Episode Empat Belas bagian Satu (Ratu Majapahit)

"Silakan duduk," ucap Arya Tadah. Sorot matanya teduh memandang kedua tamunya. Senyum mengembang di bibir tuanya. Kumis tebal yang sudah putih menghiasi wajah, meski demikian tidak menutupi kewibawaannya sabagai mahapatih.

Pandangannya lalu ditujukan pada Kamandanu, ''Tuan aku undang untuk menjadi saksi sekaligus meminta pertimbangan Tuan dalam pembicaraan ini."

Ia terbatuk batuk beberapa saat lalu membenarkan posisi duduknya.

''Mungkin kalian mendengar kabar dari beberapa orang bahwa aku dalam keaadan sakit. Itu benar adanya, ah maafkan aku ternyata semakin tua semakin cengeng."

Gajah Mada yang duduk bersila tersenyum, "Walaupun dalam keadaan sakit tapi hamba rasa Gusti adalah orang yang sempurna ilmu luniwihnya.''

Arya Tadah tertawa perlahan, lalu ia berkata, ''Ilmu yang sempurna hanya milik Hyang Widhi. Ilmu yang kita miliki seujung ireng pun tak akan sampai di hadapan-Nya, lihatlah Tuan Kamandanu yang sebagaimana pun tinggi ilmunya namun tak pernah merasa orang yang berilmu."

"Ah, Gusti Mahapatih berlebihan,'' sahut Kamandanu dengan seutas senyuman.

Kembali Arya tadah tersenyum, ia meyakini Kamandanu adalah orang yang memiliki ilmu yang jauh melebihinya. Sosok pendekar yang tentu sulit mencari tandingnya, serta mempunyai jiwa kastria yang tentu tak dapat diragukan.

''Aku sangat ingin Tuan Kamandanu mendengar apa yang akan aku bicarakan ini, karena Tuan adalah sahabat mendiang Gusti Prabu Senggramawijaya sekaligus salah satu orang yang berjasa mendirikan negeri ini,"

Berubah warna muka Kamandanu kemudian ia berkata, ''Aku hanya seoarang abdi, Gusti. Sepantasnya aku melakukan kewajibanku, namun seperti yang Gusti lihat aku bukanlah lelaki berjiwa kasatria, tak mampu melanjutkan tugas-tugas dari junjunganku."

''Aku mengerti dengan pilihan Tuan dan hal itu tidak menyangkut dengan jiwa kastria Tuan. Seantero negeri ini tidak ada yang meragukan jiwa kasatria Tuan, bahkan Gusti Ratu Rajapatni menganggap Tuan adalah orang yang pantas untuk di hormati,'' balas Arya Tadah.

Sesaat Mahapatih Arya Tadah berdiam diri, menghela napas. Menatap tamunya bergantian.

''Baiklah, akan aku lanjutkan apa yang sebenarnya yang ingin kusampaikan,'' katanya dengan suara yang sedikit serak, ''seperti yang kita ketahui pula, besok adalah wisuda Gusti Putri Tribhuna naik tahta memimpin negeri ini, maka dengan keadaanku ini yang semakin hari semakin menua jadi sepantasnya Gusti Putri Trbhuana didampingi seorang yang masih muda, berjiwa tangguh dalam menderma baktinya bagi Majapahit."

Orang tua itu terdiam kembali melepas batuknya. Orang yang selama ini mendampingi Jayanegara membangun Majapahit.

''Aku berniat mengundurkan diri dari mahapatih,'' katanya pelan.

Udara di bilik itu seperti bergelombang. Seolah gempa datang mengguncangkan tempat duduk Gajah Mada dan Kamandanu. Keduanya membisu.

''Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya," lanjut Arya Tadah, "untuk mendampingi raja kita yang baru, perlu orang baru pula yang tentunya memiliki pemikiran kedepan, berwawasan luas dan menjunjung cita-cita yang tinggi demi kemajuan Majapahit."

