Bujur Bumi 02 : Tidak Benar-benar Lurus

Ketukan sepatu hak tinggi di atas barisan conblock terdengar teratur. Wanita dengan setelan blazer merah muda, rok selurut berwarna gelap, dan rambut diikat rapi. Ia berjalan memasuki sebuah kompleks sekolah dasar dengan senyum teduh menyambut dunia paginya, sesekali teguran sayang ia lemparkan pada anak-anak yang berlarian di tengah lapangan.

"Selamat pagi, Bu Achala," sapa salah satu murid.

Achala menjadi salah satu guru favorit di SD Cendana Bakti. Tempat ia mengabdikan diri demi terciptanya generasi cerdas.

"Pagi ... Viola? Eh, benar?"

Anak perempuan berusia delapan tahun itu menggeleng keras. "Bukan, Bu. Aku Viona, Ola ada di sana." Ia menunjuk pada kembarannya yang tak kalah riang di ujung sana.

Achala mengangguk. "Wah, maaf, ya. Ibu salah lagi, ibu belum hapal mana Ona atau Ola," ujar Achala canggung.

Wajar saja jika wanita 29 tahun itu belum bisa membedakan anak kembar ini, mengingat ia baru satu tahun bergabung menjadi salah satu guru di Yayasan Cendana Bakti.

Achala menyukai anak-anak, setelah beberapa bulan memutuskan resign dari perusahaan besar yang memberinya karir cemerlang dan pendapatan di atas rata-rata, tetapi sekarang ia lebih memilih menjadi salah satu bagian peran penting mendidik anak.

Beruntung ia memiliki suami seperti Affandra Bujur Putra. Kalau bukan karena Affandra, mana mungkin Achala yang lulusan Ekonomi Bisnis bisa menjadi seorang guru, di sekolah dasar pula. Sangat melenceng dari ijazah yang ia punya.

Namun, biarlah. Toh, di dunia ini tidak semuanya benar-benar berdiri di garis lurus, bahkan temannya lulusan terbaik fakultas sastra Inggris, sekarang berprofesi sebagai abdi negara.

Affandra, suami Achala itu adalah penerus ketua Yayasan Cendana Bakti. Sudah hampir dua tahun ia menggantikan ayahnya, jabatan itu diberikan padanya setelah tiga bulan menikahi Achala. Sesuai janji ayahnya, ia akan diangkat menjadi ketua yayasan jika berhasil membawakan ayahnya menantu untuk menjadi ibu sambung putra Affandra.

"Selamat pagi," sapa Achala memasuki ruang khusus guru dan staf pengajar.

"Pagi Ibu Acha. Wah ... pink ya, jadi seger mata memandang," balas seorang wanita paruh baya yang sudah belasan tahun mengabdikan diri di sekolah ini.

Suasana ruang guru masih bisa dikatakan kondusif, masih belum banyak guru-guru yang datang. Sebentar lagi akan ramai dengan obrolan, terlebih jika Kalila sudah datang. Wali kelas tiga itu memang masih muda, usianya baru menginjak 24 tahun. Wajar saja jika jiwanya masih suka hal-hal ala romansa muda.

"Mbak Acha ...." Teriakan itu menyentak Achala yang ingin meraih absen kelas di meja pojok ruangan.

Benar, kan? Baru saja dibicarakan, gadis itu sekarang sudah heboh berlari menuju Achala. Sebentar lagi, ia akan panjang bercerita tentang drama Korea yang ia tonton, bagaimana tampan dan gagahnya pria-pria itu. Achala sudah khatam!

"Absen dulu, absen dulu," tolak Achala saat gadis itu sudah ingin memeluknya.

Ia berlari ke arah pintu lagi. Memasukkan salah satu jarinya pada pingerprint. Achala berdecak dengan tingkah gadis itu, tetapi ia bersyukur Kalila bisa menjadi teman sekaligus adik perempuan yang manis. Cukup menyenangkan bagi Achala yang terlahir tunggal.

"Ahh ... aku kangen banget sama Mbak Acha. Tiga minggu nggak ketemu libur semester. Mbak Acha tahu nggak?"

"Nggak! Kan kamu belum cerita." Achala menyela.

Kalila melipat wajahnya, bibir bawahnya mencebik. "Mbak Acha, ih! Belum juga ngomong."

Achala tergelak, gadis itu menarik tangan Achala agar posisi mereka sedikit menjauh dari sang guru senior. Achala paham betul, jika Kalila sudah begini, pastilah gosip yang akan ia sampaikan pada Achala.

"Mbak, tahu nggak Pak Reno, ayahnya Naura murid kelas tiga?"

"Wali murid kamu?" Lagi-lagi Achala menyela.

