Teror Angka 4

Setelah Karin menerima surat misterius yang bertuliskan angka 4 dengan warna merah darah. Ia semakin takut dan tak ingin percaya kepada siapapun. Tahap keputusasaan dirinya semakin kuat.

"Hiks... Lebih baik aku mati kelaparan... hiks... daripada mati di tangan mereka." Ucap Karin disela tangisnya.

Diane sang sahabat kecil merasa prihatin atas aksi Karin yang mengurung diri. Ia sudah tak kuat melihat sahabatnya itu menderita.

"Karin... hiks... keluarlah..." kata Diane. Ia menangis di balik pintu kamar Karin yang tak mau dibuka oleh pemiliknya.
.
.
.
.

Di lantai 3...

Huda sedang memeriksa ruang guru. Di dalam ruangan itu banyak kertas berhamburan di meja maupun lantai. Huda mengelilingi meja-meja guru satu persatu untuk mencari sebuah petunjuk.

"Berantakan sekali..." komen Huda.

Langkah Huda terhenti di salah satu meja guru yang berada di pojok ruangan. Di meja itu terdapat tumpukkan kerta. Ia mulai mengambil dan melihat-lihat.

Huda membaca selembar kertas yang menarik perhatiannya. Di kertas itu tertulis sesuatu yang membuatnya sangat penasaran.

'Murid-murid berbakat yang terpilih akan mengalami hal yang sangat menyeramkan. Mereka akan terjebak di sekolah tanpa akses jalan keluar. Kelimabelas murid harus saling membunuh untuk dapat keluar dari tempat terkutuk itu. Satu persatu pun mereka tewas dalam kondisi yang mengenaskan. Kini hanya tersisa 5 lima murid saja yang berhasil keluar dari sini. Kelima orang itu mengalami depresi hebat dan hampir mencoba membunuh dirinya sendiri. Inilah daftar kelima orang tersebut :
1. Hanakawa Rin 15 tahun, Super Akja Artist
2. Keito Shun 15 tahun, Super Akja Ninja
3. Edogawa Kiki 15 tahun, Super Akja Nurse
4. Chinatsu Nova 16 tahun, Super Akja Painter
5. Fujishima Dan 16 tahun, Super Akja Fighter

"Ini penemuan yang sangat bagus. Aku harus menyimpannya dan memberitahukan kepada mereka." Kata Huda semangat.

Srek!

Pintu ruang guru terbuka. Suara langkah kaki pelan perlahan masuk ke dalam ruangan. Ternyata itu adalah Vero.

"Kupikir di sini tidak ada orang..." ucap Vero. Ia pun mendekati Huda.

"Ahh! Kukira siapa?!" Decak Huda sedikit terkejut.

"Kau sedang memegang apa?" Tanya Vero mengabaikan ucapan Huda.

"Ini lihatlah. Sebuah catatan guru yang menceritakan tentang kejadian yang kita alami ini. Dan ini daftar nama-nama murid yang selamat dari sekolah bagaikan neraka." Jawab Huda menjelaskan.

"Hmm... Chinatsu Novan. Bukahkan itu nama marga dari Chinatsu Lusian."ujar Vero berpikir.

"Jadi Lusian dan Novan adalah saudara kandung. Tapi sayang Lusian sudah tewas secara tragis." Sahut Huda lirih.

"Sebaiknya kita mencari yang lain." Lanjutnya memberi usulan. Vero hanya menganggukan kepala angkuh. Kedua pun pergi dari ruang guru.

Sesosok bayangan memperhatikan mereka. "Hmm... kalian semakin di depan saja dalam mengumpulkan informasi. Sungguh menarik!" Katanya menyeringai tipis di balik dinding. Ia pun pergi menjauh.
.
.
.
.

Di ruang administrasi...

Fiki dan Seila sedang mengobrak-abrik laci demi laci ruangan tersebut. Menyebabkan ruangan yang awalnya rapi kini seperti kapal pecah.

"Huah! Aku lelah sekali." Seru Fiki meregangkan otot-ototnya supaya tidak kaku.

"Ayo lanjutkan lagi! Ini masih banyak, kau lihat!" Teriak Seila kesal melihat tingkah Fiki. "Dasar lemah!" Batinnya geram.

Tigapuluh menit telah berlalu...

