Episode Satu Bagian Satu (Turun Gunung)

Keduanya mengendap-ngendap, yang memakai kemban bercorak tanah bernama Untari, sedangkan di sebelahnya sering dipanggil dengan nama Ratih. Keduanya kembang pedukuhan Kurawan. Wajah gadis-gadis ini menggambarkan ketakutan.

Hal ini disebabkan oleh tiga lelaki yang dari tadi terus mengikuti. Keduanya kemudian terpojok pada jalan buntu, di depan mereka hanya menyisakan hutan yang menjadi tapal batas pedukuhan. Pada saat yang demikian salah seorang pria menarik lengan Untari. Dengan wajah sinis ia menghardik gadis itu. Kemudian memaksa keduanya untuk memasuki hutan kecil yang terletak di bagian utara pedukuhan.

Setelah merasa tempat itu aman dari jangkauan warga pedukuhan, lelaki bersorban hitam yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya.

"Aku rasa cukup sampai di sini kau mengantarkan kami,'' ujar pemuda yang menggunakan ikat kepala berwarna hitam pada lelaki yang masih memegang lengan Untari.

"Sebentar Kakang," jawab pemuda berbaju hijau loreng yang masih tetap mengeratkan jemarinya pada lengan Untari, "setelah ini urusan kita akan beres, bukan?''

Pemuda berikat kepala hitam itu tertawa lirih, ada sesuatu yang bersembunyi di balik tawanya, "Tentu! Tentu Adi, semua urusan kita beres, tapi ingat dia harus benar-benar masih bersih dan belum pernah tersentuh!"

"Aku yakin Kakang, tidak ada yang pernah menyentuhnya," jawab lelaki berpakain hijau loreng itu dengan mantap.

"Apa yang kau janjikan padanya, Kakang?'' sela Untari berusaha melawan ketakutannya.

Lelaki yang mengenakan kain hijau loreng mengendorkan pegangannya kemudian tersenyum pada Untari, "Tidak ada yang berlebihan Untari, kau hanya menemani kakang Pragolopati berjalan-jalan.''

"Aku tidak mau! Sekarang biarkan aku pergi, aku harus menemui Ki Dukun. Bukankah Kakang tahu bagaimana keadaan ibu sekarang?'' sahut Untari dan siap melangkah pergi.

"Ayolah Untari biarkan aku mengantarkanmu pada Ki Dukun," potong lelaki yang dipanggil dengan nama Pragolopati, bibirnya mengembangkan senyuman mesum.

Untari membisu sejenak wajahnya menguratkan rasa tidak senang, "Terima kasih Kakang Pragolopati, cukup Nyimas Ratih yang menemaniku."

"Ah sudahlah, tidak perlu basa basi! Kau harus ikut aku Untari, ini sudah menjadi kesepakatanku dengan Kakangmu!'' kata Pragolopati yang mulai tidak telaten.

Pucat dan menggigil tubuh Untari tak mampu lagi menahan ketakutannya yang disembunyikan cukup lama. Ia tahu siapa Pragolopati, anak dari saudagar permata yang kerap mempermainkan perempuan, dan rata-rata perempuan yang pernah dekat dengan pemuda itu entah kenapa menjadi kurang waras. Kakinya mundur selangkah sambil memegang tangan Ratih, sahabatnya.

Dengan sekali loncatan Pragolopati menggapai pundak Untari. Tampaknya lelaki ini mengusai kanuragan yang cukup tinggi, tangannya menyentuh persendian tubuh Untari, akibatnya gadis berwajah manis itu terdiam tak mampu bergerak. Selanjutnya tubuh gadis malang yang lemah tersebut dibopong, namun sebelum Pragolapati melangkahkan kakinya dari tempat ia berdiri, tiba-tiba bagian belakang tubuhnya berasa ditumbuk. Pragolopati menyeringai, mendelik sambil mengedarkan pandangan. Mencari sumber yang menyebabkan tubuhnya terasa sakit.

"Kau memukul aku, Praya?" Tanya Pragolopati pada pemuda berbaju hijau loreng dengan wajah yang memerah. Meski ia ragu pertanyaan itu ditujukan pada saudara kandung gadis yang masih dalam gendongannya.

Praya gugup mendapat pertanyaan tersebut, dan mustahil ia mampu melakukannya, "Tidak Kakang, bukan aku yang ..."

Pragolpati geram. Namun ia tak menemukan siapa-siapa kecuali Praya, Ratih, temannya dan Untari yang masih berada dalam gendongan. Belum habis kebingungannya memudar kini betisnya yang mendapat giliran. Seperti mendapat sebuah sepakan.

Akibatnya, ia tersungkur dan tidak berhasil mempertahankan Untari dari gendongan.

