Episode Sembilanbelas Bagian Satu (Rahasia Garis Pantai)
Malam begitu menawan. Ketika sang dewi menunjukan dirinya, awan yang tipis seolah memberikan kesempatan pada ratu malam itu untuk tersenyum penuh. Sementara angin berembus menggoyangkan ujung daun yang ikut menari melihat pesona malam yang benderang.
Sepasang mata tajam mengamati dua pasang manusia yang berjalan menyusuri garis antara pertemuan dua alam. Alam yang penuh dengan misteri di bawahnya yang pekat dan alam dengan barisan pohon raksasa yang menjulang.
Sepanjang mata memandang maka hamparan birulah yang terlihat tanpa bertepi, namun ketika tubuh sejajar dengan garis itu maka sepanjang mata memandang hamparan putih terpancar bersama bias dewi malam yang tersenyum menerangi.
Dua pasang muda mudi itu terus menyusuri garis laut yang beriak menaiki pasir putih, kaki mereka basah disapu air yang sesekali menghempaskan dirinya di bibir pantai. Dua pasang muda-mudi itu yang tak lain Latta Manjari dan Layang Samba terbius dengan suasana malam yang benderang. Wajah gadis itu begitu menawan, diterpa sinar sang dewi malam yamg seakan cemburu dengan kecantikannya.
"Tuan Putri harus bisa menerima kenyataan ini, jalani dengan penuh harapan, kita hidup harus dengan harapan, karena harapan dapat mendorong kita untuk maju lebih ke depan," ucap Layang Samba sesekali menatap gadis cantik di sampingnya.
" Aku percaya bahwa semua yang aku jalani selama ini adalah widi dari-Nya," jawab Latta manjari, ia menghentikan langkahnya. Matanya menatap hamparan laut yang menderu dihempas angin pantai, "namun sebagai manusia kita mempunyai pilihan dalam hidup, aku ingat dengan kata Kakang Jambu Nada, bahwa hidup ini adalah pilihan dan hidup berasa singkat untuk pilihan yang salah."
Layang Samba mendengus menyembunyikan warna hatinya, ditatapnya lamat-lamat bibir yang bergerak dengan teratur, berdesir hatinya. Senyumnya kemudian mengembang.
"Baiklah Tuan Putri," katanya lalu berdiri persis di depan Latta Manjari, "kemajuan Tuan Putri sangat pesat beberapa hari ini. Langkah dan kecepatan Tuan Putri semakin bertambah. Kita mulai lagi?"
Latta Manjari tersenyum mendapatkan pujian, menampakan deretan giginnya yang rata selaras dengan bibirnya yang tipis. Matanya masih tertuju pada deru ombak yang terus berkejaran menuju garis pantai. Dua tahun di tempat ini menjadikan ia banyak berubah yang dulunya tidak menyukai perkelahian gini pandangan itu tak dapat lagi ia pertahankan. Hidup di alam yang bebas dan begitu keras memerlukannya untuk memiliki ilmu kanuragan, paling tidak mampu membela diri. Selama rentan waktu itu pula kini ia menjelma menjadi salah satu perempuan yang lihat memainkan pedang dan tidak asing lagi dengan berbagi jenis ilmu kanuragan.
"Aku rasa kali ini sudah cukup, Kakang,'' balas Latta Manjari , "aku mengucapkan terima kasih pada Kakang yang ikut membantu dalam perkembangan ilmu kanuraganku. Ini semua tentu berkat Paman Mertaka dan Kakang yang terus membimbingku."
"Kalau begitu, mari kita kembali saja. Sepertinya yang lain sudah menunggu kita."
"Silakan terlebih dahulu Kakang, aku masih ingin menikmati malam ini sendiri, sampaikan salamku pada mereka, jangan khawatir aku tidak akan ke mana-mana,'' kata Latta Manjari tegas, pada dasarnya memberikan sebuah perintah pada Layang Samba.