Ia kembali menjedakan ucapannya guna membaca guratan pada kedua tamunya ini. "Hal ini sudah aku utarakan pada Gusti Ratu Rajapatni," katanya lagi, "Gusti Putri Dyah Tribhuana dan beberapa Rakryan Menteri dan mereka sependapat denganku untuk menunjuk seseorang yang sesuai dan berhak. Mereka pun memberi mandat kepadaku untuk memilih orang yang tepat itu. Aku sudah memikirkan hal ini masak-masak, jauh hari sebelumnya aku juga sudah menimbang."

Lalu tatapannya ditujukan pada Kamandanu, "Bagaimana menurut Tuan jika aku menunjuk Gajah Mada sebagai penggantiku?"

Ketika namanya disebut, Gajah Mada yang tadinya duduk bersila dengan kepala tegak kini tertunduk. Matanya terpejam rapat, ia berusaha menenangkan pacu jantungnya yang berdetak lebih dari biasanya. Ia mendengarkan dengan saksama jawaban Kamandanu.

''Aku pun sependapat Gusti Mahapatih," kata Kamandanu sambil mengangguk, "jauh sebelumnya, ketika pertama kali bertemu dengan Adi Mada aku merasa bahwa dia memiliki pembawaan yang berbeda, biasanya naluri sulit diingkari."

''Mada," kata Arya Tadah meminta perhatian Gajah Mada yang masih menunduk, "kau dengar sendiri pendapat Tuan Kamandanu, orang yang kita ketahui sahabat sekaligus teman seperjuangan pendiri Majapahit ini."

Gajah Mada menghela napas panjang lalu diembuskan perlahan, mengusir sesak-sesak yang menyempit peredaran darahnya. Ia berusaha mencari kata-kata yang pantas untuk diucapkan.

"Hamba tidak akan menolak sebuah tanggung jawab, hamba merasa terhormat dengan penilaian Gusti Mahapatih dan Kakang Kamandanu."

''Bagus Mada," potong Arya Tadah, warna mukanya tampak senang, "kau menyadarinya, agar hati dan jiwamu tenang sebelum wisudamu kau harus menikah, sebab dengan adanya pendamping dapat menenangkanmu serta memberi pertimbanganmu ketika menjalankan tugas besar-besar, tidak ada yang lebih dekat dengan kita sebagai lelaki selain istri kita sendiri."

Gajah Mada duduk dengan perasaan gamang. Ucapannya belumlah selesai dan sepertinya disalah artikan, belum habis ketegangannya kini ditambah dengan tuntutan dari mahapatih. Ia tidak ingin berlama-lama dengan pertimbangan, baginya lebih baik menyampaikan daripada terjadi kesalahpahaman.

"Ampun Gusti Mahapatih, hamba menerima tanggung jawab ini namun belum untuk sekarang." Ia menghela napas, memberikan kesempatan pada Arya Tadah untuk mencerna kata-katanya. Terlihat wajah mahapatih sedikit mengerut.

"Aku tak ingin orang di luar sana berpendapat bahwa pengangkatanku semata-mata kedekatanku dengan Gusti Mahapatih. Terlebih dengan keadaan Majapahit sekarang masih dalam suasana kacau. Sebagaimana yang sudah kulihat dengan mataku sendiri Sadeng meminta perhatian lebih.

"Seperti tekad hamba yang selalu hamba utarakan, hamba menyerahkan jiwa dan raga hamba untuk Majapahit. Setiap napas, gerak langkah bahkan detak jantung hamba persembahkan bagi Majapahit. Karena itu mana mungkin hamba dapat membahagiakan seorang wanita, mana mungkin hamba mampu memberikan kasih sayang pada seorang wanita. Wanita adalah makhluk yang hamba hormati, tak pantas kalau mereka tersiksa bila bersama hamba, jadi jauh sebelumnya hamba sudah memutuskan untuk tidak menikah selama Majapahit belum mencapai apa yang hamba cita-citakan."