"Kurang ajar kau, Praya!" Pragolopati menghardik pemuda berbaju hijau loreng, dengan wajah yang memerah. Pragolopati melampiaskan kemarahan dengan melayangkan tangannya untuk menumbuk lambung Praya. Namun sebelum menyentuh Praya, tangannyalah yang merasa kesemutan. Seseorang yang diyakini bersembunyi itu kembali menyerangnya.

"Bangsat, setan alas! Ternyata ada yang mau main-main denganku. Kalau kau berani segera tampakan batang hidungmu, jangan bermain seperti anak kecil yang pandainya hanya petak umpet!'' teriak Pragolopati.

Hening. Tak ada jawaban yang diharapkan. Hanya desahan angin yang membelai pepohonan di pinggir hutan kecil itu, matahari sudah mulai condong ke barat. Tidak ada lagi panas yang akan menyengat, apalagi rimbun pepohonan mengalahkan sinar yang tentu sudah tak mampu untuk menerobos masuk.

"Hei, kenapa kau tak berani keluar, ayo sini hadapi Pragolopati, murid dari padepokan Sekar Kecubung!" Lantang suara Pragolopati menggema.

Kembali tak ada sahutan, panas sudah hati Pragolopati, "Kancir sini berikan pedangmu!" perintah Pragolopati pada lelaki berkepala pelontos yang menjadi teman perjalannya.

"Hei dengar pengecut, jika kau tak segera keluar akan kubunuh dua gadis ini, kalau kau ingin berlagak pahlawan cepat keluar dan hadapi aku!" Tantangnya berisikan ancaman pada penyerang tersembunyi itu.

Lelaki yang telah dikuasai amarah itu tidak bermain-main dengan ancamannya. Ia ingin membuktikan kepada orang yang bersembunyi dengan melibaskan pedang ditangannya pada tubuh Untari yang tergeletak lemah. Kembali sebelum pedang itu menyentuh korbannya, tiba-tiba logam panjang tersebut terlempar dari tangan Pragolopati. Mata Pragolopati terbelalak, karena tidak hanya terlempar tapi pedang itu patah empat bagian.

Tanpa terlihat namun pedang yang terbuat dari besi pilihan itu patah berantakan. Tentu penyerang yang entah bersembunyi di mana itu memiliki kanuragan yang tidak bisa dipandang enteng.

"Apa yang kau lakukan di sini, Pragolopati?" Terdengar suara serak bersamaan dengan kehadiran empat lelaki bertubuh tegap menuju ke arah Pragolopati yang berdiri terpaku.

"Paman Guru!" Seru Pragolopati, dengan sigap ia dan temannya yang berkepala pelontos menunduk hormat, "sebenarnya aku ingin membawa persembahan pada Eyang Guru, tapi aku dihambat oleh pengecut yang entah bersembunyi di mana."

"Kau menuduhku, Pragolopati?'' Tanya orang yang dipanggil Paman Guru dengan sinis.

"Tentu tidak Paman Guru, mana berani aku menuduh seperti itu."

"Ini persembahanmu, Pragolopati?" tanya Paman Guru sambil menunjuk Untari yang tergeletak di tanah.

Pragolapati mengangguk.

"Bagus Pragolopati, bawalah gadis itu! Masalah di sini biar aku yang urus!" teriak Paman Guru dengan suara yang melengking.

Paman Guru ternyata menerapkan Ajian Gelap Ngampar, sebuah kanuragan untuk mengirimkan pesan pada seseorang, dimana orang yang cukup mempunyai tenaga murnilah yang tidak akan merasakan efek dari ajian itu, bagi mereka yang awam atau lemah tenaga murninya dapat menyebabkan kehilangan kesadaran. Itulah yang terjadi pada Praya, Untari dan Ratih, mereka tidak mampu menguasai diri mereka sendiri. Diawali dengan napas terasa sesak kemudian jantung berdegup kencang.

Lelaki paruh baya itu menggeram ketika belum menemukan tanda-tanda orang yang diyakininya bersembunyi menampakan diri. Ia merasakan keanehan dengan tidak merasakan kehadiran orang itu. Padahal jelas pedang yang patah dari tangan Pragolopati adalah perbuatan orang tersebut. Sebelumnya ia sama sekali tak menduga di sekitar pedukuhan ini ada orang yang memiliki kanuragan yang mumpuni.

"Pragolopati cepat bawa gadis itu!" perintah Paman Guru.

Baru saja Pragolopati ingin membopong Untari, kembali sikutnya berasa diremas bahkan lebih keras, sakit yang luar biasa mengantam seluruh persendiannya. Ia terlungkup di tanah dengan kehilangan kesadaran sepenuhnya.