Layang Samba melengos kecewa, ia tidak bisa menolak apalagi terselip kata 'sendiri' yang seolah mengusirnya secara sopan. Putra mendiang Mpu Tong Bajil itu segera melangkahkan kakinya perlahan-lahan dan semakin jauh menuju tepi hutan, berikutnya tubuh pemuda itu ditelan hutan yang lebat.
Latta Manjari mendekatkan dirinya dengan bibir pantai. Membiarkan dengan begitu saja kakinya tersapu air laut yang asin. Ia memejamkan matanya dengan kedua tangan yang direntang. Seolah memeluk angin laut.
Rangkaian peristiwa yang terjadi pada dirinya layaknya sebuah lakon yang kadang kala menempatkan ia sebagai penonton. Perasaan gamang bergumul seperti air laut yang mengendapkan pasir. Ia memang terlihat begitu yakin di depan orang banyak namun sejatinya kebimbangan belum enyah dari pemikirannya.
Awalnya ia berpikir bahwa tak akan mungkin lagi dapat bergaul dengan baik bersama Layang Samba. Peristiwa dua tahun silam di tepi alun-alun Kotaraja memberikan noda bagi hubungannya dengan Layang Samba, namun ia tak dapat memungkiri selama di sini pemuda itulah yang banyak membantunya. Termasuk meyakinkan dirinya bahwa sekarang berada di tempat ini adalah pilihan terbaik. Kehidupannya dijungkir balikan oleh kenyataan, orang yang selama ini dikenal kini ditempatkan sebagai musuh yang harus ia singkirkan, sedangkan orang yang tak dikenal malah menempatkan dirinya sebagai simbol untuk meraih impian dan cita-cita yang terpendam sangat lama.
Suara aneh yang berasal dari arah depan dengan telak menyadarkan Latta Manjari. Ia lalu membuka matanya lebar-lebar. Dari kejauhan terlihat bentuk ombak yang berbeda, ombak yang seharusnya menuju pantai namun berlawanan arah, sepertinya ombak itu dipermainkan oleh sesuatu yang tidak masuk di akal. Oleh rasa penasaran ia melangkahkan kakinya untuk maju, bahkan semakin cepat untuk dapat melihat permainan ombak yang aneh secara dekat hingga tak menyadari bahwa setengah dari kakinya sudah terendam.
Ketika beberapa tombak dari ombak yang semakin mendekat ke arahnya, barulah ia menyadari ternyata di dalam gelembung ombak itu tampak sosok tubuh berkelebat dalam putaran gelombang laut itu.
"Hei, jangan berdiri di situ. Aku sudah tidak kuat menahannya,'' seru orang dari dalam ombak, ''kenapa kau diam, cepat pergi!'"
Latta Manjari yang seperti tersihir diam mematung, ia kaget bukan kepalang ketika ombak itu menggulungnya, tubuhnya masuk dalam putaran ombak itu. Anehnya ia tidak merasakan sesak, ya Latta Manjari dapat bernapas seperti tidak mengalami apa-apa, perlahan-lahan ia membuka matanya. Ombak terus melaju bergulung membawanya menjauhi pantai.
Tepat di depannya seoseorang yang merenggangkan kedua tangan seolah menahan himpitan ombak. Hanya percikan saja yang membasahi tubuh. Setelah beberapa lama, ombak itu kembali menuju garis pantai semakin dekat dan kemudian keduanya berdiri di atas pasir dengan badan yang sudah basah.
Dengan bantuan cahaya bulan, Latta Manjari dapat mengawasi lelaki yang berdiri persis di depannya ini. Rambutnnya sebahu, sebagian wajahnya ditutupi kain. Ketika matanya bertatapan langsung, ia tercekat. Mata itu berasa sangat familier dengannya.
"Hei, lihatlah kau menjadi basah, kenapa kau ikut mandi bersamaku?'' tanya lelaki itu menyadarkannya.
"Anu ... aku ..., '' kata Latta Manjari kebingungan, "aku tidak ikut mandi denganmu!''
