Episode Enambelas (Darah Kandung Darah Prahara)

"Aku sudah menduga yang membawa si gendut itu adalah kau, Adi!" kata Arya Dwipangga saat melihat kehadiran Kamandanu bersama Wirot di mulut goa.

Kamandanu tersenyum, bagaimana pun orang yang sekarang berdiri di hadapannya ini adalah saudara kandungnya. "Aku hanya tidak ingin terjadi pengeroyokan, Kakang. Bukankah kedua murid Kakang memburu Paman Wirot, rupanya Kakang belum puas dan harus turun tangan sendiri," jawab Kamandanu.

Arya Dwipangga kemudian bergerak untuk dapat lebih mendekat. "Sudahlah Adi, aku datang bukan untuk basa-basi. Aku masih menawarkanmu untuk ikut bersamaku, marilah kita bersama kembali mengharumkan nama Mpu Henggareksa."

"Bukankah dulu Kakang sendiri yang menghancurkan keluarga Mpu Henggareksa, bahkan dengan tega Kakang membiarkan orang gelang-gelang membakar tempat yang dulu menjadi tempat Kakang lahir dan besar."

Dwipangga menepuk pundak adik kandungnya itu. Lalu menatap wajah Kamadanu yang memandang ke arah lain. "Itu masa lalu, Adi, yang lalu biarlah berlalu marilah bersamaku kembali mengaharumkan nama Mpu Henggareksa. Ingat Adi hanya kita berdua yang merupakan keturunan Mpu Henggareksa."

Kamandanu bergeming pada tatapannya yang tertuju lurus ke arah bawah bukit yang mana merupakan letak pedukuhan Kurawan. Di sanalah tempat kediaman mereka dulu, dibesarkan seorang Mpu pembuat senjata bagi Singhasari, negeri nenek moyang Majapahit.

"Kau keliru Kakang, bukankah putraku dan putrimu adalah keturunan beliau juga. Dalam darah mereka mengalir darah Mpu Henggareksa." Katanya kemudian.

Arya Dwipangga mengikuti arah tatapan Kamandanu, entah apa yang dipikirkan orang tua itu yang dulu dikenal Pendekar Syair Brdarah, lalu ia berkata, "Kau benar Adi, karena itu aku pun mengajak putramu dan putriku untuk bergabung bersamaku. Meski demikian kita adalah anak langsung dari Mpu Henggareksa, kita yang mempunyai kewajiban untuk kembali mengharumkan nama beliau."

"Bergabung bagaimana maksud, Kakang? Apa Kakang lupa kalau sekarang Ayu Wandira berada di Kotaraja mengabdi di sana, secara tidak lansung dia telah kembali mengharumkan nama Mpu Henggareksa terlebih namamu, Kakang," ujar Kamandanu yang kini tatapannya ditujukan pada Arya Dwipangga.

"Itu tidak lebih mengadi secara rendahan, Adi," balas Arya Dwipangga dengan suaranya yang meninggi, "Ayu Wandira hanya istri dari seorang prajurit yang cacat, sekarang hanya menjaga putri-putri di Kaputren yang tidak akan begitu dihargai, aku ingin dia menjadi orang yang lebih hebat. Seorang putri yang berdarah bangsawan. Kelak aku dan kau akan menjadi raja di Daha, kalau tidak di Tumapel atau di Mataram, nantinya putriku atau putramulah yang mewarisi apa yang sudah kita dapatkan."

Kamandanu berdehem guna mengusir kekagetannya, ia berusaha menenagkan perasaan. "Sungguh luar biasa cita-citamu, Kakang. Apa dengan begitu nama keluarga Mpu Henggareksa dapat harum, apa dengan demikian Romo di alam sana merasa senang dan berbahagia melihat apa yang kita lakukan?

