Episode Tiga Belas Bagian Satu (Lendir Asmara)

Pergantian masa adalah ketetapan Langit, dalam pelbagai masa terjadi berbagai himpitan-himpitan. Kadang ada yang  ikhlas menerima masa tersebut. Namun ada juga yang berjuang melawan takdir, kehendak Langit yang tak sesuai menurut pikiran dan nalar mereka. Begitu juga dengan keadaan tanah Djawadwipa, semenjak zaman Mataram terus berlaku pergantian masa itu, siapa yang menyangka Mataram, Kediri dan Singhasari yang begitu megah hancur luluh saling berganti mengisi tatanan di tanah Djawadwipa.

Adalah demikian pertimbangan beberapa daerah bawahan, mereka merasa tidak yakin dengan masa depan Majapahit sekarang, tidak adanya keturunan lelaki yang dapat memimpin ke depannya. Mereka meragukan kepemimpinan Wiwatikta di bawah kebijakan seorang ratu, lebih condong pada seorang raja layaknya sang pendiri, Raden Wijaya.

Adalah sebuah kadipaten yang sangat subur, gelimang dengan hasil panen dan begitu banyak menuai berkah di tanahnya merasa sudah masanya Majapahit jatuh, mereka menginginkan sebuah negeri baru yang dipimpin oleh trah mereka sendiri. Adipati Jayagiri seorang adipati yang sangat dihormati rakyatnya, sebabkan oleh pemerintahannya membuat daerah mereka subur dan berhasil dalam tatanan kehidupan. Sebuah cita-cita disemat dalam hati tentu menelurkannya pula kepada segenap bawahan.

Untuk persiapannya, mulai dilakukan perekrutan prajurit sebanyak-banyaknya, dengan perlahan-lahan Sang Adipati membentuk pasukan prajurit segelar sepapan yang tangguh dan pasukan baru itu dipusatkan di hutan Alas Larang.

Hutan Alas Larang berjarak setengah hari dari kota kadipaten, hutan yang mempunyai keunikan tersendiri, hutan tersebut memiliki jalan yang bercabang. Bagi mereka yang belum mengenali hutan itu acapkali tersesat, terlebih lagi dalam hutan Alas Larang banyak ditumbuhi pohon beracun.

Sang Adipati sengaja memilih hutan itu dengan alasan menutup diri agar dunia luar tidak tahu atas apa yang mereka lakukan. Sang Adipati pun sering datang melihat sendiri perkembangan prajurit yang dibentuknya. Di sana berdiri ratusan kemah besar, salah satunya kemah paling besar yang berisikan petinggi kadipaten Sadeng.

"Temenggung Jasa Wirat," Jayagiri meminta perhatian, ia menatap tajam pada bawahannya yang menjabat sebagai temenggung, "aku dengar ada beberapa permasalahan yang terjadi!"

Adipati bertubuh tegap, dengan kumis tebal itu diam sesaat, membiarkan ucapannya didengar dengan saksama oleh orang kepercayaannya itu.

Lanjut ia berkata, "Aku dengar pedukuhan Besuki kesulitan menyediakan bahan makanan bagi prajurit baru kita ini. Hentikan kegilaan itu, kau tahu aku ingin membangun sebuah kepercayaan pada rakyatku, karena itu jangan paksa jika mereka memang sudah tidak mampu, carilah tempat lain, atau paling tidak jangan hanya mengharapkan pedukuhan itu!"

"Hamba Gusti, "Jasa Wirat bersedekap memberikan penghormatan, "hamba akan memantaunya sendiri. Tapi Gusti, bagaimana dengan Kadipaten Keta, apakah mereka berkewajiban untuk menyediakan pangan bagi prajurit mereka di sini?''

"Mereka adalah tamuku, mereka penyokongku, apa lagi ini adalah daerah kekuasanku, jadi kitalah yang berkewajiban menyediakan pangan bagi mereka," sahut Adipati Jayagiri.