Mereka menemukan sebuah dokumen rahasia tentang nama-nama   murid angkatan tahun 2017. "Bukankah ini data-data tentang kita..." ucap Seila.

"Iya. Ayo segera kita lihat saja." Usul Fiki. Fiki pun mengeluarkan beberapa lembaran dari dokumen tersebut.

Mereka menatap lembaran kertas itu dengan penasaran dan terkejut. Lembar demi lembaran telah dibuka. Identitas tentang mereka semua ada di situ. Saat melihat identitas, mereka sedikit tercengang.

*****
14 tahun
Bakat *****
Super Akja *****
Memiliki banyak prestasi dari hasil ***** dan mempunyai sebuah galeri
Memiliki kepribadian ganda

"Kepribadian ganda..." gumam Fiki shock.

"Kita harus memberitahukan hal penting ini kepada Huda. Jangan beritahu yang lain!" Kata Seila.

"Memang kenapa?" Tanya Fiki bingung.

"Karena ini merupakan rahasia kami bertiga." Jawab Seila pelan. Takut ada seseorang yang mengintai mereka.

Srek!

"Rahasia berempat tentunya..." sahut Vero bergaya angkuh.

"Kau!!" Seru Fiki kaget menunjuk ke arah Vero. Vero sendiri hanya memandang sinis Fiki.

"Sedang apa kau ke sini?!" Tanya Fiki sedikit emosi.

"Maaf... Vero akan menjadi teman kita dalam menyelidiki sekolah ini." Jawab Huda di balik punggung Vero.

"Ta-tapi..." protes Fiki.

"Iya! Dia akan menjadi teman kita." Sahut Seila tersenyum.

"Ahh! Terserah kalian saja." Ujar Fiki menyerah. Huda dan Seila terkikik geli.

"Ayo kita bicarakan hasil penemuan kita di perpustakaan. Aku juga akan menunjukkan sesuatu hal penting di sana." Ajak Huda. Mereka pun pergi menuju ke perpustkaan.
.
.
.
.

Di kantin...

Rifki terlihat murung. Ia menyesap ocha dengan lemas. Ia pun sudah menghela napas berat beberapa kali.

"Aku memang tidak becus!" Kata Rifki lirih.

"Aku tak bisa diandalkan!" Lanjutnya.

"Aku memang tak be-"

"Cukup hentikan!" Potong Oriza yang datang dari arah dapur. Ia duduk di sebelah Rifki dengan memakan onigiri yang ia buat saat di dapur tadi.

"Kau mengeluh inilah itulah. Itu takkan membantumu untuk semangat!" Sindir Oriza sakartis.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tanya Rifki menunduk lemas di antara kedua tangannya yang berada di atas kepala.

"Sebaiknya kau beristirahat di kamar atau UKS saja. Aku akan menyelidiki lantai 3." Ucap Oriza menghabiskan sepotong onogiri nya.

"Apa kau mau ikut denganku?" Tawar Oriza sebelum meninggalkan kantin.

Rifki menghela napas kembali. "Tidak! Aku akan ke kamar saja." Jawab Rifki menolak secara halus.

"Baiklah! Semoga kau kembali bersemangat!" Ujar Oriza menepuk pundak Rifki memberi kekuatan.

Srek!

Pintu tertutup menandakan Oriza telah meninggalkan kantin. Rifki pun lekas berdiri dan melangkah pergi menuju kamarnya.

Sampainya di kamar...

Srek!

Rifki memasuki kamar miliknya langsung merebahkan dirinya. Saat akan memejamkan mata. Pintu kamarnya berbunyi.

"Siahh!! Mengganggu saja!" Umpat Rifki. Ia segera bangkit dan membuka pintu kamar.

Srek!

Pintu terbuka, namun tak ada orang di luar maupun lorong kamar. Ia sedikit menunduk ke bawah. "Sebuah surat?" Gumam Rifki bingung. Lalu ia mengambil surat itu dan masuk kembali ke kamar.

Rifki membuka surat misterius itu sambil duduk menyender. Saat ia membaca isi surat itu. Dia terkejut dan tubuhnya menengang.

Di surat itu tertulis angka '4' dengan warna merah seperti darah. "I-ini sebuah ancaman!" Keringat mengucur deras di keningnya.
.
.
.
.