"Kau keliru Kakang! Romo adalah seorang abdi Singasari, rakyat yang mencintai negerinya, bukankah Majapahit adalah keturunan Singasari, jadi sewajarnyalah kita sekarang mengabdi pada Majapahit, bukan malah bercita-cita menghancurkannya. Dulu ketika aku langsung mengabdi di sana, selain sebagai orang Singasari aku juga berkeinginan melanjutkan cita-cita Romo yang dengan setia mengabdi pada Singhasri. Dan aku yakin Romo merasa lebih senang jika kita mengabdi pada Majapahit yang merupakan keturunan raja-raja Singhasari."

Wajah Arya Dwipangga mengerut, jelas orang berjubah hitam itu tidak senang mendengar perkataan Kamandanu.

"Pengabdian seperti itu tidak berwujud, Adi! Romo lebih bangga kalau kita hidup dengan darah bangsawan yang akan dihormati," bantahnya dengan tegas, "di mana-mana nama Mpu Henggareksa semakin dihormati, bahwa putra-putranya menjadi raja dan keturunannya kelak tentu berdarah bangsawan."

Kamandanu mengerling, lalu bergerak sedikit menjauh. "Sudahlah Kakang, jelas itu ambisimu! Jangan kau bawa nama Romo yang sudah tenang di alam sana, jangan kau bawa namanya lagi dengan ambisi duniamu yang berlebihan. Kita sudah tua Kakang. Bahkan kau sudah mempunyai cucu, tak kah Kakang malu jika dia mengetahui kita, kakek-kakeknya masih saja meributkan hal yang sudah tidak pantas untuk seumuran kita."

Arya Dwipangga menyipitkan mata. Terasa darahnya mulai panas, ia mulai meragukan bahwa Kamandanu dapat dibujuk, apalagi bergabung dengannya.

"Kau terlalu lemah, Adi. Cita-cita itu wajib kita wujudkan, sampai kapan pun. Walaupun kita tidak muda lagi tapi tidak berarti kita tidak memiliki cita-cita, dengan mewujudkannya bukankah dapat membuat keturunan kita bangga dengan apa yang kita lakukan?"

"Kau benar Kakang, cita-cita itu diusahakan untuk dapat diwujudkan bahkan sampai mata kita menutup selamanya. Tapi tidak dengan cita-cita yang demikian, yang mana malah merusak tatanan kehidupan. Kita sebagai orang tua mempunyai kewajiban untuk mendorong anak-anak kita, orang-orang muda untuk selalu mencintai negerinya dan mengembangkannya ke arah yang lebih baik, memberikan contoh yang baik pula pada mereka. Bukan memberikan contoh yang buruk yang nantinya dapat menumbuhkan rasa ketidak puas-an secara terus menrus."

"Baiklah," ucap Arya Dwipangga yang sudah tidak telaten, "tidak ada cara lain agar aku bisa menutup mulutmu."

"Izinkan aku mengurusi orang itu, Tuan," suara dari Ki Kerling Seta memecah ketegangan. Ketua pedepokan Sekar Wangi itu sedari tadi diam mendengar pembicaran kakak beradik.

Namun belum sempat ia bergerak, sesosok bayangan berkelebat dan menepis tubuhnya. Lelaki berambut cepak itu segera membuang tubuhnya ke arah yang berlawanan, dengan keseimbangan yang sedikit goyang ia mendaratkan kakinya di rerumputan.

"Hei kurus, marilah bermain-main denganku tidak baik mencampuri urusan keluarga orang," ucap orang bertubuh gendut yang tak lain Wirot sambil terkekeh.

"Kurang ajar. Kau mencari mati orang tua gendut!" hardik Kerling Seta yang merah padam mukanya mendapatkan serangan mendadak itu.

Masih dengan tawanya, Wirot menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Apa aku harus menunduk hormat dulu meminta izin?"

Kerling Seta tidak menjawab, ia merasa tidak ada gunanya berbicara panjang lebar dengan orang gendut, makanya dengan menggeram tubuhnya melengking lalu memburu Wirot. Kerling Seta mulai menerapkan ilmu peringan tubuh yang dipelajari dari Resi Rengga di pedepokan Sekar Wangi. Tangannya membentuk cakar disilangkan ke kanan dan ke kiri untuk dapat menyentuh tubuh orang bertubuh gendut.