Ketika di tengah pembicaran itu, seseorang berjubah hitam memasuki kemah, tentu dengan sikap penghormatan mendahului.

"Ada apa Paman Dwipangga?" tanya Jasa Wirat pada orang yang mengenakan jubah hitam dengan corak keemasan di tepi-tepi jubahnya.

"Ketua pedepokan Puncara Agni ingin menemui Gusti Adipati dan Gusti Temenggung,'' jawab orang berjubah hitam. Lelaki ini bernama Arya Dwipangga, salah satu petinggi kadipaten.

Adipati Jayagiri menoleh pada Dwipangga. Ia menatap wajah tua bawahannya itu.

"Paman Dwipangga, aku dengar rencana Temenggung Jasa Wirat di Kotaraja ternyata gagal, bukankah Paman yang menjalankan perintah dari Temenggung Jasa Wirat?!''

"Ampun Gusti Adipati," sahut Arya Dwipangga, "sebenarnya rencana itu hampir gemilang, bahkan kami mengira telah berhasil, tapi ternyata menurut murid hamba mereka mengetahui bahwa yang melakukan itu semua bukan keluarga Raden Cakradara, syukur-nya sampai saat ini mereka belum menemukan pelaku keributan di sana. Pada akhirnya kita memang belum dapat memecah belah mereka."

Lelaki dengan rambut menjuntai hingga ke bahu itu diam sejenak mengambil napas, ia mendesah kecewa, "Namun ada berita yang lebih mengejutkan yang hamba terima dan ketua pedepokan Puncara Agni berkenan untuk menyampaikannya sendiri."

Tampak wajah Adipati agak memerah, tidak mampu menyembunyikan kekecewaanya. Namun ia pun menyadari memang sebuah rencana walaupun sudah dimatangkan hasilnya dapat saja gagal, yang terpenting baginya Majapahit jangan sampai tahu mengenai niat dan tujuannya sekarang.

''Baiklah, mana Paman Mertaka apa beliau bersama Eyang Sepuh?'' tanya Adipati.

"Tidak Gusti, Adi Mertaka datang bersama orang-orang padepokan Sekar Wangi."

Sontak wajah Adipati Jayagiri mengerut mendengar Jawab Arya Dwipangga. Setelah menimbang beberapa saat Jayagiri kemudian berkata, "Baiklah, marilah kita menemui Paman Mertaka."

Jayagiri kemudian berdiri diikuiti Jasa Wirat dan Arya Dwipangga, perlahan mereka keluar dari kemah, menuju sebuah kemah lainnya yang cukup besar pula.

''Selamat malam Anakmas Adipati,'' sapa Ki Mertaka, lelaki paruh baya ia adalah ketua pedepokan Puncara Agni, tersenyum menyambut kedatangan adipati.

Adipati Jayagiri mengangguk dengan senyuman mengembang.

''Bagaimana keadaan Paman? Dua hari yang lalu Eyang sepuh meninggalkan istana, apakah beliau berada di Padepokan?''

''Berkat pangestu Anakmas, Paman dalam keadan yang baik,'' jawab Ki Mertaka dengan ramah. "Mungkin Bopo kembali menjalankan semedinya, atau sedang berjalan-jalan di kawasan Kadipaten.''

Jayagiri menganggukan kepalanya, ''Berita apak yang akan Paman sampaikan?''

''Sebelumnya Paman ingin memperkenalkan seseorang yang datang bersama Paman ini. Beliau adalah ketua pedepokan Sekar Wangi, Adi Kerling Seta. Yang mempunyai berita itu adalah Adi Kerling Seta sendiri."

''Hamba Gusti. Terimalah salam hormat Paman,'' kata orang yang bernama Ki Kerling Seta menunduk hormat.

''Terima kasih Paman Kerling Seta, bukankah pedepokan Sekar Wangi berada di sebelah barat hutan ini?''

''Demikianlah Gusti,'' sahut Ki Kerling Seta sambil menebarkan senyumannya.

