Episode Dua Puluh Empat Bagian Dua (Perlarian Sang Durjana)
Pada sebatang pohon besar Arya Kamandanu membuka mata, di depannya lelaki berambut putih memandang dengan pandangan dingin tanpa rasa.
''Terima kasih Kakang, kau mau memenuhi undanganku,'' kata Kamandanu pelan.
''Apa keperluanmu Kamandanu, cepat katakan!''
''Aku tahu kita berada di persimpangan jalan, mungkin dari dulu kita sudah ditakdirkan berada pada persimpangan kemudian saling berhadapan dengan pendirian yang berbeda,'' ujar Kamandanu, matanya tertuju lurus pada Dwipangga, "tapi walau bagaimana pun juga darah kita adalah darah kandung, terlahir dari biyung yang sama dan romo yang sama pula. Bahkan kita dibesarkan di satu atap dengan kasih sayang yang sama rata."
''Sudahlah Kamandanu, tidak perlu mengoceh pada sesuatu yang sudah jelas'' balas Dwipangga, ''mungkin itu hanya cocok kau katakan pada seorang anak yang susah menidurkan matanya."
Kamandanu menghela napas, ia sadar hati kakangnya ini membatu, sulit dipecahkan oleh gelombang yang sekuat apa pun. Namun jauh dari relung hati masih ingin Dwipangga sedikit membuka hati melihat dan mencerna atas perbuatan yang sudah jauh meninggalkan aturan norma. Kamandanu tetap berharap, dengan menyentuh hal-hal yang paling dasar pada kakangnya ini sedikit memberi ruang pada jiwanya yang sudah dipadati nafsu duniawi.
''Kakang, apa kau tahu Ayu mencarimu?'' tanya Kamandanu kemudian.
Arya Dwipangga mengerutkan kening, matanya menatap tajam pada Kamandanu.
''Kakang, dia sangat terkejut mengetahui bawa kau adalah dalang dari segala kekacauan di beberapa daerah bumi Majapahit," lanjut Kamandanu. "Selama ini Ayu mencarimu namun dia tidak pernah mendapatkan jejakmu hingga akhirnya mendengar kabar bahwa kaulah yang melakukan penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan."
''Di mana dia Kamandanu?'' tanya Dwipangga cepat, '' jangan berbelit-belit, dia ikut dalam peperangan ini?''
''Dia berada bersamaku, benar dia ikut dalam peperangan ini."
Wajah Arya Dwipangga memerah, matanya semakin tajam menatap Kamandanu. ''Aku yakin ini pasti karena kau yang menghasut Ayu Wandira untuk ikut dalam peperangan ini dan kau juga yang mengatakan tentang keberadaanku."
Sebelumnya Kamandanu mengerutkan dahi mendengar tuduhan kakangnya, tapi itu hanya sesaat wajanya kembali biasa sambil menganggukan pelan.
Kamandanu berdiri, pandangannya dialihkan pada langit yang gelap. ''Aku sudah menduga Kakang akan mengatakan hal ini padaku," katanya dengan suara yang datar, "tapi sebelumnya apa Kakang lupa bahwa Ayu Wandira adalah seorang prajurit. Sebagai prajurit Majapahit tentu dia mempunyai tanggung jawab menjaga kedaulatan negeri ini.
''Awalnya dia tidak percaya Kakang, bahwa kau yang melakukan semua ini, karena itulah dia mencarimu bersama suaminya Tuan Pranyam, namun Hyang Widhi menghendaki lain sesuatu telah terjadi suminya, beliau telah kembali padaNya saat Tuan Pranyam bersama Ayu Wandira berada di Puncara Agni."
''Jadi suaminya sudah mati?''
Kamandanu mengangguk. "Saat itu mereka dikepung oleh murid-murid pedepokan setelah Tuan Mertaka mengetahui bahwa Tuan Pranyam dan Ayu Wandira adalah prajurit Majapahit."
Sesaat lamanya Dwipangga termangu, ia tidak menduga bahwa Ayu Wandira mencari keberadaannya. Ia sama sekali tidak mengetahui hal ini apalagi berada dalam perawatan Ki Panumerta setelah diselamatkan Layang Samba saat terjadi benturan dengan Kamandanu.
Belum habis Dwipangga mencoba mencerna kata-kata Kamandanu, tiba-tiba sebuah bayangan melesat begitu cepat dan hampir saja dadanya tertusuk pedang panjang dari bayangan itu. Namun Dwipangga adalah seorang pendekar yang sudah mencapai tataran tertinggi dalam ilmu kanuragan sehingga dengan mudah tubuhnya bergerak ke samping menghindari tusukan.