Ia semakin geram ketika setiap gerakannya dapat terbaca dengan baik oleh Wirot, tangannya hanya melibas ruang kosong tanpa sedikit pun menyentuh tubuh Wirot, justru itu Kerling Seta segera meningkatkan tenaga murninya untuk semakin meningkatkan kecepatan hingga ke puncak.

Wirot yang sedari tadi sudah menerapkan Ajian Seipi Angin tanpa kesulitan dapat menghindar dan menepis serangan Kerling Seta bahkan sesekali tangan besarnya menusuk dada dan perut Kerling Seta. Tapi Kerling Seta bukanlah orang kebanyakan. Daya tahan tubuhnya sungguh luar biasa sehingga setiap tangan Wirot menyentuh tubuhnya maka Kerling Seta tampak tidak mengalami kesakitan.

Sementara itu pada tempat yang tidak terlalu jauh, duel antara Kamandanu dan Dwipannga sudah dimulai beberapa saat yang lalu. Kamandanu juga sudah menerapkan Ajian Seipi Angin untuk dapat mengatasi kecepatan Dwipangga yang luar biasa, tubuhnya meliuk-liuk mencari sasaran.

Sepertinya suadara kandung itu masih dalam tahap penjajakan. Dwipangga kali ini berhati-hati menghadapi adiknya itu, ia tidak mau mengulangi kejadian puluhan tahun silam. Sebab itulah secara perlahan-lahan ia meningkatkan kemampuannya untuk melihat kemungkinan mencari celah untuk dapat melumpuhkan Kamandanu.

Kamandanu pun melakukan hal yang sama, ia mengikuti perkembangan peningkatan yang dilakukan Dwipangga, apalagi dalam hatinya tidak ada sedikit pun berniat melukai kakak kandungnya ini. Perlahan-lahan peningkatan ilmu kanuragan meningkat sehingga tampak yang terjadi seolah pertunjukan yang sangat memukau. Tubuh keduanya meliuk-liuk, saling meloncat dan menepis, kemudian bersama-sama melompat ke udara dan berhenti kembali menjejakan kaki di tanah.

Sekitar tiga tombak dari Kamandanu dan Dwipangga. Kerling Seta terlihat sudah tidak telaten lagi menghadapi Wirot yang selalu dapat menghindar dan menepis serangannya, malahan tubuhnya sering terkena tusukan-tusukan tangan Wirot. Sebagimana pun juga, seiring peningkatan tenaga murni mereka maka pukulan sedikit banyaknya juga berpengaruh pada Kerling Seta, bahkan beberapa kali Kerling Seta harus jungkir balik terkena libasan tangan si buncit Wirot.

Sebab hal yang demikian, Kerling Seta memutuskan menggunakan ajian pamungkasnya yang berasal dari pedepokan Sekar Wangi, Ajian Bayu Senjati. Kerling Seta meloncat ke belakang beberapa tombak, setelah itu tangannya terangkat ke atas entah bagaimana suara deruan terdengar dari setiap tangannya yang kemudian bersedekap di dada, hawa dingin segera menyerang daerah di sekitarnya.

Wirot mengerutkan dahinya, diam-diam ia memusatkan pikirannya, lelaki gendut itu tidak ingin tubuhnya menjadi beku terkena Ajian Bayu Senjati milik Kerling Seta. Dan berikutnya seperti sengaja membenturakan dirinya, tangannya disilangkan ke dada dengan mata terpejam mendongak ke atas.

Berikutnya terjadi benturan yang membuncah. Tubuh Kerling Seta melompat tinggi seraya memusatkan Ajian Bayu Senjati pada telapak tangannya. Ia dapat menyentuh pundak Wirot namun tiba-tiba saja Kerling Seta merasa sesuatu yang ganjil, tubuhnya terpental ke belakang, ambruk di antara bebatuan.Lalu kesadarannya menghilang.

