Episode Dua Puluh Empat Bagian Satu (Pelarian Sang Durjana)
Malam kian mendekati fajar, di kaki langit mulai menampakan kemerahan. Padang yang menjadi saksi peristiwa Sadeng kini hanya tinggal debu yang masih mengapung memenuhi udara dan mulai dijatuhi embun subuh. Riak sungai Bedadung mengalir dengan lancar menuju muara di mana ratusan kapal yang bersandar untuk berteduh.
Pasukan Majapahit pun sudah berada di Istana Kadipaten bersama Dyah Tribhuana, mereka yang berada di sana disambut oleh rakyat yang masih setia pada Majapahit. Rakyat yang selama ini tertekan dengan keinginan petinggi Sadeng. Namun di antara mereka kebanyakan kaum perempuan dan anak-anak. Sedangkan lelakinya baik lelaki remaja maupun dewasa banyak yang gugur atau pun kini menjadi tawanan Majapahit.
Para tawanan pun ditempatkan di tanah yang lapang sekitar Istana, penjara di Kadipaten tidak cukup menampung para tawanan itu. Mereka di jaga ketat oleh prajurit yang bergantian.
Sementara itu rombongan kecil dengan pemimpinnya yaitu Gajah Mada terus memburu jejak pasukan Jasa Wirat yang berhasil meloloskan diri. Pada pasukan Gajah Mada itu terdapat Kamandanu, Gajah Enggon, Ayu Wandira, Latta Manjari, Puspita dan Nyai Tantina. Hari telah menjadi siang ketika semakin jelas mendapatkan jejak dari pasukan Jasa Wirat, bersama mereka setuju pasukan itu mengarah pada pesisiran pantai.
''Jangan-jangan mereka bersembunyi di padepokan Puncara Agni, Paman?'' tanya Ayu Wandira pada Kamandanu.
Saat ini untuk beberapa lama mereka beristirahat untuk membuka bekal di sekitaran hutan Alas Larang.
"Bagaimana menurutmu Adi Mada?" kata Kamandanu yang justru bertanya pada Gajah Mada.
"Sepertinya tidak Kakang, lihatlah padepokan itu tadi terlihat lengang dan dari telik sandi melihat jejak mereka justru ke arah pesisiran pantai," sahut Gajah Mada.
"Sebaiknya kita tetap menuju pesisiran Kakang, jejak itu jelas mengarah kesana," timpal Gajah Enggon meyakini perkataan Gajah Mada, "bukankah kata seorang pencari kayu tadi menyatakan bahwa saat matahari baru muncul terlihat orang berkuda dengan jumlah yang cukup banyak melintas ke arah sana."
Gajah Mada mengangguk. "Telik sandi dan pencari kayu tadi nampaknya memberikan keterangan yang sama."
"Biarkanlah untuk beberapa saat prajurit melepaskan lelahnya, Adi," timpal Kamandanu sambil membenarkan posisi duduknya.
Gajah Mada membenarkan, wajahnya tersenyum melihat prajuritnya yang sudah tidak mampu menahan ngantuk. "Tentu Kakang, mereka sangat kelelahan. Lihatlah beberapa di antara mereka tidur dengan posisi duduk. Mereka yang bertarung dari sore semalan hingga dinihari tadi tentu benar-benar kelelahan."
Ditambah belaian angin yang lembut dan suasana sejuk semakin membuat prajuritt lelap, mungkin tidur paling nikmat yang mereka rasakan. Perjuangan antara hidup mati baru saja dilewati, beberapa kali di antara mereka mengucap syukur masih diberi kesempatan untuk dapat menghirup segarnya udara hingga siang ini. Dalam hati mereka juga sangat bangga dipilih untuk ikut bersama Gajah Mada.
Diantara mereka juga terlihat Latta Manjari dan Puspita yang masih terlibat dengan pembicaraan peristiwa di Sadeng. Nyai Tantina dan Ayu Wandira tersenyum tulus menatap kedekatan dua gadis itu. Puspita terlihat tidak canggung lagi dengan Latta Manjari walaupun tetap saja rasa hormatnya tidak akan lepas pada putri angkat Dyah Tribhuana itu.
"Dulu aku bertemu dengan Kakang Jambu Nada di sekitaran hutan ini, di sebelah sana!" kenang Puspita menunjukan jarinya ke arah barat.
"Bukankah di sana letak padepokan Puncara Agni Kangmbok?" tanya Latta Manjari, matanya mengikuti arah yang telunjuk Puspita.
Puspita mengangguk tersenyum. "Benar Tuan Putri. Di sana memang tidak terlalu jauh dari padepokan, saat itu aku dan biyung baru saja selesai latihan."
