Keputusasaan
"Tepat sekali! Pembunuh Kaguhiro Aldo dan Chinatsu Lusian adalah... Matsuda Nico, Super Akja Gamers." Ucap Kumatobi.
"Be-benarkah kau pelakunya?" Tanya Diane berani.
"Iya! Akulah yang telah membunuh wanita brengsek itu dan juga calon kekasihnya!" Ungkap Nico jujur.
"Mengapa kau lakukan itu?" Tanya Seila.
"Aku membunuh mereka karena--" jeda Nico. "-- kertas yang kau temukan itu adalah milik Lusian." Lanjutnya.
Seila menatap kertas yang ia genggam itu. "Ja...jadi rahasia kelam Lusian ada sangkut pautnya dengan dirimu." Ucap Seila.
"Iya!" Jawab Nico cepat.
"Memang apa yang telah dilakukan Lusian terhadapmu?" Tanya Huda penasaran.
"Dia telah membuat sahabatku menjadi trauma berat dan akhirnya... mati." Jawab Nico lirih. Tubuh besarnya mulai gemetaran.
Mereka yang mendengar jawaban Nico merasa tersentuh. "Aku turut berduka cita," ujar Uli peduli.
"Aku tak butuh kepedulian! Akhirnya 2 tahun berlalu, kematianmu telah aku balaskan kawan." Kata Nico tersenyum tipis.
"Bolehkah aku bertanya padamu?" Tanya Fiki.
"Iya, tanya saja sebelum aku menerima hukuman darinya." Jawab Nico melirik ke arah Kumatobi.
"Tolong ceritakan bagaimana kau membunuh mereka?" Tanya Fiki lagi.
"Itu mudah sekali. Saat kita mendapatkan secarik kertas berisi rahasia kelam. Aldo terlihat sangat sedih. Lalu aku mendekatinya dan ia bercerita bahwa ia tak lemah dalam bidang olahraga." Jawab Nico.
"Lalu aku mengajak dia untuk olahraga bersama di kolam renang. Dan itulah waktu aku membunuhnya saat ia lengah." Lanjut Nico riang.
"Dia seperti psikopat saja." Gumam Diane.
"Bagaimana dengan Lusian?" Tanya Rifki.
"Aku sebenarnya tak ada niat membunuh mereka. Tapi saat aku berjalan, aku melihat keduanya sedang berbincang serius di kamar. Aku pun mendengarkan dan mengetahui rahasia kelam Lusian yang pernah membuat orang terjebak hingga trauma berat. Dan saat itulah aku berencana untuk membunuhnya setelah mengetahui rahasianya yang telah membunuh sahabatku." Jawab Nico menjelaskan. Setitik air mata jatuh dari kelopak matanya.
Tok! Tok!
"Salam perpisahan telah selesai. Saatnya Matsuda Nico, Super Akja Gamers menerima hukumannya. Aku sudah menyiapkan hukuman yang menarik untukmu dan kalian." Ucap Kumatobi menyeringai.
Di layar monitor terlihat gambar Nico yang ditarik oleh Kumatobi. Di bawahnya tertulis Game Over.
"Sampai jumpa... semuanya." Kata Nico untuk terakhir kalinya. Ia memberikan senyum kesedihan.
"It's Show Time..."
.
.
.
.
Di suatu ruangan...
Nico berada di dalam ruangan yang gelap. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Cahaya terang pun menyorot dirinya. Setelah itu ruangan menjadi terang.
Kesepuluh anak yang tersisa melihat dari layar monitor. Mereka tampak tegang, penasaran, takut, sedih, marah semuanya menjadi satu.
"Ini seperti di dalam game," ucap Nico.
Ternyata Nico berada di suatu benteng. Ia pun menyelusuri lorong di depannya. Hingga menemukan 2 jalur menuju ke kanan dan ke kiri.
Sebuah bola besi berukuran besar menggelinding dari arah kiri. Nico pun berlari ke arah kanan. Ia berlari sekuat tenaga, namun bola besi itu sudah mencapai punggungnya. Di depan Nico terdapat belokan. Ia segera berbelok tetapi tersandung akar pohon.