Orang itu ketawa lirih lalu mendekatkan wajahnya pada Latta Manjari, "Ah, bilang saja kau ingin ikut mandi, tidak usah berpura-pura."
"Tidak aku hanya ...''
Latta Manjari gagal meneruskan kata-katanya, ketika mata itu begitu dekat ia merasakan dadanya berdesir, ia merasakan perasaan yang sudah lama raib. Sorot mata yang selalu membuatnya berkenang di sepanjang malam.
"Kakang ...!" seru gadis itu seakan menyadari sesuatu.
"Kau mengenaliku?" tanya lelaki itu, kemudian ia berbalik membelakangi Latta Manjari.
Latta Manjari terlihat mengerutkan dahinya dalam rangka berpikir keras. Sorot mata serta bentuk tubuh mengingatkannya pada lelaki berkulit aneh yang sudah lama tak pernah ia jumpai.
"Kau Kakang ..."
Suaranya menghilang bersama deburan ombak, bertepatan pula dengan kedua tangan lelaki di depannya itu membekap mulutnya.
"Hei, kenapa kau berteriak. Bisa-bisa aku dimarahi kalau ketahuan bermain di sini, guruku akan mencambukku, kemudian merendamku dalam laut ini," cerocos lelaki itu dengan masih mempertahankan tangannya.
"Kau janji tidak berteriak?" tanyanya ketika Latta Manjari menggeliat dari pelukannya.
Latta Manjari mengangguk, kemudian ia menuntaskan ucapannya saat tangan lelaki melepaskan dekapannya, "Kau tidak bisa membohongiku kau adalah Kakang Jambu Nada!" ucap Latta Manjari seolahi meyakinkan penglihatannya.
"Ah dasar gadis bengal, siapa itu Jambu Nada. Sudahlah kau orang gila rupanya,'' jawab pemuda itu ketus
"Kenapa kau bilang aku orang gila?" warna muka Latta Manjari menunjukan rasa tidak senangnya.
"Pikir saja sendiri,'' orang itu bersungut, berbalik dan memandang Latta Manjari, ''datang tiba-tiba, kemudian ikut mandi denganku, setelah itu memaksa aku mengakui seseorang yang bukan aku, bukankah itu perbuatan orang gila?"
"Buka kain di wajahmu dan juga pakaianmu, baru aku percaya bahwa kau bukan Kakang Jambu Nada.''
"Apa hakmu memerintahku, aku bukan muridmu.'' Kali ini suaranya bernada kesal.
"Pasti kau menyembunyikan sesuatu, hingga tak mau memenuhi keinginanku,'' kata Latta Manjari bergeming dengan keyakinannya.
Sosok tubuh tegap itu tertawa, kemudian mendekati Latta Manjari.
"Untuk apa aku membuka pakaianku, atau ...." lelaki itu meyipitkan matanya sambil tersenyum memandang Latta Manjari, "kau menginginkan aku berbuat mesum padamu?"
Sontak saja ucapan itu berhasil membuat darah Latta Manjari mendidih. Mukanya merah padam, kemudian dengan sigap ia melompat dan menerjang lelaki itu.
"Hei, kau ini dasar bengal. Apa yang kau lakukan, kenapa kau menyerangku?" kata lelaki tak dikenali itu sambil membuang tubuhnya ke arah berlawanan guna menghindari tusukan Latta Manjari.
Latta Manajri tidak menjawab, ia harus mampu menjatuhkan lawannya, ucapan lelaki ini patut mendapatkan pukulan darinya. Ia juga ingin membuktikan keyakinannya bahwa orang ini adalah orang yang dikenalinya.
Kali ini tak hanya tangannya yang bergerak, kakinyanya pun berusaha menerjang tubuh orang itu, lamat-lamat Latta Manjari mulai menggunakan gerakan ilmu kanuragan yang selama ini dipelajari, namun seberapa lama ia berusaha tidak kunjung berhasil.
