Awal Permulaan

Di Gedung Aula Sekolah...

Terlihat para murid baru yang berbakat terbaring di lantai. Salah seorang dari mereka mulai terbangun.

"Ughh! Kepalaku pusing sekali," keluh pemuda berkacamata yaitu Fiki. Ia melihat ke sekelilingnya. "Apa yang terjadi sebenarnya?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Sepertinya kita telah di serang oleh seseorang," jawab Huda yang sudah tersadar. Ia mendengar pertanyaan dari Fiki. Ia memijit keningnya pelan.

"Yang lainnya belum pada sadar." Ucap Huda melihat kesekililingnya. Para murid berbakat baru lainnya masih terbaring tak sadarkan.

Seorang wanita berambut biru panjang mulai sadarkan diri. "Dimana ini?" Tanyanya.

"Kita masih ada di dalam gedung aula." Jawab wanita lain. Ia masih merasa sedikit pusing.

"Dua orang telah sadarkan diri," kata Fiki menghampiri keduanya.

"Kau Fiki kan?" Tanya Seila berambut biru.

"Hmm..." gumam Fiki. Ia membantu Seila berdiri. Sedangkan Huda membantu Diane, wanita berambut merah muda.

"Terima kasih," ucap Diane.

"Sama-sama." Balas Huda.

Mereka berempat telah berada di pinggir gedung aula. Sesekali melihat keadaan teman-teman yang belum sadarkan diri.

"Mereka seperti kebo saja," canda Diane terkekeh.

"Dasar Diane-baka!" Sindir Karin yang sudah terbangun.

"Hahaha... kau tidur nyenyak sekali putri," goda Diane kepada sahabat kecilnya.

"Huh!" Kesal Karin membuang muka.

Huda melihat kesekiling ruangan di temani oleh Seila. Mereka memperhatikan setiap sisi gedung. Kaca besar yaitu jendela-jendela besar  terdapat jeruji. Membuat mereka seperti terkurung.

"Pintu ini terkunci," seru Fiki yang mengecek keadaan pintu keluar dari gedung ini.

"Sepertinya kita telah dikurung di dalam sini." Pikir Huda.

"Iya, apakah para guru maupun kepala sekolah tidak menolong kita" tanya Seila cemas.

"Entahlah..." jawab Huda singkat.
.
.
.
.

15 menit berlalu. Para remaja lainnya sudah sadarkan diri. Mereka tengah berkumpul di tengah-tengah aula. Tetapi tidak bagi Vero, ia menyenderkan punggung di dinding aula. "Aku tak ingin berkumpul dengan rakyat jelata," cibir Vero.

"Dasar menyebalkan!" Geram Lusian pelan. Ia tak sengaja mendengar perkataan Vero. Rifki menepuk bahu Lusian pelan. "Sudah hiraukan saja dia." Ucap Rifki menenangkan. Lusian hanya menggangguk singkat.

"Jadi, kita semua terkurung di dalam sini?" Tanya Nico memastikan. Walaupun ia tengah fokus pada game PSP di tangannya. Ia tetap mendengarkan dengan jelas perkataan Huda.

"Iya. Aku, Fiki, Seila, Diane dan Karin telah memeriksa setiap sisi ruangan-"

"Namun, tak ada jalan keluar bagi kita. Semua telah terkunci rapat." Potong Fiki. Huda hanya mendengus kesal.

"Lalu kita harus bagaimana?" Tanya Aldo. Ia melirik arloji di tangannya yang menunjukkan angka 10.

"Kami tidak tahu," jawab Seila.

"Heh!" Opick menghela napas berat. Ia melirik ke arah jendela yang terpasang jeruji besi. Lalu melihat ke arah panggung. Hanya sebuah podium yang sebelumnya di pakai oleh Kepala Sekolah untuk memberikan sambutan.

"Kita dobrak saja pintunya," usul Rifki.

"Tak bisa, kami sudah mencobanya." Sahut Huda.

Tik! Tik!

"Yatta!" Seru Uli yang sedang berkutat dengan laptopnya. Ia selalu membawa kemanapun benda itu. Bagaikan nyawa kedua baginya.