Bruk!
"Aww... sial bisa-bisanya aku terjatuh. Bola itu telah mencapai dirinya. Nico berusaha berjalan dengan menyeret-nyeret tubuh besar. Namun disayang salah satu kakinya telah terlindas oleh bola besi raksasa itu.
"Argg!!!" Teriak Nico kesakitan.
Mereka yang menonton hanya meringis kesakitan. "Kurasa kakinya patah." Komen Vero. Mereka tidak menghiraukan ucapan Vero. Semua menatap layar dengan wajah serius.
"Kakiku sepertinya patah. Sial! Aku tak bisa berjalan." Kata Nico meringis sakit.
Ia menyeret badannya untuk berjalan sambil memegang dinding. Suasana yang lembab dan dingin membuat Nico sedikit mengigil. Luka dikakinya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Bekas darah di lantai menjadikan bukti Nico menyeret dirinya sendiri.
"Aku tak sanggup lagi berja--"
Ucapan Nico terpotong. Saat ia memegang dinding yang ternyata masuk ke dalam. Sebuah anak panah menancap punggungnya hingga tertembus ke depan.
"Uhuk!" Nico memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dengan anak panah yang menancap ke tubuhnya. Beberapa organ dalam pasti terkena tembusan anak panah itu.
Nico mencoba menarik anak panah itu, namun sia-sia. Ia sudah tak sanggup lagi. Badannya yang mengigil dan luka berat yang ia rasakan sudah mampu menguras seluruh tenaganya.
"Aku harus kuat!" Seru Nico. Ia kembali menyeret tubuhnya. Ia tak sengaja menindih lantai yang berbeda. "Ini pasti jebakan." Gumamnya pasrah. Wajahnya sudah semakin pucat.
Tiba-tiba lantai yang ia pijaki terbuka. Di bawahnya sudah ada besi-besi yang menjulang ke atas. "Aku akan segera bertemu denganmu kawan..." ucap Nico untuk terakhir kali sebelum ajal mendatangi dirinya.
Jleb! Jleb!
Tubuh Nico telah tertusuk beberapa besi-besi tajam yang menjulang ke atas. Air mata yang menetes menandakan kesakitan yang ia rasakan saat ini. Darah merembas dari seluruh luka yang Nico terima.
.
.
.
.
Cling!
Layar monitor telah mati. Tontonan yang menarik perhatian mereka telah berakhir. Ekspresi mereka saat ini tak karuan.
"A-aku..." ucap Karin terduduk lemas. Ia sudah tak sanggup menopang tubuhnya. Wajahnya sudah pucat dan air mata mengalir deras.
"Ini... sungguh... menakutkan..." kata Seila dengan tubuh bergetar hebat. Ia juga terisak menangis.
"Sungguh kejam..." komentar Oriza. Ia memomenkan adegan sadis itu dengan merekamnya. Ia memegang kamera miliknya dengan gemetaran.
Diane shock melihat kejadian itu. Ia hampir saja pingsan kalau tak di tahan oleh Rifki.
Rifki sendiri sampai memejamkan mata melihat adegan yang memilukan itu. Ia merasa gagal menjadi seorang pemimpin.
"Kumatobi!!! Brengsek kau!!" Teriak Teguh. Ia mengayunkan tinju kepada Kumatobi. Dalam sekejap Kumatobi telah menghilang.
"Hentikan! Ini hanya membuat ia merasa senang dan berhasil telah membuat kita seperti ini." Lerai Huda. Hanya ini yang bisa ia lakukan.
"Kau masih bisa berbicara seperti itu!" Bentak Teguh.
Bugh!
Satu pukulan mendarat mulus di wajah Huda. Ia terjatuh ke bawah cukup keras. Ia tak membalas.
"Cukup hentikan!" Teriak Fiki. "Apa yang dibilang oleh Huda ada benarnya?!" Lanjutnya. Dadanya naik turun secara cepat mengatur napas yang menggebu-nggebu.
"Cih!" Teguh membuang ludah sembarangan. Wajahnya ia saat ini sudah memerah emosi.