"Semua ini terjadi karena kau Dwipangga! Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!'' teriak sebuah suara yang kembali melengking melibaskan pedang panjangnya.
Dengan sigap kembali Dwipangga meloncat mundur, namun bayangan itu terus memburu tubuh Dwipangga sehingga terjadi pertarungan. Bayangan itu meloncat dengan gesit mencari sasarannya, tubuhnya melayang dan sesekali menjejakan kakinya.
Cukup lama pertarungan itu terjadi sampai ketika Kamandanu meloncat ringan dan menarik lengan bayangan itu.
''Ayu, kendalikan dirimu!'' ujar Kamandanu sambil terus memegang lengan sosok bayangan yang berdiri disampingnya.
''Aku tidak akan bisa tidur pulas, Paman," sahut sosok itu yang tidak lain Ayu Wandira, "sebelum aku berhasil membunuh orang itu!"
Ternyata Ayu Wandira yang berada dipasukan mencari keberadaan Kamandanu yang tiba-tiba menghilang, kemudian dengan diam-diam ia melepaskan diri dari rombongan, alangkah terkejutnya ketika ia melihat pamannya bersama orang yang memang dicari. Tanpa berpikir panjang lagi dengan cepat Ayu Wandira menerjang dan langsung menusuk Dwipangga dengan pedang yang berada dalam genggamannya.
''Bukan aku yang membunuh suamimu Ayu!'' sela Dwipangga dengan napas yang tak beraturan.
''Tapi kaulah penyebabnya," sahut Ayu wandira dengan sorot mata yang tak bersahabat, "kalau aku tidak memaksa Kakang Pranayam mencarimu maka sampai saat ini Kakang Pranayam masih bersamaku.''
''Jangan kau turuti hatimu yang gelap itu, Ayu!'' Kamandanu meminta perhatian, ''Tuan Pranayam sudah tenang di sana, yang di lakukannya adalah demi keselamatanmu. Kita di dunia ini tidak akan tahu kapan kematian menjemput, bahkan di tempat tidur sekalipun, jangan kau jadikan lantaran karena Tuan Pranyam ikut bersamamu penyebab Tuan Pranayam menemui batas hidunya, apa pun itu semua adalah kehendak Hyang Widhi."
''Dan lagian suamimu itu telah tua Ayu, dia lebih pantas menjadi ayahmu dari pada harus menjadi Suamimu,'' timpal Dwipanga.
''Kurang Ajar!'' hardik AyuWandira.
Dengan sekuat tenagan ia melibaskan tangannya dari genggaman Kamandanu, kemudian tubuhnya kembali melenting menerjang Dwipangga yang berdiri tegak.
Arya Dwipangga sedikit tergagap mendapat serangan itu, namun karena pengalaman yang mengajarinya untuk menghindar dari dari arah yang berlawanan, setelah menerapkan ilmu peringan tubuh Dwipangga berkelit dan sesekali menepis lengan atau kaki Ayu Wandira yang juga bergerak begitu lincah mecari sasaran.
Kamandanu tertegun dengan menahan napas, ia menyayangkan sikap Ayu Wandira. Namun ia juga kecewa dengan sikap Dwipangga yang telah membuat hati Ayu Wandira kembali mendidih. Sebenarnya sesaat lamanya Ayu Wandira terdiam ketika mendengar ucapan Kamandanu mencoba membuka hatinya yang sempat gelap, namun tiba-tiba saja darahnya kembali mendidih bahkan melebihi sebelumnya ketika Dwipangga menyebut suaminya lebih pantas menjadi orang tua baginya.
''Hei Dwipangga, aku menyesal memaksa biyung menikah dengamu, kau tidak pantas menjadi suami biyungku. Harusnya saat itu aku harus membunuhmu kau hanya seonggok daging hidup yang tidak berguna. Kau terlahir hanya untuk menyusahkan orang-orang yang berada di sekelilingmu, kau iblis Dwipangga!'' hardik Ayu Wandira keras setelah beberapa lama ia tidak berhasil menyentuh tubuh Dwipangga.
"Aku romomu, Ayu dan Meishin adalah istriku kau tidak bisa menyangkal semua itu," sahut Dwipangga.
''Bangsat laknat, jangan kau ucapkan itu lagi! Aku akan membunuhmu orang tua!'' Jawab Ayu Wandira dengan mata yang tajam menatap Dwipangga.
