Bujur Bumi 05 : Freesia
Tidur di atas ranjang rumah sakit dengan pikiran penuh rasa khawatir, siapa yang akan nyaman dan terlelap? Begitu juga Achala Annandhita, ibu dari satu anak itu mungkin sedikit tenang saat buah hati telah ditangani dengan baik oleh para dokter. Mulai dari masuk IGD sampai pindah ke ruang rawat inap.
Tidak bermaksud kurang sopan atau apa, tetapi bukan tanpa alasan Achala turut merangkak naik ke tempat tidur pasien kemudian tertidur di sana. Sang buah hatilah yang meminta, anak itu tidak bisa jauh dari dekapan sang mama. Setelah pengambilan sampel darah dan punggung tangannya mendapat tusukan jarum infus, Juang tidak mempercayai siapa pun mendekatinya selain Achala. Seperti sekarang ini, anak itu tidur nyaman bersandar di dada Achala. Lengan kecilnya memeluk pinggang ramping wanita itu.
Achala memeriksa ponsel yang ia simpan tidak jauh dari tempatnya berbaring. Alat komunikasi itu tidak ia biarkan jauh, mengingat suaminya sedang berada di luar kota dan harus ia kabari tentang perkembangan putranya. Pria itu baru satu hari si Surabaya, harus kembali ke Jakarta karena sang buah hati. Padahal Achala sudah bilang, ia bisa menanganinya sendiri.
Wanita itu membuka pesan dari sang suami, Affandra mengabarkan bahwa ia sudah di perjalanan dan baru saja keluar dari kepungan macetnya lalu lintas. Menyimpan kembali benda canggih tersebut, netranya beralih ke bocah lima tahun yang sedang berbaring lemah. Televisi yang tergantung di dinding menampilkan kartun kesukaannya. Achala turun dari ranjang, berjalan ke nakas. Ia teringat pesan dokter yang menangani anaknya, bahwasanya harus banyak minum air putih. Merasa pelukan sang mama terurai, Juang terbangun dari istirahat singkatnya.
"Minum dulu, ya." Achala mengangsurkan satu botol berukuran kecil air mineral pada Juang, membantu menuntun pipet plastik ke mulut kecil itu.
"Papaf kapan sampai, Macha. Lama banget ...." Juang merengek setelah menghabiskan setengah air minumnya.
Achala beringsut menjatuhkan bobotnya di samping sang putra. Merengkuh tubuh lemah itu lagi. "Sabar, ya, Sayang. Papaf masih di jalan, baru keluar dari macet. Mungkin sebentar lagi, oke?"
Tangan kecil itu memeluk pinggang Achala, menyandarkan kepalanya di dada sang mama. Bibirnya mencebik merengut. Sudah berapa kali pertanyaan yang sama dilontarkan anak itu. Namun, jawaban Achala tetap sama.
"Lama banget, Macha. Dari tadi sebentar ... sabar terus. Abang mau digendong papaf. Abang mau main handphone papaf. Habis itu mau jalan-jalan ke mall sama papaf."
"Gendong mama aja, mau?"
Menggeleng dengan gerak lamban, anak itu menolak. "Macha nggak kuat gendongnya. Abang kan berat. Mau sama papaf, abang mau papaf, Macha. Papaf nakal tinggalin abang terus."
Achala tertawa pelan, mengintip wajah sang anak yang masih bersandar nyaman. Lucu sekali rasanya mendengar keinginan sederhana bocah ini, tetapi ada rasa tersentil sedikit di dalam dadanya. Mengingat akhir-akhir ini sang suami sangat sibuk sehingga sudah jarang sekali menghabiskan waktu bersama sang putra.
Jemari lentik Achala mengusap rambut lebat Juang, anak ini benar-benar duplikat suaminya. Dari bentuk fisik dan wajah hingga rambut pun mewarisi sang ayah. Tak heran jika Juang disebut sebagai Affandra versi balita.
"Sehat dulu, ya, Sayang. Nanti jalan-jalan sama papaf ke mall. Sama papaf aja, nih? Mama nggak diajak? Nanti mama sedih, loh." Achala menggoda anak itu.
Juang mendongak, matanya berkedip sejenak menatap wajah Achala. "Hmm ... diajak, tapi Macha jangan belanja lama-lama, ya. Abang kan mau main balap sama papaf."
Mengusap pipi Juang singkat, gemas sekali dengan celotehan anak semata wayangnya. "Mama boleh ikutan nggak main motor balapnya?"
"Tidak. Ini permainan sesama laki-laki. Perempuan seperti Macha main capit-capit boneka saja."
Baku sekali bahasamu, Nak.
Achala semakin tergelak, anak ini tidak hanya pilar baru bagi hidupnya, tetapi juga menjadi dunia kecilnya. Semua yang berhubungan dengan Juang membawa emosional tersendiri. Panik, khawatir saat anak ini terluka atau sakit seperti kemarin malam. Sekarang bahagia dengan gelak tawa hanya karena tuturnya yang terlampau menggemaskan.
"Asalamualaikum."
