Bujur 37: Menagih Janji
Akhirnya, entah angin apa yang membuat Achala menyerah. Wanita itu menyetujui permintaan Lintang. Memberi waktunya untuk pria yang duduk dengan wajah semringah di kursi seberangnya. Kening Achala berkerut saat pria itu tak acuh pada ponselnya yang bergetar di atas meja, terlebih ia bisa melihat siapa yang menelepon.
Berdecak samar, bahkan sang putri saja ia abaikan. Pria itu menggeser tanda panggilan ke warna merah, menolak telepon dari Vanilla.
"Aku senang kamu akhirnya, mau meminjamkan waktumu. Lain kali aku yang gantian meminjamkan waktuku untuk ka—"
"Tidak perlu! Setelah ini aku nggak punya waktu untuk meladeni kamu." Siku Achala bertumpu di atas meja. "Jangan buang waktumu sia-sia, lebih baik kamu pulang. Habiskan hari-hari kamu dengan anak dan istrimu."
Menebalkan muka dan menulikan pendengaran, pria itu tidak menggubris ucapan Achala. Ia justru menggeser mangkuk sup miliknya ke depan Achala.
"Cobain, deh. Ini enak banget, kamu pasti suka."
Lintang anggap apa Achala ini? Ia pikir wanita itu akan suka rela berbagi makanan dengannya? Ia pikir, Achala masih sah istrinya? Jangan gila. Ia tidak lupa, kan? Berapa jumlah talak yang ia jatuhi untuk Achala? Jangan terlalu bermimpi wanita itu akan menyicipi sup yang ia sodorkan, bahkan makanan di piringnya saja masih belum disentuh sama sekali. Achala hanya membasahi kerongkongannya dengan minuman leci yang ia pesan.
"Oh, iya. Kamu nggak jemput anak Affandra lagi? Vanilla bilang, kamu sudah jarang di TK. Vanilla rindu kamu."
Achala berdecih, senyum miring ia lemparkan untuk makhluk bebal seperti Lintang. Wanita itu memang sudah mengurangi menjemput Juang di sekolahnya, itu sengaja ia lakukan agar tidak bertemu putri dari pria yang ada di hadapannya ini.
Apa katanya tadi? Anak Affandra? Ia tidak tahu saja bagaimana Achala sangat mencintai bocah laki-laki itu seperti anak yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. Vanilla rindu Achala? Pria itu mencoba meluluhkan pertahanan Achala dengan putrinya sebagai senjata. Lintang tahu Achala sangat mencintai anak-anak.
"Kapan-kapan meet up, mau? Vanilla pasti senang bertemu—"
"Tidak! Aku tidak mau bertemu dan berurusan dengan keluargamu lagi. Aku punya suami dan anak, itu sudah dari cukup. Oh, iya. Juang putraku, selamanya dia tetap putraku."
Benar! Saat awal Achala mendengar tangisan dan melihat Juang bayi, ia sudah jatuh cinta pada makhluk kecil itu. Ia sudah menganggap Juang anaknya saat pertama kalinya menggendong putra kandung Affandra dan mendiang istrinya itu.
"Cha, aku mohon ... kasih aku kesempatan sekali lagi." Lintang memohon, tangannya hendak meraih telapak tangan Achala. Namun, dengan tegas wanita itu menolak.
Achala menggeleng, pria ini benar-benar gila. Entah mabuk atau amnesia, ia tidak sadar apa yang terjadi sekarang? Achala berdecih, menelisik wajah Lintang yang mengiba memohon kesempatan ke dua.
Tak menggubris ucapan Lintang serta permohonan yang menurut Achala sangat konyol. Wanita itu beranjak keluar dari mejanya, jangankan berpamitan pada pria itu, justru Achala tak acuh meninggalkan Lintang.
Menapakkan tangga yang bergerak menurun, Achala berjalan ke lantai bawah menuju pusat perbelanjaan. Berbelanja bulanan rumah tangganya lebih berharga ketimbang meladeni pria sinting tak tahu diri itu.
Mendorong troli, menyusuri lorong di antara rak tinggi, Achala mulai mengambil barang-barang yang ia butuhkan. Mulai dari bumbu dapur hingga keperluan kamar mandi, semua tak luput dari perhatiannya.
Kembali mendorong troli menuju rak makanan ringan dan susu. Achala teringat jika pagi tadi putranya berkata, mungkin besok ia tak makan sereal kesukaannya lagi karena hanya cukup untuk sarapan pagi tadi saja. Achala mengerti kode halus sang buah hati, itu tandanya makanan itu harus distok ulang. Mengulas senyum tipis, Achala mengingat tingkah putranya yang menggemaskan.
Pandangan Achala menyapu setiap rak tinggi yang ada di hadapannya, mencari sereal dengan merek yang biasa ia beli, tetapi tak ia temukan. Maju beberapa langkah ke rak sebelahnya, netranya membulat saat kotak sereal berwarna hijau tua itu ia temukan. Tangan Achala hendak meraih kotak di rak pada tingkat atas, cukup tinggi untuk ukuran tubuh Achala. Ia berjinjit, menggapai kotak tersebut, tetapi pergerakannya terhenti karena suara lain dari dalam tasnya minta perhatian.
Meraih ponselnya, Achala segera mengangkat panggilan video saat nama suaminya tertampil di layar ponsel.
"Macha ... kenapa tidak ajak abang."