Kalila mengangguk, ia sedikit memajukan wajahnya. Telapak tangannya di sisi pipi kirinya, agar orang dari samping tidak melihat pergerakan bibirnya. Kalila sudah pas menjadi pembawa acara gosip.

"Ternyata, ada main sama Bu Elsa."

"Ibu Elsa?" Achala mengernyitkan dahinya.

Kalila menepuk dahinya. "Itu loh, staf tata usaha di SMA."

Achala melipat tangan di depan dada, wanita itu belum hapal betul nama-nama guru dan staf di Yayasan Cendana Bakti. Mengingat yayasan ini menaungi empat jenjang sekolah. Mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA yang berada di satu kompleks luas.

"Kamu tahu dari mana? Fitnah dosa, loh!" Telunjuk Achala mengarah ke wajah Kalila.

"Aku nggak fitnah, Mbak. Suer dah ketumpahan kuah seblak!"

Kalila bergerak gusar, ia melangkah lebih maju ke hadapan Achala, saat memastikan keadaan cukup aman ia membuka suara kembali.

"Jadi, Naura sering cerita sama aku. Curhat ala-ala anak SD gitulah. Katanya, orang tuanya sering ribut. Papanya pernah ajak dia ketemuan sama Bu Elsa."

Gadis itu mundur satu langkah, jemarinya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, kemudian menyimpan tangannya di saku blazer. Masih setengah berbisik, ia melanjutkan kembali ceritanya.

"Mbak, tahu kan, Sabtu Minggu aku suka ngajar di tempat les punya temenku?" tanya Kalila memastikan Achala ingat perihal pekerjaan sampingan yang ia ambil di kala waktu libur.

"Nah, Naura kan les di tempatku itu, kemarin entah gimana kronologi awalnya, Naura diantar papanya les, tiba-tiba mamanya datang. Ternyata ... di dalam mobil sudah ada Bu Elsa. Heboh pokoknya kemarin di tempat lesku, Mbak."

Gadis itu menggaruk pelipis, dahinya mengernyit. "Heran, kok bisa ya, Mbak? Padahal menurutku cantikan mamanya Naura, loh."

Achala menarik senyum samar, masih mendengarkan dengan saksama, berusaha tenang meski dadanya gemuruh tak karuan. Ia benci bentuk penghianatan tak bermoral itu. Sangat!

Kalila celingukan saat ruang guru sudah mulai dipenuhi dengan rekan-rekannya yang berdatangan, tiba-tiba ia tertawa canggung, membuat Achala bingung dengan perubahan ekspresi yang ditunjukkan gadis itu.

"Jadi, begitu, Mbak. Pokoknya seru banget drama Korea yang aku tonton semalem. Nggak kayak sinetron pokoknya," ujar Kalila.

Achala paham, gadis itu tidak ingin rekan sesama guru yang lain mendengar gosip yang yang ia bawa. Kalila hanya membaginya pada Achala saja.

"Eh, La. Pilem Mas Aldebaran semalam seru banget. Apalagi si Mas Al cemburu istrinya dekat sama adik iparnya. Aduh, ibu sampe gemes lihatnya, La."

Seorang guru paruh baya pencinta sinetron menimpali Kalila. Ia tak kalah semangat menceritakan dan menyebut nama tokoh di sebuah sinetron yang ia tonton itu.

"Ah, iya, Bu. Ibu saja juga suka banget pilem itu. Sampai-sampai rebutan remote dengan aku," jawab Kalila mengacungkan satu jempolnya pada guru tersebut.

Kalila menggeser posisinya, ia membelakangi ibu tersebut. Achala menarik senyum, menertawakan Kalila yang tampak lucu memiliki teman satu profesi, tetapi tak sefrekuensi seperti ini.

"Sinetron, Bu. Sinetron. Film dari mana, sih. Kebiasaan ibu-ibu, pada nggak bisa bedain mana sinetron, mana drama, mana film," gumam Kalila menggerutu.

Achala menggelengkan kepala, tertawa samar dengan protes Kalila yang hanya bisa ia ucapkan di belakang.

"Mbak Acha, kenapa ya orang-orang di dunia ini kalau hidup tuh, emangnya nggak bisa lurus-lurus aja. Nggak usah kebanyakan tingkah. Contohnya kayak orang tua Naura tadi." Kalila berujar dengan kening mengerut dalam.

Achala menepuk bahu gadis itu. "Namanya juga hidup, La. Kadang yang kita kira dari hidup orang seperti lurus-lurus aja tanpa kendala, tapi justru yang terjadi tidak benar-benar lurus." Wanita itu berlalu meninggalkan Kalila yang masih berdiri di tempatnya.

***

Tanjung Enim, 2 September 2022
Republish, 14 Feb 2023
Salam sayang ❤️
Rinbee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top