Ancaman
Di perpustakaan...
Keempat remaja ini terlihat duduk di meja persegi panjang. Mereka duduk saling berhadap-hadapan.
"Bagaimana hasil penemuan kalian?" Tanya Huda memulai pembicaraan.
"Kami menemukan dokumen yang berisi identisan angkatan 2017 yaitu kita sendiri." Jawab Seila menjelaskan.
"Hmm... lalu apakah ada hal yang menarik?" Tanya Vero menatap serius.
"Iya, lihatlah ini. Di sini tertulis identitas salah satu dari kita yang masih hidup." Jawab Fiki tenang.
"Memiliki dua kepribadiannya. Aku rasa akan terjadi pembunuhan lagi setelah ini." Ucap Vero dengan firasatnya.
"Benarkah?" Tanya Seila penasaran.
"Hmm... aku mendapatkan surat misterius yang berisi angka 4 berwarna merah darah dalam tulisan ini." Jelas Vero menunjukkan surat misterius tersebut.
"Bukankah angka 4 itu adalah angka sial bagi negara Jepang." Sahut Huda.
"Iya, kau benar. Dan bagi kita arti angka 4 ini adalah kesialan." Sambung Seila.
"Ini pasti perbuatan Kumatobi!!" Seru Fiki kesal.
"Itu bukanlah ulahku!" Kata Kumatobi yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
Sontak saja keempat remaja itu memasang kewaspadaan. Mereka menatap tajam ke arah Kumatobi.
"Apa yang kau lakukan disini?!" Tanya Huda penasaran.
"Fufufu... Aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian untuk berkumpul di aula sekarang juga!" Jawab Kumatobi tenang.
Ia pun berjalan santai ke arah pintu perpustakaan lalu menghilang. Suasana menjadi lebih tenang setelah kepergian Kumatobi.
"Hampir saja aku jantungan!" Umpat Fiki memegang dada kirinya.
"Kau berlebihan!" Sindir Vero. Ia melangkah pergi dari perpustakaan. Fiki mengikuti di belakang dengan tatapan tajam ke arahnya.
"Ayo kita pergi!" Ajak Seila.
"Iya, aku harus menyembunyikan ini terlebih dahulu." Balas Huda. Setelah menemukan tempat yang aman, Huda menyusul lainnya menuju ke gedung aula.
.
.
.
.
Di gedung aula...
Semua telah berkumpul kecuali Karin yang berada di ruang UKS. Perasaan bingung dan penasaran menyelimuti semuanya.
Diane mengigit kukunya. Ia merasa khawatir dengan keadaan Karin yang ditinggal sendirian di UKS.
"Bagaimana kondisi Karin saat ini?" Tanya Rifki. Di lihat dari pancaran kedua matanya, ia terlihat cemas.
"Dia sudah lebih baik. Tapi, ia masih tak mau mengatakan apapun padaku." Jawab Diane lirih.
"Nanti akan ku coba untuk mengajaknya bicara. Kau tak perlu membebani dirimu sendiri. Kita semua disini adalah teman." Ucap Rifki menenangkan. Sepertinya ia sudah mulai lebih baik walau masih ada rasa putus asa di dalam hatinya.
"Hmm... terima kasih," balas Diane tersenyum kecil.
Cekrek!
Oriza memotret wajah masing-masing mereka. Di mulai dari Teguh yang sedang melakukan pemanasan.
Cekrek!
"Mmm... berikutnya siapanya?" Gumam Oriza melihat satu persatu wajah temannya.
"Hei kau! Buat apa kau memotretku?" Tanya Teguh berteriak.
"Hanya untuk kenang-kenangan saja," jawab Oriza santai.
"Dasar aneh!" Ejek Teguh. Ia pun kembali melakukan pemanasan.
"Jangan hiraukan dia!" Seru Uli yang berkutat dengan laptopnya. Ia terlihat senang dengan penemuannya sampai saat ini.
"Lihat sini!" Kata Oriza.
Cekrek!
"Oke, kau terlihat keren." Puji Oriza melihat hasil foto Uli.
"Terima kasih," balas Uli setelah menoleh seperkian detik ke arah lensa kamera Oriza.
Jreng! Jreng!