Wirot segera memburu tubuh Kerling Seta. Tangannya dengan cekatan mencari persendian lelaki bertubuh kurus itu, Wirot menghentikan aliran darah Ki Kerling Seta. Setelah itu Wirot pun merogoh tabung dari balik pakaiannya, memasukan pil daya tahan tubuh ke mulut Kerling Seta. Wirot kemudian mengarahkan pandangannya pada murid-murid kerling Seta yang terdiam melihat guru mereka terbaring lemah.

"Kisanak, bawalah orang ini pulang!"

Murid-murid Kerling Seta awalnya ragu-ragu, ketika melihat Wirot tersenyum, salah seseorang dari mereka memberanikan diri mendekati tubuh Kerling Seta.

"Terima kasih Tuan, maafkan kami."

Wirot hanya mengangguk.

Berikutnya dengan dibantu murid lainnya menaikan tubuh Kerling Seta ke atas kuda. Setelah itu para murid-murid pedepokan Sekar Wangi itu menunduk hormat dan berderap meninggalkan Wirot.

Wirot lalu bergerak menuju sebuah pohon besar, matanya dengan saksama mengawasi jalan pertarungan antara Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga, wajah lelaki tua namun berbadan sehat itu mengerut, ia menyesalkan perbedaan jalan hidup keduanya, yang harus pula membuat keduanya membenturkan kekuatan.

***

Malam semakin larut dalam kegelapan, malam yang hadir kali ini menyayat lantran bergulir dalam pekat, tanpa bintang dan bulan. Namun kegelapan malam itu tidak berpengaruh sedikit pun pada dua sosok yang masih saling meloncat dan saling memburu.

Tataran adu tanding antara Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu semakin mendekati puncak. Kini Dwipangga mulai menerapkan Ajian Komala Agni, walaupun belum mencapai puncak namun rasanya udara di sekitar mereka menjadi panas yang luar biasa. Daun-daun menjadi kering terpanggang oleh udara yang panas, bahkan di antara tubuh Arya Dwipangga sering terjadi percikan api yang lansung membakar rumput dan daun-dun di sekitar tempat itu.

Merasakan gelagat ini, Kamandanu mulai menerapkan kekuatan Naga Puspa Krisna, kekuatan dari ular hitam krisna itu sungguh luar biasa, tidak sedikit pun udara panas itu memengaruhi kulitnya, hanya saja secara perlahan imbas panas itu berakibat pada pakaian yang dikenakannya seperti kain yang dipanggang di atas api.

Semakin cepat mereka bergerak maka semakin meningkat tataran ilmu kanuragan keduanya.

Berikutnya, tubuh Arya Dwipangga mulai diselimuti warna kemerahan, semakin teranglah di sekitaran bukit. Sebuah pertunjukan yang sangat mengerikan, jika ada kawanan binatang hutan lewat dipastikan mati terpanggang. Tubuh kedua saudara kandung itu berkelebat di udara, setiap benturan maka terdengar suara raungan dari mulut Kamandanu, tubuhnya terpental namun kembali berdiri seolah siap menantang.

Wirot yang berada di sebuah pohon besar menyaksikan dengan wajah tegang, bahkan ia menggunakan tenaga murninya untuk melawan getaran dan udara panas yang sampai di mana tempat ia berdiri. Wirot sama sekali tidak menduga, perkembangan kanuragan Dwipangga menanjak tanpa dapat diukurnya, bahkan Wirot hampir tdiak mengenali aliran kanuragan yang dimiliki Dwipangga, Ia hanya dapat menebak dari ciri yang dipergunakan Arya Dwipangga melambangkan dewa Agni; Api. Tapi menilik sumbernya tentu berbeda, bahkan tenaga Arya Dwipangga tidak sedikit pun berkurang seperti mempunyai banyak tenaga murni di dalam tubuhnya.

