Bujur Bumi 04 : Wajib Untuk Papaf dan Macha
Suara lantunan ayat suci dari masjid terdengar sayup, tersamarkan oleh riuhnya hujan yang turun di waktu fajar buta. Proses siklus yang menyebabkan air turun dari atmosfer ke permukaan bumi itu semakin kuat menggoda Achala untuk tetap bersembunyi di balik nyamannya selimut tebal.
Namun, tidak! Ia tidak boleh lalai oleh senandung merdu yang hujan tawarkan. Wanita itu menyibakkan selimutnya, netra kecokelatannya tertuju pada jam digital di atas nakas. Angka pada benda berukuran 14x8 cm itu menunjukkan 04.15 wib.
Sebenarnya, masih terlalu pagi untuk mandi dan membersihkan diri, tetapi aktivitas malam yang mereka geluti sebelum tidur, membuat Achala mau tak mau harus menerjang dinginnya subuh. Achala menoleh ke sisi kanan kasur. Tersangka utama atas mandi wajibnya masih bergelung nyaman di bawah selimut.
Wanita itu menapaki barisan lantai marmer menuju kamar mandi. Segera melakukan apa yang harusnya ia lakukan. Lima belas menit rasanya tidak berlebihan waktu yang Achala habiskan di dalam sana. Ia keluar dari kamar mandi, tubuhnya berbalut bathrobe putih, handuk warna senada melilit di atas kepala membungkus rambut basahnya.
Achala terkejut saat atensinya tertuju ke tempat tidur. Sejak kapan bocah laki-laki itu masuk kamar mereka, tidur di atas tubuh sang ayah dan memeluk tubuh si besar dengan nyaman. Bergegas Achala menghampiri anak dan bapak itu, tangannya sedikit menyibakkan selimut Affandra. Seingatnya sebelum tertidur, pria itu belum mengenakan apa pun dan langsung menarik selimut karena kelelahan-mungkin.
Achala menarik napas lega, meski sang suami masih bertelanjang dada. Setidaknya bagian bawah sudah mengenakan celana tidurnya dengan benar. Wanita itu berjalan ke sisi kanan tempat tidur, mengecup pipi bulat si jagoan kecil berkali-kali.
"Macha ...," panggil Juang yang terganggu karena kecupan dingin di sisi wajahnya tadi.
"Yes, little pumpkin. Abang udah bangun?" Achala menoleh, menghentikan pergerakannya mencari pakaian yang akan ia kenakan dari dalam lemari.
"Gendong ...," rengeknya manja.
"Sebentar, ya. Macha pakai baju dulu, oke?"
Juang hanya mengangguk, mengizinkan sang ibu berjalan ke walk in closet meninggalkannya. Lima menit berlalu, Achala kembali dengan pakaian lengkapnya, meski di atas kepalanya masih terlilit handuk.
"Sayang, katanya mau gendong tadi." Achala mengusap dahi Juang, duduk di tepi tempat tidur.
Bocah laki-laki itu segera bangkit, pindah duduk ke pangkuan Achala dengan tergesa. Achala sempat terhuyung karena pergerakan Juang tanpa aba-aba.
"Pelan-pelan, Sayang. Nanti jatuh, gimana?"
Tangannya mengusap punggung sempit si balita, beberapa kali mencium puncak kepala sang anak. Sementara yang dipangku kembali memejamkan matanya, nyaman dengan dekapan sang mama.
"Abang, mau ikut salat? Kita salat jamaah, papaf imam. Mau?" tanya Achala pada bocah laki-laki itu.
"Tapi papaf masih bobok, Macha. Gimana mau jadi imam. Salat nggak bisa sambil bobok."
Achala tertawa kecil, ada benarnya juga. Achala menoleh pada sosok besar di belakangnya, tidur tengkurap tanpa dosa. Tangannya menarik selimut Affandra hingga tersingkap sampai pinggang.
"Mas, bangun. Bentar lagi azan subuh, loh."
Pria itu hanya mengubah posisi badan menjadi terlentang. Matanya masih tertutup, susah untuk dibuka. Seperti lengket karena lem kualitas premium.
Meski sedikit kesusahan karena posisinya memangku Juang, Achala berhasil juga menggapai dan mengusap lembut lengan sang suami. Membangunkan si imam yang akan memimpin ibadah dua rakaat mereka.
"Mas, belum mandi, loh. Buruan bangun bentar lagi azan," ujar Achala mengingatkan.
Pria itu bangun, mengumpulkan nyawanya bersandar di kepala tempat tidur. Merenggangkan otot-ototnya yang kaku.
