Bujur Bumi 01 : Semua Berawal Dari Sini
Sarayu sore bergerak pelan, menerbangkan rambut panjang nan hitam milik seorang wanita. Ia duduk di sebuah benda berbentuk oval yang terbuat dari bahan anyaman rotan sintetis. Derit engsel besi tak berminyak yang menjadi penyanggah ayunan rotan pun terdengar syahdu, seolah menjadi pelengkap musik alam menyambut rasa bahagianya.
Achala Annandhita, tak hentinya menarik garis senyum tinggi, menatap sebuket besar bunga Krisan putih yang dikirimkan sang suami. 14 Februari 2017 menjadi anniversary mereka yang ke empat. Beberapa bulan lalu wanita itu meminta bunga Krisan sebagai hadiah hari jadi mereka.
Empat tahun mengarungi biduk rumah tangga. Di matanya, sang suami tidak banyak berubah. Masih sama seperti Jibran Lintang Darmawan yang ia kenal semasa kuliah, masih romantis seperti Lintang di tahun pertama anniversary mereka.
Suara dering ponsel berteriak di ujung sana, Achala mengalihkan atensi ke atas meja rotan yang senada dengan ayunannya. Kakinya turun, berjalan tanpa alas, menapaki bebatuan kecil yang menyatu pada semen dan koral.
Sensasi sakit terasa saat telapak kakinya beradu dengan bebatuan. Namun, ia abaikan. Katanya, anggap saja sebagai pijat refleksi. Sakit memang, tetapi bukankah baik untuk kesehatan?
Tangan Achala terulur mengambil benda canggih yang sudah dua kali berdering, senyumnya lagi-lagi terangkat saat foto sang suami memenuhi layar ponsel sebagai penelepon. Suaminya tampak gagah di sana, mengenakan setelan jas berwarna gelap, dasi silver, dan rambut tertata rapi. Foto yang diambil saat acara kenaikan jabatan di kantornya beberapa bulan lalu.
"Happy anniversary, Mas." Alih-alih mengucapkan kata "halo", Achala justru mengucapkan kalimat selamat.
"Happy anniversary juga, Sayang. Gimana, udah terima bunganya?"
Achala mengangguk, seolah pergerakannya itu bisa Lintang lihat.
"Kamu udah siap, kan, Sayang? Mas lima menit lagi sampai rumah."
"Udah dari tadi, dong. Aku udah dandan yang cantik."
Sudah menjadi kebiasaan pasangan ini, setiap tahun di hari jadi pernikahan akan mereka rayakan di luar. Menginap di hotel berbintang, makan malam romantis dan lain sebagainya demi menjaga keharmonisan rumah tangganya.
"Oke, mas sudah sampai gerbang, nih. Mas tutup teleponnya, ya."
Percakapan itu terputus begitu saja, Achala melangkah dengan tergesa saat klakson mobil Lintang sudah terdengar samar di balik tingginya pintu pagar rumah mereka.
"Mas ...." Achala berlari berhamburan menubrukkan tubuhnya ke dalam dekapan hangat sang suami. Ia tidak peduli jika sedang berada di teras rumah mereka.
Lintang mendekap erat sang istri, kecupan bertubi pun Lintang bubuhkan di setiap inci wajah Achala. "Cantik banget istri mas yang ini. Selamat hari pernikahan, ya, Sayang. I love you, Honey."
"Istri Mas yang ini? Emang ada istri yang itu, apa?" Achala mencebik.
"Bukan, gitu. Kamu tetap satu, Sayang. Udah akh jangan ngambek, my pretty wife."
Kalimat pujian yang biasa Achala dengar. Namun, tidak menutup realitas. Kalimat itu masih saja lancang, membuat pipi Achala bersemu merah.
***
Mobil mewah milik Lintang membelah kota Jakarta, dahi Achala mengkerut saat kereta besi yang mereka tumpangi ini membawanya ke jalanan yang sangat ia kenali.
Namun, Achala tak mengambil pusing saat mobil Lintang sudah berbelok memasuki kompleks tempat di mana kedua orang tuanya tinggal.
"Turun, yuk, Sayang," ajak Lintang saat mobilnya sudah terparkir di atas rumput halaman luas.
Menyimpan semua pertanyaannya di kepala, Achala menyamakan langkah sang suami memasuki rumah di mana tempat ia dibesarkan, berjalan tanpa ragu hingga ke ruang tengah. Netranya menangkap pria dengan usia yang tak lagi muda, duduk tegap di sofa sendirian. Langkah Achala dipercepat, berhambur memeluk sang ayah. Entah ke mana wanita paruh baya yang selalu menemaninya, mungkin ibunya sedang berada di kamarnya atau halaman belakang.