Putra semata wayangnya yang menelepon menggunakan ponsel ayahnya. Bisa Achala lihat, wajah anak itu tertekuk sebal, bibir kecilnya maju beberapa senti. Belum juga Achala menyahuti, layar ponsel bergerak acak dan berakhir menampilkan langit-langit rumah. Anak itu merajuk.
"Bang, ponselnya yang benar."
Suara suaminya menimpali, tidak lama kemudian layar ponsel kembali bergerak dan menampilkan sang putra yang duduk di sofa. Kemarin sore, putranya itu menginap di rumah mertuanya. Tanpa celotehan dan gelak tawa anak itu, keadaan rumah menjadi sepi.
"Mama belanja sebentar, Sayang. Abang, sih, ninggalin mama sendirian kemarin. Mana yang katanya nggak mau mama kesepian? Mama menagih janjinya, loh."
Achala menggeser trolinya saat ada pengunjung lain yang ingin mengambil barang dari rak di depannya. Kembali mengalihkan atensi pada layar ponsel, wajah anak itu sudah tidak tertekuk lagi.
"Macha, jangan lupa beliin jajanan abang yang banyak, ya."
Achala mengangguk mengacungkan ibu jari pada layar, kembali mendorong troli beberapa langkah, mengambil beberapa kotak susu yang biasa Juang minum. Kembali ke rak sebelumnya, Achala mengubah tampilan kamera belakang, mengarahkan ke jejeran sereal di rak atas.
"Ini sereal Abang, kemarin udah habis, kan?" Dapat Achala lihat anak itu mengangguk kuat. "Papa tadi ke mana, Sayang?"
"Papa ada, itu lagi ngobrol sama opa."
Mengalihkan atensi, Achala celingak-celinguk mencari pegawai yang mungkin bisa membantunya mengambilkan beberapa kotak sereal. Tangannya yang bebas terangkat saat melihat pegawai pria. Melalui gestur tubuhnya, Achala meminta bantuan. Jangan salahkan tinggi badannya, kotak sereal itu saja yang diletakkan terlalu tinggi.
Achala berbalik, kembali melihat layar ponsel. "Sebentar, ya. Sereal Abang masih diambil."
"Bang, nanti lagi aja telepon mamanya. Mama lagi sibuk belanja itu."
Tak ada siluet suaminya di layar, tetapi suara pria itu cukup terdengar sangat dekat. Achala tak berniat mengakhiri panggilan bersama Juang meski sejujurnya sedikit kerepotan.
"Terima kasih, Mas—"
Satu kotak sereal sudah berpindah ke dalam trolinya. Pupil Achala seketika membesar, ia kira pegawai tadi yang membantunya. Namun, Achala salah. Justru sosok yang ia tinggalkan di tempat makan tadi yang mengambilkan sekotak sereal tersebut. Ia berdiri di depan troli belanjaan Achala.
Gegas Achala mengakhiri panggilan video bersama putranya. Ia tak ingin sampai putranya atau bahkan Affandra melihat Lintang di sini.
"Ngapain, sih? Kamu mau jadi penguntit?!" cecar Achala dengan suara penuh penekanan.
Jantung Achala bekerja dua kali lipat, ia benar-benar gugup. Achala berdoa dalam hati, semoga putranya tak sempat melihat sosok ayah dari temannya ini sebelum panggilan ia akhiri sepihak.
"Aku cuma mau bantu kamu, Cha."
Memutar bola matanya ke samping atas, gigi geraham Achala beradu. Kehadiran pria ini benar-benar membuatnya olah raga jantung. Achala kira Lintang sudah pergi, tetapi lagi-lagi ia salah. Achala terlalu asyik berbelanja dan mengobrol bersama putranya via panggilan video hingga tak menyadari jika Lintang masih berada di sekitarnya.
"Tolong berhenti! Apa yang kamu lakukan ini menganggu rumah tanggaku."
"Apa yang aku lakukan hanya menagih janji, Cha."
Achala mengernyit dalam. Apa katanya? Menagih janji? Janji apa yang ia tagih, sejak pertemuan kembali mereka, Achala tidak pernah berjanji apa pun, bahkan ia menolak tegas untuk bertemu dengan Vanilla. Pun sebelum perpisahan mereka terjadi, Achala tak ingat pernah memberi pria ini sebuah janji.
"Dengar, ya, Bapak Lintang. Saya tidak ada janji apa pun ke Anda. Tolong, setop! Saya bukan istri kamu lagi, ngerti tidak, sih. Kalau nggak, aku akan laporkan kamu ke polisi."
Meraih trolinya, telunjuk Achala terangkat menunjuk ke arah wajah Lintang. "Kamu ... jangan anggap ucapanku main-main. Pergi dari sini, jangan ikuti aku lagi. Sebelum aku laporkan ke petugas keamanan, sekarang!"
Achala mendorong trolinya menjauh, meninggalkan tempat itu. Ia tak peduli jika sereal pesanan anaknya hanya dapat satu kotak. Ia bisa membelinya di tempat lain atau online shop. Ia pun tak peduli janji apa yang pria itu tagih, Achala merasa tak pernah berjanji apa pun. Baik status mereka masih suami istri hingga sekarang berubah mantan. Bukankah Lintang sendirinya yang banyak tidak menepati janjinya pada Achala?
Tanjung Enim, 27 Oktober 2022
RinBee 🐝
Ada yang mau disampaikan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top