Episode Dua puluh Enam Bagian Satu (Sumpah Sang Amangku Bumi)

Satu purnama terlewati.

Malam semakin meninggi, langit germerlap dengan bintang-bintang. Bulan memang belum tampak, ia masih membutuhkan kesiapan beberapa hari lagi baru menampakan diri untuk menghisai dunia malam. Embun malam mulai membasahi pelataran di jalanan Kotaraja. Lampu minyak kelapa yang berwadahkan tembikar berderip-drip ditup angin. Beberapa titik sudut menempatkan prajurit jaga yang masih bergerombol dan sesekali melewati jalanan batu.

Di sebuah bangunan yang megah masih dalam kawasan Kotaraja. Duduk dengan membentuk lingkaran beberapa pembesar Majapahit. Mereka adalah Anarjaya, Mano dan Lohak.

''Bagaimana Kakang?" tanya Lohak. Badannya tinggi kurus usianya hampir medekati empat puluh tahun. Tatapannya tertuju lurus pada sang pemilik pondok, seorang bangsawan dari Singhasari yang bernama Anaraja.

"Seperti yang aku perkirakan, Gajah Mada berada di Kotaraja pasti mendapat mandat dari Arya Tadah," lanjut Lohak menjelaskan arah pertanyaannya.

Anarjaya lelaki yang hidup setengah abad itu mengangguk pendek. Wajahnya menampakan garis kekecewaan. Pengharapannya memanfaatkan hubungan dekat dengan Cakradara ternyata belum menunjukan pengaruhnya terhadap Tribhuana untuk menempatkan ia pada jabatan penting di Majapahit.

''Pada saat kita berbicara dengan Prabu Ratu beberapa hari yang lalu bahasa isyaratnya meberikan kebebasan pada Kakang Arya Tadah memilih penggantinya," ucap Mano menambahkan.

''Aku masih menunggu keputusan Prabu Ratu," sela Anarjaya dengan nada kecewa. "Gusti Prabu Ratu-lah yang dapat menetukan akhirnya. Aku berharap Raden Cakradara sudi memberikan saran dengan menyebut nama di antara kita."

Sebagai seorang bangsawan yang jelas asal usulnya, Anarjaya merasa lebih berhak dari siapa pun untuk menduduki kursi Mahapatih. Bila dilihat dari cara Arya Tadah memberikan perhatian tampak ia memang lebih condong pada Gajah Mada. Inilah yang dikhwatirkan Anarjaya.

Padahal sampai detik ini kejelasan siapa itu Gajah Mada masih simpang siur. Namanya melambung berkat kemampuannya dalam meredam pemberontakan Ra Kuti. Dan dalam beberapa tahun terakhir peran Gajah Mada dalam tugas-tugas penting Majapahit terlihat menonjol. Yang terakhir adalah kehebatan Gajah Mada mengatur siasat penumpasan pemberontakan Sadeng dan Keta satu purnama yang lalu.

Nama Gajah Mada semakin harum di kalangan istana, keterampilannya dalam ide-ide cemerlang selama pnumpasan Sadeng dan Keta dengan telak menampatkannya sebagai pahlawan.

Pertama, memancing Sang Ratu untuk terjun langsung ke medan perang dengan memanfaatkan putrinya angkatnya sebagai biang pemberontakan. Padahal menurut Anarjaya tidak mungkin seorang Gajah Mada tidak mengetahui bahwa Latta Manjari berpihak pada Majapahit.

Hal inilah malah menempatkan Tribhuana berada di pihak yang diuntungkan. Awalnya Tribhuana terkejut dengan alasan yang diberikan Gajah Mada, namun pada akhirnya ia menyanjung lelaki bertubuh gempal itu, ide yang tepat, dengan demikian Sang Ratu sendiri mendapatkan tempat di hati rakyat, pun dengan negara bawahan. Para Adipati semakin yakin bahwa Tribhuana adalah ratu yang layak duduk di kursi keprabonan.

Lalu yang kedua adalah keberhasilannya membujuk Latta Manjari untuk berpihak pada Majapahit. Para petinggi Majapahit menilai bahwa Gajah Mada menggunakan Arya Kamandanu sebagai ujung tombak untuk dapat memeluk kembali Latta Manjari dalam dekapan Majapahit, tentu saja dengan memanfaatkan kedekatan hubungan putra Kamandanu dan Latta Manjari. Malahan para pembesar Majaphit berpendapat, saat penculikan Latta Manjari adalah akal-akalan Gajah Mada agar rencananya dapat berjalan mulus.

Yang terakhir tentu saja kepandaian Gajah Mada mengatur siasat perang. Siapa yang menyangka bahwa lelaki bertubuh gempal itu bekerja sama dengan Raden Janaka dengan menyiapkan ratusan kapal. Andai saja kapal dan meriam itu tidak ada maka musnalah prajurit Majapahit di bawah kaki pasukan gajah Sadeng dan Keta.