"Hiks... hiks... aku sudah tak sanggup lagi." Ucap Uli lirih.
"Semua yang telah terjadi biarlah berlalu..." kata Vero tenang. Semua tatapan mengarah kepadanya.
"Ada apa?" Tanya Vero heran.
"Dasar tak punya hati!" Hardik Diane menunjuk ke arah muka Vero.
"Kau terlalu mendramatiskan kejadian ini." Ujar Vero sinis. Ia berpose dengan kedua tangan menyilang di dada.
"Maaf... aku tak berguna..." kata Rifki merendahkan diri. Ia lebih terpuruk dari sebelumnya.
.
.
.
.
"Fufufu... teruslah seperti itu. Aku suka melihat ekpresi keputusasaan kalian. Kalian telah membuatku senang dan terhibur tentunya." Kata Kumatobi.
"Mati saja kau!" Geram Huda.
"Aku takkan mati, karena aku abadi!" Seru Kumatobi menyeringai.
"Sampai jumpa kembali." Lanjutnya.
Kumatobi pun menghilang dari pandangan mereka. Kesepuluh anak terpilih memilih untuk menunggu pintu lift yang belum terbuka.
Ting!
Lift pun terbuka. Mereka masuk ke dalam ruangan dengan hening. Beberapa menit kemudian, puntu lift terbuka.
Ting!
Satu persatu keluar dengan aura menyedihkan dan keputusasaan. Mereka memilih untuk kembali ke kamar masing-masing.
.
.
.
.
Sudah dua hari semenjak sidang kedua berakhir. Tak ada suara maupun teriakan yang biasa terdemgar di setiap lorong. Pintu pagar menuju lantai 3 telah terbuka.
Huda, Fiki dan Seila saja yang memeriksa keadaan di lantai 3. Sementara yang lain enggan untuk menyelidiki.
Lantai 3...
"Apa kita akan berpencar atau menyelidiki bersama-sama?" Tanya Fiki memecah keheningan. Semenjak kejadian pembunuhan di lab, Fiki menjadi dekat dengan Huda serta Seila.
"Aku memilih bersama-sama," ujar Seila.
"Aku juga sama dengannya," tambah Fiki.
Huda berpikir sejenak, lalu ia pun memutuskan. "Aku sendiri saja. Kalian bisa berdua memeriksanya. Aku akan ke arah sana, sampai jumpa." Ucap Huda. Ia pun melangkah lurus ke depan dan menghilang di balik tembok.
"Dia memang seperti itukah?" Tanya Fiki pelan.
"Iya... terkadang dia lebih suka menyendiri." Jawab Seila tenang. Mereka pun berjalan ke arah kanan.
.
.
.
.
Di dalam kamar...
Karin mengurung dirinya seharian penuh. Ia tak ingin dinganggu oleh siapapun termasuk Diane, sahabat kecilnya.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuang Karin merasa terngganggu. Ia tak ada niatan untuk membuka pintu itu.
Tok! Tok!
Kembali suara ketukan dari luar pintu kamarnya. "Menyebalkan!" umpat Karin. Ia beranjak membuka pintu kamar dengan langkah lulai.
Srek!
Pintu telah terbuka namun tak ada seorang pun di sana. Karin mulai panik dan segera menutup pintu. Tetapi ia melirik sepucuk surat di bawah lantai. Lalu ia memungut surat tersebut dan menutup pintu cepat.
"Surat apa ini?" Tanyanya. Ia pun merobek surat misterius itu. Dan ia mulai membuka dan membaca. Tubuh Diane tersentak saat melihat isi surat misterius itu.
"Ta-tak mung-mungkin..." ucapnya ketakutan. Ia segera membuang surat misterius.
Kertas itu terjatuh dan menampilkan sebuah angka 4 berwarna merah seperti darah.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Huah! Aku lagi senang menulis tentang cerita ini. Semoga kalian terhibur. 😊😉😀
Siapakah yang telah mengirim surat misterius itu? Bagaimanakah penyelidikan ketiganya di lantai 3? 🤔
Selamat membaca! 😎
#10 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top