Balas Dendam
Di kantin...
Teguh terdiam sendiri di kantin. Ia mengingat semua kenangan tentang dirinya dan Uli. Ia hanya bisa tersenyum miris.
"Uli..." gumam Teguh lirih.
Ia membuka kartu identitas sekaligus ponsel. Ia melihat sebuah foto berupa angka yang ditinggalkan sebagai pesan kematian oleh Uli.
"Sebenarnya apa maksud dari kode ini?" Tanya Teguh pada dirinya sendiri.
Teguh menghabiskan kopi hitam miliknya. Ia pun bergegas mencari keberadaan Huda.
"Aku harus menanyakan hal ini kepadanya." Seru Teguh.
Srek!
Pintu kantin terbuka otomatis. Ia pun melangkah pergi meninggalkan kantin.
.
.
.
.
Di perpustakaan...
Huda, Fiki dan Vero tengah berkumpul. Mereka membicarakan tentang kasus kematian Uli di ruang auditorium. Banyak hal yang belum mereka temukan sebagai petunjuk.
"Hah! Aku pusing sekali." Seru Fiki mengacak-ngacak rambutnya frutasi.
Vero dengan sikap angkuhnya hanya menatap sinis Fiki. "Hahaha... kau benar-benar tak di butuhkan." Cibir Vero.
"Apa kau bilang?" Bentak Fiki kesal.
Huda menghela napas lelah. Ia sudah pusing di tambah dengan pertengkaran kedua orang di depannya ini.
"Cukup!" Sahut Huda.
Keduanya pun terdiam. Entah kenapa hawa yang di keluarkan oleh Huda saat ini cukup menyeramkan.
"Apa kalian ada yang melihat Seila?" Tanya Huda mengalihkan pembicaraan.
"Tidak!" Jawab Vero cepat.
"Aku tidak melihatnya sejak tadi." Tambah Fiki.
"Entah kenapa ia sedikit berubah semenjak dari ruang rahasia itu." Lanjutnya beragumen.
"Iya, aku juga merasakannya. Mungkin ia sedang ada beban." Ungkap Huda.
Kriek!
"Biar aku saja yang melihat keadaannya." Tawar Vero. Ia pun keluar dari perpustakaan menuju ke kamar Seila.
"Ayo! Kita cari petunjuk lagi." Ajak Fiki.
"Hmm... baiklah." Balas Huda tak semangat. Ia masih kepikiran dengan perubahan sikap Seila kepadanya.
Kedua pun juga pergi menuju ke ruang auditorium.
.
.
.
.
Oriza sedang membersihkan lensa kamera LSR miliknya. Ia sangat telaten dan teliti dalam merawat benda kesayangannya itu.
"Nah! Ini baru keren dan sempurna!" Seru Oriza senang.
Ia merapihkan semua peralatan tersebut. Lalu ia melihat foto-foto di dalam kameranya.
"Sungguh ini benar-benar foto yang memukau dan natural." Ucap Oriza.
"Baik! Saatnya memotret hal-hal menarik lainnya." Lanjutnya tersenyum misterius.
Srek!
Ia pun keluar dari kamarnya. Tak lupa mengalungi kamera kesayangannya di leher.
"Lebih baik aku ke lantai 4 saja." Gumam Oriza. Ia melangkah menuju ke lantai 4 dengan percaya diri.
Tangga demi anak tangga ia pijak dengan tenang. Tak luput ia memotret objek yang menurutnya menarik dan aneh bagi orang yang melihatnya.
Sampailah Oriza di depan pintu besi. Ia membuka pintu tersebut dengan kartu identitas miliknya. Hawa dingin langsung menyelimuti dirinya.
"Selamat bersenang-senang..." kata Oriza menyeringai tipis. Pintu pun tertutup kembali.
.
.
.
.
Di laboraturium...
