Episode Dua Puluh Lima Bagian Dua (Sisa Luka Perang)

Puspita berusaha membuka mata, ternyata tidak semudah yang ia kira. Ia pun berusaha menggerakan tubuhnya, ini malah lebih sulit. Ada apa dengan diriku?

Dalam mata yang terpejam, simpulan ingatan membawanya pada tanah yang lapang. Ia melihat Nyai Tantina mendesak lelaki tua. Mukanya terlihat dingin, dengan membabi buta menyerang lelaki yang ia kenal dengan nama Panumerta. Ia paham benar bahwa bila wajah biyungnya demikian maka kemarahanlah yang memendam dalam setiap perasanya.

Serangan demi serengan beruntun dilancarkan Nyai Tantina. Tubuhnya meliuk-liuk di udara, kemampuan yang demikian menjadi pertanda bahwa biyungnya berada di puncak kekuatan. Sedangkan lawannya dengan enteng berkelit ke sana dan kemari. Wajahnya pun terlihat tenang, seolah tidak sedang dalam berada adu tanding.

"Kaulah akar masalah ini," teriak Nyai Tantina tanpa henti melibaskan pedangnya, "kau yang meracuni pikiran suamiku dan kau juga yang tega membunuhnya. Tidak ada jalan lain bagimu selain kematian."

Orang tua itu tidak menjawab, ia hanya terkekeh dan kemudian dengan tangan menyilang, kaki kirinya menjulang ke atas, lalu dalam gerakan cepat tanpa dapat diikuti dan dibaca Nyai Tantina dengan telak menyentuh lambungnya. Akibatnya, wanita itu terpental. Ia meringkuk menahan perih di bagian perut.

"Bangsat, jahanam!" maki Nyai Tantina.

"Kau bukan lawanku, Nyai!" jawab Panumera dengan tenang. Ia berdiri dengan kedua tangan berada di balik punggung.

Nyai Tantina berusaha bangkit, dengan susah payah ia mendapatkan keseimbangan tubuhnya. Jarinya membentuk gerakan kembang. Lalu mengangkat kedua tangannya di atas. Pada saat yang demikianlah, ia melejit cepat dengan menggengam ajian komala agni di tangannya. Embusan angin yang ia lewati menciptakan hawa panas yang menyengat.

Puspita yang melihat kejadian di depan matanya menatap nanar, saat benturan itu terjadi tubuh Nyai Tantina melayang ke tas lalu menukik tajam ke bawah, batu cadas dengan segera menyambutnya tubuh biyungnya yang empuk.

"Biyung ...," teriak Puspita. Ia bergegas lalu memeluk tubuh wanita yang tergolek tanpa embusan napas pun dengan detak jantung.

"Kau mau menyusul biyungmu, Ndok?" tanya Panumerta dengan terkekeh.

Puspita mendelik, matanya bersimbah air. Hatinya panas, kemarahan pun berasa mengawang di ubun-ubunnya.

Sebagaimana hal yang dilakukan Nyai Tantina, ia melejit cepat ke udara lalu menukik siap menyarangkan puncak ajian komala agni yang ia kuasai. Namun ia haya mendapat ruang kosng. Dan lebih tercekatnya lagi adalah orang tua itu malah berada di belakangnya. Dan pada saat yang bersamaan ia merasakan sebuah pukulan yang amat berat. Layaknya anak bukit yang menghantam tubuhnya.

"Biyung ....," teriak Puspita dengan mata terpejam.

Ia merasakan tangannya digengam oleh seseorang. Setelahnya kembali tak sadarkan diri.

***

Suasana di pedepokan Sekar Wangi sibuk dengan kedatangan prajurit Majapahit bersama Gajah Enggon. Terlihat para cantrik dibantu oleh siswa pedepokan berlalu lalang mempersiapkan segala sesuatunya.

Matahari pun condong ke arah barat, awan hitam bergulung di atasnya, sepertinya akan turun hujan. Mungkin hujan itu sengaja turun membasahi bumi membersihkan darah yang mengering di tanah bekas pertempuran.

Dengan sigap Panjura memberikan perintah pada teman-temannya menyiapka tempat istirahat bagi pasukan kecil itu. Prajurit yang terluka segera mendapatkan perawatan. Sedangkan para tawanan ditempatkan di pondok yang cukup besar.