"Acha kangen. Ayah sehat?"
"Alhamdulillah, ayah sehat, Nak."
Lintang meraih tangan renta itu, menciumnya adalah sebagian dari bukti bahwa ia menantu berbakti.
Suasana di ruang tengah seketika senyap, masih ada pertanyaan mengganggu di benak Achala. Ketiga orang tersebut masih saling tatap, sampai suara dehaman sang ayah memecah hening.
"Lintang, sudah siap? Silakan kamu utarakan."
Meski susah payah dengan suara tersekat di pangkal tenggorokan, Lintang harus mengutarakannya. Ya, ia harus mengungkapkannya pada Achala di depan sang mertua.
"Sayang, maaf. Aku khilaf, aku udah mengkhianati kamu sejak tahun ke dua pernikahan kita. Wanita itu sudah hamil anakku, anak kami segera lahir empat bulan lagi. Aku butuh keturunan, Sayang. Anak itu butuh aku sebagai ayahnya."
Mata Achala nanar, bibirnya beku tak bisa bergerak untuk sekadar mengucapkan sepatah kata. Pengkhianatan? Achala sangat membenci itu. Anak? Lintang butuh keturunan? Bukankah selama empat tahun berumah tangga, Lintang selalu menjadi penenang di kala tamu bulanan Achala datang, tanda bahwa doa mereka belum juga dikabulkan Tuhan.
"Mas ... lihat aku," lirih Achala. Wanita itu masih tidak percaya dengan pengakuan yang ia dengar barusan. "Mas nggak serius, kan?"
Lintang mendongak, wajahnya jelas menggambarkan raut kesedihan. Lagi-lagi Achala bingung, kentara sekali Lintang sama terlukanya. Namun, kenapa ia melakukannya?
"Bismillahir rahmanir rahim, Achala Annandhita binti Ahmad Chairi. Di depan sang ayah wali sah atas kamu. Aku ceraikan kamu dengan tiga talak. Mulai detik ini, secara agama kamu bukan lagi istri sahku."
Suasana dan kalimat yang Lintang ucapkan kali ini berhasil membuat Achala merasa dejavu dengan jantungnya yang berdegup ribut sama seperti empat tahun lalu, saat pria itu berjabat tangan dengan ayahnya, mengucapkan ikrar ijab kabul.
Dunia Achala runtuh, hatinya benar-benar diporak-porandakan, tangannya membekap mulut. Tidak percaya kalimat paling ia kutuk berhasil Lintang keluarkan tanpa hambatan. Badannya lemas, terjerembab di sandaran sofa. Tangisnya turun, matanya nanar masih syok dengan apa yang barusan terjadi.
Lintang menunduk kembali, tidak berani menatap Achala ataupun mantan mertuanya. "Surat gugatan cerai dari pengadilan sudah aku kirim kemarin ke rumah, mungkin kamu belum cek kotak surat depan."
Lalu, untuk apa semua perlakuan manis Lintang beberapa jam sebelum ia menjatuhi talak pada Achala? Talak tiga? Lintang benar-benar tak menginginkan lagi wanita yang sudah menemaninya beberapa tahun belakangan.
"Jadi, kita benar-benar bercerai? Dan tidak ada kesempatan aku untuk kembali?" tanya Achala melirih. Sorot matanya lurus tertuju pada manik kelam Lintang. Tangannya yang bergetar mengusap kasar air matanya.
"Sayang—"
"Berhenti memanggilku dengan kalimat laknat itu, Lintang! Aku bingung ada apa dengan kamu."
Napas Achala terengah-engah, Lintang hendak meraih wajah Achala yang sudah dibanjiri air mata, tetapi ditepis dengan kencang oleh wanita itu.
"Pergi dari sini! Aku nggak mau lihat kamu lagi. Demi Tuhan aku membencimu, Lintang Darmawan, sampai titik terakhir napasku!"
Achala berteriak, tanpa embel-embel penghormatan ia menyebut nama—mantan—suaminya dengan lantang. Wanita itu tergugu, sebuah lengan besar meraih tubuhnya, mengusap punggung rapuh itu dengan sayang. Satu-satunya pria yang bisa ia andalkan hanyalah ayahnya. Ia menyesal, seluruh cinta dan rasa percayanya ia serahkan semua untuk Lintang. Pria 28 tahun yang berstatus mantan suaminya.
Tanjung Enim, 1 Sept 2022
Republish, 11 Februari 2023
Salam Sayang
Rinbee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top