Pembunuhan Keempat
Keempat remaja itu mulai memasuki ruang rahasia yang gelap dan sunyi. Kini Huda membawa sebuah senter yang ia temukan di gudang.
Huda nampak antusias menelusuri lorong itu. "Kau semangat sekali." Ucap Fiki.
"Hehe... Aku ingin tahu apa di balik pintu besi tersebut." Balas Huda menyengir.
Vero memasang wajah datar. Ia berjalan tepat di belakang Huda. Sedangkan Seila berjalan lemas sambil menundukkan kepala.
Bruk!
"Hei, kenapa kau menabrak ku?" Tanya Fiki heran.
"Ma-maaf... aku tak sengaja." Jawab Seila gugup.
"Kenapa kau terlihat gugup seperti itu?" Tanya Huda.
"Tidak apa-apa." Jawab Seila cepat.
Vero menyunggikan senyum tipis. "Ingat kata-kataku." Bisik Vero di telinga Seila.
Seila tak merespon. Ia tetap berjalan namun tak menunduk lagi. Akhirnya mereka sampai di depan pintu besi.
"Pintu ini harus dibuka dengan kartu identitas." Jelas Huda.
"Apa sudah kau coba?" Tanya Fiki penasaran.
"Sudah, tapi tetap tak bisa di buka." Jawab Huda.
"Hanya kartu identitas khusus yang bisa membukanya." Sambung Vero.
"Hah!" Seila menghela napas kasar. Ia menyenderkan tubuh di dinging. Dan dinding yang ia sandari mulai bergeser.
Zzrett!
Dinding itu terbelah menjadi dua. Ada sebuah anak tangga yang menurun di dalamnya.
"Jalan rahasia lagi!" Seru Huda.
"Apa kau memiliki ilmu?" Tanya Fiki.
"Tidak ada. Mungkin ini hanya kebetulan." Jawab Seila malas.
"Kebetulan yang kedua kali." Komen Vero.
"Ayo kita menuruni anak tangga ini!" Ajak Huda semangat.
"Maaf aku tak ikut!" Sahut Seila.
Ketiganya memandang Seila bingung. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dari mereka.
"Yasudah!" Kata Vero acuh. Ia menuruni tangga terlebih dahulu. Lalu di susul oleh Huda dan Fiki terakhir. "Benar kau tak mau ikut?" Tanya Fiki sekali lagi.
"Tidak! Aku akan kembali saja. Sampai jumpa!" Jawab Seila. Ia segera meninggalkan ruang rahasia.
.
.
.
.
Oriza berjalan santai menuju kantin. Ia ingin membuat makan siang.
Srek!
Saat Oriza masuk. Ia melihat Karin sedang termenung. Wajahnya pucat kian kentara. Ia memutuskan untuk tak menghampiri, lalu pergi ke dapur.
Duapuluh menit kemudian, masakan Oriza telah siap disantap. Ia memasak telur dadar dan sosis bakar.
"Ittadakimasu!" Seru Oriza melahap makanan dengan nikmat.
Karin yang daritadi terdiam menoleh ke arah Oriza. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. "Hmm... si kepribadian ganda..." Kata Karin. Ia pun menyesap teh melatinya perlahan.
Suasana hening. Keduanya sibuk akan kegiatan masing-masing. Pintu dapur pun terbuka.
Srek!
Nampak Teguh dan Uli yang sedang bersenda gurau. Mereka tak memperhatikan kehadiran Oriza dan Karin di kantin.
"Kau mau makan apa?" Tanya Uli lembut.
"Aku ingin makan apapun yang penting itu buatanmu." Jawab Teguh menggoda.
Semburat merah menghiasi kedua pipi Uli. "Huh! Gombal!" Ucap Uli pura-pura ngambek. Ia berdiri dan melangkahkan kaki ke arah dapur.
"Tch! Pasangan menjijikan!" Cibir Oriza. Ia tetap asyik makan tanpa menoleh ke Teguh.