***

Gajah Mada menyandarkan tubuh gempalnya di tiang yang berbentuk pilar besar. Tepatnya di pendopo tempat biasa ia menerima tamu. Ia memang menunggu kedatangan sahabatnya, beberapa saat yang lalu ia baru saja memerintahkan prajurit untuk memanggil Gajah Enggon di tempat kediamannya itu.

Jari-jari tangan kanannya ia tempelkan di lantai beralaskan tikar anyaman. Kaki kirinya ditengkuk sedangkan kaki kanannya dibiarkan berselonjor. Wajahnya mendongak ke atas, menatap langit berisikan bintang-bintang. Udara yang berasal dari puncak gunung Penanggungan memang mampu membuat bulu-bulu tangannya mengembang lantaran dingin yang berasa mencekik.

Di dalam dirinya ia memiliki hasrat yang mengebu-gebu, sebuah angan ia sematkan dalam memandang Majapahit. Baginya tidak ada cara lain untuk melihat wajah Majapahit dikenal di wilayah yang bernama nusantara kecuali ia memiliki posisi penting di Majaphit, di mana kekuasaanya tidak berbatas wilayah Daha saja seperti selama ini. Meski ia sudah mendapatkan isyarat dari Arya Tadah, namun ia mengetahui banyak suara-suara sumbang tentang dirinya.

Menjadi masalahnya adalah, ia sendiri tidak dikenali sebagai kerabat istana. Orang luar yang harusnya berterima kasih lantaran mendapatkan posisi penting sebagai patih di Daha. Hasratnya tidaklah padam, ia akan berusaha mengerahkan kemampuannya untuk mendapatkan posisi sebagai orang kedua di Majapahit tentu pula diakui oleh pejabat-pejabat lain. Sebab bila mereka tidak menyetujui pengangkatan dirinya maka sulit baginya menurunkan perintah pada orang-orang yang malah tidak menyukainya.

Masalahnya tidak hanya sampai di sini, beberapa saat yang lalu ketika ia menghadap Arya Tadah, kembali orang tua itu memintanya untuk membina rumah tangga. Membentuk sebuah keluarga yang memang pantas ia miliki sekarang dengan umur yang melewati angka tiga puluh.

Sejak berangkat dari Lemah Surat hingga sampai ke Kotaraja ini ia memiliki tekad untuk membuang kepentingan pribadinya lalu menempatkan Majapahit sebagai tujuan utama. Tak pernah sekali pun ia menjalin hubungan dengan perempuan mana pun, padahal di luar sana banyak wanita bangsawan yang berusaha mencuri perhatiannya. Namun ia tak pernah sekali pun bergeming. Hingga beberapa tahun ini, semuanya terbantahkan oleh kehadiran seorang perempuan. Sialnya lagi adalah perempuan yang mampu menggetarkan hatinya itu bukanlah kebanyakan perempuan lain, terlebih lagi wanita itu sudah memiliki pendamping hidup.

Saat ini, acapkali ia mengutuk diri sendiri dengan perasaan yang membabi buta itu ternyata mampu menggelapkan matanya. Bersikap curang, yang bahkan hampir makhluk di bumi ini tidak ada yang mengetahui. Meski demikian, tetap saja wajah perempuan itu mengisi ujung-ujung malamnya, lalu ia menciptakan khayalan agar dapat menggapai kantuknya.

Lamunan lelaki berotot pemilik wajah manis itu buyar, lantaran dua orang sahabatnya menaiki anak tangga kemudian duduk bersila di hadapannya.

"Ada hal penting yang Kakang sampaikan?" tanya Gajah Enggon, pria yang umurnya belum menapaki angka tiga puluh itu tersenyum memandang Gajah Mada, di sampingnya Karang Gundala seorang prajurit yang baru saja mendapati posisi penting sebagai temenggung menggantikan Jala Tingkir yang makar dan tewas dalam peristiwa Sadeng-Keta.

"Kalian tentu tidak dapat menutup diri dengan desas-desus di istana ini," balas Gajah Mada. Matanya bergantian menatap Gajah Enggon dan Karang Gundala seolah mencari kebenaran dari ucapannya sendiri.

Karang Gundala mengangguk dengan mantap, "Ini sudah menjadi bagian dari kesempatan untukmu, Adi," ucap Karang Gindala perlahan. "Rakyat pun kurasa setuju. Adi memang layak menjadi Mahapatih di Majapahit ini. Sebaiknya kau mempersiapkan diri, masalah desas desus itu bukanlah perihal yang membutuhkan perhatian yang lebih."

''Benar Kakang," timpal Gajah Enggon, "Kakang tidak perlu khawatir dengan ucapan-ucapan bangsawan di luar sana. Mereka semua masih dalam pengawasan Gusti Mahapatih. Mereka tidak akan berani menentang jika memang sudah menjadi keputusan Gusti Mahapatih."

