Waktunya di Mulai
Oriza berjalan tertatih memegang area perutnya yang sudah berwarna merah pekat. Baju yang ia kenakan sudah berubah warna menjadi merah pula.
"Aku... harus... mencari kamera---"
Bruk!
Oriza terjatuh di lantai lorong. Darah muncul menghiasi lantai tersebut.
.
.
.
.
Di salah satu ruangan lantai 1...
Layar komputer di ruang auditorium menyala terang. Sesosok bertopeng sedang memasukan sesuatu benda berukuran segiempat kecil ke PC.
Data-data pun keluar dari layar itu. Ia mengklik sebuah folder. Terpampanglah beribu-ribu foto berbagai macam gaya, tempat, wajah, dll.
Sosok bertopeng itu melihat satu persatu foto terbaru yang berada di paling bawah. Ia menyeringai di balik topengnya. "Akan ku musnahkan bukti ini." Ucapnya.
Ia pun mengklik beberapa foto yang dicurigai sebagai bukti kejahatannya. Setelah semua terhapus. Ia menutup folder tersebut lalu benda segiempat kecil keluar dari PC. Ia mengambilnya kemudian menaruh di dalam kamera kembali.
"Tugasku sudah selesai. Saatnya bersikap seperti biasa." Ujarnya puas.
Ia meninggalkan ruang auditorium beserta sebuah kamera dan layar komputer yang masih menyala.
.
.
.
.
Di tempat Huda berada...
Huda sedang bersandar di dinding. Darah masih terus mengalir keluar dari lengannya yang tergores. "Sial aku terlalu ceroboh." Sesalnya.
Ia mencoba bangkit berdiri menggunakan dinding sebagai tumpuannya. "Aku harus menghentikan pendarahan ini."
Huda berjalan secara perlahan. Sampai ia tak sadar telah menabrak seseorang.
Bruk!
"Ma-maaf..." ucap Huda pelan.
"Ahh! Apa kau tidak apa-apa, Huda?" Tanya suara wanita yang telah menabrak Huda.
Huda menoleh ke atas. Ia terkejut melihat seseorang di depannya.
Wanita itu memegang lengan Huda yang terluka. "Kita harus mengobati lukamu ini." Katanya.
"Tidak usah. Aku bisa mengobatinya sendiri." Tolak Huda halus.
Satu orang datang mendekati mereka. Ia menarik lengan wanita itu sedikit kuat hingga terlepas dari lengan Huda.
"Ta-tapi..." kata wanita itu lirih.
"Apa kau tidak dengar apa yang diucapkan olehnya tadi?" Tanya orang itu yang ternyata pria memakai kacamata dingin.
"Sudah lebih baik kau pergi." Kata Huda tersenyum. Ia melangkah pergi menjauhi kedua orang tersebut.
Wanita itu melepas pegangan pria tersebut dengan keras. "Aku tak tahan dengan sikapmu seperti ini!" Bentaknya.
"Kau ini keras kepala sekali!" Bentak pria itu tak kalah keras.
"Hiks... aku telah salah menilaimu selama ini. Apa kau tak pernah berpikir? Huda pernah menolongmu dari tuduhan pembunuhan di lab. Beberapa kali dia juga dapat memecahkan kasus dengan baik." Kata wanita itu menangis.
"Seila... aku--" balas pria itu.
"Maaf, aku sedang ingin sendiri. Permisi!" Seru wanitu itu yaitu Seila dengan datar. Ia segera pergi meninggalkan pria itu atau Fiki dengan perasaan kecewa, sedih dan marah.
Bugh!
Fiki memukul dinding dengan keras. Hal itu menyebabkan tangannya mengeluarkan darah. "Kenapa semua ini bisa terjadi? Hah!" Teriak Fiki frustasi. Sedikit demi sedikit ia memikirkan perkataan Seila barusan.
"Maafkan aku..." ujar Fiki lirih. Ia berjalan gontai menuju kamar. Waktu saat ini sudah menunjukkan pukul 21:00 malam.
.
.
.
.
Uli dan Teguh berhasil menemukan Oriza yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai lorong. Wajahnya sudah sangat pucat dan kulitnya terasa dingin.
"Syukurlah dia masih bernapas." Ucap Uli lega. Ia menatap nanar tubuh Oriza yang mengeluarkan darah hingga mulai kering.
"Kita harus menghentikan perdarahannya sebelum ia kehabisan darah." Ujar Uli sigap.
"Sebaiknya kita bawa dia ke kamar." Kata Teguh.
Walaupun ia menatap Oriza itu aneh. Ia tetap menganggapnya sebagai teman juga.
"Baiklah, aku akan membantumu membawa dirinya." Sahut Uli terharu. Ia tersenyun sangat manis kepadanya.
Wajah Teguh memerah malu. "Tak usah! Aku sendiri juga sudah kuat." Tolak Teguh halus. Ia sudah membopong tubuh Oriza di pundaknya.
"Hati-hati..." ucap Uli.
Mereka pun membawa tubuh Oriza untuk memberikan perawatan kembali. Tanpa sepengetahuan keduanya, Vero telah menghilang sejak tadi.
.
.
.
.
Tap!
Tap!
Tap!
Vero berjalan tergesa-gesa mencari keberadaan Huda. Ia merasa bahwa Huda tengah terluka saat ini.
"Dimana kau?" Tanya Vero pada dirinya sendiri. Baru pertama kali ia merasakan cemas yang berlebih hanya untuk seorang teman.