Sosok itu hanya berkelit ke kiri dan ke kanan, bahkan seperti tau arah gerakannya, bukan hanya itu malahan mendahului gerakannya sambil menyentuh simpul-simpul tubuhnya, Latta Manjari semakin geram, ia mengerahkan segala kemampuannya, tapi apa yang di dapat hanya desiran angin dan tenaganya seperti dikuras. Pada akhirnya ia menjatuhkan tubuh rampingnya di pasir dengan terengah-engah, napas yang hampir putus.
"Bagaimana, kau masih ingin mencoba?" tanya sosok itu sambil terkekeh melihat Latta Manjari yang jatuh dengan lemah.
Wajah Latta Manjari memerah, matanya terus memandang wajah orang itu, terlebih-lebih pada kedua matanya.
"Baiklah, agar kau tak penasaran aku akan membuka kain ini," ucap pemuda itu kemudian membuka kain penutup wajah.
Latta Manjari terpaku, ia dapat melihat dengan jelas wajah pemuda itu. Wajah bulat telur, pemuda yang cukup tampan. Sekarang Latta Manjari tak dapat mengatakan pemuda itu seperti orang yang dikenalinya. Ia ingat betul wajah Jambu Nada tidak setampan pemuda di depannya ini, bahkan boleh dikata wajah Jambu Nada sangat mengerikan. Namun sorot mata itu dan warna suaranya sama persis. Kejanggalan ini membuatnya kebingungan.
Tiba-tiba dari kejauhan dari tempat yang gelap suara seseorang berteriak keras bersamaan dengan hempasan ombak. "Kau mandi di sini lagi rupanya, sudah aku katakan jangan mandi di sini, dasar anak nakal, pasti kau mengganggu orang lagi.''
Pemuda itu berpaling dengan pancaran mata yang cemas. "Tidak guru, aku tidak menganggunya, dia yang mengangguku!"
"Ayo kembali atau akan aku hukum kau, kau tidak akan bisa lari dariku," seru orang yang dari tempat yang gelap, berdiri di bawah pohon tepi pantai.
"Gadis bengal ini gara-garamu," kata lelaki itu sambil menatap Latta Manjari dengan tanpa menyembunyikan kekesalannya, "aku ketahuan mandi di sini, tapi awas kalau kau bilang siapa-siapa kalau tiga hari lagi aku akan mandi lagi di sini,'' tandasnya kemudian berkelebat menuju orang yang berada di bawah pohon.
Latta Manjari diam membisu, dari tempat ia menjatuhkan tubuhnya terlihat kedua orang itu beradu mulut, kemudian sosok yang bersamanya dipukul oleh orang yang berada di bawah pohon, tidak beberapa lama kemudian dua orang aneh itu pergi meninggalkan pantai.
Napas Latta Manjari mulai teratur, namun perasaanya masihi kacau. Banyak pertanyaan menghampiri benaknya. "Siapa orang itu, matanya seperti ...'' katanya pada diri sendiri, "tapi jelas saja dia bukan Kakang Jambu Nada, kulitnya dan wajahnya tidak menunjukan totol hitam itu."
''Hei, apa maksud kata-katanya tadi?" katanya lagi sambil berdiri dan menepaskan pakaiannya dari pasir, "dia bilang untuk tidak mengatakan pada siapa-siapa kalau tiga hari lagi dia akan mandi di sini. Apa maksudnya dengan memberitahuku seperti itu, mungkinkah dia memerintahkan aku untuk datang lagi dan tidak memberitahukan pada siapa-siapa?"
Latta Manjari kemudian melangkah kakinya, "Aku harus mengetahui tujuan orang itu, tidak mungkin dia datang ke sini tanpa maksud apa apa. Baiklah tiga hari lagi aku akan melihatnya, tentu tanpa sepengetahuan Paman Mertaka.''
***
Hari-harinya disibukan dengan berlatih bersama Ki Mertaka. Sedangkan Layang Samba kembali meninggalkan wilayah pantai, Latta Manjari tidak mengetahui dengan jelas tujuan pemuda itu, biasanya dalam sepekan Layang Samba kembali dan berbicara banyak hal perkembangan pasukan yang sedang dibentuknya.