Mahapatih Arya Tadah dan Kamandanu terkejut mendengar pernyataan Gajah Mada, mereka tahu benar tekad dan cita-cita Gajah Mada, namun tidak dengan seluruh hidupnya, bahkan pengorbanan yang luar biasa tanpa sedikit pun memikirkan diri sendiri, di luar sana banyak pejabat pemerintahan Majapahit yang benar-benar mendarma baktiknya bagi Majapahit namun mereka masih juga memikirkan hal pribadi dan memberikan kebahagian pada diri sendiri. Sebuah keyakinan yang jarang atau beum ada dilakukan punggawa Majapahit. Malahan banyak dari mereka yang hanya menjadikan jabatan sebagai pemuas diri, membahagiakan dirinya dengan menyandang jabatan dapat mengangkat kehormatan diri dan keluarganya.

Darah Kamandanu berdesir, ia seperti tersihir dan takjub akan sosok orang yang begitu besar mencintai negerinya, tanpa cela, tanpa sedikit pun memberikan kebahagian pada diri pribadi, yang dimana hidupnya diserahkan bagi kepentingan negerinya. Sebuah penyerahan yang agung laksana bumi yang memberikan kehidupan pada makhluk di atasnya.

Arya Tadah terdiam, napas beratnya terdengar liar. Gajah Mada bukan hanya menolak untuk menjadi mahapatih tapi juga menolak permintaanya untuk menikah. Jika Gajah Mada meminta waktu sebelum pengangkatannya sebagai Mahapatih adalah hal wajar namun untuk tidak menikah adalah sesuatu yang sulit diterimanya.

"Tidak dapatkah kau mengubah pendirianmu, Mada? Kalau untuk sementara kau belum mau menerima jabatan itu aku mengerti, namun sebagai orang tua aku mengharapkan kau merasakan kebahagian atas kerja keras kau selama ini. Paling tidak untuk mendapatkan kasih sayang dari seorang wanita,''

Arya Tadah bersuara lemah disertai sorotan mata yang bagaikan seorang bapak menasehati anaknya.

"Hamba mengerti dengan niat baik Gusti Mahapatih dan selama ini hamba sudah menganggap Gusti Mahapatih adalah orang tua hamba sendiri, tempat hamba mengadu dengan semua masalah termasuk hal ini pun hamba sampaikan, namun hal itu telah menjadi tekad hamba jauh sebelumnya, ini demi cita-cita hamba dengan negeri yang hamba cintai ini,'' sahut Gajah Mada dengan menunduk hormat.

Arya Tadah terpaku, tidak dapatlah ia mengubah pemikiran seorang, bahkan seorang raja sekalipun tak berhak mengubahnya apalagi masalah yang sangat pribadi seperti ini.

"Semoga Hyang Widhi selalu bersamamu, Mada,'' membahtin Arya Tadah.

Sementara Kamandanu terpaku dalam diam, ia tidak menduga jika Gaja Mada memiliki pemikiran yang demikian, sebuah pemikiran yang sulit pula ia terima. Kemudian ia menilik diri sendiri, bagaimana dengan dirinya. Apakah yang dapat di banggakan untuk Majapahit, apakah dirinya mempunyai prinsip hidup, paling tidak mempunyai ketekatan hati. Ia hanya dapat menggelengkan kepala.

***

Seorang gadis bermuka ayu baru saja merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Pikirannya melintasi penginapan sederhana itu. Rasa letih memang menderanya setelah melakukan perjalanan jauh, namun rasa kantuk itu masih belum ada tanda-tanda menampakan diri.

Ini adalah pertama kalinya ia menginjakan kaki di Kotaraja. Jalan yang tertata rapi, bangunan-bangunan yang megah dan pernak pernik lainnya mampu membuatnya berdecak kagum. Ia juga harus melewati berbagai pemeriksaan, setiap gang-gang kecil pun ia menemukan prajurit yang terus menerus berjaga.

"Kemana aku mencarinya, cukupkah kantungan logam ini untuk menghidupiku selama mencarinya di sini, kalau tidak dapat menemukannya lalu kemana lagi aku harus pergi?'' katanya pada diri sendiri.