''Kalau itu aku sudah tahu Kangmbok," ujar Latta Manjari tersenyum, "bukankah berapa kali Kangmbok bercerita kejadian itu."
Puspita menunduk. Wajahnya memerah, walaupun tidak ada yang mengetahui suasana hatinya saat ini. Apa benar dirinya sudah sering membicarakan pertemuannya dengan Jambu Nada pada Latta Manjari, kenapa ia bisa lupa dan harus berulang kali bercerta, yang jelas pertemuan itu adalah sesuatu yang menyenangkan baginya.
"Sekarang di mana dia?" kata Puspita lirih, yang ternayata di dengar Latta Manjari.
"Dia siapa Kangmbok? Kakang Jambu Nada?"
Puspita yang masih menunduk tidak menjawab.
"Aku pun mengkhwatirkannya Kangmbok, semoga Hyang Widhi selalu bersamanya. Selain Paman Mertaka aku juga ingin mencari jejak Kakang Jambu Nada," kata Latta Manjari.
"Hei, kenapa Tuan Putri mencemaskan adik Eyang?" Sela Ayu Wandira tersenyum, sedari tadi wanita itu mendengarkan pembicaraan Latta Manjari dan Puspita.
"Ah, memangnya Eyang Cantik tidak mengkhawatirkannya. Lagian bukan hanya aku, Kangmbok Puspita pun demikian," sahut Latta Manjari dengan rona merah yang menghiasi wajah.
Ayu Wandira hanya tertawa lirih.
"Bukan hanya kita saja Tuan Putri, tapi kita semuanya," tukas Ayu Wandira. Lanjutnya, "Lihatlah Paman Kamandanu lebih banyak berdiam diri, walaupun Paman tidak menunjukan kecemasannya, tetap saja sebagai seorang orang tua tentu mengkhwatirkan anaknya."
Sesaat keempat makhluk yang berhati lembut itu berdiam diri, masing- masing dengan pemikiran dan segala pertanyaan yang membebani benak mereka.
Ayu Wandira yang walaupun mulai menerima kejadian atas musibah yang menimpa mendiang suaminya, namun tetap saja dari relung hatinya seakan menjerit apalagi peristiwa itu terjadi tepat di depan mata. Putri Meishin itu berusaha menenangkan perasaanya dengan mencoba berpikir bahwa yang terjadi merupakan widi dari Yang Maha Kuasa.
Belum lagi masalah Arya Dwipangga. Wanita cantik itu berusaha untuk tidak menyalahkan romonya. Pahit rasanya ketika mengetahui romonya berjuangndemi Kadipaten yang makar terhadap negeri Majapahit. Kini rasa benci itu tumbuh semakin menebal.
Lain halnya dengan yang dipikirkan Nyai Tantina dan Puspita, mereka masih mengenang Ki Mertaka yang salah langkah, tidak menyadari bahwa selama ini dimanfaatkan oleh orang tua bongkuk dan Jasa Wirat. Nyai Tantina merasa bersalah lantaran belum sempat mengatakan dan mengingatkan hal tersebut pada Ki Mertaka. Bahkan Puspita huga semakin bertambah kecemasan dengan menghilangnya Jambu Nada, ia berusaha untuk tidak memkirkan masalh tersebut, terlebih lagi gadis ayu dari padepokan Puncara Agni itu tahu dengan hubungan istimewa antara Latta Manjari dan Jambu Nada.
Senada dengan Latta Manjari, tidak adanya Jambu Nada dalam kancah perperangan membuatnya bertanya-tanya dengan keberadaanya, lalu juga memikirkan Mertaka. Di matanya, Ki Mertaka adalah lelaki yang setia terhadap mendiang ayahanda; Nambi, rela berkorban demi apa saja untuk Nambi, ada rasa bersalah yang terbesit dari hati, tentu Ki Mertaka kecewa mengetahui ia lebih membela Majapahit, padahal selama ini Ki Mertaka berjuang untuk dirinya, demi nama Mahapatih Nambi.
Demikianlah setiap manusia mempunyai masalah masing-masing walaupun diantaranya tetap ada yang berkaitan, sehingga dibutuhkan kerja sama antara sesama. Manusia pada dasarnya dihadapkan pada maslah agar semakin dewasa dan bijak dalam menghadapi hidup yang penuh dengan tanda tanya. Kehidupan yang fana hanya menjadi jalan menuju alam yang lebih kekal, di mana tempat semua makhluk berada.