"Aneh, bagaimana Gusti Putri melakukannya?'' tanya Ki Mertaka ketika orang tua itu mencoba melihat perkembangan ilmu kanuragan Latta Manjari.
Ia tidak mengerti dengan pertanyaan orang kepercayaan mendiang ayahandanya itu. "Apa maksud Paman?" tanya Latta Manjari dengan wajah yang tampak bingung.
"Gerakan Gusti Putri nampak luwes, seakan tenaga dalam Gusti Putri berlipat-lipat dari sebelumnya," sahut Ki Mertaka mencoba menjelaskan pertanyaannya.
Sejenak Latta Manjari berdiam diri, namun ia masih belum paham dengan ucapan Ki Mertaka. "Ah Paman jangan bergurau, mana mungkin dalam beberapa purnama aku berlatih lalu tenaga dalamku dapat berlipat-lipat,'' katanya sambil tersenyum simpul seakan menyadari bahwa Ki Mertaka hanya membesarkan hatinya untuk terus berlatih.
"Tidak Gusti Putri, aku berkata sebenarnya," kata Ki Mertaka dengan seksama memandang Latta Manjari, wajahnya berkerut menandakan keseriusan. "Beberapa hari yang lalu aku tidak dapat merasakan apa-apa kalau kita beradu tenaga, namun tidak dengan sekarang. Aku merasakan aliran tenaga dalam Gusti Putri bertambah."
"Memang tidak ada yang aneh," katanya melanjutkan, "sewajarnya kalau seseorang berlatih banyak maka tenaga dalam yang ia miliki semakin bertambah, hanya saja ini terlihat berbeda dan terkesan tidak wajar."
"Aku semakin tidak mengerti, Paman!''
"Baiklah aku akan jelaskan,'' orang tua itu tersenyum, ia mempersilakan Latta Manjari untuk duduk pada sebongkah batu pipih.
Lanjut ia berkata, "Apa yang Gusti Putri tunjukan tadi seperti orang yang sudah terlatih. Orang yang terampil itu terlihat dimana simpul-simpul tubuhnya terbuka, maka tenaga dalam di tubuhnya dapat berlipat-lipat. Tidak ada lagi hambatan dalam pengalirannya, kapan pun orang itu mau mengeluarkan tenaga dalamnya maka dapat keluar dengan sendirinya. Namun itu memerlukan latihan bertahun-tahun lamanya. Aku malahan membutuhkan waktu hingga tujuh tahun agar simpul-simpulku terbuka, itupun belum sempurna, masih ada simpul-simpulku yang tidak terbuka sepenuhnya, karena faktor usia yang sudah tidak memungkinkan lagi."
Latta Manjari diam mengamati, gadis cantik itu tak sepenuhnya mengerti dengan ucapan Ki Mertaka. Selama ini yang ia ketahui baik itu Ki Meraka, Layang Samba, Temenggung Jasa Wirat terlebih lagi Eyang sepuh adalah orang yang sempurna di matanya, sempurna dalam olah kanuragan.
"Dengan tenaga dalam yang dimiliki Gusti Putri, maka Gusti Putri dapat segera menguasai Ajian Komala Agni dengan sempurna. Bisa jadi jauh lebih sempurna dari yang aku miliki. Tepatnya lebih tinggi setingkat atau setara dengan Tuan Layang Samba. Untuk dapat menyamai Tuan Jasa Wirat, Gusti Putri harus berlatih lebih banyak lagi."
Ki Mertaka tampaknya sulit memahami bagaimana junjungannya ini bisa membuka simpul-simpul di tubuhnya, selama ini gadis itu tidak pernah tahu dengan hal yang demikian kecuali terus berlatih mengikuti arahannya. Namun ia senang dengan perubahan pada diri Latta Manjari, dengan tenaga murni yang dimilikinya sekarang ia yakin Latta Manjari mampu menampung Ajian Komala Agni. Sebab syarat utama ajian itu adalah dengan memiliki tenaga dalam yang besar.