Pikirannya kemudian bergeser pada permasalahan lain, tentu saja ia masih mengenang nasib biyungnya, yang harus mendampingi romonya yang mana memiliki perlakuan aneh. Ia pun heran dan bertanya beberapa kali kenapa biyungnya memilih setia meski romonya bukanlah lelaki yang baik.

Baginya seseorang yang bernama lelaki adalah makhluk yang sulit untuk di pahami, di matanya lelaki adalah sebuah kejahatan, baginya lelaki hanya makhluk yang tamak, sampai kemudian pandangannya itu berubah ketika sesorang yang bermakhluk lelaki pula mengisi angan-angannya.

"Apakah dia juga seperti romo? apa semua lelaki sama, ah kenapa baru sekarang aku memikirkannya. Hei apa yang aku pikirkan, aku bukan mencari dia untuk ... ah pikiranku kacau, aku perlu dia karena tidak ada lagi yang pantas aku cari, aku hanya ingin pergi jauh dari pedepokan!"

Lama ia digelisahkan hatinya sendiri, entah berapa kali mebolak-balikan tubuh rampingnya, kadang duduk dan kadang berdiri lalu kembali tubuhnya dijatuhkan di atas amben.

"Ada satu petunjuk bagiku, ya tabib," ucapnya sambil mebangunkan tubuhnya, "aku akan mencari tabib di Kotaraja."

***

Malam semakin menanjak, namun keramain Kotaraja belumlah menjadi sepi, banyak kesenian yang di selenggarakan, berbagai pertunjukan belum juga usai, para pedagang tampak bersemangat menggelar dagangnya.

Terlebih di dalam kawasan istana, para tamu undangan dari berbagi kalangan mulai berdatangan, mereka mengisi tempat-tepat yang sudah di sediakan pihak istana. Suasana di kaputren pun demikian. Para emban hilir mudik, menyiapkan perisapkan untuk esok hari.

Di bilik Dyah Tribhuana. Pintu bilik masih terbuka namun tidak lebar, di sudut ranjang, ia membelai rambut putri kesayangannya.

"Ananda, besok menjadi hari yang bersejarah bagi kehidupan Ibunda, dengan demikian kedepannya tugas Ibunda semakin berat, banyak hal yang harus Ibunda lakukan. Pandai-pandailah kau membawa diri, lakukanlah sesuatu yang berguna untuk Majapahit dan yang lebih penting kau harus berhati-hati dalam bersikap, sebab kau akan menjadi sorotan rakyat, putri dari seorang ratu, kau mengerti Ananda?''

Latta Manjari mengangguk manja, "Semoga Bunda dapat menjalankan amanah rakyat.'' Ia kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Dyah Tribhuana.

Dyah Tribuana tersenyum, matanya menyorotkan rasa bahagianya, ''Ternyata pemikiran Ananda sudah dewasa dalam menyikapi keadaan, mungkin perasaanmu juga sudah dewasa, Ananda?''

Latta Manjari tiba-tiba bangkit ketika mendengar sesuatu yang ganjil lalu manatap Dyah Tribuana, "Apa maksud Ibunda dengan perasaan dewasa?''

Putri Kedaton itu menggulum senyum, ''Ibunda tahu sesuatu tentangmu."

''Bibi Puya yang mengatakannya?'' dengan wajah serius Latta Manjari bertanya.

"Tanpa bibimu kasi tahu Ibunda pun sudah tahu."

"Apa yang Ibunda tahu?'' kata Latta Manajri mengoyangkan lengan Putri Kedaton itu, wajahnya bersemu merah.

"Ibunda tidak melarang dengan perasaanmu, namun bersikaplah yang sewajarnya. Kau harus pandai menjaga perasaanmu, ingat kau adalah seorang putri yang akan menjadi contoh orang-orang di luar sana, apa pun yang kau lakukan dapat menjadi buah bibir orang-orang. Rakyat senatiasa melihat dan mendengar tentang kehidupan seorang putri, jadi berikanlah mereka contoh yang baik, yang akan diterapkannya pula untuk kehidupan mereka, karena itu menjadi seorang Putri tidak ringan."