Wajah orang tua yang biasa cengengesan itu kali ini tidak tampak. Begitu tegang dan tidak sedikit pun melepaskan pandangan. Ia sampai terlonjak mundur ketika mengamati perkembangan gerakan Arya Dwipangga. Menurutnya, Arya Dwipangga menggunakan sejenis ilmu aliran sesat yang harusnya tidak diajarkan. Kekuatan yang berasal dari dunia kegelapan, namun Wirot melihat kekuatan itu disamarkan dengan kekuatan dewa api. Sepengetahuan Wirot, yang diketahui dari gurunya, jika seseorang menggunakan gerakan sembah seperti yang dilakukan Arya Dwipangga maka itu adalah perwujudan untuk menyembah iblis, yang pada akhirnya menyerahkan dirinya pada kepentingan iblis, sejahatnya manusia tidak akan menggunakan ilmu ini, karena sama saja bersekutu dengan iblis.

Memang demikianlah apa yang dilakukan Arya Dwipangga beberapa kali kedua tangannya mengatup, induk jari melengkung ke dalam genggaman menandakan sikap tunduk, setelah kedua tangan mengatup ia angkat tepat di atas ubun-ubun. Tubuhnya merah menyala, dari tangannya berapa kali keluar seleret merah menghantam tubuh Kamandanu.

Kamandanu cukup terkejut dengan tindakan Dwipangga, kini ia menyadari dengan siapa ia berhadapan, bahwa kakangnya memang bersekutu dengan iblis. Tidak ada cara lain kecuali memusatkan diri dan menyerahkan kehendak pada Pemilik Jagad.

"Hanya padaMu aku berserah, seluruh kekuatan berasal dariMu, seluruh kekuatan dapat musnah kerenaMu ...'' Untaian kata-kata itu diucakannya setiap kekuatan Naga Pusap Krisna miliknya membendung Ajian Komala Agni milik Arya dwipangga.

Suara raungan yang keluar dari mulut Kamandanu memecah kesunyian di bukit itu, suara benturan terjadi begitu dahsyat. Percikan api membakar pohon-pohon tidak terkecuali batu pun ikut pecah berserakan menjadi debu.

Ternyata tanpa disadari Kamandanu, ucapannya itu menambah daya kekuatannya.

Arya Dwipangga terpental ke belakang lalu berteriak nyaring. Dadanya berasa dihimpit gunung, tulang belulangnya serasa dipatahkan. Berikutnya tubuh Arya Dwipangga melayang dengan bebas menyentuh tanah seperti batu yang di lambungkan dan terjatuh kembali ke bawah.

Saat itulah terjadi sebuah peristiwa alam yang berbeda.

Petir menyambar dan membakar pohon randu alas yang besar dan pohon itu hangus sampai ke akar-akarnya. Dari tempat Arya Dwipangga tergeletak tidak sadarkan diri, berdiri sesosok tubuh dan bersuara lantang.

*"Demi Amuraja Durjana di atas langit. Wahai bulan yang mengambang di angkasa raya, wahai sukma-sukma berkeliaran penuh rerintihan penderitaan. Dengarkan, dengarkan sumpahku ini. Sumpah Layang Samba putra Dewi Sambi dan Mpu Tong Bajil, saksikanlah wahai alam semesta saksikan sumpahku.

"Biarlah langit runtuh dan bintang bertaburan jatuh ke permukaan bumi, biarlah jagad raya ini berguncang, jika Kamandanu menjadi segumpal batu, aku akan menjadi air bah yang akan mendidihkannya dari atas gunung, jika Kamandanu menjadi telaga aku akan menjadi seribu matahari dan aku akan membuat telaga itu mendidih membakarnya sampai habis sampai kering kerontang, jika Kamandanu menjadi pohon-pohon buah aku akan menjadi hama, akan aku serang dia siang malam dan pohon-pohon itu akan mati membusuk kering dan luruh ke bumi inilah sumpahku! Kamandanu dan keturunannnya akan menjadi musuh besarku!