Teguh tak merespon sindirannya. Ia sedang mengatur pernapasan. Ia melakukan itu untuk menahan emosi.
"Hahaha..." tawa Karin di ujung meja kantin. Oriza menatap tajam Karin.
"Apa yang kau tertawakan, hah?!" Teriak Oriza terpancing.
"Ahh tidak ada. Aku hanya membayangkan seorang berkepribadian ganda menjadi korban selanjutnya." Ujar Karin menyeringai.
Brak!
"Kaulah yang akan mati selanjutnya. Aku jadi tak selera makan!" Sahut Oriza mengebrak meja. Ia melangkahkan kaki keluar dapur dengan geram.
"Apa yang terjadi?" Tanya Uli membawa dua buah piring penuh makanan.
"Hanya seseorang yang sedang tersulut emosi. Sudah abaikan saja." Jawab Karin. Ia pun berdiri menuju pintu.
"Selamat bersenang-senang..." lanjutnya melambaikan tangan.
Srek!
"Dia aneh sekali." Komen Uli.
"Sudah tak usah kau hiraukan si gadis depresi." Sahut Teguh.
"Kau tak boleh berkata seperti itu. Mari kita makan saja." Ujar Uli. Ia duduk di sebelah Teguh.
"Iya!" Seru Teguh datar.
.
.
.
.
Huda, Vero dan Fiki tengah menuruni tangga demi tangga. Mereka telah sampai di bawah. Di depannya terdapat pintu kayu bercat merah.
"Sampai juga," ucap Huda.
"Aku lelah menuruni anak tangga ini." Keluh Fiki menyekat keringat.
"Dasar payah!" Ejek Vero. Ia terlihat tak kelelahan sedikit pun.
Kedua pria itu hanya bisa menghela napas berat. Mereka merasa di jatuhkan oleh seorang wanita.
Huda pun segera membuka pintu itu. Tanpa diduga pintu itu terbuka.
"Syukurlah," gumam Huda senang.
Ia membuka pintu itu semakin lebar.
Kriek!
Ternyata mereka berada di dalam perpustakaan. Memang di perpustakaan terdapat sebuah pintu yang tak pernah di buka oleh mereka.
"Perpustakaan?" Ujar Fiki heran.
"Jalan rahasia ini menghubungkan perpustakaan dan ruang rahasia." Jelas Huda.
"Sebaiknya kita menuju ke kantin. Aku lapar sekali." Ucap Vero memegang perutnya.
Sontak kedua pria itu tertawa kencang. "Hahahaha...."
"Cih! Menyebalkan!" Umpat Vero kesal. Ia pun melangkah pergi menuju kantin meninggalkan kedua pria tersebut.
"Ehh! Dia marah." Seru Fiki. Mereka pun menyusul Vero.
.
.
.
.
Di ruang auditorium...
Nampak Uli masih mengotak atik komputer. Ia tak menggunakan laptop miliknya.
Klik!
Uli menekan tombol enter. Lalu beberapa foto muncul di layar monitor.
"Foto-foto siapa ini?" Tanya Uli pada dirinya sendiri.
Terdapat foto seorang pria mengenakan pakaian ala bela diri berwarna merah keorenan. Lalu foto selanjutnya seorang wanita memakai celemek putih. Wanita itu membawa sebuah jarum suntik.
"Apakah ini foto para senior terdahulu?" Pikirnya.
Ia mengklik foto demi foto hingga menampilkan wanita memakai seragam warna hitam dan berambut violet pucat.
"Foto ini mirip seperti Lusian.." gumam Uli. "Ahh tak mungkin!" Elaknya.
Srek!
Pintu ruang auditorium terbuka. Sesosok misterius berjalan menghampiri tempat Uli berada. Uli tak menyadari adanya orang yang masuk ke dalam. Ia sangat serius dan fokus melihat foto wanita mirip Lusian.
"Hai Uli..." sapa sosok misterius.
"I-iya... kau!!" Balas Uli.
Prak!!
.
.
.
.
Hari mulai menjelang sore...