Entah apa yang dilakukan oleh Karin. Ia nampak sibuk dengan sesuatu aktivitas yang sedikit mencurigakan.
"Ahh! Sial!" Umpat Karin kesal.
Ia membanting sebuah botol obat yang terbuat dari kaca dengan kasar.
Prak!!
Cairan yang sedikit menyengat menyeruak di ruangan itu. Tapi, Karin tak memperdulikannya. Ia tetap mencari sesuatu barang.
"Dimanakah obat itu?" Tanya Karin pada dirinya sendiri.
Ia terus mencari sampai terhenti tiba-tiba. Seringai tipis terukir dari bibirnya.
"Ahh... akhirnya aku menemukanmu." Ucap Karin riang.
Ia mengambil sebotol obat berukuran kecil dengan gambar tengkorak di tengahnya. Ia juga membaca petunjuk dari penggunaan obat tersebut.
"Yosh! Semoga ini tak terasa menyakitkan." Seru Karin.
"Tunggu aku di sana, Diane-chan, Rifki-kun, Opick-kun." Lanjutnya tersenyum lembut.
Ia pun menyimpan obat tersebut di kantong dan segera beranjak dari lab.
.
.
.
.
Keadaan di salah satu kamar nampak gelap. Di atas kasur terlihat seorang tengah duduk menyelimuti dirinya dengan selimut.
Terdengar suara isak tangis di dalamnya.
"Hiks... Aku kangen dengan kalian." Ujar Seila.
Ia memeluk kedua lututnya erat. Wajahnya sudah di penuhi oleh raut wajah kesedihan dan air mata yang sudah kering.
"Aku ingin hiks... bercerita tentang hiks... masalah ini hiks... kepadamu Oká-san." Ucap Seila pelan.
Suara tangisan semakin kencang dan Seila saat ini membutuhkan seseorang yang buat ia nyaman.
Tok! Tok!
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu di luar. Namun, Seila tak beranjak sedikit pun. Ia mengabaikan ketukan pintu tersebut.
"Hiks... pergilah... aku bukan pembunuhnya." Ucap Seila lirih. Ia memperdalam kepalanya di antara kedua lutut.
.
.
.
.
Vero terus mengetuk pintu kamar Seila dengan angkuh. Ia sebenarnya tak ingin berbuat hal semacam ini. Baginya ini adalah sesuatu yang memalukan bagi dirinya.
"Tch! Keluarlah!" Decak Vero kesal.
Setelah beberapa menit, ia menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia menyilangkan kedua tangan di dada.
"Masih untung aku mau seperti ini. Huh! Merepotkan!" Umpat Vero.
Ia pun melangkah pergi meninggalkan kamar Seila. Ia berjalan menuju ke kantin untuk menikmati pesta tehnya.
"Lebih baik aku ke kantin saja." Kata Vero angkuh.
.
.
.
.
Teguh terus berjalan mencari keberadaan Huda. Namun, ia masih belum bertemu dengannya.
"Kenapa daritadi aku tak menemukannya?" Tanya Teguh pada dirinya sendiri.
Ia sudah mulai merasa kesal menelusuri lorong demi lorong. Sampailah ia di depan laboraturium.
Ia melihat Karin keluar dari sana dengan menggenggam sebuah botol obat.
"Apa yang ia genggam itu?" Tanya Teguh pelan agar tak terdengar oleh Karin. Ia merasa sesuatu hal mencurigakan darinya.
"Aku harus mengikutinya." Ucap Teguh. Ia mulai melangkah perlahan-lahan.
Karin mengucapkan sesuatu hal yang membuat Teguh menjadi emosi. Ia mengepalkan tangannya kuat.
"Aku yakin kaulah pelaku pembunuhan Uli!" Kata Teguh geram. Ia mengeluarkan sesuatu benda dari balik seragam.
"Terimalah ini!" Serunya. Ia pun menusuk bahu belakang Karin. Pisau tersebut langsung di cabut kembali.