"Dengar wahai jin, siluman yang menghuni lereng-lereng bukit, dengar wahai roh gentayangan yang terbang melintasi kegelapan malam, dengar dan saksikan sumpahku ini, inilah saatnya aku akan membinasakan Kamandanu, inilah cita-citaku. Akan aku cari kelengahannya dan kalau dia tetap waspada aku akan masuk menyelinap ke dalam hatinya untuk merogoh jantungnya, dengar wahai Kamandanu, malam kau menjadi musuhku dan siang kau menjadi seteruku, tak ada hari perdamain bagimu. Kita akan terus berperang, bendera akan bekibar dan kita akan terus berlaga di gelanggang selama-lamanya sampai kau binasa."

Begitu menderunya suara itu, suara yang berasal dari sosok yang berdiri tegap, orang tersebut tak lain Layang Samba. Kilat menyambar bersamaan suara guntur yang menggelegar. Itulah Sumpah Layang Samba yang pernah diucapkannya belasan tahun silam, sumpah yang telah mengikatkan dirinya pada raja iblis; Sang Amuraja Durjana.

Mata bekas senopati kepercayaan Gajah Mada itu memerah, tubuhnya diselimuti kabut hitam yang seperti menggulung, dari dalam asap itu timbul bulatan-bulatan warna putih kemerahan yang dapat menyilaukan mata. Layang Samba memandang Kamandanu dengan tatapan tajam, tatapan kebencian.

Kamandanu sampai terlonjak dari tempat ia berdiri, dadanya bergetar hebat saat sumpah itu mengalun di dalam pendengaran. Ia menyadari gelagat bahaya mengancam, kembali ia berserah diri pada Yang Maha Kuasa, sembari menerapkan kekuatan Naga Puspa Krisna hingga ke puncak.

Saat itulah benturan hebat terjadi. Tanpa dapat dilihat oleh mata orang kebanyakan, sesosok bayangan berkelebat dengan suara yang nyaring memekikan telinga menyambut benturan Layang Samba.

Kamandanu berdiri dengan wajah pias, ia menyaksikan dua kekuatan yang beradu di udara, malam yang pekat berubah terang benderang, sinar kemerahan yang berasal dari tubuh Layang Samba bahkan menyilaukan pandangan. Lamat-lamat kemudian Kamandanu menyadari bahwa sosok yang datang dengan suara yang memekikan telinga itu adalah putranya, Jambu Nada.

Tubuh Jambu Nada melayang ke udara mendapat tiga benturan hebat dari Layang Samba, berikutnya terhempas di antara bebatuan besar. Tubuh itu diam tidak lagi mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.

"Kamandanu, pergilah dari sini!" Wirot berkelebat mendekati Kamandanu, menghadang Layang Samba yang berdiri dengan kukuh menatap keduanya dengan sorot yang tajam.

"Tapi Paman ..."

"Cepatlah sebelum terlambat, di antara kita harus ada yang selamat," ujar Wirot yang yang masih diselimuti ketegangan.

Kamandanu sebenarnya tidak ingin meninggalkan Wirot di sini sendirian, namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Putranya terlihat mengalami luka parah dan belum diketahuinya nasibnya. Dengan berat hati ia berkelebat memburu tubuh Jambu Nada yang tergeletak, berikutnya lelaki yang tidak lagi muda itu mengerahkan segenap kekuatannya membangunkan kekuatan Seipi Angin untuk meninggalkan bukit itu.

Layang Samba tidak ingin melewatkan kesempatan ini, saat itulah ia menyeleretkan sebuh sinar dari kedua matanya, namun ia terlambat beberapa waktu, sebab yang berdiri di hadapannya adalah lelaki bertubuh gendut.

Wirot yang berdiri tegak dengan menerapkan Brajamusti, membenturkan tubuhnya pada sinar yang timbul dari mata Layang samba dan benturan itu tidak dapat terelakan.