"Maafkan aku Paman, kesibukanku selama ini menjadi lantaran tak dapat berkunjung ke pedepokan Paman. Beberapa pekan yang lalu aku dengar sering pula terjadi perselisihan antara pedepokan Puncara Agni dengan Sekar Wangi, karena itu sekali lagi aku mohon maaf, itu terjadi karena ada beberapa kekeliruan dan kesalah-pahaman!"

''Paman Mengerti dan itu bukan atas nama pedepokan Paman, namun beberapa murid Paman yang belum mengerti maksud murid pedepokan Puncara Agni,'' sahut Ki Kerling Seta masih dengan senyuman.

Adipati kembali mengangguk pelan, sambil menatap Ki Kerling Seta. ''Ada berita apa yang Paman bawa?''

''Sebelumnya kami mohon maaf," Kerling Seta menatap Adipati dengan raut cemas, "ini terjadi setelah beberapa hari yang lalu, di pedepokan kami kedatangan tiga orang tamu yang berkeinginan mencari bahan obat-obatan di hutan ini, yang kebetulan juga membantu murid Paman yang terluka.''

Sesaat Ki Kerling seta menghela napas pelan, ''tapi Paman tidak dapat langsung mempercayainya, sebab itulah Paman mememerintahkan murid Paman untuk mengawasi mereka, namun sayang kami terlambat menyadari. Ternyata salah satu di antara mereka adalah prajurit Majapahit, parahnya Paman tidak tahu apa saja yang mereka lakukan selama di pedepokan, terakhir sebelum mereka pergi meninggalkan hutan ini, murid Paman melihat mereka bertemu dengan tiga prajurit lainnya yang sepertinya mereka adalah telik sandi Majapahit, Paman khawatir tempat ini sudah mereka ketahui."

Seketika itu juga wajah Adipati dan Tumenggung Jasa Wirat menegang.

''Terimkasih atas apa yang paman sampaikan," agak gemetar suara Adipati, ia berusaha menenangkan diri, "ini adalah berita penting dan harus cepat kita selesaikan, jangan sampai gerakan kita tercium sampai ke Kotaraja. Saat ini kita masih dalam persiapan, terus terang aku katakan bahwa kita belum mampu untuk menghadapi mereka di medan perang.''

''Gusti, menurut hemat hamba untuk sementara lebih baik mencari tempat yang baru dalam penempatan pelatihan dan perekrutan dan tempat ini akan kita samarkan untuk perekrutan atau pelatihan biasa sehingga tidak ada kecurigaan yang semakin membuat mereka yakin dengan gerakan kita,'' usul Temenggung Jasa Wirat.

''Baiklah ini akan aku bicarakan dengan Adi Adipati Keta, besok aku akan menugaskan pelaksanaannya, rencana kita harus secepatnya dilaksanakan tanpa cacat. Besok aku juga akan Ke Kotaraja untuk menghadiri pernikahan Agung, karena itu selama aku berada di Kotaraja segala urusan di sini akan aku serahkan pada Tumenggung Jasa Wirat!'' tegas suara Adipati Jayagiri.

Demikianlah pertemuan itu berakhir dengan beberapa perintah yang mereka dapatkan dari Adipati Jayagiri, mereka bergerak cepat namun dengan sangat hati-hati.

***

Puspita terbaring lemah dalam pangkuan Nyai Tantina, di pipinya air mata tidak habis-habisnya mengucur.

Selama beberapa pekan ini waktunya banyak dihabiskan di pedepokan Sekar Wangi. Namun dengan bantuan Ki Kerling Seta, Ki Mertaka mengetahui keberadaan Puspita, betapa kecewanya Puspita karena harus kembali ke pedepokan romonya, terlebih lagi kehilangan orang yang selama ini bersamanya, seorang pemuda yang memiliki sinar mata yang mampu menciptakan degup pada jantung berpacu lebih cepat dari biasanya. Padahal selama ini tak pernah sekali pun melihat rupa pemuda itu sebab wajahnya selalu menggunakan caping terlebih lagi tubuhnya pun dibaluti kain, memang aneh begitulah pemikiran gadis tersebut.