Kembali tubuh Ayu Wandira melesat tajam menyerang dengan darah mendidih, ia sudah tidak peduli degan kehadiran Kamandanu, yang ada dalam hatinya adalah membunuh Dwipangga, meluapkan kebencian, darahnya yang mendidih semakin berasa dipanggang di atas bara api.
Demikianlah pertarungan itu kembali terjadi, malam yang temaram ditemani sepotong bulan itu dipenuhi hawa kebencian di hati Ayu Wandira. Dengan segala kemampuan yang berada padanya ia bergerak dengan lincah mencari sasaran. Namun Arya Dwipangga memang pendekar yang sulit mencari tandingannya, sebagaimanpun Ayu Wandira menyerangnya bagaikan air bah, maka Dwipangga bertahan bagaikan batu karang yang kukuh tidak tergoyahkan.
Malam menanjak naik, tidak jauh dari Kamandanu berdiri sesorang menatapnya penuh kebencian.
***
Embun membasahi dedaunan, pertanda puncaknya malam sudah terlewati. Entah beberapa kali sudah Latta manjari bangun dan duduk kembali, di satu pihak ia mengkhawtirkan keadaan Jambu Nada yang entah sampai kapan menyelesaikan pertarungan. Gadis cantik itu juga mengkhawatirkan keberadan Ayu Wandira yang tiba-tiba menghilang. Ia tidak sadar dengan kepergian Ayu Wandira ketika dirinya terlelap barang sejenak.
Latta Manjari juga sudah menanyakan keberadaan Ayu Wandira pada Gajah Mada, namun hasilnya nihil. Gajah Mada pun tidak mengetahui keberadaan Kamandanu dan Ayu Wandira. Menurut Gajah Mada, saat itu dirinya sedang memberi pengarahan pada prajuritnya dan saat kembali duduk, dirinya sudah tidak melihat keberadaan Kamandanu dan Ayu Wandira.
"Tuan Putri tidak perlu khawatir yang berlebihan, percayalah Kangmbok Ayu Wandira bersama, Paman Kamandanu," ujar Puspita menatap wajah Latta Manjari yang menunjukan kegelisahannya.
''Tapi kemana? Mereka pergi begitu saja. Eyang Cantik masih dalam situasi hati yang tidak menentu. Eyang cantik bisa nekat kemudian menemui pasukan di bukit itu dan itu tentu berbahaya," sahut Latta Manjari dengan mata yang penuh gelisah menatap Puspita.
''Bagaiman kalau kita mencarinya, aku rasa mereka tidak terlalu jauh dari hutan ini. Aku kenal betul hutan ini,'' usul Puspita.
Latta Manjari terlihat berpikir, kemudian gadis cantik itu berdiri dan berjalan mendekati Gajah Mada.
''Eyang Patih, aku berencana mencari Eyang Cantik, Kangmbok Puspita akan menemaniku mungkin Bibi Tantina juga akan ikut,'' kata Latta Manjari setelah berada di hadapan Gajah Mada yang duduk dengan mata terpejam.
Beberapa saat lamanya Gajah Mada memandang Putri angkat junjungannya itu.
''Putri lebih baik berada di sini, Gusti Prabu Ratu menitipkan Putri bersamaku, aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.''
''TuanPutri tidak perlu khawatir, saat ini Ayu Wandira bersama Kakang Kamandanu,'' lanjut Gajah Mada.
''Jadi Eyang Patih mengetahui keberadaan Eyang Cantik, dimana?''
''Aku bukan tidak ingin memberitahukan keberadaan mereka, tapi ini demi keselamatan Putri, dan aku rasa mereka pergi karena urusan pribadi. Mereka tidak ingin melibatkan kita mengetahuinya. Nyatanya Kakang Kamandanu dan Ayu Wandira pergi tanpa sepengatahuanku,'' sahut Gajah Mada dengan suara yang terdengar pelan.
''Aku tahu Paman menggunakan Ajian Pangurungu untuk mengetahui keberadaan mereka, aku pun telah mencobanya tapi rupanya Pangurunguku belumlah sampai ke tataran seperti yang Eyang Patih punya, karena itu aku mohon Eyang Patih mengijinkan aku pergi mencari Eyang cantik, aku hanya ingin melihat keberadaannya,'' Kata Latta Manjari dengan wajah yang memohon.
Gajah Mada tersenyum, dia sadar berhadapan dengan gadis yang telah mencapai ilmu kanuragan yang tinggi yang sulit pula mencari bandingannya, apalagi selama ini Latta Manjari hidup di hutan, pantai dan padepokan yang berisi orang-orang hebat.
