Rahasia
Keesokan paginya...
Uli dan Teguh tengah mengobrol di kantin. Mereka hanya berdua saja, yang lain entah kemana. Uli pun berniat untuk menceritakan tentang penemuan aplikasi barunya.
"Ano... Teguh..." ucap Uli gugup.
Teguh menolehkan kepalanya. "Iya," sahut Teguh.
Uli memainkan kedua jari telunjuk. Ia bingung harus memulai dari mana.
"Kenapa kau terlihat gugup?" Tanya Teguh heran. Uli menarik napas sejenak lalu membuangnya perlahan.
"Ano... Aku ingin memberitahukan sesuatu yang penting kepadamu." Ujar Uli mulai tenang.
"Apa itu?" Tanya Teguh penasaran.
Uli melirik ke kanan ke kiri. Ia tak ingin ada yang mendengar pembicaraan ini selain dirinya dan Teguh.
"Aku telah membuat sebuah aplikasi baru. Coba kau lihat!" Jawab Uli antusias. Ia membuka laptop dan segera menyalakan.
Saat laptop Uli telah menyala. Ia langsung membuka aplikasi buatannya. "Lihatlah!" Serunya.
Teguh membaca dengan serius. Wajahnya nampak terkejut. "Be-benarkan ini?" Tanya Teguh.
"Hmm... Aku sendiri awalnya juga terkejut. Tapi dengan ini kita bisa mengetahui tentang rahasia di balik sekolah terkutuk ini." Jawab Uli tersenyum kecut.
"Kau memang hebat!" Puji Teguh. Wajah Uli merona merah mendengar pujian darinya.
"Aku minta satu hal padamu. Tolong rahasiakan hal ini dari siapapun. Bila ada sesuatu hal yang terjadi padaku. Kau harus menyimpan laptop ini. Dan kau bisa memberitahukan hal ini kepada mereka setelah mungkin tak ada. Aku percaya padamu." Ucap Uli serius. Namun, ada tersirat nada kesedihan di dalamnya.
Teguh menatap Uli tanpa berkedip. Setelah mendengar ucapan darinya, hati ini terasa sesak. "Baiklah! Aku berjanji akan menjaga rahasia dan laptopmu dengan baik..." balas Teguh dengan nada lirih di kata-kata terakhir.
Uli tersenyum senang. Refleks ia mencium pipi Teguh. "Terima kasih." Ucap Uli tersenyum manis.
Teguh terkejut atas perbuatan Uli. Ia memegang pipi bekas ciuman itu. "Iya." Balas Teguh tersenyum.
.
.
.
.
Karin berjalan dengan tergontai-gontai. Ia seperti tak memiliki semangat dalam hidup. Sesekali ia tersandung kakinya sendiri.
"Diane-chan... Rifki-san... Opick-san..." ujar Karin lirih. Setetes air mata jatuh darinya.
"Aku ingin menyusul kalian..." lanjutnya.
Ia terus berjalan tanpa tentu arah. Hingga ia berhenti di depan pintu kamar. Tertulis di sana kamar Tastsumi Diane.
Karin mengeluarkan kartu identitas milik Diane yang sebelum kepergiannya dititipkan olehnya.
Srek!
Karin masuk dengan hening. Pintu pun tertutup. Di lihat kamar Diane yang tertata rapi. Seutas senyum tipis merekah di bibirnya.
"Aku sangat merindukan kenangan kita..." gumam Karin. Ia berjalan ke arah nakas. Ia duduk di bangku secara perlahan.
Kriet!
Suara laci meja yang terbuka. Karin mengambil sesuatu dari dalamnya. Ia teringat ucapan Diane.
"Bila aku telah pergi dari sisimu. Tolong kau ambil barang penting yang ada di kamarku. Barang itu adalah sebuah jalan menuju ke tempat yang berada di lantai 4." Ucap Diane berbisik.
"Ba-baik... Aku akan menjaga barang itu dengan sebaik mungkin." Balas Karin pelan.
Karin memeluk barang itu erat. "Aku akan menjaga barang ini dengan sebaik mungkin, Diane-chan." Kata Karin.
