Suasana Menegangkan
Setelah Huda dan Vero menemukan buku catatan kecil. Mereka di kagetkan dengan suara gaduh dari luar. Sesosok bayangan misterius terlihat oleh keduanya. Tetapi Vero melarang Huda untuk mengejarnya, karena ia berpikir itu hanyalah jebakan saja.
"Kau pasti kangen dengan mereka." Tebak Vero tepat melihat Huda terduduk lesu.
"Iya... tapi mereka tidak akan mengerti kalau seperti ini terus." Ujar Huda tak semangat.
"Lebih baik kita memeriksa korban saja." Usul Vero.
"Hmm... baiklah." Sahut Huda.
Keduanya segera melangkah ke arah kelas. Dimana tempat terjadinya kasus pembunuhan baru yang menewaskan Rifki. Semua cukup terkejut mendengar bahwa Rifki telah tewas terbunuh. Apalagi teror angka 4 masih terus berlanjut.
Ternyata Huda juga mendapatkan surat misterius itu. Tetapi ia memilih diam tak memberitahukan kepada siapa pun.
Di kelas...
Jasad Rifki masih tergeletak di bawah lantai kelas. Keadaan kelas yang berantakan menandakan bahwa terjadi perkelahian di sini.
"Dari yang kita lihat, pelaku dan korban tengah bertengkar." Kata Huda.
"Iya! Kurasa pelaku juga lumayan kuat." Ucap Vero.
Saat Huda melihat lantai yang terkena noda darah. Ia melihat sesuatu yang membuatnya penasaran.
"Angka 4..." gumam Huda. Vero yang mendengar suara pelan Huda segera mendekatinya.
"Sepertinya korban memberikan sebuah petunjuk kepada kita yaitu angka 4." Komen Vero.
"Tapi aku berpikir bahwa Rifki seperti mengetahui siapa dalang dari pelaku ancaman ini." Jelas Huda. Entah kenapa ia terlintas mengingat isi dokumen.
"Ayo kita kembali ke perputakaan!" Ajak Huda tiba-tiba. Ia bergegas meninggalkan ruang kelas terlebih dahulu. Mau tak mau Vero mengikuti Huda di belakang.
.
.
.
.
Karin sekarang berada di dalam lab. Ia tak tahan berada di kamar. Banyak kenangan yang memilukan sebelum orang yang ia percayai telah pergi meninggalkannya.
"Aku tak kuat lagi." Ujar Karin lirih. Ia mengambil beberapa obat di lab. "Aku akan segera menyusul kalian." Lanjutnya. Ia pun meminum obat-obat tersebut.
Plak!
Seseorang telah menghentikan aksi nekat Karin. Ia memeluk erat tubuhnya.
"Lepaskan!" Protes Karin. Ia meronta-ronta mencoba melepas pelukan dari sahabat kecilnya.
"Aku takkan melepaskanmu!" Seru Diane. Ia sebenarnya tak tahan melihat Karin berubah drastis yang tadinya ceria kini menjadi depresi. Ia berusaha memberikan kekuatan agar sahabatnya ini dapat bertahan dan tak mencoba hal-hal yang tak diinginkan seperti ini.
"Hiks... aku sudah tak kuat lagi... hiks.." ucap Karin lirih. Ia menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Diane.
"Kamu harus kuat! Aku akan selalu menjagamu apapun yang terjadi." Balas Diane tulus.
Setelah dirasa Karin tak melawan. Ia melepaskan perlahan pelukan tersebut.
"Ingat! Aku selalu ada di sisimu selalu." Kata Diane menyakinkan Karin. Karin sendiri hanya mengangguk lemah.
"Jangan lagi kau mencoba untuk mengakhiri hidupmu! Janji!" Lanjut Diane.
Diane melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingking milik Karin. Dari dulu selalu menautkan kedua kelingking untuk membuat janji.
"Kisah yang menyedihkan!" Sindir seseorang di balik jendela lab. Ia pun melangkah pergi dengan seringai.
.
.
.
.
Di ruang auditorium...
Uli masih berkutat dengan laptopnya. Ia mengetik dengan sangat cepat di keybord laptop. Jangan di tanya, ia memang sangat ahli dalam bidang teknologi.