Jleb!
Tusukan itu menimbulkan darah merah yang masih segar keluar dari area penusukan. Karin merintih kesakitan.
"Argghh!" Teriak Karin meringis.
Ia menoleh ke arah belakang. Di sana ada sosok Teguh yang memandang dirinya tajam.
"Te-Teguh..." sahut Karin pelan. Ia merasakan hawa membunuh yang besar dari diri Teguh.
Ia mundur ke belakang secara perlahan. Ia sedikit mengabaikan luka tusuk di bagian bahu belakangnya.
"Mau kemana kau, pem-bu-nuh!" Seru Teguh dengan menekan setiap kata paling belakang.
"Pembunuh? Ka-kau pasti salah paham!" Sahut Karin ketakutan. Ia terus melangkah mundur ke belakang.
"Aku salah paham? Tak mungkin! Kau sendiri yang mengatakan kaulah yang telah mencelakai Uli." Balas Teguh penuh tekanan emosi. Wajahnya sudah berwarna merah padam.
.
.
.
.
Di ruang auditorium...
Huda dan Fiki telah sampai. Mereka masuk ke dalam, dimana tubuh jasad Uli sudah tak ada di sana.
"Kemana mayat Uli pergi?" Tanya Fiki heran.
"Mana mungkin mayat Uli pergi sendirian." Jawab Huda ketus.
Ia melihat sekeliling ruangan. Masih ada jejak darah yang mulai mengering di lokasi kejadian. Tanpa Huda duga, ia menemukan sebuah kode di layar komputer.
"Lihatlah in!" Seru Huda menunjuk ke arah layar komputer yang masih dibiarkan menyala.
"Ehh! Ini seperti semacam pesan kematian." Ujar Fiki yang penasaran.
"1 11 9 1 25" gumam Huda membaca kode tersebut.
"Apa kau mengerti arti dari kode angka ini?" Tanya Fiki.
"Saat ini belum. Sepertinya kita harus memfotonya sebagai barang bukti." Jawab Huda. Ia pun memfoto menggunakan kartu identitas sekaligus alat komunikasi miliknya.
Cekrek!
"Oke! Ayo kita membahas hal ini di markas!" Ajak Huda.
"Markas?" Tanya Fiki bingung.
"Maksudku perpustakaan..." jawab Huda menepuk kening pelan.
"Oohh... hehe..." balas Fiki menyengir.
Mereka pun memutuskan pergi menuju ke perpustakaan untuk membahas hal ini.
.
.
.
.
Di ruang rahasia...
Di sana sudah ada Nova dan Shun yang duduk saling berhadapan. Mereka sepertinya tengah membicarakan hal yang serius.
Kumatobi yang juga berada di sana, seperti di abaikan oleh keduanya.
"Kuma! Apa yang sedang kalian bicarakan?" Tanya Kumatobi penasaran.
Namun, tak ada tanggapan dari keduanya. Kumatobi pun merasa kesal. Ia menekan sebuah tombol merah di dekat layar monitor.
Sebuah tembakan berukuran besar muncul di hadapan mereka. Tetap saja keduanya tidak menghiraukannya.
"Rasakan hukuman dariku karena telah mengabaikan aku, Kuma!" Seru Kumatobi menyeringai.
Dor! Dor! Dor!
Bertubi-tubi tembakan telah di keluarkan. Shun melemparkan beberapa kusanagi. Sedangkan Nova menghindari hal itu hanya menggunakan papan lukis saja.
"Tch! Menyebalkan!" Decak Kumatobi kesal.
Mereka pun kembali seperti semula setelah tembakan besar tersebut menghilang.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Hai2... 😊
Maafkan saya yang baru bisa update sekarang nih hehe 😆
Thanks to ZahraSyaharani AhmadRizani & pandumelo yang sabar menunggu cerita ini 😀😉
Selamat membaca! 😎
#7 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top