''Biyung, aku benar-benar tidak mau menjadi selir Gusti Adipati, aku tidak mau hidup di antara selir dan istri Gusti Adipati,'' ucap Puspita ia mendongak menatap wajah Nyai Tantina.

Lembut Nayai Tantina membelai rambut putrinya, ia mengerti perasaan anak gadisnya ini. Kesulitan yang dihadapi sungguh menyakiti batin anaknya itu.

''Biyung mengerti dengan apa yang kau rasakan, Puspita," sahut Nyai Tantina, "tapi apa yang dapat Biyung lakukan? Biyung hanya seorang istri yang harus membantu suaminya, tidakkah kau ingin membantu orang tuamu?''

Air bening ikut membasahi wanita yang sebenarnya masih cantik itu, betapa hatinya berteriak membela putrinya, namun apa daya dirinya tidak bisa berbuat banyak, di sisi lain ia sangat mencintai suaminya yang walaupun terus membuat hatinya sakit dengan segala tindak lakunya, namun ada sesuatu yang di banggakannya atas suaminya. Hanya dirinya yang tahu, anak gadisnya sendiri pun tidak mengetahui kebanggaannya atas suaminya, kebanggaan yang hanya di nikmatinya sendiri.

''Biyung," Puspita bangun dari pangkuan ibunya, duduk berhadap-hadapan, "bagaimana kalau aku meninggalkan pedepokan sejauh-jauhnya?''

Sontak saja wajah Nyai Tantina mengerut.

''Kau mau kemana? Selama ini kau tak pernah ke mana-mana, mungkin tempat yang jauh yang telah kau tempuhi adalah pedukuhan Besuki, setelah itu kau tak pernah ke mana-mana,'' dengan wajah cemas Nyai Tantina memandang putrinya.

''Biyung tolonglah aku," jawab Puspita dengan wajah memohon, "hanya Biyung  satu-satunya yang dapat mengerti aku, Biyung-lah tempatku mengadu.

Ia diam beberapa saat, menatap wajah Nyai Tantina seolah meyakinkan. "Izinkn aku pergi, aku berencana menemui kakang Jambu Nada," tandasnya kemudian.

''Puspita," kata Nyai Tantina kali ini dengan suara yang meninggi, "dengarkanlah apa kata romomu, ini juga demi kebaikanmu, Ndok."

''Tidak Biyung, ini hanya demi kebaikan romo," sahut Puspita histeris, ia membelakangi Nyai Tantina, punggung bergetar, "aku di korban demi pedepokan ini tanpa memikirkan apa pun keinginanku, tanpa memikirkan bagaimana perasaanku!''

Nyai Tantina mengembus napas panjang, memberi ruang pada rongga yang sesak. Ia mendekat pada Puspita, mengelus rambut. Di pegangnya dagu gadis berwajah ayu itu, pandangannya tertuju pada kedua mata anak semata wayangnya itu. Sekali lagi Nyai Tantina harus menerima kenyataan, putrinya berpendapat lain tentang suaminya, tentang romonya sendiri. Tapi pada kenyataanya sekarang, putrinya memang akan menjadi pengikat antara Sadeng dan pedepokan, sesuatu yang memang sulit dimengerti oleh siapa pun.

''Kau tak tahu dia berada di mana, Ndok,'' suaranya kembali merendah.

"Sebelum pergi, katanya akan ke Kotaraja Majapahit, dia bercita-cita menjadi tabib di sana, "sahut Puspita kembali meyakinkan Nyai Tantina, "izinknlah aku pergi. Aku akan ke Kotaraja."