''Baiklah, kita akan pergi bersama-sama,'' ujar Gajah Mada, ''tapi Putri harus berjanji menuruti apa pun yang aku katakan."
Seketika wajah Latta Manjari nampak cerah dengan cepat ia mengangguk.
''Iya Eyang Patih, aku berjanjanji."
''Tunggulah barang sejenak, aku akan menemui Adi Gajah Enggon.''
Gajah Mada kemudian berdiri melangkahkan kakinya.
''Adi, aku akan pergi sebentar bersama Putri Latta Manjari, aku titipkan pasukan padamu, jika terjadi sesuatu cepat kirimkan pesan padaku,'' ujar Gajah Mada pada Gajah Enggon yang duduk beralaskan akar pepohonan.
''Kakang akan kemana?'' tanya Gajah Enggon dengan dahi yang mengerut.
''Aku akan mengantarkan Putri menemui Kakang Kamandanu,'' jawab Gajah Mada cepat.
''Baiklah Kakang, aku akan segera mengirimkan pesan jika terjadi sesuatu di luar rencana kita,'' kata Gajah Enggon sambil tersenyum.
Demikanlah, setelah menyampaikan beberapa pesannya Gajah Mada bersama Latta Manjari, Puspita dan Nyai Tantina meninggalkan pasukan kecil itu. Perlahan ke empat orang itu menerobos malam yang hampir mendekati ujungnya, Nyai Tantina dan Puspita yang lebih mengenal hutan itu nampak begitu luwes mencari jalan yang terdekat untuk sampai pada tempat yang dikatakan Gajah Mada.
Gajah Mada yang walaupun mengetahui keberadaan Kamandanu, namun karena ia tidak mengenal hutan itu dengan baik membuatnya hanya bisa menuruti jalan yang diarahkan Nyai Tantina, dan benar saja setelah beberapa lama ketika langit menampakan kemerahan, mereka melihat terjadi dua pertarungan di tempat itu, yang walaupun terpisahkan beberapa phon besar namun jelas mereka melihat Kamandanu dan Ayu Wandira sedang bertarung menghadapi orang-orang yang mereka kenal.
''Ternyata Paman Kamandanu berhadapan dengan Paman Wirat,'' desis Latta Manjari.
''Sebaiknya kita tetap di sini, kita awasi mereka. Jangan ada dulu yang mendekat!'' kata Gajah Mada tegas.
Yang lain pun hanya bisa menahan napas melihat pertarungan yang nampak tidak seimbang itu.
Memang demikanlah, Ayu Wandira kewalahan menghadapi Dwipangga. Tubuhnya menampakan bahwa tanaganya telah jauh menyusut. Jika saja Dwipangga mau, maka Ayu Wandira pasti hanya akan menjadi mayat yang mengering. Rupanya Dwipangga tidak berniat sedikitpun melukai apalagi membunuh putrinya itu.
Sementara itu Kamandanu berusaha mengimbangi Jasa Wirat yang terus menerus mendesaknya. Sepertinya Jasa Wirat belumlah sampai pada puncak kekuatan, ia ingin mencoba ilmu kanuragan Kamandanu secara bertahap. Jasa Wirat ingin menunjukan bahwa ilmu perguruan romonya lebih hebat dari Kamandanu.
Lagi-lagi masalah dendam masa lalu, masa yang telah jauh ditinggalkan. Kamandanu tak pernah menduga kesalhapahaman Wong Agung membawanya pada sebuah pilihan, orang tua dari gunung Tengger itu rupanya dulu bersedia menjadi guru Ra Kuti disebabkan dendam atas Kamandanu, sehingga mendukung perbuatan Ra Kuti untuk makar terhadap Majapahit. Apakah aku akar dari permaslahan semua ini? Apakah aku yang membuat masa depan sesorang tidak tenang, setelah Layang Samba, kini Jasa Wirat yang menutut balas atas perbuatan masa laluku
Terlihat wajah Kamandanu memucat, darahnya berdesir deras saat angannya sampai pada pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Demikianlah sifat Kamandanu yang sesungguhnya sifat yang manusiawi dialami oleh kebanyakan orang. Kamandanu layaknya lakon dari pertunjukan, seperti melihat jati diri bagi manusia pada umumnya.
Kamandanu yang bersifat penuh keragua-raguan, sifat yang lebih mengutamakan perasaan dari pada kenyataan yang dihadapi. