Bujur Bumi 03 : Juang

Juang's Daddy :
Sayang, maaf ganggu ngajarnya. Tadi aku ditelepon wali kelas Juang. Katanya Juang jatuh dari ayunan. Berdarah. Kamu tolong cek dulu, ya. Aku ada rapat sama dewan yayasan.

Juang Winanra Manggala Putra. Rangkaian nama dengan arti Panglima pejuang yang memenangkan peperangan. Anak semata wayang dari Affandra Bujur Putra dan mendiang istrinya terdahulu. Anak laki-laki yang hanya dua jam bertemu dengan sang ibu kandung—sebelum ditinggal untuk selamanya.

Achala sangat menyayangi Juang, jauh sebelum memutuskan untuk menikah dengan Affandra. Meski statusnya sebagai ibu sambung, tetapi banyak kesamaan yang dimiliki anak berusia lima tahun itu dengan dirinya, bahkan bukan satu atau dua orang yang mengira Juang adalah anak kandung Achala dan Affandra. Karakter anak itu persis seperti Achala. Namun, dengan wajah duplikat Affandra.

Anak itu benar-benar Achala perhatikan dengan baik. Juang adalah prioritas utamanya, bahkan sebelum Affandra.

Baru saja memulai mengajar, kabar yang Affandra sampaikan membuat fokusnya terpecah.

"Anak-anak, Ibu Acha ada keperluan sebentar. Kalian bisa buka buku tema satu? Kerjakan di halaman dua puluh, ya. Bisa bantu ibu untuk tertib?"

"Bisa, Bu." Suara sahutan itu menggema di ruang kelas.

Achala tersenyum, ia mengayunkan tungkainya meninggalkan kelas. Dalam perjalanannya, Achala berhenti di tengah koridor, ponsel yang ia genggam kembali bergetar. Lagi-lagi nama Affandra di sana. Segera wanita itu mengangkat panggilan dari sang suami. Sungguh, sebenarnya ... Achala gemetar, sangat khawatir pada Juang.

"Iya, Mas."

"Sayang, kamu udah ke TK?"

"Halo, Sayang? Kamu nggak usah panik, Juang nggak apa-apa, kok. Cuma luka di lutut aja. Kamu kan tahu Juang anaknya gimana."

Mendengar penuturan terakhir Affandra sebelum menutup teleponnya cukup membuat Achala tenang. Perempuan itu menyentuh dadanya, degupan jantungnya masih di atas rata-rata. Ia menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. Baru saja akan mengayunkan tungkainya kembali, suara serta panggilan khas menginterupsinya.

"Macha."

Achala berbalik, pupilnya membesar saat mendapati Juang berada di dalam gendongan seorang pria muda. Netranya beralih ke lutut Juang, masih ada gores luka kecil dan berdarah.

"Selamat pagi, Bu Acha," sapanya ramah sembari menurunkan bocah itu dari gendongannya.

Achala tercenung sejenak menatap sosok yang menggendong putranya tadi, menerka-nerka siapa laki-laki yang sedang ada di hadapannya.

"I-iya, selamat pagi. Bapak ...."

"Saya Yoga, Bu. Saya staf baru di TK."

Achala mengangguk dengan penjelasan pria yang ternyata staf baru di TK anaknya tersebut. Dasar Achala, hanya karena panik pikirannya sudah ke mana-mana.

Wanita itu beringsut meraih tubuh bocah laki-laki yang sejak tadi ia khawatirkan, mendekapnya dalam gendongan hangat. Helaan napas lega Achala embuskan, satu kecupan ia tinggalkan di pelipis sang anak.

"Ini, Bu. Tadi Juang terjatuh dari ayunan. Lutut dan telapak tangannya luka, tapi Juang nggak mau diobati. Maunya sama mama, katanya."

"Oh, iya, baik. Terima kasih banyak ya, Pak. Sudah repot mengantarkan Juang ke sini."

"Sama-sama, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu Acha," balasnya seraya meninggalkan Achala dan Juang.

Hanya Achala balas dengan anggukan dan senyum. Wanita itu pun berbalik, mengayunkan langkah menuju ruang guru. Hatinya sedikit tenang, entah apa yang membuat ia secemas itu. Padahal ... bukannya hal biasa anak TK bermain kemudian terjatuh. Toh, ada gurunya yang mengawasinya.