Gajah Mada diam sejenak lalu menekan kedua tangannya pada lantai. "Tidak sesederhana itu," katanya dengan suara yang amat direndahkan, "mereka juga berhak dengan kedudukan ini, terlebih memiliki tali kekerabatan dengan keluarga istana. Seandainya aku menduduki posisi Mahapatih apakah pengaruhku dapat berjalan dengan baik, sedangkan mereka sendiri memiliki pengaruh yang kuat dengan kelompok-kelompok besar yang berada di belakang mereka."

"Bukankah kami juga berada di belakangmu, Adi," kata Karang Gundala meyakinkan, "kami siap menghadapi segala kemungkinan, yang terburuk sekali pun."

Gajah Mada menghela napas. Kemudian memeluk tubuhnya sendiri.

"Untuk beberapa hari aku akan melakukan perjalanan jauh."

"Kemana?" tanya Gajah Enggon cepat, "berhubungan dengan masalah ini?'

Tidak mengangguk pun menggeleng Gajah Mada menjawab, "Aku memanggil kalian untuk meminta kalian memantau situasi di sini selama aku tidak berada di Kotaraja."

"Aku rasa itu bukan sebuah masalah," jawab Karang Gundala tenang, "namun sebaiknya Adi berpergian jangan lama, bagaimana pun juga kehadiran Adi di sini sangat dibutuhkan."

"Baiklah Kakang," Gajah Enggon menambahkan, "apa pun keperluamu secepatnya kembali."

Gajah Mada tersenyum sambil mengangguk. "Terima kasih atas kesedian Adi Enggon dan Kakang Gundala."

***

Ketika matahari mulai menyembul di balik ufuk timur seekor kuda yang gagah meninggalkan jalanan Kotaraja. Debu-tibis berterbangan di udara. Jalana yang memang telah lama tidak dibasahi hujan tampak kering. Namun persawahan di sekitaran desa-desa sepanjang jalan menuju Kotaraja tidak pernah kekurangan air, karena perairan yang cukup untuk kebutuhan pertanian.

Gajah Mada menggunakan pakaian orang kebanyakan. Hal ini memang sering dilakukannya jika dalam perjalanan, dengan berpakaian orang kebanyakan dapat mengurangi perhatian rakyat ketika melewati pedukuhan-pedukuhan.

Dengan caping yang lebar lelaki yang masih cukup muda itu terus memacu kuda hitamnya. Perjalanannya memang memakan waktu yang cukup lama, namun kuda yang digunakan juga bukan kuda biasa. Kuda ini sudah lama menemaniya sehingga tahu benar kecepatan yang dibutuhkan Gajah Mada.

Ketika berada di persimpangan Kota Daha, Gajah Mada mengambil simpang yang berlawanan. Masih dengan kecepatan yang sangat tinggi. Jalur yang diambilnya adalah jalan menuju ke arah gunung Semeru.

Di kaki gunung Semerulah itulah letak Lemah Surat, di sana terdapat pura yang dulunya pernah tinggal dua brahmana. Brahmana itu yang tidak lain romo dan biyung dari Gajah Mada.

Menurut pamannya, Mpu Gading. Orang tuanya menjadi brahmana dan menitipkannya pada pamannya itu. Banyak hal yang tidak diketahuinya tentang dirinya sendiri dan jarang sekali orang yang mengetahui asal usulnya. Hanya ke pada Mahapatih Arya Tadah ia pernah bercerita tentang asal usulnya.

Menurut pamannya pula, romonya bernama Curadharma dan biyungnya Nairatih. Ketika beranjak remaja Gajah Mada berguru pada Mpu Raga yang sudah lama tiada. Gajah Mada ketika masih remaja tidak terlalu menuntut pada pamannya tentang asal usulnya, ia merasa cukup mengetahui kejelasa orang tuanya, selebihnya dianggapnya sudah menjadi widi dari Yang Kuasa.

Gajah Mada muda tumbuh dengan bimbingan pamannya dan Mpu Raga, di kaki gunung Semeru, ia mendapatkan pendidikan baik olah kanuragan maupun pendidikan tentang pemerintahan. Awalnya Gajah Mada merasakan keanehan dengan gurunya; Mpu Raga, yang mengajarkannya tentang ilmu kepemerintahan, belakangan Gajah Mada mengetahui bahwa gurunya adalah kerabat dari Prabu Kertanegara. Kemudin Gajah Mada diarahkan untuk mengabdikan diri pada Majapahit lantaran Majapahit memiliki hubungan yang sangat erat dengan Singasari yang sudah runtuh.

Setelah bertahun-tahun terlewati , Gajah Mada memang tidak dianjurkan untuk kembali,

''Kau tidak perlu kembali disini Mada, serahkan raga dan jiwamu untuk kepentingan Majapahit,'' kata pamannya ketika itu.

Saat ini Gajah Mada merasa kepentingan tersendiri untuk kembali di tempat kelahirannya. Ia merasa memerlukan petunjuk dari orang yang sudah membesarkannya.