Wanita yang masih cantik itu terpaku, ia kembali memandang Puspita. Jauh di lubuk hatinya ia pun tak rela melihat anaknya ini bermurung hati. Lama istri Ki Mertaka itu merenung, beberapa kali ia menatap ke dua bola mata putrinya yang memncarkan sorotan permohonan. Mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan untuk putriku, pikirnya kemudian.

"Kau akan pergi sendiri, Puspita?'' tanya Nyai Tantina dengan suara hampir tak terdengar. Sebuah kekuatan yang ia bangun guna melawan perasaan yang remuk redam.

Sebuah sorotan yang cerah terbesit di mata Puspita lalu memeluk Nyai Tantina dengan cucuran air mata. Keduanya terisak dalam tangis.

''Iya Biyung, aku akan pergi sendiri, jawab Puspita semakin erat memeluk tubuh wanita yang sangat di sayanginya itu. "Dengan pergi sendiri tidak ada yang tahu aku akan kemana, Biyung jangan mengkhwatirkan aku, bukankah selama ini aku telah belajar ilmu kanuragan dan aku akan akan terus memperdalaminya, aku bisa jaga diri."

Nyai Tantina terseguk dalam tangis. Wajah sendunya begitu meronta dengan dua kemungkinan yang sangat sulit dipilih. Mengabdi pada suami yang dicintai atau memberikan kehidupan yang bahagia untuk putrinya. Nyai Tantina menyadari betapa hancurnya perasaan Puspita jika harus menikah dengan Adipati, apalagi hanya akan menjadi seorang selir.

Demikianlah, pada malamnya Puspita berpamitan dengan Nyai tantina, tak ada satu orang pun orang yang mengetahui kepergian Puspita, saat ini Ki Mertaka berada di Kadipaten. Dengan cucuran air mata Nyai Tantina melepaskan kepergian Puspita disertai doa yang terucap dalam hati, berharap suatu saat dapat bertemu kembali dengan keadaan Puspita yang lebih baik.

Sebuah kehidupan baru. Itulah yang diraskan Puspita, dengan hati yang teriris gadis ayu itu meninggalkan biyungnya, meninggalkan pedepokan yang selama ini tempat ia mendapatkan kasih sayang.

Derap kuda semakin kencang, sekencang hatinya meninggalkan hutan itu, hutan yang hampir menjadi neraka buatnya. Hatinya begitu yakin untuk mendapatkan harapan baru di Kotara Majapahit, di mana seorang pemuda yang telah membawa hati dan perasaannya. Semakin jauh ia meninggalkan hutan, semakin besar harapannya bertemu dengan pemuda itu.

***

Hampir seantero negeri Majapahit bersuka cita karena dalam hitungan hari mereka akan menyambut pernikahan agung dua Putri Kedaton yang mereka banggakan. Beberapa Nagara atau daerah bawahan seperti Kahuripan (Jenggala), Daha (Kediri), Tumapel (Singahsari), Wengker (Ponorogo), Metahun (Bojonogoro), Wirabhumi (Blambangan), Mataram (Yogyakarta) telah mengirim utusan yang dipimpin lansung oleh Rayja (Gubenur)/Bhre (Pangeran/Bangsawan) mereka pun membawa sesembahan yang khusus untuk pernikahan agung itu, di daerah mereka pun akan di selenggarakan acara untuk penyambutan pernikahan Agung.

Gajah Mada duduk di hadapan Mahapatih Arya tadah menyampaikan segala laporan baik mengenail tugasnya dalam mempersiapkan pernikahan agung maupun selama ia berada di Sadeng.

Dengan saksama pula Arya Tadah mendengarkan penuturan, wajahnya mengerut-mengerut semakin menampakan tulang pipinya yang kempis.

''Ada sesuatu hal yang akan aku sampaikan padamu Mada." Katanya setelah lama menimbang, "sewaktu kau berada di daerah Sadeng, Gusti Ratu Gayatri memanggilku dan beberapa Rakryan Menteri. Beliau sudah memutuskan siapa yang akan naik tahta, seperti yang telah kita duga, Gusti Putri Tribhuana akan akan naik keprabonan dan ini akan disampaikan tepat pada pernikahan Agung''

"Bearti pernikahan ini sekaligus Wisuda Gusti Putri Tribhuana?'' tanya Gajah Mada.