Masalah sebenarnya sebuah pembelajaran untuk menunjukan kepribadian yang akan tumbuh. Manusia yang berhasil melewati masalahnya dengan bijak pada akhirnya dapat menemukan sebuah kebanggaan, namun sebaliknya manusia yang berpikiran kerdil mencoba melewati masalahnya dengan jalan yang singkat, sehingga cara yang kotor pun akan ditempuh demi menyelesaikan masalah. Demi mencapai tujuan yang baik tapi dengan cara yang kotor, melanggar aturan norma tentunya bukan keinginan dari Yang Maha Kuasa, karena manusia yang demikianlah adalah mausia yang hanya memuaskan keinginan lahiriah, keinginan pribadi dengan memanfatkan apa saja, tidak peduli apa itu hak apa itu kewajiban.
Matahari menanjak naik. Saat itulah Gajah Mada memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan. Terlihat prajurit pun sudah semakin segar setelah menikmati bekal yang mereka bawa serta dapat tidur barang sejenak, paling tidak menghilangkan penat dan letih. Meraka adalah prajurit pilihan yang memang sengaja dipilih Gajah Mada, rata-rata mempunyai daya tahan tubuh yang kuat lantaran mendapatkan pelatihan khusus.
Maka kembali iringan itu melanjutkan perjalanan ke arah pesisiran pantai, setelah cukup lama berada di atas punggung kuda, mereka di kejutkan dengan suara auman dan deru pohon yang bertumbangan.
"Bukankah itu Kakang Jambu Nada, Paman Patih?" tanya Latta Manjari pada Gajah Mada.
"Benar Tuan Putri, sebaiknya kita jangan terlalu mendekat, itu sangat berbahaya!" jawab Gajah Mada mengingatkan.
''Adi Mada, rupanya pasukan Wirat berada di sekitaran tempat ini," kata Kamandanu berbisik pada Gajah Mada, "kita akan berjaga-jaga di sini, sangat sulit dan berbahaya jika kita ke sana."
Gajah Mada mengangguk, membenarkan perkataan Kamandanu. Matanya diedarkan ke seluruh penjuru, namun seperti mengguratkan kekecewaanya yang dicari tidak dapat terlihat oleh matanya. Kemudian dia bertanya pada Kamandanu.
"Dimana pasukan mereka?" tanya Gajah Mada dengan terus mengedarkan pandangannya.
"Mereka berlindung di atas bukit, yang menjorok itu!" tunjuk Kamandanu.
Akhirnya Gajah Mada dapat melihat walaupun samar, bukit yang menjorok memang dapat mengaburkan pandangan siapa pun.
"Apakah mereka melihat kehadiran kita?" kini Gajah Engon yang bertanya.
"Kita belum tahu, tapi tidak mungkin Jasa Wirat dan Ki Panumerta tidak mengetahui keberadaan kita," sahut Kamandanu.
"Baiklah, kita akan mengawasi dari sini. Kewaspadaan kita harus ditingkatkan!" ujar Gajah Mada pelan.
****
Pertarungan yang awal mulanya tidak jauh dari muara Bedadung bergeser jauh,dan kini menempatkan keduanya berada di tengah-tengah hutan Alas Larang. Layang Samba tidak menduga bahwa lawannya mampu bertahan hingga tengah hari begini, dan sekarang ia meyakini lelaki berpakaian hijau lumut itu adalah Jambu Nada.
Dengan perubahan olah kanuragan serta fisik semakin membuat Layang Samba geram. Kebenciannya kini berlipat-lipat dari sebelumnya.
Dengan bertumpu pada kaki kirinya, Layang Samba berputar cepat sebagai landasan kaki kanan yang mengayun deras berputar menyambar. Jambu Nada yang melayang itu kaget melihat jebakan yang siap menjemput . Ketika masih di udara dan mumpung masih sempat, Jambu Nada menggeliat dengan perhitungan yang cermat, tangan kanannya berubah menyambar kepala. Berbalik Layang Samba yang terkejut menghadapi perubahan serangan yang tak terduga itu. Layang Samba tentu tidak mau kepalanya berantakan, maka bekas senopati itu bergegas menyilangkan kedua tangannya di atas kepala, lagi-lagi sebuah benturan terjadi. Jambu Nada melayang memanfaatkan kekuatan benturan itu dan hinggap ke tanah dengan mantap, sebaliknya Layang Samba terhuyung-huyung.
"Bangsat!" umpat Layang Samba. Bagaimanapun serangan yang baru terjadi itu sempat merepotkannya.
Layang Samba tidak perlu menunggu waktu lama untuk bersikap. Dengan gerakan cepat, kedua tangannya bergerak silang menyilang membuat gerakan kembang. Kedua kakinya merendah. Gerakan yang sama rupanya telah dipersiapkan oleh Jambu Nada.