Menghela napas yang entah ke berapa kali, wanita itu berbalik melanjutkan langkah menuju ruang UKS untuk meminjam kotak obat.

"Abang nggak kenapa-kenapa, Macha. Abang kan anak kuat. Jangan bilang ke papaf, ya, Macha."

Kamu masih sempat bilang nggak apa-apa, Nak. Mama sampe lemas lutut gara-gara kamu.

"Tapi papaf udah tahu, Sayang. Ini mama tahu karena papaf yang telepon."

"Papaf nggak marah, kan? Abang nggak akan dimarahin, kan?"

"Nanti telepon papaf, minta maaf, ya. Jangan diulangi lagi mainnya begitu."

Memasuki kantor guru, anak laki-laki berseragam TK itu Achala turunkan dan didudukkan pada kursi yang biasa ia tempati.

"Tunggu di sini, mama siapin obat, oke?"

Juang mengangguk, meski wajahnya menampilkan ekspresi lain. Achala mengambil kotak obat dan air hangat dari dispenser yang ada di pojok kanan ruangan. Lima menit ia meninggalkan Juang, kemudian datang lagi dengan menarik satu kursi ke hadapan si anak duduk.

Achala membasuh kain kasa pada air hangat yang sudah dicampur cairan antiseptik, meraih telapak tangan Juang yang terluka untuk dibersihkan. Namun, anak itu menarik kembali tangannya, ekspresinya seketika berubah takut.

"Lukanya dibersihkan dulu, Sayang. Nanti infeksi kalau nggak dibersihkan."

"Nggak mau, Macha. Perih ...."

Menghela napas entah yang ke berapa kali, Achala menatap anaknya yang sudah hampir menangis. Telapak tangan yang luka itu ia sembunyikan ke balik punggung sempitnya.

"Terus ... Juang mau apa? Katanya tadi mau sama mama. Kok, sekarang nggak mau? Udah nggak jadi anak baik lagi sekarang, iya?"

"Eh, ada anak ganteng. Kenapa di sini? Mau pindah sekolah SD, ya?" goda Kalila pada Juang seraya mencolek pipi kanan anak itu.

Suara heboh mengalihkan atensi ibu dan anak itu. Juang mendongak memindai ke penghasil suara berisik di hadapannya.

Kalila duduk di kursi samping Juang. "Loh? Ini kenapa?" tunjuknya pada lutut yang masih terdapat luka tersebut.

"Biasa, Tante. Jatuh dari ayunan, tapi nggak mau diobatin. Padahal kalo nggak diobatin nanti infeksi, tambah sakit, iya kan Tante Lila?" Achala sengaja bertanya demikian, agar anak itu mau menyerahkan telapak tangannya untuk dibersihkan.

Ekspresi wajah Juang berubah, bibir bawahnya melengkung ke bawah. Mata kecil itu sudah berembun ingin menumpahkan air yang masih ia tahan. Entah ingin menangis karena luka atau karena yang lainnya.

"Juang, tadi pagi sarapan apa?"

Juang menoleh pada Kalila, bola matanya bergerak ke atas sesaat, mengingat kembali sarapan yang ia makan tadi pagi, bibir mungil bocah laki-laki itu berucap, "Nasi goreng."

"Tahu nggak? Luka kalau nggak mau diobati, nanti keluar nasi, loh. Emang Juang mau nanti di sini keluar nasi goreng," tunjuk Kalila lagi pada lutut Juang.

Achala hanya menggelengkan kepala, ada-ada saja cara teman sejawatnya itu. Ini sudah modern, menakuti dengan cara demikian sepertinya sudah tidak berpengaruh lagi untuk anak generasi Z seperti sekarang ini.

"Nggak! Tante Lila bohong, mana ada nasi goreng bisa keluar dari sini. Emangnya ini perut," balasnya mematahkan ucapan Kalila.

Tuh, kan! Anak-anak zaman sekarang sudah lebih pintar. Mereka tidak akan percaya dengan trik lama. Ayo Kalila, lebih semangat lagi mengarang bebasnya.

"Ih, nggak percaya. Tante pernah dulu waktu kecil. Luka di sini." Kalila menunjukkan pada bekas luka di punggung tangannya. "Tante juga nggak mau diobati, terus malamnya apa yang tante makan keluar dari sini."