''Demikianlah Mada" Jawab Arya Tadah. "Karena itu aku memerintahkanmu untuk menjaga keamanan ini sebaik-baiknya, sampaikan hal ini pada para temenggung agar mereka menyampaikan pada bawahannya sehingga mereka merasa tanggung jawab yang besar dengan keamanan ini."

''Baik Gusti, tittah Gusti Mahapatih akan hamba laksanakan''

"Malam ini aku pun menginginkan kehadiranmu di istana kepatihan, ini adalah kepentingan khusus bukan tentang keamanan," Arya Tadah menatap Gajah Mada dengan saksama.

Gajah Mada cuku kaget mendengar perkataan Mahapatih Arya Tadah untuk mengundangnya secara khusus. Lelaki gagah itu berusaha menebak apa yang akan disampaikan orang tua yang dihormatinya ini. Lama ia menimbang namun tidak ada satu pun yang dapat menjadi patokannya.

"Ajak serta Tuan Kamandanu, beliau akan menjadi saksi atas apa yang akan aku bicarakan," tandas Mahapatih Majapahit itu.

"Oh ya," katanya lagi sebelum Gajah Mada beringsut mundur, "sampaikan juga kepada Pranayam dan Ayu Wandira bahwa ia dipindahkan tugas dari Kahuripan ke Kotaraja, dengan tugas yang tetap sama."

Gajah Mada mengangguk, lalu ia segera berbalik untuk ke luar dari ruang dalam istana kepatihan.

***

Langit yang mulai memudar belum mampu menghentikan kesibukan di kaputren. Sedari ayam berkokok hingga siang yang hampir mendekati petang kesibukan itu terus berlangsung . Beberapa dayang tampak berlalu lalang di sekitaran lorong bangunan.

Pada bagian sebelah barat dengan bangunan mungil namun tertata dengan rapi. Di depan bangunan itu terdapat kolam ikan beserta halaman yang dipenuhi segala macam rupa bunga. Dari dalam bilik yang jendelanya terbuka terlihat gadis bermenung menatap pelataran.

Gadis yang bernama Latta Manjari itu masih terbaring di atas amben yang beralaskan kain halus hadiah dari pamannya Raden Jenaka; pangeran dari negeri Dharmasraya. Gadis berlesung pipit itu mengembuskan napas pelan, Beberapa kali pula ia membolak-balikan tubuh rampingnya. Kejenuhan menghinggapai perasaannya.

Pikirannya melayang tanpa batas, diisi oleh seorang pemuda yang selama dua belas purnama ini bersamanya di bukit Penampihan. Ia tak mengerti dengan dirinya sendiri, dengan perasaan aneh yang selalu menghantui. Ia bahkan belum sama sekali melihat rupa pemuda itu, hanya lewat tatapan saja. Kedekatan mereka selama di Penampihan memang mencetak cerita baru dalam hidupnya, kehadiran cucu dari gurunya itu menumbuhkan perasaan yang kian hari tumbuh subur. Meski ia menyadari sepenuhnya, bahwa seseorang yang bermata tajam itu mempunyai cacat fisik, sehingga tak berani menampakan wajah bahkan seluruh tubuh orang itu terbalut dalam kain yang tak pernah ditanggalkan.

Latta Manjari bangkit dari amben, ia bermaksud mengajak dayang yang merawatinya itu mengitari Kotaraja guna membuang kejenuhan. Ia sgera menuju bilik wanita asuhnya itu.

"Sebaiknya Tuan Putri di dalam Kaputren saja, banyak hal yang harus dipersiapkan menjelang pernikahan agung," ujar Puya mencoba menolak permintaan Latta Manjari.

