Pembunuhan Ketiga
Waktu sudah menunjukkan waktu 5 sore. Huda sedang termenung di perpustakaan. Kini ia hanya sendiri tak ditemani oleh Seila, Fiki maupun Vero.
Selembar demi selembar ia membaca intens dokumen yang ditemukan oleh kedua temannya. "Huahh!!" Serunya mulai lelah.
Ia meregangkan otot-otot tangan dan punggung. Ia tatap kembali lembaran kertas yang berisi tentang salah satu identitas anak berbakat.
Chinatsu Lusian
14 Tahun
Bakat Menari
Super Akja Traditional Dancer
Memiliki berbagai prestasi berupa piala maupun mendali dari lomba menari tradisional
Memiliki seorang kakak perempuan yang mengalami trauma berat
"Chinatsu Nova..." gumam Huda.
Huda berpikir apakah Nova, kakak Lusian masih hidup atau tidak. "Sepertinya 2 tahun lalu, kelima orang ini berhasil keluar dari sekolah terkutuk. Tetapi mereka malah mengalami trauma berat hingga sampai mencoba bunuh diri. Kemungkinan ada yang meneror mereka karena mengetahui sebuah rahasia yang sangat penting sekaligus misterius." Analisis Huda.
"Nanti aku akan mengecek kamar Lusian untuk mencari informasi lain." Ucap Huda semangat.
"Hah! Aku merindukan mereka..." lanjutnya lirih.
.
.
.
.
Vero berjalan menuju ke tempat favoritnya yaitu ruang kelas yang berada di lantai 1. Sebenarnya di lantai 3 juga terdapat kelas milik seniornya. Namun, ia lebih menyukai yang di lantai 1.
"Aku memiliki perasaan yang tidak enak." Kata Vero. Ia melangkahkan kakinya lebih cepat sampai ke kelas.
Srek!
Vero membuka pintu kelas dan melihat pemandangan yang mengerikan. "Benar apa dugaanku," gumamnya. Ia berjalan mendekati sosok seseorang yang sudah tak bernyawa dan tergenang darah.
Keadaan kelas yang juga berantakan seperti adanya perkelahian di sini. "Ternyata giliran kau tewas..." ujarnya datar.
Pom! Pom!
Suara speaker menggema di seluruh sisi ruangan sekolah. Ini pertanda Kumatobi akan memberikan informasi penemuan korban.
"Fufufu... Aku senang sekali. Akhirnya ada korban yang tewas, Tobi! Ditemukan korban tewas terbunuh di kelas. Saatnya penyelidikan dan menentukkan siapa pelaku sebenarnya!" Jelas Kumatobi. Suara itu pun menghilang dan meninggalkan perasaan sedih.
Vero terlihat biasa saja saat menemukan tubuh korban Rifki. Ia melihat keterangan yang diberitahukan oleh Kumatobi di kartu identitas atau alat komunikasi.
To : Murid Berbakat
Yoshiko Rifki 14 tahun, Super Akja Leadership. Ia ditemukan tewas di ruang kelas dengan luka tusukkan di bagian jantung, perut serta goresan di leher. Diperkirakan waktu tewas pukul 2 siang dan ditemukan pukul 5 sore. Selamat berjuang! 😊
From : Kumatobi (Kepala Sekolah tercinta)
"Pukul 2 siang ternyata ia tewas." Ucap Vero. Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat.
Srek!
Teguh dan Uli, lalu di susul Fiki, Diane dan Karin yang dibopong. Selanjutnya Seila, Oriza dan terakhir Huda.
"Astaga tidak lagi!" Seru Uli menutup matanya takut.
"Ini sungguh kejam." Ucap Fiki.
Karin melebarkan matanya. Orang yang sebelumnya berada di dekatnya, kini dengan mata kepala sendiri. Ia melihat orang itu Rifki tewas terbunuh dengan cara tragis.
"Rifki..." gumam Karin lirih. Ia pun pingsan tak kuat melihat pemandangan itu dan karena keadaannya yang sedang sakit.
Cekrek!
Oriza memotret tubuh Rifki dengan lihai. Beberapa gambar telah ia ambil dan hasilnya memuaskan.