Gajah Mada ikut merasakan getirnya kehidupan, lelaki yang sangat berjasa pada Majapahit itu memulai semuanya dari bawah. Ia hanya menjadi prajurit bawahan, namun dengan segala tugasnya dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Tidak pernah mengecilkan arti sebuah kewajiban, apapun itu. Bahkan masalah yang sangat kecil sekali pun.

''Kau tidak perlu malu dengan segala jenis pekerjaanmu, apapun itu merupakan kewajiban yang harus kau lakukan dengan penuh tanggung jawab,'' kata gurunya yang selalu terngiang.

Menurutnya gurunya, manusia selau mengecilkan hal-hal yang sangat sepele, namun sebenarnya hal yang demikianlah yang dapat menghancurkan masa depan. Bayangkan saja jika nantinya mendapat masalah besar hanya karena berawal dari hal yang sepele, tentu menyesal kenapa sebelumnya tidak menyelesaikan hal sepele itu, membiarkannya tumbuh menjadi masalah besar yang sanggup menghancurkan kehidupan masa yang akan datang.

Pamannya juga pernah mengatakan, seoarang kasatria tidak memilah untuk kebenaran, tidak perlu melihat siapa orangnya tapi lihatah sisi kebenarannya. Seorang kastria yang berjiwa besar berusaha menerima kenyataan hidup, karena sesungguhnya segala masalah yang menimpa adalah buah dari kesalahan yang sebelumnya pernah dibuat.

Gajah Mada dikenal memiliki sifat yang keras kepala, teguh dengan pendirian.

''Kau perlu mempertahankan pendirianmu jika memang benar," kata Gurunya kala itu. "Kau memerlukan pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu, jika sudah kau putuskan maka pertahankan walaupun raga terpisah dari jiwamu. Itu merupakan pertanda bahwa kau seorang lelaki, mempunyai pendirian dan tekad yang kuat sehingga kau tidak dipandang lemah, hal ini dapat menjadikan dirimu sebagai pribadi yang segani oleh siapa pun."

Lantaran itulah yang kemudian melahirkan watak dan Gajah Mada. Memiliki kemauan yang keras dan tekad yang kuat. Ia selalu berusaha mencapai apa yang menjadi tekadnya. Segala uasaha akan dikerahkan dalam menjalankan ambisi dan tekadnya.

***

Semilir angin lembut membelai dedaunan, goyangan pucuk pohon seperti menari mengikuti iringan dan lambaian sang angin. Deritan pohon yang berselisih memberikan bunyi yang khas. Teriknya matahari terihat meredup seiring semakin menurunnya sang penguasa siang. Riak sungai kecil terdengar mencari celah di antara bebatuan. Di pinggirnya tampak pohon-pohon raksasa menjuntai, akarnya bahkan seperti sebatang pohon yang sudah tumbuh subur. Entah berapa ratus surya umur pohon itu.

Di sebuah bukit di mana terdapat pedukuhan yang tidaklah terlalu ramai, terdapat gubuk kecil namun terlihat kukuh. Tidak jauh dari tempat itu menjulang dengan anggun gunung Semeru yang perkasa. Dengan angkuh menyembul di antara pelataran bumi yang semakin menanjak.

Di kaki gunung itulah seseorang yang sangat dihormati Gajah Mada. Orang-orang pedukuhan memanggilnya Ki Gading. Orang yang menjadi panutan di sekitar pedukuhan. Namun di antara mereka tidak ada satu pun yang tahu jika keponakan orang tua itu adalah pembesar Majapahit. Mereka tidak pernah tahu bahwa dari sanalah sesorang yang sangat dihormati seantero Majapahit.

Memang demikianlah kepribadian Mpu Gading. Tidak pernah terlihat lebih dari orang lain. Hidupnya pun sangat sederhana, tidak pernah ia meminta warga membantunya, namun dengan ikhlas warga membantu dan menyiapkan kebutuhan lelaki tua yang terlihat sudah renta itu.

''Kinjar, ini adalah ponakan Paman. Paman memanggilnya Tole, sudah lama dia tidak pernah ke sini,'' kata Ki Gading sambil memegang pundak Gajah Mada yang duduk dengan menunduk.

Orang di panggil Kinjar tersenyum sambil menundukan badannya sebagai salam perkenalan.

''Paman, jika tidak salah umur Tole denganku tidaklah jauh berbeda, tapi selama aku hidup belum pernah aku melihatnya,'' sahut Kinjar dengan mata tidak lepas memandang Gajah Mada.

Ki Gading tertawa renyah, sambil menepuk pundak Kinjar.

"Mungkin kau tidak percaya Kinjar. Tapi bukankah kau ingat dulu Paman pernah meninggalkan pedukuhan ini cukup lama, memang hanya beberapa kali saja Paman membawa Tole ke sini. Itupun tanpa sepengetahuan warga termasuk dirimu."

''Pantas Saja,'' kata Kinjar.

''Sudahlah biarkanlah Tole beristirahat, cukup jauh perjalanan yang ditempuhnya,'' balas Ki Gading.