Gadis itu segera memasang wajah cembrut, kemudian membelakangi Puya.

"Aku jenuh Bi dalam bilik terus, aku pun rindu dengan Mahesa Darma," oceh Latta Manjari dengan suara manjanya, "baiklah jika Bibi tidak mau menemani, aku akan pergi sendiri."

"Tapi kita harus mendapat izin Gusti Tribhuana terlebih dahulu," kata Puya kemudian.

"Ah, Bibi! !tu sama saja dengan mengurungku dalam bilik, pastilah Ibunda tidak akan mengizinkan," kemudian Latta Manjari berbalik dengan wajah memohon, "ayolah Bi, aku hanya ingin berjalan sebentar."

Kalau sudah begini tentu Puya tak dapat menolak, momongan yang sudah dianggap anak sendiri itu memang pandai melulukan hatinya.

"Bailklah, tapi Tuan Putri harus berjanji tak akan lama."

Latta Manjari segera mengangguk, dengan tersenyum ia bergelut manja pada Puya. Berikutnya kedunya menuju gapura Kaputren, di sana sudah menunggu seorang prajurit dengan memegang tali kekang dua ekor kuda. Beberapa saat kemudian kedua kuda itu berderap meninggalkan kaputren menuju bagian timur di mana di sanalah terdapat alun-alun.

Seekor kuda melaju perlahan mendekatinya, ia tersekat.

"Kakang Jambu Nada! Beraninya kau datang dengan tidak memberitahuku, Kakang!" nyaring suara Latta Manjari mengejutkan pemuda yang berpakaian aneh.

Pemuda dengan wajah bercaping, serta tubuh yang terbaluti kain tebal turun dari kudanya. "Ah, ternyata betul duganku. Guru gadis kecil." Ia memberi hormat pula ke pada Puya.

Kembali Latta Manjari bersungut pada pemuda di depannya ini, "Murid tidak tahu diri."

"Bukan begitu," sahut Jambu Nada gugup, "aku pun baru tadi ..,"

"Ah sudahlah," potong Latta Manjari.

"Jadi aku harus bagaimana?" Jambu Nada mendekati gadis manja itu.

"Kau harus berlutut, dan meminta maaf padaku!"

"Waduh, kenapa harus begitu?"

"Kalau tidak, maka selamanya kau menjadi murid yang durhaka," sahut Latta Manjari senang mendapati Jambu Nada yang menjadi salah tingkah.

"Tuan Putri," tegur Puya, "janganlah selalu membuat susah pada Jambu Nada."

"Tapi dia harus dihukum, Bi!"

"Dihukum bagaimana? Bukankah Jambu Nada tidak mempunyai kewajiban untuk melaporkan kedatangannya pada Tuan Putri?"

Sejenak gadis itu gugup mendapatkan pertanyaan Puya, ia turun dari kudanya kemudian membelakangi Jambu Nada dan Puya.

"Dia kan muridku, Bi!" Latta Manjari membela diri.

"Ah, itukan permintaan Tuan Puri sendiri, mana ada seseorang meminta orang lain menjadi muridnya. Harusnya orang itulah yang datang dan meminta Tuan putri menjadi gurunya."

Latta Manjari tak lagi menjawab, wajah memerah.

"Sudahlah, begini saja," Jambu Nada menyela, "sebagai permohonan maaf dariku bagaimana kalau aku menemani Guru gadis kecil berjalan-jalan sebentar?"

Latta Manjari tersenyum, ia kemudian menatap Puya dengan pandangan memohon.

"Tapi jangan lama-lama, sebelum matahari tenggelam kita harus sudah berada di kaputren. Aku akan menunggu di kediaman Ayu Wandira."

Tanpa menunggu jawaban, Puya mengepak punggung kudanya.

"Kemana saja kau pergi, Kakang?" tanya Latta Manjari setelah beberapa saat keduanya terpaku.

"Hanya mengitari bumi Majapahit," sahut Jambu Nada.