"Kenapa bisa-bisanya kau malah memotret?!" Hardik Teguh tak habis pikir dengan kelakuan Rifki.
"Apa urusannya denganmu?!" Tanya Oriza dengan tatapan tajam menusuk. Semua tertegun dengan sikap Oriza yang berubah menjadi berani.
"Dia itukan teman dekatmu... hiks..." kata Seila terisak.
"Iya, aku tahu. Aku pun terpukul akan kematiannya yang tak wajar ini." Balas Oriza sedih.
"Dia seperti memiliki dua sisi yang berbeda..." batin Huda berpikir.
"Sudah cukup! Bukan saatnya kita berdebat tak jelas!" Seru Diane yang menahan tubuh Karin agar tidak jatuh. Ia sudah pusing dengan ini semuanya.
Tubuh Karin pun di dudukan di salah satu bangku kelas yang tak terkena noda darah. "Sebaiknya kita cepat menyelidiki," usul Huda tiba-tiba.
"Baiklah." Balas Vero. Huda dan Vero segera meninggalkan lokasi kejadian. Hal itu membuat semua heran akan sikap keduanya.
.
.
.
.
Di kantin...
Uli dan Teguh menyelidiki di kantin. Keduanya berpikir bahwa senjata yang di pakai oleh pelaku adalah pisau yang berada di dapur.
"Semua pisau tidak ada!" Seru Uli heran.
"Pasti si pelaku yang telah mengambilnya." Kata Teguh. Ia memukul dinding dengan keras.
Buk!!
"Hentikan!" Teriak Uli kesal.
Teguh pun menghentikan aksi gilanya itu. Ia menengok ke arah Uli.
"Kita harus berpikir dengan kepala dingin. Jangan tersulut oleh emosi!" Umpat Uli geram. Pasalnya, Teguh selalu melakukan sesuatu hal dengan emosi.
"Hmm... baiklah," ujar Teguh menyesal. Kalau teman-teman lain melihat tingkah Teguh, pasti akan terheran-heran.
"Oke!" Balas Uli tersenyum. Ia segera melihat segala macam sudut dapur. Dan ia menemukan sesuatu yang membuatnya tercengang.
"Lihat ini, aku menemukan lembaran kertas bertuliskan angka 4 berwarna merah. Ini seperti surat ancaman yang kita dapat." Ucap Uli.
Teguh memegang kertas itu. "Baunya sedikit anyir." Komentar.
"Pelaku pasti menggunakan darah milik Rifki. Kejamnya." Kata Uli sedih.
"Aku memiliki firasat buruk, bahwa akan ada korban selanjutnya. Kita harus berhati-hati." Ungkap Teguh menyarankan.
"Baiklah! Mulai sekarang kita harus berduaan terus." Sahut Uli. Teguh hanya membalas dengan senyuman tipis sekali.
.
.
.
.
Di ruang kelas...
Seila masih memandang jasad Rifki dengan sedih. Ia teringat akan ucapannya bahwa ia bertanggung jawab atas kejadian ini. Namun naas, Rifki sudah mati dibunuh oleh pelaku.
Fiki sendiri memeriksa luka tusukan yang didapatkan korban. "Tusukan di jantung saja sudah langsung membunuhnya. Tetapi, kenapa pelaku juga menusuk daerah perut dan leher. Pasti mereka sempat bertengkar dengan Rifki yang melawan sang pelaku." Analisis Fiki.
"Pelaku sangat kejam sekali." Ucap Seila lirih.
Ia juga mendekati tubuh Rifki untuk memeriksa bagian setiap sudut pakain korban. Ia rogoh sebuah saku di celana Rifki.
"Ada sebuah kertas. Tulisannya ini seperti yang di dapatkan oleh Vero berupa surat ancaman angka 4 yang berarti sial." Ucap Seila.
"Aku punya ide, bagaimana kalau kita menanyakan satu persatu dari mereka. Mungkin mereka juga mendapatkan surat ancaman seperti ini." Usul Fiki.
"Hmm... aku ikut." Jawab Seila. "Andai saja Huda ada disini..." gumamnya sedih.