Kinjar mengerti, lelaki yang sebebenarnya belumlah tua namun karena pekerjaannya yang sangat berat membuat ia tampak seperti orang yang telah berumur. Kinjar segera meninggalkan pondok Ki Gading.

Malam pun datang, pondok Ki Gading berasa sangat sunyi, namun terasa sangat damai. Obor yang berada di sudut pintu temaram menerangi sudut ruang yang terlihat sempit, tapi bersih dan nyaman untuk ditempati.

''Bagaimana keadaanmu selama di Majapahit, Tole?'' tanya Ki Gading memecah keheningan.

''Berkat doa dan pengestu Paman keadaanku sangat baik dan aku berharap Paman pun demikian,'' jawab Gajah Mada tersenyum sambil membungkuk.

Lelaki renta itu tersenyum lirih sambil menganggukan kepalanya.

"Wajib kau sukuri apa yang akan kau dapatkan, itu merupakan sebuah anugerah dan juga sebuah cobaan buatmu,'' balas Ki Gading.

Gajah Mada mengangguk pelan dengan tetap menundukan wajahnya. Dia pham kenapa pamannya ini sudah mengetahui maksud dan tujuannya datang di Lemah Surat.

Lanjut Ki Gading, ''Besok pagi kita akan ke tempat perabuan orang tuamu.''

Kembali Gajah Mada mengangguk tanpa besuara.

''Le, Paman sudah tua," kata Ki Gading sambil mengelus jenggotnya yang putih menjuntai. "Lambat laun Paman akan kembali pada-Nya. Paman sangat bersyukur masih dapat bertemu denganmu. Kita tidak tahu apakah ini pertemuan terakhir atau masih di berikan kesempatan di lain waktu.

''Pesan Paman, tetaplah kau menjadi dirimu sendiri. Paman lihat perkembangan Majapahit cukup baik, namun ke depannya tentu masih banyak hal yang luar biasa yang kita semuanya tidak tahu. Kita hanya berencana, namun yang di ataslah yang akan menentukan. Oleh karena itu siapkan jiwa dan raga dalam menjalankan tugas dan kewajibanmu, namun jangan sampai kau lupa bahwa semua yang terjadi merupakan kehendakNya."

Sesaat Ki Gading memejamkan matanya, wajahnya tampak tenang, sunggingan senyuman di sudut bibirnya tua, namun tiba-tiba saja wajahnya mengerut sambil membuka matanya dengan berdehem kecil.

Gajah Mada tidak dapat melihat perubahan wajah pamannya itu, karena lelaki tua itu berdiri membelakanginya.

''Le, tugasmu kedepannya tentu lebih berat. Tetap waspada, berusahalah untuk menghindari kesalahan dalam mengambil keputusan,'' seloroh Ki Gading kembali.

''Segala pesan dan petuah Paman akan aku tanamkan dalam sanubariku, semoga Hyang Widhi memberikan restunya,'' sahut Gajah Mada pelan.

Ki Gading membalikan tubuhnya, dengan perlahan menghampiri Gajah Mada yang masih menunduk. Dengan seksama ia memerhatikan wajah Gajah Mada, rasa kerinduan dalam hatinya membuat tangan lemahnya tak kuasa untuk hanya berjuntai diam. Dengan lembut merangkul tubuh Gajah Mada.

''Kakang Curadharma, lihatlah putramu. Kini dia tumbuh dengan perkasa, tidak lama lagi namanya melonjak tinggi, seandai kau masih hidup tentu kau akan bangga melihat apa yang telah diraih putramu,'' lembut suara Ki Gading dengan tidak melepaskan rangkulannya.

Cukup lama paman dan keponakan itu saling merangkul dan hanyut dalam perasaan masing-masing. Malam yang terus beranjak menyaksikan dua manusia yang sudah lama tidak pernah bertemu. Angin malam pun semakin lembut membelai memberisikan pepohonan yang saling menyapa dengan deritan kecil.

Saat berikutnya, Ki Gading mempersilakan Gajah Mada untuk beristirahat. Gajah Mada tidak kuasa menolak, karena ia melihat pamannya seperti keletihan dan ingin beristirahat pula.

Ki Gading melangkah pelan, memasuki bilik kecilnya. Ternyata lelaki tua itu tidak segera tidur. Dengan duduk bersila Ki Gading mengatur pernapasan, perlahan memejamkan mata. Wajahnya memuncul kegelisahan, sesuatu mengusik hati dan perhatiannya. Dengan segenap perasaan lelaki renta itu menyerahkan segalanya pada Hyang Whidi.

Sementara itu Gajah Mada yang berada di bilik sebelah, mencoba untuk memejamkan matanya, terakhir kali ia tidur di bilik itu puluhan surya silam. Ketika itu Ki Gading mengajaknya untuk melihat pedukuhan Lemah Surat. Memang banyak hal yang tidak ia ketahui tentang pedukuhan kelahirannya ini, sebab ketika Gajah Mada mulai berjalan ia berada dalam asuhan gurunya, Mpu Raga.