Para murid melayani tawanan itu dengan baik, bagaimana pun juga mereka adalah manusia yang membutuhkan makanan dan tempat istirahat. Tanpa banyak bicara para tawanan menurut apa saja yang diperintahkan. Di luar terlihat prajurit bersama murid-murid pedepokan menjaga sekitarnya, khawatir tawanan itu membuat kekacauan, apalagi di antara pasti ada pikiran yang putus asa, sangat berbahaya jika tanpa pengawasan.

Sementara itu di pondok utama, Ki Resi Rengga dibantu Latta Manjari dengan telaten mengobati Arya Kamandanu dan Puspita. Wajah Ayu Wandira terlihat semakin cemas. Kamandanu yang berada di bilik kanan itu masih tidak sadarkan diri, terlihat dadanya turun naik dengan lemah, pertanda dada lelaki tua itu menanggung beban yang amat berat.

Resi Rengga pun telah memberikan ramuan untuk mengobati memar yang menghitam di dada termasuk berbagai ramuan yang diharapkan dapat menyembuhkan dari dalam, namun pertanda Kamandanu akan siuman belum juga datang. Beberapa titik persendian Kamandanu terlihat mati rasa, karena itulah Resi Rengga berpasrah pada kehedak Yang Maha Kuasa.

Sedangkan Puspita sudah mulai siuman, walaupun gadis ayu itu belum mampu bergerak banyak, matanya masih tertutup rapat. Tapi terlihat jarinya sedikit demi sedikit bergerak pelan, Latta Manjari yang banyak mengetahui ilmu pengobatan mengerahkan segala kemampuannya untuk menyadarkan Puspita, dan syukurlah tanda-tanda itu telah menunjukan hasilnya, walaupun kondisi Puspita masih sangat mengkhawatirkan.

''Bagaimana keadaan Puspita Tuan Putri?'' tanya Ayu Wandira pelan.

"Tadi sudah sadar Eyang cantik," jawab Latta Manjari tanpa lepas menggengam jemari Puspita, "dia terus meracau, memanggil biyungnya."

Latta Manjari menoleh pada Ayu Wandira. Matanya sendu, bahkan terkesan merah.

Ayu Wandira berusah tersenyum, ia menggosok-gosok punggung Latta Manjari. Begitulah, ia menyadari sepenuhnya sebuah perperangan pasti menuntut nyawa, yang kemuidan saat usai maka jiwa mendapatkan kesakitan. Rasa kehilangan, kecewa dan marah menjadi satu seolah seperti tumpukan puing-puing bangunan rongsok.

''Kasihan gadis ini, sekarang dia hidup tanpa kedua orang tuanya," kata Ayu Wandira lirih dengan mata terhujam ke bawah di mana Puspita terbaring tanpa sadar kalau saat ini dirinya berada di pedepokan Sekar Wangi.

''Aku akan selalu menjaganya, Eyang cantik, '' sahut Latta Manjari.

Ayu Wandira kembali menoleh Latta Manjari. ''Kalian berdua mempunyai kemiripan, sama-sama mencintai dunia pengobatan", sahut istri mendiang Pranyam itu. "Eyang yakin, Puspita senang bisa bersama Tuan Putri."

***

Matahari yang condong ke barat mulai tenggelam ditelan keremangan, wayah anak sore kini menghitam menyapu langit di sekitaran padepokan Sekar Wangi. Dari kejauhan tampak seorang cantrik dengan tergopoh-gopoh menghadap Resi Rengga yang sedari siang menjaga dan merawat Kamandanu yang masih tergeletak lemah di amben.

''Ada apa cantrik, tenangkanlah dirimu,'' kata Resi Rengga.

''Maaf Eyang Guru, aku ingin melaporkan bahwa Gusti Patih sudah tiba,'' jawab cantrik itu sambil mengatur pernapasannya.

KI Resi Rengga mengangguk pendek. ''Baiklah aku akan menemuinya. Kau sudah menyiapkan pondok untuknya?''

''Sudah Eyang Guru, tadi aku memerintahkan beberapa cantrik mengantarkan Gusti Patih," jawab cantrik itu, ''beliau bersama Anakmas Jambu Nada. Sepertinya Anakmas Nada tidak sadarkan diri''

Resi Rengga mengerutkan dahinya. ''Kau tetap di sini, jika Tuan Kamandanu siuman cepat kau kabarkan padaku,'' kata Resi Rengga.