.
.
.
.
Huda saat ini tengah berada di perpustakaan. Ia sedang menunggu seseorang. Ia membuka secarik kertas yang di selipkan di bawah pintu.
"Temui aku di perpustakaan. Ini penting!"
Itulah isi pesan tersebut. Sambil menunggu, Huda membaca buku sejarah sekolah yang pertama kali ia temukan. "Lama sekali..." gumam Huda.
Srek!
Pintu perpustakaan telah terbuka. Satu sosok nampak berjalan mendekat ke arah Huda. Huda segela menolehkan kepalanya. Ia sedikit terkejut dengan sosok di depannya.
"Fi-Fiki..." ucap Huda menyakinkan.
"Iya, ini aku. Lama kita tak mengobrol seperti ini." Balas Fiki. Ia pun duduk di depan Huda.
Suasana menjadi hening. Tak ada yang membuka percakapan kembali. "Ada apa kau menyuruhku ke sini?" Tanya Huda akhirnya.
"Aku ingin membicarakan suatu hal penting kepadamu." Jawab Fiki serius.
"Hmm... Apa?" Sahut Huda.
Fiki mengeluarkan sebuah dokumen. Entah sejak kapan ia membawa dokumen tersebut. Di bukanya secara perlahan dokumen itu.
"Aku ingin menunjukkan ini kepadamu!" Seru Fiki sambil mengarahkan telunjuknya ke lembaran dokumen.
Huda mengikuti arahan itu. Ia membaca kalimat yang ada di dalamnya. "Benarkah ini?" Tanya Huda terkejut.
"Iya! Aku juga terkejut setelah membaca kalimat tersebut." Jawab Fiki datar.
"Tapi... kenapa kau memberitahukan ini kepadaku?" Tanya Huda bingung.
"Sebelumnya aku ingin minta maaf padamu beberapa hari yang lalu atas perbuatanku yang tak mengenakan kepadamu." Jawab Fiki menatap lurus Huda.
"Aku sudah memaafkanmu. Terima kasih atas informasi penting ini." Balas Huda tersenyum.
"Ah iya! Aku juga akan memberitahukan penemuanku di lantai 4 bersama Vero dan Seila." Serunya.
"Penemuan apa itu?" Kali ini Fiki bertanya penasaran.
"Kami berhasil menemukan sebuah pintu rahasia di sana. Tapi..." jeda Huda.
"-- sayangnya pintu itu tak bisa terbuka. Dia memakai sistem seperti kartu identitas untuk dapat membuka pintu tersebut." Lanjut Huda menjelaskan. Ia terlihat kesal dan sedih.
"Terima kasih telah memberitahukan hal penting ini kepadaku. Bagaimana kalau kita mengecek pintu rahasia itu kembali?" Usul Fiki.
"Hmm... boleh juga. Aku akan memberihatukan juga kepada Seila dan Vero." Ujar Huda setuju. Ia segera menghubungi keduanya menggunakan kartu identitas miliknya.
Fiki merasa senang dapat kembali menyelidiki sesuatu bersama mereka. "Ayo kita segera bergegas!" Seru Huda. Ia sudah beranjak dari tempat duduk. Tak lupa menyembunyikan buku sejarah dan dokumen itu di tempat rahasia mereka.
"Oke!" Sahut Fiki semangat. Keduanya pun meninggalkan perpustakaan dan menuju ke tempat yang telah ditentukan.
.
.
.
.
Di ruang laboraturium...
Beberapa botol obat-obatan berceceran di lantai. Botol-botol obat itu sudah kosong.
Prang!!
Suara gelas kimia terjatuh. Terdengar juga kegaduhan di dalam lab. Terlihat sosok berbadan tegap sedang bergerak ke sana kemari.
"Sial!! Kenapa bisa terjatuh?!" Geram Oriza kesal.
"Aku terlalu ceroboh!" Lanjutnya masih kesal.
Oriza lalu membereskan segala kekacauan di lab. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana.