"Tuhan... Apa kamu menemukan jalan keluarnya, Uli-san?" Tanya Novi antusias.

"Tidak! Tapi aku menemukan hal yang lebih penting." Jawab Uli.

"Apa itu?" Novi kembali bertanya.

"Aku telah mendapatkan denah sekolah ini. Jadi, kemungkinan akan ada jalan keluar dari sini." Jawab Uli tenang. Ia sedang memeriksa denah sekolah dengan seksama dan akurat.

"Hontou?" Pekik Diane riang.

Mereka pun mengerumi Uli beserta laptopnya untuk melihat denah itu. Terdapat sebuah tanda panah.

Cekrek!

Oriza memotret mereka. Lalu ia ikut mendekat. "Itu tanda panah apa?" Tanyanya.

"Itu adalah tanda dimana posisi kita berada sekarang." Jawab Uli.

"Hmm... denah sekolah ini luas juga," gumam Rifki.

"Iyalah, namanya juga sekolah terpopuler dan terkenal di Jepang." Sahut Vero sinis.

"Terserah," cibir Lusian.
.
.
.
.

Trup! Trup! Trup!

Tiba-tiba lampu gedung aula mendadak mati. Lalu sebuah cahaya terang berkumpul di atas podium.

"Fufufu...." tawa suara misterius.

"Su-suara apa itu?" Tanya Karin ketakutan. Ia memeluk erat Diane.

Semua pandangan kini tertuju pada podium itu. "Fufufu..." kembali suara misterius itu muncul. Ditengah-tengah podium terdapat sebuah boneka beruang berwarna sebagian hitam dan putih. Matanya menyala tajam berwarna merah.

Ilustrasi Kumatobi

"Hantu!!" Teriak Seila ketakutan. Ia mengumpat di belakang tubuh Nico yang besar.

"Siapa kau?" Tanya Huda penuh selidik.

"Fufufu..." hanya suara tawa menyeramkan yang terdengar.

"Jawab pertanyaan kami boneka bodoh!" Bentak Teguh. Ia mengepalkan tangannya kuat. Ingin sekali menghampiri sosok itu, namun sebuah tangan menghentikan aksinya.

"Jangan gegabah!" Ucap Opick memperingati. Teguh hanya mendengus kesal. Ia kembali ke posisinya semula.

Senyum menyeringai lebar muncul di wajah boneka itu. "Aku adalah Kumatobi," jawab boneka itu akhirnya.

"Kumatobi...," gumam Fiki. Sepertinya ia pernah mendengar nama itu tapi entah dimana.

"Selamat datang di permainan 'Bunuh Membunuh'." Ucap Kumatobi. Ia menatap mereka penuh kesenangan.

"Per-permainan-,"

"Bunuh-,"

"Mem-membunuh."

"Jangan bercanda kau!" Bentak Teguh kali ini. Ia berjalan cepat menaiki atas panggung. Ia telah berada di sebelah podium.

"Dasar boneka bodoh!" Hardiknya. Ia mengangkat Kumatobi tinggi. Namun, sebuah suara seperti detikan jam menggema di tubuh itu.

"5

4

3

2,"

Teguh membuang boneka itu ke atas.

"1!"

Duarr!!!

Kumatobi meledak di atas langit-langit atap gedung. Semua yang menyaksikan di buat tersentak. Auara mencekam menjalar di seluruh tubuh mereka.

"Apa yang kau lakukan bodoh?!"

Bugh!

Opick meninju wajah Teguh tepat di hadapan semua. Ia merasa kesal dengan perbuatan cerobohnya. Hampir saja mereka mati terbunuh oleh ledakan bom itu.

Teguh jatuh tersungkur ke bawah lantai. Ia mengelap darah segar yang keluar dari bibirnya. Ia bangkit berdiri dan siap membalas serangan. Saat tiba-tiba, Kumatobi telah berdiri di atas podium kembali. Seperti tak terjadi apa-apa pada dirinya.

"Fufufufu... Daripada saling bertengkar, lebih baik kalian saling membunuh." Seringai lebar Kumatobi.