Tatapan mata dua pendekar itu saling mengintai celah. Bahwa tenaga murni yang sama-sama tidak memiliki batas menyebabkan keduanya dapat bertahan sangat lama. Manakala demikian keadaanya, jelas kejelian dan perhitungan serta tingkat kemampuan bawah sadar yang dimiliki yang akan berbicara dan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Perang tanding itu pun berlangsung dengan cepat, merambah ke tingkat kanuragan yang makin tinggi. Seumur-umur prajurit-prajurit belum pernah melihat pemuda yang umurnya jauh berada di bawah memamerkan ketinggian olah kanuragan yang tak mungkin mereka jejaki. Ketika akhirnya menyaksikan yang belum belum pernah terjadi sebelumnya, mata mereka pun terbelalak.
Gesit bagaikan burung, Layang Samba menyerang susul menyusul dengan serangan yang bergelombang. Namun, Jambu Nada berubah menjadi batu karang. Gempuran ombak macam apa pun dahsaytnya ternyata tidak menyebabkan batu karang bergeser dari tempatnya. Menghadapi serangan beruntun itu, ada saatnya Jambu Nada harus melejit bagaikan ulat singgat justru mengangetkan lawannya serta memaksa Layang Samba berloncatan menghindar sambil mengumbar sumpah serapah.
Pertarungan terus berlangsung dengan dahsyatnya.
Kedua orang yang berlaga mengadu nyawa itu memeras keringat. Tataran ilmu kanuragan yang mereka gunakan merangkak selapis demi selapis ke tingkat yang lebih tinggi. Sambaran angin akibat serangan-serangan yang mereka lakukan benar-benar membuat orang-orang berada di sebelah menyebelah bukit terhenyak. Udara yang berubah drastis dalam kurun waktu singkat. Keduanya bagaikan penjelmaan makhluk kayangan, apa yang mereka lakukan sungguh mengerikan. Mereka yang menyaksikan seolah melihat ombak dan praha, sulit menebak siapa yang lebih tinggi ilmunya, apakah Layang Samba atau Jambu Nada.
Sang waktu merambat ke arah petang, tetapi belum terlihat siapa di antara keduanya yang akan unggul dalam perang tanding itu. Pada kesempatan berikutnya Layang Samba berbalik beberapa depa, masih dengan tatapan tajam.
''Jambu Nada," katanya dengan suara setengah berteriak. "Aku sengaja ingin bermain-main dulu denganmu. Aku ingin perlahan-lahan menyiksamu." Kembali melenting samba sambil terus melibaskan tangan dan sikutnya ke arah dada Jambu Nada.
"Tapi sepertinya apa yang Tuan lakukan tidak terjadi denganku, lihatlah aku sama sekali tidak merasakan bahwa Tuan menyiksaku," sahut Jambu Nada tenang sambil menahan sikut Jambu Nada dengan telapan tanganya.
"Mungkin saat ini belum Jambu Nada, tapi lihatlah nanti, kau tidak akan mampu bertahan berhari-hari," ujar Layang samba dengan suara keras sambil kakinya mengarah ke perut Jambu Nada.
"Baiklah, marilah kita lihat nanti. Aku pun ingin bermain-main dengan Tuan, rasanya sudah lama aku tidak menggerakan tubuhku," sahut Jambu Nada dengan tersenyum sambil mengerutkan perutnya kebelakang sehingga kaki Layang Samba tidak berhasil menyentuh perutnya.
"Kau banyak bersalah padaku Jambu Nada, pertama romomu membunuh bopoku, sampai mati pun aku tetap menungg kalian, kedua kau merampas Putri Latta Manjari dariku, dan ketiga kau telah menghalangiku menghancurka kapal-kapal laknat itu!" seru Layang Samba sambil semakin mempercepat serangannya.
Jambu Nada meloncat ringan menghindari libasan lutut Layang Samba yang hampir mengenai dagunya.
"Dengarlah Tuan Layang Samba, walaupun samar namun aku masih ingat apa yang dikatakan romoku saat pertama kali kita bertemu. Romoku mengatakan bahwa apa yang terjadi pada bopo Tuan, Paman Bajil, adalah karena perbuatannya sendiri, Paman Bajil membuat kekacauan di bumi Majapahit, sehingga romoku diperintahkan mendiang Gusti Prabu Senggramawiajya untuk menghentikan perbuatan Paman Bajil, dan lagian beliau tewas karena bermain-main dengan Pedang Naga Puspa yang Paman Bajil sendiri tidak mampu menguasainya.