"Apa kau belum mendapatkan petunjuk apapun?" Tanya Teguh yang bersandar di tembok. Ia menatap Uli dengan intens. Ada perasaan kagum pada dirinya melihat Uli yang sedang serius.
"Hmm..." gumam Uli. Ia mengetuk keningnya pelan. Ia tengah berpikir sejenak.
"Ah iya! Saat aku mendapatkan surat misterius. Aku menemukan sebuah jepitan rambut." Seru Uli senang berhasil mengingat sesuatu.
"Boleh aku lihat?" Tanya Teguh lembut. Semenjak dekat dengan Uli, ia menjadi orang yang tak tempramen dan terkesan lembut hanya untuk Uli saja.
Uli menunjukkan jepitan rambut berwarna merah muda kepada Teguh. Teguh segera mengambilnya.
"Sepertinya aku pernah melihat benda ini." Ujar Teguh mencoba mengingat-ingat.
"Jangan bilang kalau itu milikmu!" Tuduh Uli. Seketika Uli tertawa terbahak-bahak membayangkan Teguh yang garang memakai jepitan rambut berwarna merah muda.
"Hahahahaha...."
"Urusai!!" Teriak Teguh kesal.
"Gomen... Apa kau tahu itu milik siapa?" Tanya Uli menahan tawa.
"Aku lupa." Jawab Teguh polos. Uli memasang ekspresi jijik melihat tingkah polos Teguh.
"Jangan menatapku seperti itu!" Kata Teguh menatap tajam Uli.
Srek!
Pintu ruangan itu terbuka. Oriza melangkah masuk tanpa permisi. Ia kini berada di hadapan keduanya.
"Ada apa?!" Tanya Teguh menatap tajam.
"Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu yang membuat kali terkejut." Jawab Oriza santai.
"Apa itu?" Tanya Uli mulai penasaran.
"Aku menemukan sebuah petunjuk di salah satu kamar kita." Jawab Oriza.
Ia merogoh beberapa tumpukkan lembaran kertas kepada keduanya. Uli mengambil salah satunya.
"I-ini--" kata Uli shock.
"Darimana kau mendapatkannya?" Tanya Teguh mulai emosi. Bagaimana ia tidak emosi, ternyata lembaran kertas itu berisi tulisan angka 4 yang sangat besar dengan tinta darah yang mulai mengering.
"Aku akan memberitahu kepada kalian setelah semuanya berkumpul." Jawab Oriza. Lantas ia pergi dari ruangan itu.
Uli dan Teguh saling melirik. Ada tanda tanya besar di pikiran mereka. Keduanya segera mengikuti Oriza. Tak lupa Uli membawa laptop miliknya.
.
.
.
.
Pom! Pom!
"Selamat malam minna! Aku akan memberitahukan bahwa waktu kalian akan ku perpanjang sampai besok pagi. Sampa jumpa!" Kata Kumatobi.
Suara itu terhenti setelah Kumatobi memberikan informasi yang menurut mereka cukup menenangkan. Beberapa murid berbakat telah berkumpul di kantin.
Fiki, Seila, Teguh, Uli, Diane serta Karin tengah berkumpul di satu meja besar. Hanya tersisa tiga orang saja yang belum berkumpul.
"Baiklah, selagi kita menunggu yang lain. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan kepada kalian." Kata Fiki memulai pembicaraan.
"Cepatlah! Aku tak memiliki banyak waktu!" Teriak Teguh.
"Kita hanya ingin menanyakan kepada kalian. Apakah kalian mendapat surat ancaman berupa angka 4?" Tanya Seila tenang.
"Iya, aku mendapatkannya." Jawab Uli. Ia menunjukkan surat itu tetapi tak dengan jepitan rambut.
"Hmm..." gumam Teguh memperlihatkan surat itu.
"A-aku beberapa kali mendapatkan surat itu." Ucap Karin lirih.
Diane membelai pundak Karin memberikan ketenangan. "Iya. Aku ingin sekali mencari siapa pelaku sebenarnya!" Geram Diane.