Perlahan namun pasti Gajah Mada larut dalam buaian malam. Dalam tidurnya Gajah Mada melihat sosok tua berjubah putih melambaikan tangan. Orang tua yang berada di depannya terlihat tersenyum. Orang yang sangat di kenalnya.

''Guru,'' sapa Gajah Mada.

Orang tua itu tidak menyahut, hanya senyuman yang menghiasi bibirnya.

''Guru,'' ulang Gajah Mad.

''Ketika telah sampai pada masanya, ikhlaskanlah Mada,'' kata Gurunya masih dengan senyuman.

''Apa maksud Guru?''

''Pada saatnya kau akan tahu, Mada.Tidak selalu kegelapan itu berakhir buruk. Cuma sayangnya kegelapan itu datang di teriknya matahari dan di tengah wewangian bunga kehidupan. Sehingga membuat yang putih menjadi hitam ternoda."

Gajah Mada semakin tidak mengerti arah pembicaraan gurunya, dahinya mengerut. Baru saja ia ingin bertanya, sosok tua yang berdiri di sampinya itu sudah hilang, bak sinar mentari yang di terpa kabut. Tidak berbekas.

Gajah Mada hendak beranjak dari tempatnya berdiri, sapaan lembut terdengar dari belakang.

''Romo, biyung!''

Gajah Mada heran terhadap bibirnya sendiri, dengan tanpa diperintah memanggil sepasang orang di depannya dengan panggilan yang seumur hidupnya belum pernah terucap.

Dua pasang manusia dengan usia yang tidak muda lagi berdiri tersenyum memandang.

"Tidak perlu kau memikirkan apa yang dikatakan gurumu, Le,'' kata wanita yang dipanggil dengan sebutan biyung.

''Benar anakku,'' timpal lelaki bersorban putih. ''Semua yang telah terjadi dan akan terjadi merupakan widi dari Hyang Batara Agung, hitam atau putih itu semua menjadi widi yang harus kau jalani."

''Tapi Romo ...,'' kata Gajah Mada terputus.

''Sekarang cukup kau lakukan apa yang menjadi tugas dan kewajibanmu dengan sebaik-baiknya, untuk masalah ke depannya itu bukan urusanmu tapi sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang memang harus kau alami.'' kata lelaki bersorban lagi masih dengan senyuman.

''Anakku, Romo dan Biyung akan kembali. Percayalah apa yang ditentukan Hyang Batara Agung adalah kebaikan bagi umatnya,'' timpal wanita di sebelahnya.

Tidak sempat Gajah Mada berucap, dengan mulut yang sedikit terbuka ia melihat tubuh keduanya lenyap tidak berbekas.

Belumlah habis rasa heran yang bercampuk aduk dengan kekaguman, seberkas sinar begitu terang menyelimuti tubuhnya, lama sekali namun tiba-tiba saja dengan tanpa diduganya tubuhnya dihempaskan kabut hitam, hingga dirinya kembali dibawa ke alam sadar.

Dengan napas yang tersengal Gajah Mada berusaha bangun, dengan cucuran keringat lelaki gagah itu berhasil duduk.

''Kau bermimpi Le?'' tanya sebuah suara.

Cepat Gajah Mada melihat sekelilingnya, tepat di depan pintu biliknya, berdiri pamannya.

''Iya Paman,'' jawab Gajah Mada dengan sedikit gugup.

''Tenangkanlah perasaanmu,'' sahut Ki Gading. "Kau bertemu dengan orang tuamu dan Kakang Raga?''

''Iya Paman, walaupun aku belum pernah melihat mereka, tapi aneh bibirku dengan begitu saja memanggil mereka dengan sebutan Romo dan Biyung,'' jelas Gajah Mada sambil mengangkat alis.

''Tapi bagaimana Paman bisa tahu?'' tanyanya kemudian.

Ki Gading tersenyum, ''Paman hanya menebak saja, percayalah bahwa yang datang padamu itu adalah romo dan biyungmu."

Gajah Mada tahu siapa Ki Gading, karena itu ia percaya dengan apa yang dikatakan pamannya itu.

''Kata hati kecilku pun demikian, tapi aku mohon petunjuk Paman. Apa arti mimpi yang aku alami. Seperti bukam sebuah mimpi. Aku baru saja memejamkan mataku dan dengan cepat hal itu terjadi."

Ki Gading maju beberapa langkah. Ia menatap Gajah Mada dengan tatapan lembut. Sepertinya lelaki tua itu mengerti jika keponakannya itu berada dalam perasaan yang tidak nyaman.

''Seperti apa yang dikatakan Romo, Biyung dan Gurumu,'' kata Ki Gading dengan lembut. ''Paman pun hanya bisa mengatakan hal yang sama."

Darah Gajah Mada berdesir.

''Sudah Le, malam baru sepenggal. Sebaiknya kau lanjutkan istirahatmu,'' kata Ki Gading seraya membalikan tubuhnya.