Huda dkk sedang berjalan menyusuri lorong menuju ruang auditorium. Mereka ingin menemui Uli.
Sampainya di ruang tersebut. Mereka bertemu dengan Teguh yang membawa segelas susu putih.
"Oii Teguh!!" Panggil Fiki.
Teguh pun menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Ia memandang mereka dengan tatapan intimidasi.
"Ada apa?" Tanya Teguh tak suka.
"Kami ke sini bukan ingin mencari keributan." Jawab Huda.
"Hmm..." balas Teguh acuh.
Srek!
Teguh masuk ke dalam ruang auditorium, disusul dengan Huda, Fiki, Seila dan Vero.
Saat Teguh hendak menghampiri Uli. Ia melihat pemandangan yang menyesatkan hati. Gelas yang ia pegang pun terjatuh pecah ke bawah lantai.
"Kena--" ucap Huda terpotong.
"Pembunuhan keempat." Kata Vero.
Mereka menoleh ke arah sosok Uli berada. Ia sudah terkapar tak berdaya di depan komputer dengan posisi duduk. Darah keluar dari bagian punggung dan kepalanya.
"Uli!!!" Teriak Teguh. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Langsung ia menghampiri tubuh Uli yang sudah tak bernyawa lagi.
"Ti-tidak mungkin!!!" Teriak Seila tergagap. Ia pun menangis histeris.
Pom! Pom!
Suara speaker menggema di ruangan tersebut. Ini pertanda Kumatobi akan memberikan sebuah informasi yang menyedihkan.
"Fufufu... Apa kabar kalian?" Tanya Kumatobi basa basi.
Tak ada yang menjawab. Mereka masih terkejut melihat pembunuhan kali ini.
"Ahh! Tak ada jawaban. Baiklah! Telah ditemukan sebuah mayat di ruang auditorium. Saatnya untuk menyelidiki kasus pembunuhan ini. Fufufufu..." kata Kumatobi santai. Suara itu pun menghilang.
Ting!
Sebuah nada dering berbunyi. Huda membuka kartu identitas miliknya. Ia melihat ada sebuah pesan dari Kumatobi.
To : Murid Berbakat
Katashi Uli 14 tahun, Super Akja Programmer. Ia ditemukan tewas di ruang auditorium dengan luka sayatan berbentuk X di bagian punggung dan bagian kepala yang dipukul menggunakan benda berat. Diperkirakan waktu tewas pukul 3 siang dan ditemukan pukul 4 sore. Selamat berjuang! 😊
From : Kumatobi (Kepala Sekolah tercinta)
"Lagi-lagi pembunuhan..." geram Huda frustasi.
"Kondisinya memprihatinkan." Komen Fiki lirih.
"Aku ingin muntah..." ucap Seila. Ia pun menuju ke westafel yang berada di belakang ruang auditorium.
"Pelakunya tak segan-segan untuk membunuh." Ujar Vero.
Srek!
Karin dan Oriza baru saja datang. Keduanya juga nampak terkejut atas tewasnya Uli.
"Ma-mayat!!" Kata Karin. Ia menjatuhkan dirinya di lantai.
Cekrek!
Oriza seperti biasa mempotret kondisi jasad Uli. Ia terlihat sangat menikmati.
"Gambar yang bagus." Seru Oriza menyeringai tipis.
Bugh!
Oriza tersungkur ke bawah. Luka lebam tercipta di pipi kanannya. Pelaku pemukulan itu adalah Teguh. Ia menatap garang Oriza penuh emosi.
"Ini bukanlah mahakarya!" Teriak Teguh kencang. Wajahnya sudah dipenuhi air mata kesedihan. Bajunya yang juga berubah warna menjadi merah. Sejak tadi ia memeluk tubuh Uli yang sudah tak bernyawa lagi. Ia sangat terpukul atas kepergian orang yang ia cintai.
"Moment menyedihkan." Gumam Huda.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Hai author tamvan muncul kembali :v Hahaha aku sudah update cerita baru, Kuma! 😉😊😀
Selamat membaca! 😎
#7 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top