"Dan lihatlah sendiri, ayahku romoku melepaskan biyung Tuan, Dewi Sambi karena Bibi Sambi sedang mengandung Tuan, romoku tidak sejahat yang Tuan pikirkan, berpikirlah jernih Tuan. Dendam hanya melahirkan angkara murka yang tidak akan habis-habisnya."
Sejenak Layang Samba tertegun mendengarkan pernyataan Jambu Nada, namun cepat ia mengusir rasa cengeng yang mulai mengusik perasaanya.
"Aku tidak ingin mendengar ocehanmu yang tidak berguna itu!" kata Layang Samba keras, "aku hanya ingin kau mati dan begitu juga dengan romomu, maka terbalaslah apa yang Kamandanu lakukan pada bopoku!"
Jambu Nada berpikir keras, mencari cara untuk melunakan hati pemuda yang berada di depannya itu.
Lanjut Layang Samba, ''Kau juga telah merampas Putri Latta Manjari dariku!"
''Aku tidak merampasnya dari Tuan, aku memang ditugaskan untuk menjempunya,'' jawab Jambu Nada.
''Apa pun alasamu kau telah mengusik ketenanganku'!' sahut Layang Samba. ''Kau dan Kamandanu sama saja, selama kalian masih hidup maka aku tidak akan tenang berada d dunia ini!"
Kini pemuda itu memutar tubuhnya bertumpu pada satu kaki, berikutnya tubuhnya melengking ke atas dan segera menyerang Jambu Nada yang tampak mengepakan tangannya, kemudian menyilangkannya ke dadaa. Kembali benturan dahsyat terjadi. Suara ledakan terpancar dan mengahancurkan bebatuan yang berada di sekitar tanah tandus tersebut.
Layang Samba terpental ke belakang, tapi segera kakinya menjejak pada tanah sehingga mampu menopang berat tubuhnya. Lain halnya dengan Jambu Nada pemuda dari lereng gunung Arjua itu terlihat termundur namun dengan cepat jemari kakinya mencengkram tanah agar tidak terjatuh.
Kembali keduanya berdiri tegak saling memandang.
Mata sinis Layang Samba nanar menatap Jambu Nada yang melihatnya dengan raut datar.
Sementara dari bukit yang cukup jauh dari tempat itu, Jasa Wirat bersama beberapa petinggi Kadipaten begitu serius melihat perang tanding yang terjadi.
''Aku tidak menduga anak muda itu mampu menahan serangan Adi Layang Samba,'' kata Jasa Wirat pelan
''Benar Wirat, ternyata anak muda itu mempunyai kekuatan yang sulit pula diukur ilmu kanuragannya,'' jawab Ki Panumerta.
Lain halnya dengan Arya Dwipangga yang termangu pada tempat duduknya, dengan menerapkan kanuragan yang dapat mendengarkan suara dari jarak jauh ia dapat mendengarkan pembicaraan lelaki berpakain hijau lumut dan Layang Samba. Kemudian memastikan bahwa pemuda yang dibicarakan Jasa Wirat adalah keponakannya.
''Sebenarnyalah dia adalah keponakan hamba Raden, karena itulah awalnya hamba berkeinginan keras menarik Adi Kamandanu berada pada pihak kita,'' terang Arya Dwipangga ikut terlibat dalam pembicaraan.
''Jadi dia putra Kamandanu?'' tanya Jasa Wirat
''Benar Raden, aku pun tidak mengira kekuatan dalam tubuhnya sungguh dahsyat,'' Jawab Arya Dwipangga.'' Yang aku tahu Kamandanu yang mempunyai kekuatan yang sampai saat ini belum mampu aku atasi."
Jasa Wirat menegerutkan dahinya.
''Kamandanu!'' desis keturunan Ken Umang itu, ada sesuatu yang mengalir dari hatinya. Mungkin sebuah pelampiasan atas kegagalannya.
''Sepertinya mereka terus mengawasi kita!'' Kata Ki Mertaka, ''apakah sebaiknya kita segera menyingkir?''
''Lihatlah Putri yang kau banggakan itu, sekarang berbalik menyerangmu, Kakang,'' kata Jasa Wirat mencoba menguraikan perasaanya, "Bahkan istri dan anakmu ikut bersamanya. Mereka tidak akan berani ke tempat ini, Kakang, jangan khawatir! Lagian kita tidak perlu menghindar jika hanya pasukan kecil itu."
Sesaat lamanya Ki Mertaka mencerna apa yang di katakan Jasa Wirat, namun satu hal yang membuatnya bertanya-tanya. Apakah benar yang dilakukannya selama ini, apakah ini jalan untuk membela mendiang Mahapatih Nambi.