Vero terus berjalan hingga menemukan sosok yang ia cari-cari. "Ahh itu dia!" Serunya senang.
"Maafkan aku bersikap seperti itu pada kalian. Aku tak ingin membuat teman-temanku celaka karena berada di sisiku." Kata Huda lirih. Ia tak menangis tapi hatinya yang menjerit keras.
"Aku memang bodoh!" Lanjutnya menyesali diri.
"Siapa bilang kau bodoh?" Seru Vero. Ia sudah berada di belakang Huda. Huda menoleh ke arah sumber suara yang ia kenali.
"Vero!" Sahut Huda terkejut.
"Lenganmu terluka. Kita harus menyembuhkannya." Ujar Vero lembut.
Huda tertegun sejenak mendengar perkataan Vero yang berbeda dari biasanya. "Tak usah! Luka ini sudah tak terasa sakit." Tolak Huda lembut.
"Jangan berbohong padaku! Aku tak butuh penolakan apapun!" Elak Vero kesal. Ia menarik pelan lengan Huda yang tak terluka. Huda sendiri pasrah.
"Iya, tuan puteri yang terhormat." Sindir Huda.
"Hahaha..." balas Vero tertawa.
Mereka pun berjalan kembali ke ruang UKS. Saat ini yang terpenting menyembuhkan luka di lengan Huda.
.
.
.
.
"Bagaimana kue cokelat buatanku?" Tanya Diane lembut.
"Hmm..." gumam Karin masih asyik makan.
"Apa kau sudah merasa lebih baik?" Tanya Diane lagi.
"Iya. Terima kasih, Diane-chan." Jawab Karin memeluk erat tubuh Karin.
"Sama-sama. Kau itukan sahabatku. Sebaiknya kau tidur, waktu sudah menunjukkan tengah malam." Kata Diane. Ia merebahkan tubuh Karin pelan.
"Selamat malam, Diane-chan." Ucap Karin. Ia pun memejamkan mata.
"Selamat malam, Karin-chan." balas Diane.
"Semoga kau tenang." Lanjutnya pelan.
Srek!
Diane menghilang di balik pintu. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu. Setetes airmata jatuh dari kelopak matanya. Ia mengeluarkan kertas angka 4 berdarah. Ia meremasnya kuat.
.
.
.
.
Di lorong lantai 1...
Seorang wanita berjalan dengan terburu-buru. Ia menoleh ke kanan ke kiri melihat situasi di sekitar.
"Bodoh! Kenapa aku ceroboh sekali?!" Umpat wanita berambut hijau itu. Ternyata ia adalah Uli.
Srek!
Uli masuk ke dalam lab auditorium. Ia berjalan ke tengah ruangan menuju ke salah satu meja.
"Ahh ketemu!" Seru Uli senang. Ia memeluk kartu identitas. Sebenarnya ia meninggalkan kartu identitasnya di ruang lab. Ia segera bergegas kembali ke kamar.
Tanpa sengaja, Uli melirik ke layar komputer yang masih menyala. "Kenapa komputer ini masih menyala?" Tanya Uli bingung. Ia pun mematikan komputer itu. Dan pandangannya jatuh ke benda yang berada di sisi meja.
"I-ini kan kamera milik Oriza. Kenapa bisa ada di sini?" Tanyanya terheran-heran. Ia langsung saja membawa kamera tersebut lalu meninggalkan ruang auditorium yang mulai terasa menakutkan.
.
.
.
.
Keesokan paginya...
Pom! Pom!
"Ohayou minna-san. Waktunya berkumpul, karena sidang ketiga akan segera di mulai 😊." Kata Kumatobi.
"Tentukkan pilihanmu dan nikmatilah!" Lanjutnya.
Semua orang kini telah berkumpul di depan pintu ruang rahasia. Dinding terbelah dua. Pintu lift pun terbuka lebar.
Satu persatu mereka masuk ke dalam lift dengan hening. Tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Semua dilanda rasa putus asa, sedih, marah, gelisah, takut dan penasaran.
Ting!
Pintu lift telah tertutup. Kini lift ini akan membawa mereka ke ruang rahasia tersebut. Dimana sidang ketiga akan di mulai.
Ting!
Semua pun keluar dari dalam lift. Suasana yang mencekam dan hawa dingin bagai menusuk ke dalam kulit mereka.
"Fufufu... Selamat datang wahai murid-murid berbakat. Mari kita mulai saja sidang ketiga ini." Ucap Kumatobi santai.
Tok! Tok!
Kumatobi sudah memukul palu pertanda sidang ketiga di mulai dari sekarang. Ia duduk di singgahsananya.
Mereka berdiri di posisi masing-masing membentuk lingkaran. Hanya sekat kayu saja yang menjadi jarak antar mereka.
Posisinya yaitu : Huda, Karin, Diane, Aldo, Nico, Teguh, Seila, Fiki, Novi, Vero, Oriza, Uli, Opick, Lusian serta Rikfi. Untuk bagian posisi Aldo, Nico, Novi, Opick, Lusian dan Rifki hanya terdapat foto wajah mereka yang diberikan garis X merah.
"Selamat berdiskusi... 😊" ucap Kumatobi menyeringai lebar.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Sidang ketiga telah di mulai! Dapatkah mereka menentukkan siapa pelaku pembunuhan ketiga kali ini? Apakah yang terjadi selanjutnya? 🤔😊😀
Saksikan di chapter yang akan datang... 😉
Selamat membaca! 😎
#9 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top