Apa yang terjadi pada Wirot sangat mengerikan, Aji Bramustinya seperti tidak berpengaruh pada Layang Samba, tubuh Wirot tiba-tiba mengering dari ubun-ubunya keluar darah yang menyembur sangat deras, saatnya berikutnya tanpa daging yang tersisa Wirot merenggang dengan menggenaskan.

Layang Samba menggeram, sebab Kamandanu tidak lagi tampak di hadapannya. Sumpah serapah dari mulutnya terdengar lantang, hutan itu dibakar dengan matanya, goa yang ditutupi semak-semak hancur berserakan menjadi debu. Pohon yang berada di bukit itu pun terbakar, hangus menjadi arang. Setelah merasa puas Layang Samba terduduk dengan wajah yang memerah.

Bekas Senopati kepercayaan Gajah Mada itu melangkahkan kakinya gontai, namun setelah beberapa langkah anak muda itu berhenti, tepat di depannya tergeletak tubuh Arya Dwipangga. Ia menggoyangkan tubuh Arya Dwipangga dengan kakinya, ketika melihat tanda kehidupan Layang Samba kemudian membopong tubuh Arya Dwipangga dan berkelebat menembus hutan yang berubah menjadi gundul.

***

Alunan hari mengitari kodratnya, ufuk timur memerah di batas cakrawala, tapi tampaknya burung-burung begitu malas untuk keluar dari sarang, kejadian sebelumnya sungguh meruntuhkan keberanian sebagian alam untuk kembali menatap sang matahari yang terus menaik. Sunyi lengang terasa menyayat di bukit itu.

Dari bawah bukit, dua warga pedukuhan yang berpakaian sederhana. Mereka adalah pencari kayu bakar di pinggiran hutan itu. Mulut pemuda di samping seseorang yang lebih tua darinya tampak menganga, ia menatap wajah orang tua di sampingnya. Ternyata orang tua itu juga menunjukan hal yang sama, mulutnya sedikit menganga dengan kening berkerut memandang ngeri menyadari hal ganjil di bukit itu.

"Ada apa dengan hutan ini Paman?" tanya pemuda berpakain corak tanah agak gelap.

"Entahlah Ngger, Paman pun baru kali ini melihat hal seperti ini. Bertahun-tahun Paman selalu ke sini mencari kayu bakar atau pun berburu kijang di dalam sana," jawab orang tua di sampingnya menunjukan kesan wajah yang tak jauh berbeda dari pemuda di sampingnya.

"Paman, hutan ini begitu sepi, suara burung pun tidak ada."

"Benar Engger, lihat randu alas ini hangus terbakar sampai ke pucuk tidak berdaun lagi, akar-akarnya pun hangus, tanah ini hangus."

"Apakah mungkin petir yang menyambar hutan-hutan di sini, Paman?"

"Kemungkinannya ada Ngger, tapi kalau hanya petir tidak akan membabat pohon yang sedemikian banyak, bahkan hangus sampai ke akarnya."

"Paman, lihat ada darah!" seru pemuda itu, kini wajahnya memucat.

Orang yang di panggil paman itu kemudian mendekati pemuda yang berjongkok dengan wajah pucat.

"Darah ini masih basah belum mengering, lihat Ngger ada pakaian!" kata orang itu kemudian dengan menggunakan sepotong kayu mengambil pakaian di dalam genangang darah.

"Sebaiknya kita kembali saja, Paman!" usul pemuda dengan wajah yang makin pucat.

"Baiklah, kita harus melaporkan hal ini pada Ki Buyut"

Tidak beberapa lama kemudian merebaklah cerita itu ke seluruh warga, mereka pun berduyun-duyun naik ke atas bukit menyaksikan sendiri pohon-pohon yang meranggas tak berdaun, tanah yang terbakar, tidak ada sedikit pun tanda kehidupan di sana, namun tidak ada satu pun di antara mereka yang mampu menjawab, penyebab hutan yang menjadi aneh.

Note

*gubahan karya Istijab pada Sandiwara Radio Mahkota Mayangkara, sedikit saya ubah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top