''Tapi Paman, rasanya aku tidak bisa tidur,'' sahut Gajah Mada cepat.

Ki Gading terdiam sejenak.

''Pusatkan pikiranmu dan cobalah untuk melemaskan saraf dan ototmu, niscaya kau dapat kembali istirahat,'' kata Ki Gading kemudian melangkah pergi.

Gajah Mada menarik napas panjang. Sesaat lamanya lelaki gagah itu larut dalam pikirannya, angannya melayang mencoba menebak arti mimpinya itu, namun kembali ia mendengus karena tidak ada satu jawaban yang didapatkan.

***

Langit sebelah timur. Hutan yang sangat luas, dengan berbagai keunikan di dalamnya. Hutan yang mempunyai keanehan tersendiri. Tampak dua lelaki yang masih cukup muda menyusuri jalan yang dipenuhi pohon besar serta semak-semak yang cukup lebat. Dari pakaian yang mereka kenakan jelas mereka bukan orang biasa. Kain yang melekat di kepala menandakan mereka bagian dari satuan keprajuritan.

''Kakang, apakah masih jauh dari sini?'' tanya lelaki yang sedikit bertubuh kecil namun tegap.

''Tidak lama lagi Adi, setelah kita meleawati bukit kecil itu kita akan sampai di pedepokan,'' sahut teman perjalanannya.

Setelah keduanya meneguk minuman yang dibawa, kembali melanjutkan perjalanan.

''Sekitar setengah hari dari sisnilah, tempat kami menghadang pasukan Sadeng yang melarikan diri,'' kata orang yang di panggil kakang sambil mempercepat laju langkahnya.

''Sungguh aku sangat kagum padamu, Kakang, rasanya aku juga ingin ikut berperang membela negeri kita ini.''

Orang yang dipanggil Kakang tersenyum.

''Memang kita merasa bangga Adi, ikut dalam menjaga kedaulatan negeri kita, tapi sebaik mungkin perperangan itu harus kita hindari. Banyak korban yang berjatuhan, belum lagi jika tidak dikendalikan maka jiwa kita akan rusak, tidak ada rasa kasihan dalam peperangan padahal sebagai manusia kita harus saling mengasihi."

Prajurit yang berada di sebelahnya hanya terdiam. Ia hanya paham bahwa sebuah kebanggaanlah bila ikut dalam pasukan yang berada di medan tempur. Tentu, kerabat dan tetangga mengelu-ngelukan namanya, ia dianggap pahlawan dan pasti dihormati.

''Adi, lihat di sebelah sana mereka adalah cantrik-cantrik pedepokan," kata prajurit yang dipanggil kakang sambil menunjukan jarinya. "Kita akan menemui mereka."

Keduanya mempercepat laju langkah kaki. Mereka memang sengaja tidak menggunakan kuda memasuki hutan itu, kuda dititipkan ke pedukuhan terakhir sebelum memasuki hutan.

''Selamat siang Kisanak, maaf kami mengganggu pekerjaan kisanak. Apakah Kakang Panjura berada di padepokan?"

Cantrik itu menghentikan pekerjaannya. Kemudian melangkah mendekati kedua prajurit itu. Sesaat lamanya cantrik itu memperhatikan kedua prajurit dengan saksama.

''Apakah tuan-tuan prajurit Majapahit?'' tanyanya dengan tidak mengalihkan pandangan.

Prajurit yang bertanya itu tersenyum. ''Benar kisanak, kami berdua prajurit Majapahit. Cuma kami bertugas di Daha,'' jawabnya.

"Jika tidak keberatan, bolehkah saya tahu ada keperluan apakah tuan-tuan ingin bertemu dengan Kakang Panjura?'' tanya cantrik itu lagi.

"Tentu kami tidak keberatan Kisanak, kami berdua mendapat tugas dari Gusti Patih untuk mengunjungi pedepokan ini, karena aku sudah mengenal Kakang Panjura makanya aku ingin terlebih dahulu bertemu dengannya."

Cantrik itu mengangguk pelan.

''Baiklah. Marilah tuan-tuan ikut bersama saya. Akan saya antarkan untuk bertemu dengan Kakang Panjura."

''Terimakasih Kisanak, marilah,'' jawab prajurit itu kemudian mempersilkan cantrik itu berjalan mendahului.

Dengan tidak memakan waktu yang lama, ketiganya sampai di regol sebuah pondok yang kukuh dan tertata dengan rapi. Di depan regol itu berdiri seorang murid kepercayaan, orang itu tidak lain Panjura.

Dengan tersenyum Panjura menyongsong kedatangan kedua prajurit itu.

''Sungguh hari yang menyenangkan, aku tidak menyangka Adi Palitan akan berkunjung ke padepokan kami,'' kata Panjura dengan senyumannya.

Begitulah Prajurit yang bernama Palitan tampak senang setelah dapat bertemu dengan Panjura. Panjura segera menyiapkan hidangan untuk kedua prajurit itu. Dengan lahap, setelah seharian di perjalanan Palitan dan temannya menikmati hidangan yang disajikan.