Udara di sekitar tempat itu semakin panas, kekuatan dari Layang Samba benar-benar sampai pada tempat itu. Sehingga mereka yang berada di bukit yang terlindung itu menerapkan tenaga murni mereka masing-masing. Sedangkan prajurit diperintahkan bergerak mundur menjauhi.
''Kekuatan Komala Agninya juga berbeda,'' kata Jasa Wirat pada Ki Panumerta, "apakah ini juga telah didasari kekuatan Yang Mulia Durjana guru?''
Ki Panumerta menganggukan kepalanya pelan.
''Pada dasarnya sumber kekuatan Komala Agni berasal dari Yang Mulia Durjana '' jawab Ki Panumerta, "tapi sepertinya memang telah dialiri langsung kekuatan Sang Amuraja makanya terlihat berbeda jauh."
Mereka yang berada di bukit itu terdiam, hanya desahan napas saja yang terdengar semakin gemuruh, ada desakan yang harus membuat mereka bernapas dengan sedikit tersengal-sengal.
Jambu Nada terlihat jungkir balik di udara, serangan bertubi-tubi dari tangan Layang Samba membuat pemuda yang dulu tubuhnya bertotol hitam itu terus menghindar. Seleretan kemerahan nampak terus memburu tubuhnya yang begitu lincah berjungkir balik, bergerak ke kiri dan ke kanan, bahkan sesekali menukik ke atas kemudian mendarat dengan ringan ke sebatang dahan yang hangus.
''Jambu Nada, jangan hanya bermain-main seperti anak kecil yang berlompat-lompatan!" tukas Layang Samba berteriak, "marilah kita beradu kekuatan!"
Layang Samba semakin tidak telaten nampak menggeram melihat apa yang dilakukan Jambu Nada yang hanya berjungkir balik, bergerak ke kanan dan ke kiri untuk menghindar.
Jambu Nada turun dari dahan pojon, kemudian menjejak ringan di tanah yang yang kehitaman, hangus dibakar Layang Samba.
''Tuan lihatlah hutan ini menjadi rusak,'' sahut jambu Nada tanpa memperhatikan Layang Samba, ''lebih baik tenaga Tuan digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat."
Layang Samba mengerutkan keningnya.
''Rupanya dari tadi kau hanya meremehkan aku Jambu Nada!'' bentak Layang samba, ''bangsat dasar anak siluman!"
Jambu Nada tersenyum, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan makian Layang Samba, entah berapa kali sudah Layang samba menyebut dirinya anak siluman.
Lanjut Layang Samba, ''Baiklah Jambu Nada, bersiaplah sekarang aku tidak akan bermain-main!"
Tubuh Layang Samba sedikit bergetar, matanya terpejam. Dari bibirnya berkomat-kamit melafalkan mantra membangkitkan kekuatan Sang Amuraja Durjana, kalimat sebagai penyatu kekuatan Sang Amuraja Durjana.
Berikutnya terdengar suara Layang samba melengking mengucapkan sumpah yang puluhan tahun silam diucapkannya. Sumpah yang mengikatkan dirinya pada Sang Amuraja Durjana.
Tiba-tiba saja hari yang terang benderang mendadak menjadi gelap ditutupi kabut hitam yang tebal, disusul suara petir yang menggelegar. Itulah pertanda bahwa Layang Samba memanggil kekuatan Sang Amuraja Durjana.
Tubuhnya segera diselimuti kabut kehitaman yang semakin tebal, dari tubuhnya keluar bulatan-bulatan sinar kemerahan yang berjumlah ribuan. Matanya merah menyala, sungguh wujud yang sangat mengerikan.
Mereka yang berada di sekitar tempat itu terlihat panik. Prajurit banyak yang roboh tidak kuat menahan daya kekuatan yang lahir dari tubuh Layang Samba. Mereka bergerak mundur menjauhi tempat itu.
Kamandanu bersama yang lainnya pun segera mundur, kekuatan yang luar biasa itu sudah tidak sanggup mereka lawan. Kekuatan yang bukan berasal dari kekuatan manusia biasa, kekuatan raja Iblis musuh para Dewa.
''Eyang cantik, bagaimana dengan Kakang Jambu Nada?'' tanya Latta Manjari dengan wajah yang cemas.
Ayu Wandira terlihat bingung, tidak dapat menjawab pertayaan Latta Manjari.
''Marilah kita panjatkan puja dan puji pada Hyang Maha Agung, semoga Hyang Widhi memberikan kekuatannya pada Jambu Nada dan memberikan ketenangan pada kita!" ujar Kamandanu di tengah kepanikkan.
Mereka terhenyak, apa yang dikatakan Kamandanu menyadarkan bahwa tiada satu kekuatan pun yang mampu mengalahkan ke agungan Yang Maha Kuasa.
