. Aku mau belanja yang buaanyyaakk. Untuk keperluan kusendiri." Achala menekan kalimat terakhirnya.

"Have fun, Honey."

Wanita itu mengangguk, keluar dari meja bundar meninggalkan suaminya. Menyusuri lorong setiap toko, netra wanita itu menelisik perlahan pada etalase besar sebuah toko yang khusus menjual pakaian kantoran.

"Kemeja Mas Affandra kayaknya udah banyak yang harus diganti."

Bukannya melangkah masuk ke toko itu, Achala justru menarik senyum samar, berdiri ragu di ambang pintu kaca. Ia ingat perkataan suaminya beberapa saat lalu perihal kebiasaannya yang mengutamakan kebutuhan suami dan anaknya. Baiklah, kali ini Achala harus mengabaikan dahulu dua laki-laki kecintaannya itu. Hari ini, ia akan berbelanja semua kebutuhannya sampai puas.

Melanjutkan langkah yang sempat tertunda, wanita itu masuk ke sebuah toko tas branded. Melihat-lihat yang ia inginkan. Netranya jatuh pada sebuah clutch di etalase dalam.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?"

Achala menoleh, matanya mengerjap beberapa kali. Bukan karena terusik oleh suara yang menyapa barusan, tetapi aroma parfum yang khas membuatnya mengalihkan atensi. Achala bukanlah ahli atau kolektor parfum, tetapi aroma dari bahan orris yang masuk ke indera penciumannya itu, cukup membangkitkan memori masa lalu Achala. Seseorang dengan wangi yang sama ini, dulu pernah ada di hidupnya. Parfum dengan suasana earthy itu jelas Achala ingat.

"Kak, bisa lihat yang ini."

Lagi-lagi Achala menoleh, kali ini netranya menangkap pasangan muda. Namun, bukan itu yang menjadi alasan Achala tercenung, melainkan paper bag kecil yang ditenteng oleh laki-laki tersebut. Paper bag dengan merk parfum yang sejak tadi menganggu kinerja otaknya tentang penoreh luka di masa lalu.

Bukan cuma dia yang makai parfum itu, Achala.

Tanjung Enim, 11 September 2022
Republish, 2 Maret 2023
Salam Sayang ❤️
Rinbee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top