Teguh dan Opick telah dipisahkan oleh Rifki dan Fiki. Mereka menatap ngeri melihat Kumatobi muncul kembali.

"Hentikan! Kalian hanya membuat suasana semakin tegang!" Bentak Rifki. Sebagai pemegang posisi ketua yang ia geluti, membuat dirinya mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk keselamatan teman-teman barunya.

Sejenak suasana hening. Kumatobi kembali mengeluarkan suara. "Aku adalah Kepala Sekolah disini. Jadi, semua peraturan yang ku buat adalah hal yang mutlak."

"Cih! Omong kosong!" Cibir Vero. Ia menatap tajam Kumatobi dengan gaya arogannya.

"Pasti pihak sekolah maupun keamanan akan menolong kami," ucap Novi penuh harap.

"Sayang sekali. Tidak akan ada yang menolong kalian disini. Satu-satunya jalan keluar dari tempat ini adalah bertahan hidup." Sahut Kumatobi tegas.

"Mu-mustahil..," Novi menangis histeris. "Aku tak ingin berada disini. Tuhan, tolong lindungilah aku." Doa Novi diisakannya.

Fiki mencoba menenangkan diri Novi. Ia sebenarnya merasakan hal yang sama sepertinya mungkin juga dengan lainnya. Tapi, ia harus tetap bersikap tenang dan berpikir logis.

"Kau pasti bercanda kan?" Tanya Diane lirih.

"Sepertinya dia tidak bercanda." Jawab Nico.

"Selain membunuh, tidak adakah cara lainnya?" Tanya Aldo penasaran. Ia sudah tak bisa berpikir jernih lagi.

"Tak ada! Aku sudah membuat beberapa peraturan kepada kalian. Lihatlah di handphone yang telah aku berikan kepada kalian di dalam saku.

Mereka segera mengecek ke dalam saku masing-masing. Terdapat handphone berukuran sedang berwarna hitam. Mereka menekan salah satu tombol berwarna merah.

Sebuah daftar peraturan telah tertera di dalamnya. Beberapa peraturan mulai mereka baca.

1. Kalian harus mengikuti peraturan yang diberikan oleh Kepala Sekolah tanpa terkecuali

2. Kalian harus saling membunuh tanpa diketahui oleh siapapun

3. Kamera di setiap sisi gedung sekolah akan merekam segala aktifitas kalian. Jadi gerak-gerik mencurigakan dapat dilihat dengan mudah dan langsung di tindak lanjut. Yaitu di bunuh di tempat!

4. Tak ada yang boleh memijamkan handphone atau alat komunikasi kalian kepada siapapun

5. Segala cara pembunuhan boleh di lakukan para pemain

"Ini sangat mengerikan," komen Seila.

"Tak ada peraturan yang membuat kita tenang," Sambung Uli.

"Kita akan terjebak di sini selamanya." Tambah Aldo.

"Mengapa kejadian ini harus melibatkan kita? Apakah ini adalah perbuatan dari pihak sekolah?" Batun Huda bertanya-tanya.

Satu buah notif muncul di layar handphone mereka. Fiki segera membukanya. Di sana tertulis satu buah peraturan tambahan.

6. Jangan pernah melawan Kepala Sekolah atau nyawa sebagai taruhan

"Sial! Kita di permainkan oleh boneka bodoh itu!" Decak Teguh kesal.

Semua orang disana saling menatap masing-masing. Di pikiran mereka kini hanya mengikuti permainan atau membunuh salah satu darinya.

"Fufufu... selamat menikmati permainan. Sekarang permainan telah di mulai. Kalian boleh keluar dari gedung ini dan melihat sekeliling sekolah. Sampai jumpa," Kata Kumatobi. Ia pun menghilang di balik podium. Aldo segere berlari ke arah podium. Dan tak melihat jalan keluar dari situ.

Kriek!!

Pintu gedung aula telah terbuka. Mereka pun melangkahkan kaki keluar. Kejadian sebenarnya telah di mulai dari sekarang.
.
.
.
.
.

Bersambung... 😂

Fiuh! Akhirnya cerita ini telah selesai dan sudah di update 😁

Selamat membaca! 😎😊😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top