"Jahanam, jangan bermain seperti ini Kisanak, orang-orang Sekar Kecubung tidak pernah takut dengan permainan seperti orang keparat!" teriak Paman Guru yang terkejut mendapati tubuh Pragolapati tak sadarkan diri.

Belumlah habis Paman Guru menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja kepalanya merasakan pukulan yang sangat keras dan luar biasa sakitnya. Hingga matanya mendelik, berikutnya terjatuh di tanah tanpa mampu mempertahankan kesadarannya.

Ke empat orang pengikut Paman Guru terbelalak, sepengetahuan mereka Paman Guru adalah orang yang memiliki Ilmu Kedigjayaan yang tak dapat mereka jangkau, bahkan di daerah ini belum ada orang yang mampu mengalahkan Paman Guru. Yang terjadi di hadapan mereka hampir mustahil, tapi inilah kenyataan. Tanpa mampu berbuat banyak Paman Guru jatuh tersungkur ke tanah.

***

Langit remang-remang. Matahari sudah siap mengucapkan perpisahan. Sepanjang mata memandang hamparan padi menguning, menunggu tangan-tangan mengais buahnya untuk kemudian menyisakan batang kering. Namun batang-batang kering itu tak pernah menyesal, mereka meyakini bahwa kehadiran mereka memberikan manfaat yang lebih besar terhadap pertumbuhan makhluk yang bernama manusia.

Di atas pematang sawah itu dua manusia seperti menikmati udara yang mulai memberikan kesejukan setelah seharian dipanggang oleh matahari yang menyala.

Seorangnya terlihat sudah berumur. Dapat dilihat dari rambut panjang yang menggerai dengan diselingi oleh uban-uban yang mulai menampakan diri. Ia menggenakan pakaian seperti pendeta; jubah putih yang menutupi seluruh jasadnya. Namun bukan bearti ia adalah pemuka agama, malahan ia menganggap dirinya manusia yang hidup dengan lumuran dosa.

Ialah Arya Kamandanu di mana ketika masa muda mendapat julukan pendekar pedang naga puspa. Wajah tampan itu masih terlihat jelas di guratan wajahnya yang telah mulai menua, sorot matanya tenang menggambarkan jiwa yang jauh dari rasa yang berlebihan, ketenangan bathin inilah yang selalu dicarinya. Semilir angin lembut mengibaskan kain yang melekat di leher. Lelaki paruh baya itu belum ingin beranjak dari tempatnya berdiri.

Delapan belas tahun telah berlalu semenjak ia memutuskan untuk kembali menghuni lereng gunung Arjuna. Salah satu orang kepercayaan Raden Wijaya itu menanggalkan jabatannya, memilih menepi serta menjauhi segala hiruk pikuk kehidupan Kotaraja.

Bukanlah keputusan yang mudah baginya untuk meninggalkan istana, dan tidak lagi mengabdi pada Majapahit. Berbagai polemik kehidupan memaksanya meninggalkan segala kepentingan dunia. Sebagai manusia biasa Kamandanu tentu mengharapakan kehidupan yang tenang dan damai.

Dirinya hanya bertemankan putranya yang kini beranjak dewasa. Putranya jualah menjadi salah satu alasannya meninggalkan Kotaraja Majapahit, Arya Kamandanu ingin membesarkan putranya itu dengan tenang agar dapat mencurahkan seluruh perhatian.

Meski jauh dari Kotaraja, kabar perkembangan Majapahit tidaklah terlewati begitu saja. Suami mendiang Sakawuni itu kerap mendengar dengan miris kabar Majapahit yang masih saja dibaluti mendung. Dengan mengelus dada putra Mpu Henggareksa itu berharap Majapahit ke depannya dapat lebih baik. Sebagai salah satu orang yang ikut membantu Raden Wijaya membangun Majapahit tentu Kamandanu berharap negerinya itu menjadi negeri yang makmur di mana rakyat dapat hidup dengan tenang di bawah payung-payungnya.

Arya Kamandanu berharap Jayanegara yang kini bertahta di Majapahit dapat bersikap arif, dan bijaksana serta meneruskan cita-cita ayahandanya; Raden Wijaya.

Ketika masih berada di Kotaraja walaupun tidak terlalu akrab, Arya Kamandanu mengetahui sedikit banyaknya sifat Jayanegara yang kala itu masih bocah. Menurutnya, Ramapati turut berperan besar dalam menumbuhkan watak Jayanegara. Sifatnya yang manja membuat Kamandanu tidak yakin dengan kepemimpinan Jayanegara, namun sebagai abdi, ia tidak dapat berbuat banyak.

Baginya masa lalu adalah sebuah masa yang wilayahnya hanya pada kisaran kenangan, masa sekaranglah yang perlu untuk dihadapi. Sebab sekarang adalah kenyataan, yang harus direncanakan agar pengalaman pahit masa lalu tak perlu datang untuk menjadi mimpi buruk.