"Gusti Putri, lihatlah perubahan nyatanya," kata Ki Mertaka yang sebenarnya juga bentuk pernyataan meyakinkan dirinya, "biasanya tidak sampai berapa lama kita berlatih napas Gusti Putri mudah tersengal, namun untuk sekarang setelah berapa lama dan banyak jurus yang kita keluarkan malah napasku yang tersengal."
"Benar Paman," sahut Latta Manjari yang mulai memahami ucapan Ki Mertaka, "aneh aku tidak merasakan napasku akan habis, malahan aku seperti tidak melakukan banyak gerakan."
Ki Mertaka menganguk-angguk kemudian berkata, "Baiklah Gusti Putri, dalam beberapa hari ke depan aku akan meyakini lagi, nanti aku akan mencoba dengan latihan yang lebih keras lagi, kalau Gusti Putri berhasil melewatinya, maka pantaslah Gusti Putri mendapatkan Ajian Komala Agni, seharusnya perlu latihan paling tidak dua belas purnama untuk tahapan pertama, tapi kita lihat beberapa hari ke depan sampai tahapan mana Gusti Putri mampu menguasainya.''
Latta Manjari mengalihkan pandangannya, berusaha mengingat penyebab perubahan pada tenaga murninya. Lalu memulangkan ingatan tentang apa saja yang dilakukan akhir-akhir ini. Ia menarik sebuah kesimpulan, dari bibirnya menggantung sebuah senyuman.
***
Wajah Latta Manjari mengguratkan rasa senangnya. Lamat-lamat dari kejauhan ombak yang aneh bermain seolah meliuk-liuk. Lama sudah Latta Manjari berdiri di garis pantai sambil memandang ombak yang bergulung dan kali ini ia mendapatkan bayaran atas penantian, senyumnya begitu puas ketika matanya mendapatkan ombak yang bergerak berlawanan arah dengan ombak yang lain.
Ia berlari mengejar ombak yang aneh itu, belajar dari sebelumnya paham dengan cara ombak itu mendekati pantai. Ia membiarkan tubuhnya digulung ole ombak itu. Berikutnya ombak tersebut menjauhi pantai, tidak lagi ia memejamkan matanya, sekan-akan melihat secara sempurna setiap gerakan gelombang yang menggulung tubuhnya bersama seseorang yang belum ia ketahui namanya.
Cukup lama ia berada dalam permaianan aneh tersebut. Memerhatikan lelaki di depannya yang memasang wajah kecut. Tangan lelaki itu memainkan air laut yang membentuk gelembung. Arua laut itu kembali mendekati daratan untuk menghempaskan tubunya dan lelaki itu di bibir pantai.
Latta Manjari berdiri dengan tersenyum, memerhatikan pemuda di depannya yang tak lagi menyembunyikan wajah di balik secarik kain.
"Sepertinya aku perlu mengucapkan terima kasih padamu, entah bagaiman kau melakukannya,'' kata Latta Manjari kemudian.
"Apa maksudmu? Dasar aneh! Terus saja mengganguku mandi, apa kau tidak memiliki teman untuk bermain sehingga harus mengangguku?"
"Kau mau mengajariku mandi dalam ombak itu?" tanya Latta Manjari seakan tak memedulikan keluhan orang itu.
Pemuda itu melotot, "Hei, dulu kau memaksaku membuka pakaianku kemudian menyerangku, sekarang memintaku mengajari cara mandi, apa kalau aku tidak menurutimu kali ini kau akan membunuhku?"
"Tolonglah, ajarilah aku mandi dalam ombak itu!" kata Latta Manjari dengan wajah memelas.
Lelaki tanpa nama semakin melototi Latta Manjari, namun sebaliknya gadis itu tersenyum seperti mendapatkan mainan baru.
"Aduh Biyung, kenapa aku harus bertemu dengan orang aneh. Hei gadis bengal aku bukan orang suruhanmu, jadi jangan memberikan perintah seenak jidatmu."