Lanjut Kamandanu, ''Marilah bersama-sama, pusatkan pikiran dan puja-pujilah Hyang Batara Agung!"
Prajurit bersama mereka yang terlihat panik segera duduk saling bersedekap memuja nama Yang Maha Tunggal. Gelegar petir semakin bergemuruh, dengan gelap yang semakin pekat oleh kabut hitam yang terus saja menebal.
Keheningan mulai menyeruak suasana di mana pasukkan kecil Gajah Mada berada, terbenam dalam puja puji.
Malam yang gelap kini semakin menampakan kemuraman, gemuruh petir mendebarkan penghuni hutan Alas Larang. Auman harimau penghuni hutan itu seakan menyayat pilu hati. Namun mereka tidak berani mendekati tempat di mana terlihat kilatan petir yang menghujam sosok tubuh yang berdiri tegak dengan wajah yang tampak tenang.
Sementara Jambu Nada berdiri dengan tangan bersedekap. Hidup dan matinya ia serahkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Perlahan tangannya direntangkan selebar-lebar. Dalam kegelapan tampak sinar keputihan yang menyelimuti tubuh. Lamat-lamat totol-totol yang berwujud sinar yang begitu jernih. Perlahan-lahan sinar itu menyeruak dan mengikis kabut gelap kehitaman. Mulanya hanya pada sekitaran tempat Jambu Nada berdiri, lalu sinar itu menyebar membebaskan udara yang dibaluti kabut gelap.
Udara yang tadinya terasa mencekik kini terhisap oleh sinar yang berasal dari tubuh Jambu Nada, bahkan panas yang tadi terasa membakar lamat-lamat menjadi dingin, seperti tersirami oleh air.
Mereka yang berada di sekitaran tempat itu memang melihat perubahan yang terjadi dengan keheranan dan kekaguman. Sungguh peristiwa yang langka dan amat mengherankan, biasanya sebuah kekuatan identik dengan penghancuran. Sesuatu yang berbekas dari sebuah kekuatan dapat menyisakan kehancuran. Sebuah pedang mampu menebas sebatang pohon atau pedang yang lainnya, namun pedang itu tidak akan dapat kembali menyambung pohon yang ditebasnya. Namun kekuatan yang dibangunkan Jambu Nada mampu berbuat sebaliknya.
Layang samba pun menyadari hal itu, matanya mendelik dengan sangat tajam.
''Mandana dan Mandini. Rupanya menitiskan kekuatan Bhatara Wisnu padanya,'' gumam Layang Samba.'' Apa yang aku khawatirkan memang benar adanya."
''Keparat!'' pemuda itu memisuh..
''Hei Jambu Nada, aku tahu kekuatan yang berada pada tubuhmu'' teriak Layang Samba dengan suara yang terdengar menggema, ''dulu Yang Mulia Amuraja pernah dilumpuhkan ole kekuatan itu, tapi sekarang ceritanya akan berbeda, kekuatan ini berada di alam kita, alam para manusia."
''Tuan Layang samba, pada dasarnya kita sebagai manusia adalah makhuk yang sempurna dari makhuk lain yang di ciptakan Hyang Maha Agung,'' jawab Jambu Nada dengan senyuman yang mengembang. ''Sebab itulah, kita sebagai manusia harus bersyukur bahwa kita terpilih menjadi pemimpin di dunia yang fana ini, kita dibekali akal dan perasaan untuk dapat menimbang mana yang baik dan mana yang buruk, kita harus percaya bahwa kekuatan Hyang Maha Agung adalah kekuatan yang hakiki."
''Sudahlah Jambu Nada aku tidak membutuhkan ocehanmu yang terasa membosankan ini, mari kita buktikan kekuatan siapa yang paling hebat, kita hanya sebagai titisan kekuatan namun kita sendiriah yang mengendalikan kekuatan itu, jadi aku yakin bahwa kekuatanku akan mampu mengalahkanmu!'' kata Layang Samba kembali suaranya terdengar lantang.
Di sekitaran tempat Layang Samba berdiri kembali kabut kehitaman yang terlihat semakin pekat, namun kabut itu tidak mampu lagi menggelapkan di sekitaran hutan Alas Larang. Sesaat terasa hutan itu menjadi lengang, namun tidak berlansung lama. Selanjutnya Layang Samba berteriak nyaring.
Dari tubuhnya keluar ribuan sinar merah yang menyala melesat dengan cepat ke arah Jambu Nada yang berdiri tegap dengan sinar putih jernih menjadi bentengnya, butiran cahaya merah itu seperti tidak mampu menembus cahaya keputihan yang menyelimuti tubuh Jambu Nada.