"Jambu Nada," panggilnya pada lelaki muda yang berdiri dibelakangnya, "inilah pedukuhan Kurawan. Tempat di mana Romo dilahirkan."

Lelaki muda itu kemudian menempatkan dirinya di samping Arya Kamandanu. Matanya tertuju lurus pada bangunan sederhana yang menjadi tapal batas pedukuhan.

"Kenapa kita harus lewat sini, Romo? Kenapa kita tidak melewati jalan biasa yang kita lalui? Aku ingin cepat-cepat sampai ke Penampihan."

"Romo sengaja membawamu ke sini," jawab Arya Kamandanu, "Romo ingin memperkenalkan tempat kelahiran Romo. Sudah lama juga Romo tidak mengunjungi makam Eyang Kakungmu."

Pemuda belia yang baru berusia belasan itu tak ingin berkata-kata apa-apa lagi. Sebenarnya ia tak ingin melewati jalur yang ramai seperti ini. Ke depannya ia tentu harus bersikap canggung. Menjaga diri agar mata-mata tidak terpusat pada keadaanya yang aneh.

Cara berpakaiannya memang tidak seperti orang kebanyakan. Seluruh tubuhnya tertutup kain yang menyisakan telapak kaki dan tangan. Sedangkan di kepalanya memakai caping bertujuan menutupi mukanya. Bila berhadap hadapan hanya kedua bola matanya saja yang tampak.

Keduanya kembali meneruskan perjalanan. Tidak beberapa lama kemudian mereka sampai di tengah-tengah pedukuhan. Cukup padat, terlihat berjajar pondok yang bersusun rapi. Serta kedai-kedai yang tampak ramai dikunjungi, baik pendatang maupun warga yang malas masak di rumah. Arya Kamandanu tidak menghentikan langkahnya, dengan pasti menuju sebuah pondok di mana perkarangannya itu sangat dikenalinya, walaupun sudah banyak berubah namun tanah dan letaknya tidak akan terhapus dalam ingatan.

"Kisanak, maaf kami mengganggu waktu istirahat," sapa Kamandanu ketika seorang lelaki setengah baya keluar dari regol pondoknya.

Orang itu menatap Arya Kamandanu dan putranya bergantian.

Kamandanu menguraikan senyum, "Apa benar di sini dulu bekas rumah Mpu Hanggareksa?"

Kening lelaki pemilik pondok itu mengerut sesaat, kembali memandang Kamandanu dan Jambu Nada dengan saksama.

"Ada hubungan apa Kisanak dengan Mpu Henggareksa?" tanyanya kemudian.

"Kami keluarga dari Mpu Henggareksa, jika ini betul bekas perkarangan rumah Mpu Hanggareksa, kami mohon izin untuk singgah sebentar,"

Cukup lama lelaki itu tertegun mendengar jawaban Arya Kamandanu, bukanlah perkara mudah untuk langsung mempercayai seseoarang, apalagi kedua orang di depannya itu bukanlah orang yang dikenalinya. Banyak dugaan dalam benak, bisa jadi kedua orang itu hanya mengaku-ngaku, atau berniat yang lebih parah lagi, merampok misalnya. Untuk itulah dirinya perlu meyakinkan diri siapa kedua orang ini.

"Maaf Kisanak, belakangan ini pedukuhan kami dalam suasana yang tidak baik," kembali lelaki itu terdiam sejenak, mencari kata-kata yang baik agar kedua tamunya itu tidak tersinggung.

Kamandanu tersenyum, ia paham jika orang itu tidak dapat langsung mempercayainya.

Namun tidak demikian dengan Jambu Nada. Pemuda itu merasa romo dan dirinya tidak berniat jahat, jadi buat apa bersikap tidak ramah demikian. Bahkan menurut Jambu Nada, tempat ini adalah bekas perkarangan eyangnya. Jadi sebenarnya perkarangan ini miliknya juga, lalu kenapa orang itu malah tidak senang dengan kehadirannya. Sial!

"Kisanak, marilah ikut aku ke banjar," ajak lelaki itu kemudian, "di sana Ki Buyut mungkin mengenali Kisanak berdua ini dan memastikan Kisanak adalah keluarga dari Mpu Henggareksa."

Sial, maki Jambu Nada. Kenapa harus melibatkan orang lain lagi. Ia tak habis pikir, bukankah romonya sudah menjelaskan maksud kedatangan. Di banjar pasti banyak orang, ah mata-mata itu pasti menatap dengan ejekan. Benar-benar sial!

Dengan didukung oleh para pemain;

Anto Wijaya sebagai Arya Kamandanu

Dion Wiyoko sebagai Jambu Nada

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top