''Dia pemuda yang baik, seorang kastria yang menurut Ibunda mempunyai kesamaan dengan romonya yang Ibunda sangat hormati," lanjut Tribhuana.

''Ah Ibunda membuat aku malu saja,'' kata Latta Manjari dengan wajah yang tertunduk.

Dyah Tribhuawanna tertawa kecil, ''Kau tidak akan bisa membohongi Ibunda."

Latta Manjari hanya terpaku menunduk malu. Pintu rahasia yang selama ini ditutupi rapat ternyata bukan sebuah masalah bagi Dyah Tribhuana mengetahuinya.

''Sudahlah, kembalilah ke bilikmu, besok kau harus bangun pagi sekali. Kau harus selalu mendampingi Ibunda selama pernikahan agung!'' Kata Dyah Tribhuawanna kemudian kembali memeluk dan mencium pipi gadis cantik itu.

Latta Manjari mengangguk hormat, setelah mencium tangan dan pangkuan Dyah Tribhuana putri cantik itu beringsut lalu melangkahkan kakinya keluar.

Latta Manjari berjalan dengan perasaan yang masih dalam kebimbangan, rasa khawatir pun menghantui. Apa dia sudah kembali?

***

Rajawiwaha (Pernikahan Agung) siap dilaksanakan. Dimulai dengan upacara tukon, kemudian pidudukan, tawur, himayajna, paniagraha hingga arak-arakan sang winarang menuju pesanggrahan. Begitu khidmat segala upcara itu di laksanakan. Para nertaka penari gemulai dengan suara gamelan, gendang, dan gong bentar menghibur para tetamu yang menghadiri pernikahan agung. Setelah beberapa lama hiburan tersaji, Sang Winarang menuju Puri Pawarangan atau kamar pengantin yang terletak di kaputren.

Upacara pernikahan agung pun selesai dilaksanakan tepat matahari melewati puncaknya, seluruh penguasa nagara atau negeri bawahan, para pejabat tinggi Majapahit, dari menteri sampai para petinggi agama dan hukum Dharmmadhyaksa menuju witana, di mana tempat paseban agung dilaksanakan yang sekaligus pelaksanna wisuda Dyah Tribhuana

Ratu Rajaptni duduk di bale-bale persegi berukir manik-manik bercorak matahari, di bawahnya duduk Mahapatih Arya Tadah di atas dampar, di samping Ratu Gayatri duduk dengan manis putri-putri dan menantunya yang begitu gagah.

Setelah mengucapkan salam dan penghormatan pada Ratu Gayatri suasana di paseban agung itu sunyi senyap, hanya desahan napas dan detak jantung yang bergantian mengisi keheningan.

Kamandanu bersandar di tiang besar di ujung witana dengan kepala tertunduk. Ia terkenang puluhan tahun yang silam ketika masih menjabat sebagai salah satu petinggi Majapahit. Duduk di bale-bale dengan gagah dan wibawa Raden Wijaya memberikan seserohan pada abdi-abdinya termasuk dirinya. Dipejamkan matanya untuk mengusir kenangan yang sudah lama berlalu itu.

"Seluruh punggawa Majapahit yang begitu perkasa. Hari ini adalah hari yang kita tunggu-tunggu, seperti yang sudah aku tetapkan maka hari ini putri-putriku menjalani pernikahan agung."

Begitu tegas dan berwibanya sang Ratu Gayatri bersabda, para hadirin di paseban agung nampak menganggukan kepala dengan hormat dan senyuman mendengar sesorohan dari Ratu Rajapatni itu.

"Hari ini juga akan diadakan pelantikan ratu baru di Majapahit. Dengan demikian tempat dudukku ini akan di kembalikan kepada ratu yang berhak memimpin Negeri yang kita cintai ini. Prabu Ratu yang aku tunjuk adalah putri tertuaku; Putri Dyah Tribhuwanna yang akan bergelar Dyah Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa."