"Arrghh!!" Teriak Oriza tiba-tiba. Ia memegang kepalanya erat. Keringat bercucuran deras di seluruh tubuhnya.
"Keluar kamu!!" Teriaknya kembali. "Aku tidak akan keluar! Hahaha!"
Kedua sisi kepribadian Oriza sedang berdebat hebat. Oriza yang biasanya ingin sisi lainnya tak muncul kembali. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Hahaha... Akulah yang berkuasa di tubuh ini!" Seru Oriza tertawa licik.
Ia melihat sebuah botol obat di bawah. Di ambilnya botol obat tersebut. Seketika ia menyeringai lebar. "Akhirnya ketemu juga!" Ucap Oriza.
Oriza segera pergi meninggalkan ruang lab yang sudah dalam keadaan berantakan.
.
.
.
.
Vero dan Seila sedang berjalan di lorong. Keduanya hendak menemui Fiki dan Huda.
"Akhirnya mereka berdua berbaikan." Ucap Seila lega. Ia tersenyum senang.
"Pfftt!!!" Seru Vero menahan tawa. Ia merasa terhibur melihat kelakuan Seila.
"Kenapa kau tertawa?" Tanya Seila bingung.
"Tidak apa-apa. Ayo kita bergegas ke lantai 4!" Jawab Vero. Ia pun melangkah maju meninggalkan Seila yang masih terlihat bingung.
"Ehh! Tunggu aku!" Sahut Seila menyusul Vero.
Keduanya pun terdiam selama menaiki tangga demi tangga. Sampailah mereka di lantai 4. Di sana sudah ada Fiki dan Huda.
"Ahh itu mereka!" Seru Seila antusias. Ia hendak menghampiri mereka. Tapi sebelah tangannya di pegang oleh Vero.
"Ada apa?" Tanya Seila heran.
"Kau jangan bersikap seperti itu. Nanti Huda tak tertarik denganmu." Kata Vero. Ia melepaskan tangannya dari Seila.
"Memangnya kenapa?" Tanya Seila kembali.
"Huda pernah bilang padaku, ia menyukai wanita pendiam dan tidak bersikap seperti anak kecil." Jawab Vero berbisik. Ia pun meninggalkan Seila kembali sendiri. Seutas senyum tipis keluar dari bibirnya.
Seila terdiam cukup lama mengartikan ucapan Vero. "Apakah selama ini aku bersikap seperti anak kecil?" Gumam Seila. Seketika ia menjadi murung. Lalu berjalan pelan ke arah mereka.
Setelah berkumpul, mereka segera memasuki ruang rahasia tersebut. Dengan kepercayaan diri dan keberanian mereka melangkah masuk ke dalam.
.
.
.
.
"Kisah ini semakin menarik saja." Ucap seorang wanita berambut putih keperakan.
"Fufufu... Benar sekali, Kuma!" Balas Kumatobi.
Keduanya sedang duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan layar besar. Kumatobi meminum anggur merahnya dengan nikmat.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Tanya wanita itu.
"Aku akan membiarkan mereka melakukan apapun untuk sementara ini. Tapi tenang saja, aku yakin akan ada pembunuhan berikutnya, Kuma!" Jawab Kumatobi menyeringai licik.
"Aww! Kamu memang yang terbaik, Kumatobi!" Ujar wanita itu memeluk Kumatobi erat. Wajah Kumatobi sendiri berwarna merah.
"Aku jadi malu, Kuma!" Sahut Kumatobi.
"Baiklah, aku akan melaporkan ini kepada Kepala Sekolah. Sampai jumpa, Kuma!" Pamit wanita itu.
"Sampai jumpa juga, Chinatsu Nova-san!" Balas Kumatobi.
Wanita itu yang di panggil Chinatsu menghilang di balik pintu besi.
Nama : Chinatsu Nova
Usia : 17 Tahun
Mantan Super Akja Painter
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Hmm... Sampai saat ini belum ada kasus pembunuhan. Aku masih bingung harus menentukkan siapa yang akan terbunuh selanjutnya... hehehe 🤔😊
Selamat membaca! 😎
#8 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top