Lampu-lampu di aula mengarah ke satu objek yaitu podium. Di sana sudah ada Kumatobi yang melambaikan tangannya.
"Maaf akan keterlambatanku," ucap Kumatobi santai tanpa ada rasanya bersalah.
"Cepatlah! Kau membuang waktuku yang berharga!" Teriak Teguh tak sabaran. Ia berniat setelah dari aula ini, akan mencari pelaku yang mengancam dirinya.
"Lihat saja nanti kau, brengsek!" Batin Teguh emosi.
"Fufufu... Aku di sini akan memberikan hadiah yang menggiurkan untuk kalian. Prok! Prok!" Kata Kumatobi. Ia pun menepuk tangannya dua kali.
Sebuah bongkahan emas dan uang muncul di hadapan mereka. Sontak membuat orang-orang di sana menjadi terkejut bukan main.
"Maksudmu apa dengan semua benda ini?" Tanya Huda menatap tajam Kumatobi.
"Aku hanya ingin memberikan hadiah bagi sang pelaku yang berhasil membunuh tanpa ketahuan sama sekali saat sidang, fufufu..." jawab Kumatobi menyeringai.
"Baiklah, aku tunggu sampai 2 hari. Sampai jumpa," lanjutnya. Ia pun menghilang di balik podium meninggalkan bongkahan emas dan uang di panggung aula.
.
.
.
.
Di ruang kelas...
"Tch! Dia melakukan segala cara untuk membuat kita saling membunuh!" Geram Fiki emosi.
"Kita tak boleh membiarkan itu terjadi," sahut Seila.
"Bagaimana caranya? Sedangkan pelaku peneroran belum dapat di temukan." Ujar Vero bertanya tetap dengan gaya angkuhnya.
"Sebaiknya kita tak perlu ikut campur akan hal itu." Ucap Huda. Ketiga orang itu pun memandang Huda heran.
"Mengapa kau mengatakan seperti itu? Hah!" Tanya Fiki tak habis pikir dengan ucapan Huda.
"Karena kita tak dapat mencegah kemungkinan pembunuh itu tak terjadi." Jawab Huda.
"Tapi... bukankah itu sama saja dengan membiarkan jatuh korban lainnya." Seru Seila cemas.
"Kalau tidak ada korban, kita tak dapat mengumpulkan informasi penting lainnya." Ujar Vero.
"A-aku..." Seila tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya tertunduk lemas.
"Cih! Dasar pengecut!" Hardik Fiki. Ia menarik kerah baju Huda kencang.
"Aku pikir kau adalah orang yang baik, tapi aku salah menilaimu selama ini." Kata Fiki lalu melepaskan kerah baju Huda.
"Maaf, aku tak bisa bergabung dengan kalian. Sampai jumpa!" Lanjutnya. Ia meninggalkan ruang kelas dengan emosi.
"Kau pun tak terlalu di butuhkan!" Seru Vero sinis.
"Aku... juga tak bisa melanjutkan ini bersama kalian. Aku akan menghentikan pembunuhan ini." Ucap Seila tiba-tiba. Ia memandang Huda dengan tatapan kecewa.
Huda hanya terdiam penuturan dari kedua temannya yang meninggalkannya. Ia bersikap egois karena ingin cepat-cepat keluar dari neraka ini tanpa membunuh satu orang pun.
"Sudahlah... mereka nanti juga mengerti," ujar Vero. Ia juga melangkah pergi meninggalkan Huda untuk memikirkan itu baik-baik.
"Maafkan aku teman-teman," gumam Huda lirih.
"Hahaha... rencanaku ini akan berjalan dengan mulus tanpa adanya hambatan pengganggu." Kata seorang misterius menyeringai kecil.
.
.
.
.
Di ruang UKS...
Karin memeluk dirinya dengan posisi duduk di pojok ruangan. Tubuhnya bergetar hebat dan terdengar suara tangisan.
"Ke-kenapa ini harus terjadi padaku?" Tanya Karin meratapi nasip buruknya. Ia baru saja mendapat surat misterius kembali dengan angka 4 berwarna merah darah yang mengancam dirinya.
"Lebih baik aku mati saja," ucapnya. Ia sudah memegang gunting yang didapatkan dari laci UKS. Ia dekatkan pisau itu ke arah lehernya.