Latta Manjari menunduk lalu menatap ke arah lain. Ia diam begitu lama. Dari sudut mata ia masih dapat melihat lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya. Latta Manjari senang sebab ia mengetahui bahwa pemuda itu salah tingkah.
"Aku akan mengajarimu tapi ada syaratnya," kata lelaki itu.
Latta Manjari kembali memasang wajah cerianya.
"Baik, apa syaratnya?'' sahut Latta Manjari cepat.
Pemuda itu mengelilingi Latta Manjari, ia menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Berulang-ulang kali.
Pakainan orang ini terlihat lusuh. Namun Latta Manjari meyakini bahwa orang aneh ini bukan orang sembarangan, terbukti cara bermain dengan ombak-ombak. Juga ia meyakini bahwa simpul-simpulnya yang disentuh orang aneh ini beberapa hari yang lalu adalah penyebab tataran tenaga murninya melompat jauh.
"Yang pertama kau tidak memberitahu pada guruku, bahwa aku berada di sini, apa kau bisa?'' kata orang itu.
Latta Manjari terpaku. Persyaratan yang aneh, bagaimana mungkin dirinya dapat memberitahukan gurunya bahwa pemuda ini berada di sini, sedangkan mengenalinya saja tidak apalagi bertemu dengan gurunya.
Latta Manjari kemudian tersenyum, ada pesan yang tersirat dari ucapan orang aneh ini. Bahwa lelaki yang berada di depannya ini tidak ingin siapa pun yang mengetahui keberadaanya. Bisa jadi maksud guru dari kata-katanya adalah orang lain. Latta Manjari berkesimpulan bahwa orang aneh ini tidak ingin Latta Manjari menceritakan keberadaanya pada siapa pun.
"Hei gadis bengal. Kenapa kau diam?'' bentak orang itu.
"Iya aku bisa!'' jawab Latta Manjari sambil mengangguk mantap.
Orang aneh itu untuk beberapa saat diam membeku menatap Latta Manjari tapi itu tidak lama. Entah apa yang berada dalam kepalanya.
"Bagus,'' katanya, "yang kedua kau harus menuruti apa saja kataku, kau bisa berjanji?'' kali ini suaranya mengandung keseriusan.
Tanpa pertimbangan Latta Manjari mengngguk.
Lelaki itu kembali membeku, lalu menarik napas panjang. "Ah, bodohnya aku mempercayaimu,'' katanya kemudian menjatuhkan pantatnya ke atas pasir.
Alis Latta Manjari mencuat, ''Kau meragukankanu?"
"Mungkin saja mulutmu berkata iya, tapi setelah itu kau akan melanggarnya. Mudah saja kan bagimu apalagi setelah kau tahu cara mandi di ombak itu,'' pelan suara orang itu seolah menyesalkan diri sendiri.
Sontak saja Latta Manjari melotot, sungguh terlalu pikirnya. Tapi ia harus berusaha tenang, agar orang aneh ini mempercayainya.
"Kau jangan meremehkanku, kalau aku sudah berjanji pasti akan kutepati, sesulit apapun aku tak pernah mengingkari janji," ujar Latta Manjari mencoba meyakinkan.
"Baiklah, anggap saja kali ini aku mempercayaimu'' katanya, '' terserah kaulah mau melanggarnya atau tidak."
"Yang ketiga kau harus datang tiga hari sekali di sini dengan membawa makanan," ucapnya sambil melemparkan kerikil pada gelombang yang tak putus-putus, "aku kan perlu makan, terus yang keempat ...."
Ia terpakasa menghentikan ucapannya saat Latta Manjari menjerit.
"Hei kenapa kau berteriak?'' tanyanya dengan heran dan nada cemas, ''guruku bisa datang kalau begini."
"Kau membuat syarat terlalu banyak, dasar orang aneh,'' jawab Latta Manjari dengan wajah yang cemberut. Menurutnya persyaratan itu hanya tiga, tapi orang aneh ini memberikan syarat begitu banyak setelah empat mungkin lima dan seterusnya.