Mata kecil Juang memperhatikan penuturan Kalila, ada ringisan takut pada mimik wajah polos anak itu. Setelah beberapa saat akhirnya, anak itu terpengaruh juga dengan apa yang diucapkan Kalila karena seperti sangat menyakinkan.

"Macha ... mau diobatin, nggak mau keluar nasi goreng," rengek Juang mengulurkan telapak tangannya yang luka pada Achala.

Achala meraih kembali obat-obatan tadi. Dengan hati-hati ia membersihkan luka di telapak tangan Juang, kemudian beralih pada lutut sang anak. Luka Juang sudah dibersihkan dan diberi obat merah,

Achala menelisik netra kecokelatan sang anak. Dari sekian kemiripan Juang dan Affandra. Warna mata anak itu mewarisi mendiang ibunya dan secara kebetulan sewarna dengan milik Achala.

"Mau games, Macha," rengek Juang meminta izin memainkan permainan pada ponsel pintar miliknya.

"Iya, mama izinkan main ponsel, tapi telepon papaf dulu."

Juang mengangguk patuh, membiarkan lukanya dibersihkan hingga ditutup dengan plester. Dasar anak-anak, demi dapat memainkan sebuah permainan ia rela menahan rasa perih.

Achala bangkit, merogoh saku blazernya, kemudian mengangsurkan ponselnya pada bocah laki-laki itu.

"Boleh main ponsel, tapi ingat ... setelah alarm di ponsel mama bunyi Abang harus berhenti, oke?" tegas Achala pada Juang.

Juang mengangguk, Achala tidak melarang apa yang akan juang lakukan, ia memberi kebebasan pada anak sambungnya itu, tetapi tetap pada peraturan yang ada.

"Telepon papaf dulu. Tadi mau bilang apa sama papaf?" Achala memperingatkan.

"Mau minta maaf," sahutnya.

Panggilan pertama tidak ada jawaban, Achala kembali menghubungi nomor yang sama. Layar ponselnya pada genggaman Juang menampilkan foto mereka bertiga, masih belum diangkat oleh orang di seberang sana.

"Mama ke kelas, Juang tetap di sini, ya. Kalau perlu sama mama, susul ke kelas, oke anak baik?"

"Iya, Macha," sahutnya patuh.

Achala meninggalkan Juang di kantor guru, ia percaya jika anak itu tidak akan abai pada pesannya. Sebagai ibu yang baik, Achala ingin mendidik Juang sebagaimana mestinya. Dan ... sebagai guru yang bertanggung jawab, ia harus melaksanakan tugasnya dengan baik.

Juang menempelkan ponsel Achala di telinga kirinya saat panggilan telepon sudah diangkat oleh orang di seberang sana.

"Iya, Sayang. Juangnya gimana, udah dijemput?"

"Papaf ... ini abang."

"Oh, Abang. Iya, kenapa, Nak? Abang nggak apa-apa, kan?"

Menggeleng ribut, seolah gerakannya dapat dilihat oleh sang ayah. "Udah diobati sama macha, Paf."

"Oke, bagus. Pintar sekali jagoan."

"Papaf, abang minta maaf karena udah buat khawatir. Abang janji mainnya lebih hati-hati." Berucap cepat anak itu mengutarakan niatnya menelepon.

"Nggak apa-apa, Nak. Macha mana, Bang?"

Menjauhkan ponselnya dari telinga, pandangannya menyapu ruangan, kalau-kalau sang mama masih ada di sekitarnya. "Di kelas, Paf."

"Oke. Abang lagi apa?"

"Mau main games di handphone macha."

"Ya udah, Abang main aja dulu, ya. Papaf masih ada rapat. Jangan nakal di sana."

Sambungan telepon diputus oleh sang ayah. Melanjutkan niat awalnya, segera anak itu membuka aplikasi games pada ponsel Achala. Pandangannya sudah fokus pada permainan di benda canggih itu. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak, jari mungil itu bergerak lincah di atas layar touchscreen.

Tanjung Enim, 03 September 2022
Republish. 21 Februari 2023
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Sudahkah cerita ini kalian masukkan ke reading list untuk pembaca baru?

Yang pembaca lama boleh baca ulang karena ini 2 bab aku gabung jadi 1 dan revisi tipis2.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top