Di ruang fitness...

Bugh!

Baju yang dikenakan oleh Teguh suda basah oleh keringat. Ia terus memukul samsak tersebut dengan semangat.

"Hah!" Bugh!

Satu pukulan terakhir dilayangkan oleh Teguh kepada samsak. "Untuk kali ini sudah cukup." Kata Teguh.

Teguh melangkah ke tempat duduk di dalam ruang fitness. Saat akan mengambil handuk kecil miliknya. Sebuah surat misterius jatuh ke lantai.

"Surat apa ini?" Tanya Teguh heran. Ia pun langsung mengambil dan membukanya dengan sedikit kasar. Tulisan itu terpampang angka '4' dengan warna merah darah.

Teguh meremas surat itu dengan kencang. Lalu ia membuang surat itu ke sembarang arah. "Siapa yang berani mengancamku!" Teriak Teguh penuh emosi.

Teguh memutuskan untuk berlatih ilmu beladiri yang ia kuasai. Ia bergerak dengan sangat lincah. Setelah itu ia mengambil napas sejenak. "Akan kutemukan kau!!"
.
.
.
.

Di lab auditorium...

Tik! Tik!

Ketikan demi ketikan menggema di ruangan lab auditorium. Uli dengan seriusnya menatap laptop miliknya yang sudah bisa menyala kembali.

"Fiuh!! Data-data yang aku dapat dari jaringan sekolah ini sungguh sedikit." Kata Uli lelah.

Ia menyeruput jus jeruk miliknya dengan nikmat. "Oke! Kita lanjutkan lagi." Ucapnya semangat.

Setelah beberapa menit kemudian, Uli merasa terngganggu dengan suara di luar ruangan tersebut. "Cih! Berisik sekali!" Umpat Uli.

Ia pun menuju ke luar ruangan, namun yang ia temukan hanya sepucuk surat tergeletak di lantai dan sebuah jepitan rambut warna merah.

"Surat dan jepitan rambut?" Tanyanya pada diri sendiri. Ia melangkah kembali menuju ke meja. Ia buka secara perlahan dan mulai membaca.

"Surat ancaman!" Seru Uli terkejut. Ia membolak-balikan surat itu, tetapi hanya tertulis angka '4' di sana.

"Jepitan rambut ini mungkin milik orang yang mengirim surat misterius ini. Akan ku simpan baik-baik." Ucap Uli. Ia menyimpan jepitan rambut di saku bajunya dan kembali fokus pada laptop kesanyangannya itu.
.
.
.
.

Tok! Tok!

Diane mengetuk pintu kamar Karin cukup keras. Ia tak menyerah untuk membuat Karin keluar dari kamarnya.

"Karin! Ayo keluarlah! Aku sudah membawa makanan kesukaanmu ini." Ucap Diane lembut.

Tetapi tak ada balasan dari sang lawan bicara. Diane mulai menangis tersedu.

"Karin... aku mohon bukalah pintunya. Kamu belum makan dari kemarin." Ujar Diane lirih.

Srek!

Pintu kamar Karin terbuka. Karin berdiri di depan pintu dengan wajah yang pucat dan tampilan yang berantakan.

"Diane... aku--"

Bruk!

Perkataan Karin terhenti. Ia terjatuh tak sadarkan diri di pelukan Diane. "Karin... bangunlah..." kata Diane lirih. Ia memeriksa kening Karin yang terasa panas.

"Astaga! Dia sepertinya demam!" Setelah mengatakan itu, Diane langsung membawa tubuh Karin ke ruang UKS.
.
.
.
.

Di balik layar...

"Fufufu... Adegan ini semakin menarik saja. Cepatlah kau peneror melaksanakan tugasmu membunuh mereka satu persatu." Kata Kumatobi menyeringai.

Kumatobi menatap lurus ke depan layar monitor berjajar rapi di setiap sudut ruangan. Ia tersenyum menyeramkan melihat setiap layar monitor yang menanyangkan aktivitas para murid berbakat.
.
.
.
.
.

Bersambung... 😂

Wah-wah teror semakin membuat kesepuluh anak berbakat ini menjadi ketakutan dan risau. Bagaimanakah aksi kesepuluh anak berbakat? 🤔

Next to chapter... 😊😉

Selamat membaca! 😎

#10 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top