Berikutnya Ki Resi Rengga meninggalkan bilik dimana Kamandanu dirawat. Lelaki Tua itu diantarkan seorang cantrik menuju pondok yang disiapkan khusus untuk Gajah Mada.

''Selamat malam Gusti Patih,'' sapa Resi Rengga dangan menunduk hormat.

Gajah Mada segera berdiri, dengan senyuman Patih Daha itu menyambut kedatangan Ki Resi Rengga. ''Malam Ki Resi, terima kasih dengan segala bantuan yang diberikan pada kami."

''Sudah menjadi kewajiban kami sebagai warga membantu negari kita yang sedang berjuang. Bukankah demikian, Gusti?''

Gajah Mada mengagguk pelan.

"Bagaimana keadaan Anakmas Jambu Nada?''

"Dia hanya memerlukan istirahat yang cukup banyak," sahut Gajah Mada seraya tersenyum.

"Syukurlah jika demikian, silakan Gusti Patih beristirahat. Segala keperluan Gusti akan dilayani cantrik di sini.''

''Bagaimana keadaan Kakang Kamandanu, Ki Resi?'' tanya Gajah Mada.

Ki Resi mengangkat wajahnya, kemudian perlahan mendekati tubuh Jambu Nada yang masih terbaring lemah.

''Tuan Kamandanu belum sadarkan diri," jawab Ki Resi Rengga, "segala upaya sudah aku serahkan, sekarang yang dapat kita lakukan adalah berdoa."

''Aku akan melihat keadaanya,'' kata Gajah Mada cepat.

"Lebih baik Gusti istirahat terlebih dahulu.''

"Aku tidak apa-apa Ki Resi, marilah kita lihat keadaan Kakang Kamandanu.'' jawab Gajah Mada meyakinkan.

Ki Resi Rengga mengangguk pelan, dengan hormat memberikan jalan pada Gajah Mada. Keduanya lalu meninggalkan bilik di mana Jambu Nada beristirahat.

"Ajian itu memang sangat menggerigis, jika orang biasa yang terkena maka tidak ada jalan untuk dapat hidup. Hanya kekuatan Hyang Widhi yang dapat memberikan keajaiban," kata Ki Ressi Rengga dengan suara yang rendah. Ia duduk berhadapan dengan Gajah Mada, di sampingnya, Kamandanu masil tergolek lemah di atas amben.

"Ki Resi," kata Gajah Mada sambil memegang pundak Kamandanu, "jika dalam beberapa hari keadaan Kakang Kamandanu belum juga membaik, aku akan membawanya ke Kotaraja. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, masih banyak tugas yang harus aku lakukan di Kotaraja.

"Maaf Gusti Patih, jika berkenan biarlah Tuan Kamandanu berada di sini. Aku akan merawatnya semampuku," sahut Resi Rengga. ''Aku khawatir jika Tuan Kamandanu dibawa dalam perjalanan jauh dalam keadaan seperti ini malah memperburuk keadaanya."

Gajah Mada diam dalam rangka berpikir, ia kemudia memahami ucapan Resi Rengga dan sangat masuk akal. Kamandanu memerlukan istirahat yang cukup. "Baiklah Ki Resi, jika nanti keadaan Kakang Kamandanu sudah membaik aku berharap Ki Resi dapat mengabarkannya padaku,'' jawabnya kemudian.

''Aku juga menitipkan Ayu Wandira, sepertinya Ayu Wandira tetap berada di sini cukup lama untuk merawat Kakang Kamandanu."

''Tentu Gusti Patih, dengan senang hati. Gusti Patih tidak perlu khawatir, keperluan Tuan Kamandanu dan Ayu Wandira akan kami layani dengan baik,'' balas Ki Resi Rengga tersenyum.

''Terima kasih Ki Resi."

Demikianlah, untuk beberapa hari lamanya Gajah Mada bersama pasukan kecilnya beristirahat di pedepokan Sekar Wangi. Setelah beberapa hari lamanya keadaan Kamandanu belum membaik. Hanya Puspita yang menunjukan perkembangan yang melegakan.