"Kau ini Kakang, aku serius!"

"Aku pun serius, Guru gadis kecil, 'kan tahu kalau aku ini anak gunung, jarang sekali melihat hal ramai. Sebab itulah aku mengelilingi bumi Majapahit, melihat keramaian."

Latta Manjari terdiam, ia mendesah.

Jambu Nada dapat merasakan bahwa gadis itu berada dalam perasaan yang tidak nyaman.

Latta Manjari menatap Jambu Nada, kembali ia merasakan sesuatu yang aneh menjalari persendian lubuk pekanya. Secepatnya ia menuduk tak ingin berlama-lama mentap kedua mata itu, ia berpikir keras kenapa hal itu selalu dirasakan, padahal wajah orang di sampingnya ini tak pernah sekali pun dilihatnya.

Pada saat yang demikian seekor kuda melesat dengan kecepatan tinggi. Tanpa diduga, penunggangnya berkelebat cepat tanpa mampu diikuti oleh pandangannya.

Orang itu merobek caping serta kain yang membaluti tubuh Jambu Nada dengan jemari yang tajamnya melebihi pedang. Kemudian terkekeh dengan puas, menyeringai sambil menatap tubuh Jambu Nada yang aneh.

"Nah Tuan Putri lihatlah wajud aslinya," kata orang itu pada Latta Manjari sambil menunjuk ke arah Jambu Nada yang berdiri dengan sempoyongan. "Dia itu menjijikan, makanya selama ini tak pernah memperlihatkan wujudnya, dia benar-benar anak siluman!"

Bukan karena ia mengenali orang itu melainkan sekarang yang terpampang di depannya mengguncang perasaanya.

Gadis itu berdiri dengan wajah hampir tidak percaya, mulutnya sedikit terbuka. Wajah yang menyeramkan terlihat di depan mata. Sekujur kulit Jambu Nada terdapat totol hitam persis kulit ular, tidak hanya pada wajah akan tetapi seluruh tubuh pemuda itu pun bersusun totol hitam, sinar matahari yang kemerahan semakin memperjelas kilatan pada totol tubuhnya.

Jambu Nada mengatupkan rahang, sesak dadanya dipermalukan orang itu yang tak lain Layang Samba, apalagi berada tepat di depan gadis yang selama ini dihormatinya. Tiba-tiba saja ia meraung sekuat-kuatnya sepertia auman naga, menggelegar di sekitaran alun-alun. Marah membeludak dalam darah, matanya menatap Layang Samba dengan tajam. Ia hanya memiliki sebuah  pilihan atau menambah malu seperti kejadian di Penampihan. Dimana ia terluka dan tak mampur berbuat banyak. 

Ia berbalik lalu menghambur melesat ke arah dinding Kotaraja, berlari sekencang-kencangnya.

Latta Manjari terduduk dengan lemah sembari memeluk lutut. Dari kedua matanya mengalir buliran bening. Tak pernah ia menduga bahwa sosok Jambu Nada layaknya binatang, sungguh membuatnya bergidik. Meski dari awal ia sudah menduga bahwa pemuda yang mencuri hatinya itu memiliki kelainan fisik.

Kemudian ia menatap Layang Samba dengan sorotan tajam.

"Kau lancang, Kakang!" teriaknya pada Layang Samba, "siapa yang mengizinkan Kakang untuk berbuat demikian, hah?"

Layang Samba gugup mendapat teriakan histeris Latta Manjari, ucapan yang mengandung kemarahan.

"Aku hanya ingin menunjukkan siapa dia, orang yang bersama Tuan Putri itu adalah ..."

"Pergil!" potong Latta Manjari, "jangan perlihatkan batang hidung Kakang denganku lagi!"

"Tuan Putri!" panggil Layang Samba.

Latta Manjari tidak menghiraukan panggilan senopati muda itu, ia segera menaiki kudanya, selanjutnya dengan kencang kudanya berderap meningglkan tepi alun-alun Kotaraja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top