"Buruan mandi, Mas. Bentar lagi jam lima loh."
"Iya, Sayang."
Affandra turun dari tempat tidur. Berjongkok di depan Achala, mengusap kepala si buah hati yang bersandar nyaman di dada pawangnya.
"Mas ... buruan sana. Mandi, Mas. Mandi, biar bisa salat!" Achala menekankan lagi kalimatnya.
Juang mendongak, mata kecil anak itu mengerjap beberapa kali. "Macha, abang belum mandi. Abang mau salat juga."
"Abang bersih, Sayang. Jadi, nggak mandi juga nggak apa-apa. Langsung ambil wudu aja nanti. Papaf aja yang harus mandi." Achala berujar menjelaskan.
"Kenapa? Macha sama papaf mandi. Kenapa abang nggak?"
Affandra tergelak saat melihat istrinya memutar otak mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan tentang pertanyaannya.
"Ini mandi wajib macha sama papaf, Bang." Affandra berkata enteng, pria itu sudah beranjak lari ke kamar mandi menghindari pukulan sang istri.
"Kenapa wajib buat macha dan papaf aja? Abang nggak, Macha?"
Achala menarik napas panjang, suaminya itu bukannya memberi solusi. Justru mendorongnya ke kubangan pertanyaan anak lima tahun seputar hal dewasa. Tidak mungkin, kan, secara gamblang Achala menjelaskan perihal alasan mandi wajib yang mereka lakukan.
"Hmm ... itu, karena macha sama papaf kemarin nggak mandi sore. Jadi, mandinya sekarang. Abang kemarin mandi, kan?"
Anak itu mengangguk, kepala Achala penuh. Berdoa dalam hati semoga tidak ada pertanyaan lain lagi yang membuat isi perutnya mulas.
"Ya, udah sambil nunggu papaf mandi. Abang siap-siap, yuk," ajak Achala membawa tubuh kecil itu ke kamarnya sendiri.
Menurunkan tubuh Juang di tepi tempat tidur, wanita itu berjongkok di depan lemari pakaian sang anak. Mengambil baju muslim dan mengenakannya pada bocah itu.
"Macha." Juang memanggil.
"Iya?"
"Abang sama papaf salat di rumah? Kata bu guru di sekolah, anak laki-laki itu salatnya di masjid."
Menarik garis senyum tinggi, gerakan mengancingkan baju muslim Juang telah selesai Achala lakukan. Menyisir rambut tebal sang anak, Achala kemudian berujar, "Iya, tunggu papaf dulu, ya. Kalau di luar udah nggak hujan nanti ajak papaf salat ke masjid."
"Macha?" Juang menanyakan akan salat di mana wanita itu.
"Mama salat di rumah. Kan Abang sama papaf anak laki-laki. Anak laki-laki salatnya di ...."
"Masjid," sambung Juang antusias.
Achala memeluk anak pintar itu, menciumi puncak kepala Juang. Sungguh luar biasa anugerah Tuhan padanya. Kehadiran Juang, cukup membuat dunianya menghangat, kegagalan sebelumnya dalam menghadirkan malaikat kecil seolah tak pernah menjadi beban pikiran lagi bagi Achala, ia cukup bersyukur dengan segala yang ia miliki sekarang ini.
"Sayang, udah siap belum?" Suara di ambang pintu terdengar berbarengan dengan derit pintu kamar Juang yang terbuka.
Juang melompat turun, berlari berhambur menghampiri Affandra. "Papaf, kita salat di masjid, ya?"
Mengerutkan dahinya, netra Affandra menunduk memperhatikan sang anak yang bersemangat memeluk kedua pahanya. "Mau di masjid? Ya, udah ayo. Ambil sajadah Abang, kita subuhan di masjid."
"Yeeey ... salat di masjid!" Juang berseru riang, membuka lemarinya mencari sesuatu. Tangan kecil itu menyingkap lipatan bajunya yang tersusun rapi.
"Ini, Bang." Achala mengangsurkan sajadah kecil milik sang anak.
Wanita itu benar-benar seperti pahlawan, mengerti semua yang dibutuhkan Juang, meski sang anak belum mengutarakan.
Ditinggal sendirian di rumah oleh dua laki-laki berbeda generasi itu, tak membuat Achala berdiam saja. Ia bangkit, menuju kamar mandi untuk melakukan ibadahnya karena panggilan dari masjid sudah berkumandang dengan syahdu.
Tanjung Enim, 05 September 2022
Republish, 24 Feb 2023
Salam Sayang ❤️
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top