Bersamaan ucapan Dyah Rajaptni, suara dentuman gong pusaka Majapahit terdengar tiga kali. Menandakan terjadinya perpindahan tampuk kekuasaan.

Demikianlah wisuda itu berlansung dengan khidmatnya, satu persatu upacara pelantikan itu di laksanakan hingga Dyah Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa duduk di bale-bale kebersaran.

Seperti yang telah ditetapakan maka Prabu Ratu Dyah Tribhuawanna selain menjadi Raja Majapahit wanita yang anggun itu juga menjabat Bhre di Kahuripan, sementara suaminya Raden Cakradara atau yang begelar Sri Kertawardhana memimpin di Tumapel, adik kandungnya Dyah Wiyat yang bergelar Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menjadi Bhre di Kediri bersama suaminya Raden Kudamerta yang bergelar Rajasa Sang Apanji Wahninghyun.

Seluruh rakyat Majapahit bersuka cita menyambut Ratu baru mereka, dari mulut ke mulut telah tersebar bahwa Majapahit mempunyai raja baru yang akan menjadi junjungan, nama Ratu Dyah Tribhuana tersebar seantero Negeri Majapahit.

Di Jalan-jalan, di sawah, pergelaran dagang, rakyat membicarakan ratu mereka yang baru, tampak begitu antusias menyambut pemimpin yang baru ini, tapi tidak sedikit pula yang memicingkan mata, meragukan kepemimpinan Majapahit di bawah naungan seorang ratu

''Beliau adalah Ratu yang sangat arif,'' kata seorang pedagang yang duduk menjaga gelar dagangnya. Tampak ia telah berumur, memiliki banyak pegalaman di sepanjang hidupnya.

''Tapi apakah pantas seorang wanita menjadi raja di negeri yang besar ini?'' tanya temannya yang berkumis tebal sedikit sinis wajahnya.

''Kalau kau mengenal beliau dengan baik, kau tidak akan bicara seperti itu,'' sahut pedagang itu lagi dengan wajah masamnya. Wajahnya menggambarkan ketidaksenangannya atas ucapan temannya itu.

"Aku khawatir negeri bawahan banyak yang tidak terima,'' kata temannya yang berkumis sambil membetulkan barang dagangannya.

''Dulu ketika beliau berada di lereng gunung Lejar, beliau adalah pahlawan rakyat bersama Bhre Kediri Gusti Putri Dyah Wiyat, beliau hadir di tengah-tengah rakyat yang merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan mendiang Prabu Jayanegara,'' dengan wajah yakin memandang temannya yang berkumis.

Orang berkumis itu hanya terdiam, dengan wajah yang tampak tidak meyakinkan kata-kata temannya.

Sementara di sebuah penginapan seorang gadis berparas ayu baru saja datang dari jalan-jalanan Kotaraja, banyak tempat yang ia kunjunginya pada siang hari yang cukup terik itu, ketika sinar matahari mulai turun ia kembali ke penginapan.

Duduk di ambennya dengan wajah yang sedikit kusut memandang setumpuk kain yang terbalut rapi.

"Majapahit saja memilihi raja dari seorang wanita, sungguh wanita yang hebat. Aku tidak menyangka kalau selain pernikahan agung, aku juga menyaksikan wisuda Ratu Majapahit," katanya pada diri sendiri.

Lamat-lamat gelap mulai mengitari biliknya, seorang pelayan penginapan datang memberikan obor penerang pada, setelah mengucapkan terima kasih, kembali gadis itu duduk bersandar di amben.

''Bagaimana caranya agar aku bisa menemui tabib disini?''

Gadis ayu itu semakin gelisah, kakinya mulai berbolak-balik di ruangan yang tidak terlalu besar itu.

''Barangkali aku akan bertanya dengan pelayan saja, paling tidak aku harus mengetahui di mana dia berada,'' gumamnya sambil membenar rambutnya yang lurus jatuh di pundak.