Suara salam terdengar, disusul dengan kemunculan sosok tegap dari balik pintu yang membuat Juang semakin bersemangat. Anak itu tidak sabar melompat ke dalam pelukan sang ayah. Namun, bukan kedatangan Affandra yang membuat Achala menyelisik pria itu, melainkan satu paper bag yang bisa Achala tebak mainan untuk Juang dan ... buket bunga Freesia yang Affandra angsurkan padanya sebelum menghampiri sang putra.
"Aduh ... aduh, anak papa kok sakit. Panglima kan ditugaskan jagain mamanya." Affandra membawa tubuh kecil itu ke dalam pangkuan. Mengusap dahi Juang yang sedikit berkeringat.
Achala pernah mendengar betapa suaminya sangat menyukai nama Manggala yang artinya panglima, itu sebabnya nama tersebut ia pakai untuk nama perusahaannya, bahkan sampai ke nama anaknya.
Juang beranjak memutar tubuhnya menghadap Affandra, melingkarkan tangan mungil itu ke leher sang ayah. Wajahnya cemberut kesal karena terlalu lama menunggu sosok si dewasa. Mengerti dengan suasana hati sang anak, Affandra mencoba membujuk si kecil yang menyembunyikan wajah di bahu dan ceruk lehernya.
"Maafin papaf, ya. Lama ya datangnya? Harusnya pagi udah sampai, ini siang baru sampai, iya? Macet banget, Nak."
Tidak ada respons suara yang didengar, tapi justru pukulan kecil di punggung Affandra. Anak itu sedang melampiaskan rasa kesalnya pada sang ayah.
Achala menangkap tangan Juang, bukan karena ia tidak percaya sang suami tidak bisa menahan pukulan dari balita itu, tetapi ada yang lebih harus diperhatikan dari sekadar pukulan kecil, yaitu selang infus di punggung tangan Juang hampir terlilit dan menghambat aliran cairan itu untuk masuk.
"Abang, nanti infusnya berdarah lagi kayak kemarin malam, Sayang. Udah, ya, nggak boleh gitu ke papaf," ujar Achala mengingatkan peristiwa kemarin malam.
Berhenti meluapkan kekesalannya, anak itu sudah duduk manis di pangkuan sang ayah. Setelahnya ... dua orang serupa, tetapi berbeda generasi itu larut bercengkrama. Menyusun rencana setelah keluar dari rumah sakit akan melakukan apa dan ke mana.
Berbeda dengan Achala, wanita itu justru sibuk dengan bunga yang tadi Affandra bawa. Garis senyum Achala terangkat tinggi. Ia tak menyangka Affandra bisa tahu jika salah satu impiannya adalah diberi bunga Freesia oleh orang yang ia cintai. Seingatnya, dia tak pernah memberi tahu Affandra.
Namun, Achala tak ambil pusing, ia tetap bahagia terlepas dari mana Affandra tahu. Terlebih kalimat pada kartu yang tersemat di sana tak pelak membuat hatinya semakin menghangat.
Kamu istri dan ibu terbaik di dunia.
Menghirup dalam satu tangkai Freesia, meresapi aroma mint, madu, dan stroberi yang menyeruak masuk ke indera penciuman. Sungguh, selain warnanya yang cantik, hal yang paling Achala sukai dari bunga yang masuk ke dalam kategori keluarga iridacaedae ini adalah aromanya yang begitu unik.
"Seneng banget kayaknya dapat bunga." Suara Affandra menginterupsi.
Achala menoleh pada sosok tinggi yang berdiri di sampingnya. Sejenak ia melirik sang putra yang membongkar mainan barunya di atas ranjang.
"Makasih, ya, Mas. Aku suka bunganya." Achala memeluk Affandra dari samping sekilas sebelum akhirnya pelukan itu terurai.
Affandra menoleh, berkedip sejenak. "Bukan dari mas. Tadi di luar ada perawat yang kasih, ya udah mas ambil aja."
"Masa?"
Affandra mengangguk, alisnya terangkat dengan mata berkedip beberapa detik. Ekspresi pria itu berusaha menyakinkan Achala.
"Dari fans kamu mungkin."
Achala tersenyum jahil. Baiklah, ia akan mengikuti permainan suaminya. "Kira-kira fans-nya cowok atau cewek, Mas?"
Menenggak satu botol air mineral Affandra berdeham canggung. "Tadi, sih, perawat cowok yang kasih. Mungkin dari dia."
"Kok dia tahu, ya, aku suka bunga Freesia. Padahal aku berharapnya dapat bunga cantik ini dari suami aku, loh."
"Berarti dia lebih tahu siapa kamu, ketimbang suamimu ini."
Achala mencebik dengan lirikan meledek. Suaminya itu punya gengsi setinggi apa, mengakui jika ini dia yang memberi saja enggan. Padahal pada kartu ucapan cukup jelas siapa pengirimnya. Siapa lagi yang Affandra sebut istri kalau bukan Achala.
Kepala Achala sedikit terhuyung saat telapak tangan besar meraih kepalanya dan kecupan hangat hinggap di pelipisnya.
"Makasih, ya, sudah jadi ibu terhebat untuk Juang," ujarnya setengah berbisik.
Tanjung Enim, 10 September 2022
Republish, 2 Maret 2023
Salam Sayang ❤️
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top