Setelah menyantap hidangan, ketiganya berbincang-bincang diruangan tengah pondok. Saat itulah Palitan menyampaikan maksud tujuannya datang di padepokan Sekar Wangi.

''Kakang Panjura, kami mendapat tugas dari Gusti Patih untuk melihat keadaan Tuan Kamandanu. Mohon Kakang dapat mengantarkan kami menemui beliau.'' kata Palitan.

Panjura mengangguk pelan.

''Marilah kita ke pondok utama untuk menemui Eyang Guru."

Palitan tidak ingin berlama-lama dalam menjalankan tugasnya, untuk itu ia bersama temannya dan Panjura menuju pondok utama menemui Ki Resi Rengga.

"Mohon untuk menunggu barang sejenak di gondok ini. Aku akan meminta izin terlebih dahulu pada Eyang Guru."

Palitan tidak dapat menolak, dengan mengangguk Palitan duduk bersama temannya di gondok kanan pondok utama padepokan Sekar Wangi. Sesaat lamanya keduanya menunggu, berikutnya dapat melihat beberapa orang keluar dari dalam ruangan utama.

Mereka nampak menuju gondok dimana Palitan dan temannya menunggu.

''Syukurlah Tuan Kamandanu sudah pulih,'' kata Palitan sambil berdiri menyongsong orang-orang yang datang itu.

Lelaki yang sudah berumur dengan jubah putih tersenyum memandang Palitan. Arya Kamandanu bersama Ki Resi Rengga dan putranya, Jambu Nada serta keponakannya Ayu Wandiria.

''Ternyata Hyang Batara Agung masih memberikan kesempatan padaku untuk dapat menikmati dunia-Nya sampai hari ini,'' sahut Kamandanu. "Marilah kita duduk di sini sambil menikmati padepokan yang terlihat asri dan tenang ini."

''Maaf Tuan-tuan prajurit, kami tidak dapat menyambut kalian dengan semestinya,'' sela Ki Resi Rengga.

''Ah, ini sudah lebih cukup Eyang guru. Kami sudah mendapatkan sambutan yang istimewa sebelumnya dari Kakang Panjura,'' sahut Palitan.

''Kau berlebihan Adi, aku hanya memberikan makanan dan minuman sekadarnya,'' balas Panjura.

Sesat mereka saling menanyakan kabar dan berbincang ringan seputar padepokan dan juga tentang keadaan Majapahit yang mulai membaik.

''Maaf Tuan Kamandanu dan Eyang Guru. Kami tidak dapat berlama-lama di padepokan ini, kami harus segera melaporkan kembali tugas yang sudah kami laksanakan ini,'' kata Palitan setelah beberapa saat mereka berbincang-bincang.

Resi Rengga dan beberapa yang jadir di gondok itu mengangguk, mengerti dengan tugas-tugas keprajuritan yang diemban Palitan.

Ayu Wandira yang cukup lama mengamati pembicaraan itu kemudian ikut berbicara, mengajukan keinginan hatinya.

''Paman, aku sudah rindu dengan Darma. Jika Paman mengizinkan aku ingin ikut kedua prajurit ini ke Daha."

Sesat Kamandanu terdiam, tampaknya lelaki itu menimbang sesuatu. Matanya kemudin berpaling pada Ki Resi yang manggut-mangut di tempatnya duduk.

''Ki Resi, rasanya keadaanku sudah pulih. Aku sangat berhutang budi dengan Ki Resi, namun aku tidak bisa berlama-lama di pedepokan yang nyaman ini. Masih ada beberapa hal yang akan kukerjakan dan juga ingin menemui cucuku yang saat ini cukup lama berpisah dari biyungnya."

''Sudah menjadi kewajiban sebagai manusia saling tolong menolong, jika itu sudah menjadi keputusan Tuan, tentunya saya tidak bisa menghalangi. Namun jika berkenan sebaiknya Tuan berangkat besok pagi agar terasa lebih segar,'' balas Resi Rengga ramah.

''Prajurit, jika kalian tidak keberatan marilah bersama kami berangkat besok pagi. Tapi jika kalian memang ada keperluan lain silakan mendahului kami,'' kata Kamandanu.

Sejenak Parlitan terdiam, kemudian mengangguk pelan.

''Sebenarnya tidak masalah berangkat besok atau sekarang, karena tetap saja akan bermalam di perjalanan. Mengingat Tuan juga akan ke Daha, sebaiknya kami menunggu juga sampai besok dan bersama-sama ke Daha.''

''Baiklah jika demikian, untuk saat ini silakan kalian beristirahat dan besok pagi sekali, kita akan berangkat bersama-sama,'' kata Kamandanu lagi sambil tersenyum.

Demikianlah, kedua prajurit utusan Kota Daha itu bermalam di Sekar Wangi. Keduanya menginap di pondok Panjura.

�9�

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top