Kembali orang itu terkekekeh, "Kau yang aneh! Terserah kau mau apa tidak,'' katanya, kemudian beranjak dari tempat duduknya.
"Baiklah, teruskanlah sepuasmu menyebutkan syaratnya, asalakan tidak yang aneh-aneh.''
Ucapan Latta Manjari ini berhasil menghentikan kaki lelaki itu yang siap melangkah, lalu kembali berbalik.
"Apa maksudmu dengan yang aneh, bukankah ketiga syarat itu tidak ada yang aneh?''
Latta Manjari mendengus, terlalu lama waktunya hanya dengan persyaratan.
"Tidak ada yang aneh, sudahlah katakan syarat selanjutnya!"
"Ini yang penting," katanya lelaki itu, pandangannya ditujukan pada ombak yang seolah kalah perang dipecahkan oleh karang-karang.
Lanjutnya, "Apa pun yang kita lakukan di sini jangan kau tunjukan pada siapa-siapa, kecuali dalam keadaan terdesak."
Memang tidak yang aneh pikir gadis itu, dia tersenyum mengangguk pendek.
"Baiklah, apalagi?'' tanya Latta Manjari cepat.
"Emangnya aku tadi akan menyebut yang kelima, itu saja cukup,'' kata orang itu dengan tetap membelakangi Latta Manjari.
Latta Manjari bernapas lega, sepertinya orang aneh itu tidak berbuat yang aneh lagi. Cukup dengan empat syarat.
"Baiklah, marilah kita mulai,'' seru Latta Manjari dengan riangnya.
"Mulai apa?'' tanya orang itu dengan mimik polos.
Latta Manjari merasa perlu meralat pemikirannya, orang itu tetap aneh. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu, bukankah dari awal sudah sepakat dengan tujuan untuk melatihnya bermain dengan ombak.
Dengan wajah mengerut Latta Manjari mendekati orang itu, "Ya mulai belajar bagaimana cara mandi dalam ombak,'' suaranya terdengar menampakan kekesalan.
Orang itu terkekeh lebih lama malahan. "Siapa bilang kita akan mulai, kita belum bisa mulai.''
Habis sudah kesabaran Latta Manjari, dengan wajah yang serius ia menatap orang aneh itu.
"Apa maksudmu, kapan kita akan mulai, terus kapan aku bisa kalau kita tidak mulai, terus buat apa kita berbicara seperti ini kalau kau tidak mengajariku,'' dengan ketusnya Latta Manjari mengejar orang itu dengan pertanyannya.
''Ah, kau ini, belum apa-apa sudah tidak mau mendengarkan apa yang aku katakan."
Latta Manjari lalu menunduk, benar saja pikirnya, dalam diam ia tersenyum dengan tingkahnya sendiri.
"Baiklah, kau mulai dengan tidur di atas cabang pohon itu,'' kata pemuda itu menunjuk sebatang pohon raksasa, di sana terdapat akar -akar yang menjuntai. ''Kalau kau sudah bisa tidur di pohon itu kau akan tidur di atas akarnya dengan cara bergantung. Itu saja dulu, nanti kalau kau sudah bisa katakan padaku.''
Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya perlahan-lahan tanpa memedulikan Latta Manjari yang berdiri dengan tercekat
"Hei tunggu, aku harus memanggilmu apa, gurukah?'' seru Latta Manjari setengah berteriak.
Orang itu tertawa sampai tubuhnya bergetar, "Aneh, siapa yang mengangkatmu menjadi murid, emangnya aku mengajari apa, aku kan cuma mengajarimu cara mandi, eh maksudku mandi di dalam ombak, jadi jangan pernah kau memanggil aku guru!"
Ia mengangkat tangannya tanpa menoleh. Berikutnya tubuh orang aneh itu berkelebat menuju pucuk pohon.
Latta Manjari membeku, malam yang hanya diterangi sisa bulan membatasi pandangan. Sehingga tubuh orang aneh itu seolah hilang ditelan malam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top