Ia bergegas menuju tempat di mana para pelayan penginapan itu sering berkumpul, ia menemui pelayan wanita yang sudah berumur. Gadis itu dapat tersenyum lega, orang tua itu ternyata mempunyai pengetahuan yang cukup luas, mungkin karena sudah lama bekerja di penginapan itu.

Setelah mendapat keterangan, ia pergi menemui tabib yang cukup dikenal di Kotaraja. Kebetulan tabib itu adalah seorang wanita yang bila dilihat sebaya dengan biyungnya.

"Aku tidak tahu anak muda itu, Ndok,'' jawab tabib Kotaraja wajhnya tampak tenang.

"Apa Nyai mengenal tabib istana?''

"Kau akan ke istana, Ndok?" tanya tabib dengan mengerutkan dahinya.

"Iya Nyai"

"Sangat sulit untuk masuk ke istana dengan alasanmu yang seperti ini, Ndok. Aku kasihan mendengar ceritamu yang sedemikian rumitnya, apalagi mencari pemuda yang belum tentu dia berada di sana,'' ucap tabib wanita itu, memandang sendu gadis ayu di depannya.

Gadis itu terdiam, ia menyadari betapa sulitnya masuk ke istana apalagi dengan alasan yang belum jelas.

"Apa kita dari rakyat biasa bisa menjadi tabib di istana, Nyai?" tanyanya kemudian

"Kau berniat menjadi tabib, Ndok?'' tanya balik tabib wanita itu.

Gadis itu kembali terdiam, benar saja pikirnya kenapa tidak menjadi tabib, bukankah dengan menjadi tabib istana akan memudahkannya bertemu dengan pemuda itu.

"Nyai, maukah menjadikan aku murid?" tanya gadis itu menunduk. Seperti memohon pada wanita di depannya itu.

Wanita yang sudah cukup lama menjadi tabib di Kotaraja itu tersenyum.

"Aku mempunyai beberapa pembantu di sini dan itu aku rasa sudah cukup banyak. Aku bukannya tidak mau membantumu, Ndok, tapi ilmuku tidak akan mencukupi untuk bisa masuk menjadi tabib di istana, aku hanya menjadi tabib di Kotaraja namun tidak di Istana."

Wajah gadis ayu itu semakin sendu, harapannya menipis.

"Kalau kau memang berniat menjadi tabib, aku memiliki seorang guru namun cukup jauh dari sini, aku dulu tidak sampai dua belas purnama belajar bersama beliau karena aku harus mengikuti suamiku ke Kotaraja. Tapi dengan sedikit ilmuku ternyata dapat membantu warga Kotaraja."

Seketika wajah gadis berparas ayu itu berbinar

"Dimanakah itu Nyai? Apa aku bisa belajar di sana?''

"Tentu Ndok. Guruku adalah orang yang terbuka dalam menerima murid asalkan niatnya benar-benar menjadi tabib, pergilah ke bukit Penampihan di sana kau dapat menemui sebuah perguruan khusus untuk menjadi seorang tabib dan di sana banyak pula gadis-gadis yang seumuran denganmu,'' jawab tabib wanita tersenyum

Gadis ayu itu semakin bersemangat mendengar perkataan tabib wanita.

"Lebih baik aku mengabdikan diriku pada orang lain yang membutuhkan pertolongan, dengan begitu hidupku lebih bearti, daripada tinggal di padepokan dan siapa tahu dapat bertemu dengannya," gadis itu berbicara di dalam hatinya, sebuah harapan timbul.

Demikianlah, tekadnya sudah bulat, setelah mendapat petunjuk di mana letak bukit Penampihan esok harinya ia bermaksud memulai perjalanan ke bukit itu. Sesuatu yang di luar perkiraannya. Perjalanan hidup yang sama sekali tidak pernah ia duga. Gadis yang masih belia, berjuang dengan angan-angan yang masih tersimpan rapat dalam hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top