"Sampai jumpa lagi Dia--"
Srek!
Tangan Karin yang memegang pisau itu di tepis oleh seseorang. Ia menoleh ke arah pelaku yang mengagalkan rencana bunuh diri.
"Apa yang kau lakukan, hah?!!" Bentak orang itu yang ternyata Rifki. Ia berniat untuk mengujungi Karin. Untung saja ia datang di saat yang tepat, mungkin Karin akan ditemukan tewas di sana.
"Kenapa kau menghentikanku?!" Teriak Karin frustasi.
"Aku menghentikanmu karena aku peduli denganmu!" Balas Rifki berteriak lantang.
"Pe-peduli pada-padaku... dasar pembual!" Hardik Karin tak percaya.
"Aku bukanlah seorang pembual, tapi aku adalah pemimpin di kelompok ini yang bertugas untuk mencegah kelakuan seperti ini." Ucap Rifki tenang. Ia menyorotkan luka di matanya.
"Hiks... aku hanya tak ingin... hiks... mati olehnya." Ujar Karin menangis.
"Tenang saja, aku pasti akan selalu ada di sisimu." Kata Rifki memeluk erat tubuh Karin.
Karin hanya terdiam diperlakukan seperti ini. Namun, ia sudah merasa mulai sedikit tenang. "Terima kasih," ucapnya pelan.
.
.
.
.
Di ruang auditorium...
Srek!
Seorang pemuda baru saja masuk melangkah ke dalam. Ia berjalan pelan mengarah ke titik pusat ruangan.
"Apa kau masih sibuk?" Tanya orang itu. Ia sudah berada di belakang wanita berambut hijau yang fokus pada laptopnya.
"Klik enter! Lalu selesai..." seru wanita itu. "Sekarang aku tak sibuk." Jawabnya.
"Hmm...." gumam pria itu.
"Ada apa kau menemuiku?" Tanya wanita tersebut.
"Apa kau mendapat sebuah surat ancaman seperti ini, Uli?" Tanya balik pria itu. Ia menunjukkan sebuah lembar kertas yang bertulisan angka 4.
"Iya, pasti itu ulah orang yang tak bertanggung jawab." Jawab Uli. "Kau sudah selesai dengan latihanmu itu, Teguh?"
"Hmm..." gumam Teguh sebagai jawaban iya.
Keduanya pun mengobrol tentang surat misterius yang berisi ancaman.
.
.
.
.
Di kantin...
Diane tengah menyiapkan sebuah sop hangat untu diberikan kepada Karin. "Selesai..." ucapnya senang.
Srek!
"Baunya enak sekali..." kata Oriza yang baru saja datang.
Cekrek!
Ia berhasil mendapat foto Diane yang sedang memegang nampan. "Cantik sekali idol POP ini." Goda Oriza.
Wajah Diane sudah semerah tomat. "Dasar gombal!" Kata Diane malu-malu.
"Makanan itu mau kau berikan untuk siapa?" Tanya Oriza penasaran.
"Ini untuk Karin, dia belum makan dari kemarin. Aku sangat mencemaskan keadaanya." Jawab Diane sedih.
"Aku yakin pasti Karin akan kembali ceria seperti sedia kala." Kata Oriza memberikan semangat.
"Terima kasih, aku permisi dulu." Balas Diane. Ia pun pergi meninggalkan Oriza sendiri. Oriza melangkahkan kakinya menuju dapur untuk membuat makan siang.
.
.
.
.
Di ruang kelas...
Banyak sekali noda darah menempel di meja, kursi maupun lantai kelas. Darah ini masih terlihat baru dan segar.
Kalau dilihat lebih dekat lagi. Di tengah ruangan kelas, terdapat seseorang tergelatak di lantai dengan dua buah benda tajam menancap di dada kiri dan perutnya.
Genangan darah tercipta di lantai sekeliling tubuhnya. Salah satu murid berbakat harus kembali menjadi korban selanjutnya dengan cara tragis.
.
.
.
.
.
Bersambung... 😂
Maaf dua hari ini tidak bisa update karena sedang fokus dengan ujian
😊😀
Selamat membaca!😎
#9 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top