Gajah Mada kemudian memutuskan untuk kembali ke Kotaraja. Dengan berat hati Latta Manjari harus ikut bersama Gajah Mada ke Kotaraja. Walaupun sebenarnya ia ingin ikut merawat Kamandanu, namun ia sadar bukanlah orang biasa yang dapat berlama-lama. Apalagi Dyah Tribhuna sangat mengharapkan kehadirannya.

Pagi sekali, ketika matahari baru memerah Pasukan kecil meninggalkan hutan Alas Larang. Puspita yang belumlah terlalu pulih berada di tandu bersama Latta Manjari. Sedangkan para tawanan yang sebagian besar bekas murid padepokan pancura Agni tetap di Sekar Wangi, mereka mendapatkan pendidikan moral di pedepokan itu dan Gajah Mada pun sudah menyerahkan sepenuhnya pada Ki Resi Rengga.

***

Di dalam sebuah goa yang gelap. Arya Dwipangga, lelaki tua dengan rambut yang memutih itu menyandarkan tubuhnya pada dinding batu. Obor kecil dinyalakan untuk dapat memberikan penerangan dalam ruangan.

Pundaknya terlihat menghitam bekasa darah yang mengering, tidak ada yang luka pada tubuhnya, darah itu berasal dari mulut Jasa Wirat yang ia temukan di hutan yang terlihat terbakar. Ia sama sekali tidak berniat mencari orang ini, namun langkahnya sendirilah yang membawanya pada tubuh Jasa Wirat tergeletak tak sadarkan diri.

Darah segar beberapa kali pula menyembur dari mulut Jasa Wirat, dengan pengetahuan yang dimiliki ia berusaha memberikan pengobatan. Sudah beberapa hari ini ia dan Jasa Wirat menjadi penghuni goa itu, ia tidak dapat meninggalkan lelaki muda itu lantaran jasanya yang terlalu besar.

Arya Dwipannga mendesah, rambutnya yang panjang dibiarkan bergerai di pundak. Pakaian yang sebenarnya bukanlah kain biasa terlihat lusuh, penampilannya memang sangat menyedihkan. Ia sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya yang awut-awutan. Harapan dan cita-citanya kembali musnah, kenyataan pahit. Butuh waktu lama mempersiapkan, namun hasilnya adalah kegagalan, ia mendapat luka hati yang semakin dalam.

Sekarang ia semakin gamang.

Lamat-lamat ia mendengarkan sebuah langkah pelan menyisir mulut goa, ia memasang pendengarannya dengan seksama, ia berkelebat menuju mulut goa dan matanya tertuju pada sosok tubuh yang dikenalinya dengan baik tergulai lemah.

"Layang Samba,'' desisnya,

Ia menghampiri bekas senopati itu. Ia memeriksa keadaan Layang Samba, terasa denyut nadi yang sangat lemah. Arya Dwipannga merasa tidak memiliki pilihan lain. Dengan demikian sekarang ia memiliki dua beban, yang mana keduanya pernah berjasa besar padanya. Ia mendengus dengan tatapan dingin.

***

Nyanyian burung malam memeriahkan kedatangan sang gelap. Angin malam pun membelai lembut. Pedepokan Sekar Wangi masih disibukan merawat tawanan yang terluka. Mereka yang sembuh dipisahkan ke pondok dengan penjagaan ketat.

Lelaki muda yang berasal dari Kurawan mendesah pelan. Pemuda yang bernama Pragolopati itu duduk menatap obor yang menyala, di sampingnya, para tawanan lain sudah pulas. Saat itulah pendengrannya mendegarkan suara aneh. Suara yang seperti berasal dari dalam tubuhnya.

"Keluarlah dari padepokan ini, pergilah ke arah selatan dan temukan goa yang terlindungi dua pohon beringin besar, di atasnya terdapat air terjun."

Pragolopati mendengarkan suara itu dengan saksama, cukup lama ia menunggu namun suara itu tidak lagi terdengar, akhirnya ia simpulkan sebuah pesan untuknya. Tapi sekarang yang menjadi permasalahan bagaimana ia dapat meninggalkan padepokan ini.

Lama ia berpikir, sesaat kemudian dengan tersenyum ia menatap obor yang menderip-drip, ia baru saja mendapat sebuah solusi dari masalahnya. Pragolapati berbaring dan ikut terlelap bersama teman-temannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top