"Sudahlah tak usak kau harapkan orang seperti itu yang hanya mementingkan egoisnya saja!" Seru Fiki kesal kalau membicarakan tentang Huda.
Saat ini keduanya bertengkar dengan Huda pada siang hari tadi. Mereka jadi terpecah belah menjadi dua kubu. Seila dan Fiki segera meninggalkan ruangan dan mencari keberadaan lainnya.
.
.
.
.
Di kamar Karin...
Keadaan Karin semakin memburuk setelah kejadian yang menewaskan Rifki. Karin merasa terpukul akan hal itu. Orang yang dianggapnya peduli pada dirinya harus pergi meninggalkan ia dengan cara tragis.
"Hiks... Rifki, kau sudah berjanji padaku untuk melindungiku. Tapi kau malah pergi meninggalkan aku... hiks!" Ucap Karin lirih.
Karin sedang sendirian di kamar.
"Karin..." panggil Diane lembut. Karin menoleh lemah ke arah Diane.
"Aku pergi sebentarnya untuk menyelidiki kasus ini." Kata Diane pamit. Karin hanya menganggukan kepalanya lemah.
Srek!
Diane pun pergi dari kamar Karin. Tinggallah Karin sendirian. Ia mulai merenungkan nasipnya.
"Orang-orang yang kusanyangi meninggalkan aku satu persatu..." ungkapnya sedih. Ia jadi teringat akan wajah Opick dan Rifki yang selalu bersikap seperti seorang pelindung baginya.
Tok! Tok!
Pintu suara kamar miliknya terbuka. Dengan langkah gontai, Karin menuju ke arah pintu.
Srek!
Pintu telah terbuka, namun tidak ada seorang pun di luar. Karin tiba-tiba saja terjatuh. Kedua matanya melebar sempurna. Di depannya terpampang tulisan angka 4 besar dengan menggunakan darah sebagai tinta.
"Kyaaahhh!!!!" Teriak Karin ketakutan.
Oriza yang sedang berjalan di lorong terkejut mendengar suara teriakan seorang wanita. "Ahh! Aku harus mencegah korban selanjutnya." Seru Oriza. Ia pun berlari cepat ke arah sumber suara.
Sampailah Oriza di dekat kamar Karin. Ia langsung menolong Karin. "Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Oriza cemas.
"I-itu..." ucap Karin sambil menunjuk ke arah tulisan tersebut. Oriza menoleh dan ia juga terkejut.
Ancaman angka 4 semakin menakutkan. "Ini sungguh keterlaluan!" Geramnya kesal. Ia segera membantu Karin untuk masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuh Karin.
"Tenang saja. Aku pasti akan menemukan pelaku itu secepatnya." Janji Oriza.
Cekrek!
Ia memotret dinding tersebut sebagai bukti.
.
.
.
.
Di kamar Lusian...
Huda serta Vero sedang mencari sesuatu petunjuk di kamar Lusian. Mereka mencari informasi tentang Chinatsu Nova, kakak kandung Lusian.
"Tak ada yang mencurigakan atau apapun di sini." Ujar Huda.
"Hmm..." balas Vero tak jelas. Ia saat ini sedang mencari di laci nakas. Ia menemukan sebuah catatan kecil.
"Catatan kecil... Huda lihatlah ini!" Seru Vero. Huda segera menghampirinya.
"Apa yang kau temukan?" Tanya Huda penasaran.
"Sebuah catatan kecil." Jawab Vero datar.
"Ini seperti buku diary..." ucap Huda melihat isinya.
Brak! Bruk!
Terdengar suara gaduh di luar. Huda dan Vero segera melihat ke luar. Vero melihat sosok bayangan berlari ke arah kanan dan menghilang di belokan.
"Kita harus mengejarnya!" Seru Huda.
"Tidak usah! Ini hanya sebuah jebakan!" Sanggah Vero menahan Huda.
"Jebakan..." gumam Huda bingung.
"Sepertinya cara ini tidak selancar yang aku kira." Kata sosok bayangan itu.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Maaf kalau rada kurang greget dengan chapter ini 😊😅
Selamat membaca! 😎
#9 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top