''Kurang Ajar!'' maki Layang Samba.
Kini matanya yang menyala merah segera dientakannya pada tubuh Jambu Nada, kembali sinar itu seperti lebur dan terhisap oleh sinar keputihan yang jernih menjadi totol pada kulit Jambu Nada.
Layang Samba seperti merasa di permainkan. Tubuhnya melenting melesat ke arah Jambu Nada yang berdiri tegak. Jambu Nada segera berkelit ringan kemudian tangannya mengibas pada wajah Layang Samba. Mendapat serangan balik, Layang samba menurunkan badannya mencoba melayangkan tangannya ke arah kepala Jambu Nada, kembali tangannya hanya menerpa ruang kosong. Bahkan hampir saja kaki Jambu Nada yang terjulur ke depan menghentak lambungnya, tapi pemuda itu tidak mau tubuhnya mendapat benturan itu sehingga dengan cepat tubuhnya bersalto ke udara berkali-kali hingga tubuhnya mendarat di belakang Jambu Nada.
Begitulah pertarungan adu tanding itu kini benar-benar pada tataran tertingi ilmu kanuragan. Dua pasukan kecil hanya seperti penonton yang menyaksikan pertunjukan yang tidak akan mungkin mereka lakukan. Ilmu kanuragan yang ngegerigis dari Layang Samba dilayani dengan Ilmu kanuragan Jambu Nada yang bersifat menjinakan.
Sudah beberapa lama pertarungan itu belum ada yang menunjukan antara salah satunya dapat menundukan lawan masing-masing. Hanya saja kini Layang Samba tidak dapat merusak alam di sekitarnya, setiap benturan yang ngegerigis menghantam alam di sekitarnya maka dengan cepat bias cahaya jernih dari Jambu Nada menyelamatkan alam sekitarnya.
Kamandanu termangu menatap dua bayangan yang berkelebat di udara, dan sesekali menjejakan kaki mereka di tanah. Sorot mata lelaki setengah baya itu begitu sejuk, yang siapa pun melihat dapat merasa damai dan ingin sekali bersahabat dengannya, mungkin mereka yang telah tertutup pintu hatinya saja yang akan menyangkal.
Dari kejauhuan Kamandanu menatap perapian yang terlihat begitu kecil, ternyata pasukan kecil di seberang sana pun membuat perapian seperti yang mereka lakukan. Memang di antara kedua pasukan keci itu sudah tidak menutup diri dengan keberadaan masing-masing. Mereka sama-sama mengetahui keberadaan lawan masing-masing. Kamandanu menoleh wanita yang masih muda duduk dengan termanngu pula. Wanita yang masih muda itu seperti tidak memedulikan tiga orang yang sejenis dengannya yang membicarakan adu tanding yang terjadi di depan mereka. Matanya menatap ujung perapian yang seakan-akan menari-nari menerima belaian angin.
Lelaki yang telah jauh meninggalkan masa mudanya itu berdiri, perlahan kakinya menerobos semak yang tidak terlalu lebat. Kemudian suami mendiang Sakawuni itu duduk membelakangi sebuah pohon yang besar. Matanya terpejam kemudian tangannya ditempelkan ke dada, setelah itu Kamandanu memusatkan pikirannya pada satu titik.
Dari kejauhan pada sebuah bukit kecil, lelaki tua dengan rambut putih menggerai di pundaknya. Jubah hitamnnya yang bersulamkan emas menandakan bahwa lelaki itu adalah pejabat. Memang begitulah adanya, Arya Dwipangga adalah petinggi Kadipaten. Dadanya berdesir ketika lamat mendengar suara yang hanya dirinya sendiri mendengar.
''Kakang Dwipangga, marilah kita berbicara sebentar ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Aku tidak berada di pasukanku, ikutiah suara ini maka Kakang dapat menemuiku,'' terdengar suara itu dengan perlahan-lahan.
Arya Dwipangga beringsut dari duduknya, kemudian tubuhnya menunduk hormat pada Jasa Wirat.
"Maaf Raden, aku mohon izin untuk pergi sebentar''
Jasa Wirat mengerutkan dahi, namun tidak ada suara yang keluar dari bibir lelaki itu.
''Aku menemui seseorang yang telah mengirimkan Ajian Pameling padaku, aku kenal suara itu,'' lanjut Dwipangga
Jasa Wirat mengangguk.
''Baiklah Paman, hati-hati dengan jebakan.''
Arya Dwipangga tersenyum memahami. Berikutnya lelaki tua itu melangkah ke arah kegelapan. Suara lembut masih jelas terdengar, kemudian tubuhnya berkelebat ringan mengikuti arah suara yang seolah membimbingnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top