Hal itu membuat Karin sedikit menjauhinya. Ia tak suka mendengar teriakan apapun. Itu malah membuatnya semakin tertekan.
"Maaf, aku tak sengaja." Ujar Diane menyesal.
"Kalian berdua bagaimana?" Tanya Uli penasaran.
Fiki memperlihatkan kepada mereka. Seila pun juga demikian. "Hmm... berarti tinggal ketiga orang itu saja yang belum diketahui." Pikir Uli.
"Vero juga mendapatkannya." Ucap Seila sedikit kesal.
"Oriza sepertinya juga. Ia tadi menunjukkan kepada kami berdua." Sahut Uli.
"Lalu dengan Huda sendiri?" Tanya Diane.
"Entahlah! Aku juga tak peduli!" Jawab Fiki emosi.
"Hentikan! Kumohon hentikan!" Teriak Karin menutup kedua telinganya.
"Aku akan membawanya kembali ke kamar. Selamat malam," kata Diane. Ia merangkul tubuh Karin yang terlihat rapuh.
"Kasihan sekali..." ucap Seila sedih.
"Dimana orang bodoh itu?!" Seru Teguh tiba-tiba. Ia sedang menunggu kehadiran Oriza, namun tak muncu-muncul.
"Sabar..." ujar Uli.
Srek!
Pintu kantin terbuka. Oriza datang dengan darah bersimpah di bagian perut. Ia pun ambruk.
"Ehh! Cepat tolong dia!" Seru Fiki. Ia langsung berlari menolong Oriza yang terluka. Dengan terpaksa Teguh juga ikut membantu.
"Ke-kenapa dia bisa seperti ini?" Tanya Seila panik.
"Dia mengeluarkan darah yang cukup banyak. Ayo segera bawa dia ke ruang UKS." Usul Uli.
Mereka pun membawa tubuh Oriza yang tak sadarkan diri ke ruang UKS untuk diberikan pertolongan pertama.
Vero dan Huda yang berpapasan dengan mereka terkejut bukan main. "Kenapa dengannya?" Tanya Huda.
Fiki hanya menatap tajam Huda. Lalu ia berlalu begitu saja. Yang jadi prioritas utama saat ini adalah keselamatan Oriza. Ia sudah terlalu mengeluarkan banyak darah.
Sepanjang perjalanan darah Oriza menetes di lantai lorong. Huda dan Vero segera mengikuti mereka.
.
.
.
.
Di ruang UKS...
Luka pada perut Oriza sudah di hentikan. Lalu dibalutlah bagian perut Oriza hingga tertutup lukanya. Beruntung Seila mampu memberikan perawatan walaupun tak selihai Opick.
"Ada apa ini?" Tanya Huda sekali lagi.
"Memang kau peduli!" Sindir Fiki emosi.
"Dasar makhluk rendahan!" Balas cibir Vero. Ia menatap sinis Fiki.
"Hentikan! Bukan saatnya untuk berkelahi!" Seru Seila mulai meneteskan air mata. Uli memeluk tubuh Seila memberikan ketenangan.
"Sebaiknya kalian pergi saja dulu dari sini." Usir Uli halus.
"Cih!" Decak Vero. Ia pun melangkah keluar. Huda menatap tak percaya akan hal ini.
"Baiklah, kalau itu mau kalian!" Kata Huda dingin. Ia pergi dari ruangan tersebut menahan emosi.
"Tch! Ingin rasanya ingin ku hajar dia!" Emosi Fiki.
Teguh hanya diam tak merespon perkelahian tersebut. Ia tak mau ambil pusing dengan urusan orang lain.
Tanpa diketahui oleh mereka. Kamera milik Oriza tak berada di tangan pemiliknya. Seseorang telah mengambil kamera tersebut.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Wah-wah semakin lama semakin menegangkan saja. Hubungan pertemanan Huda dan Fiki mulai menjauh. Dapatkan mereka bersatu kembali dan menebak siapa pelaku pembunuhan kali ini? Lalu siapakah yang telah menyerang Oriza? 🤔😊😉
Saksikan saja kelanjutannya hehe 😀
Selamat membaca! 😎
#9 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top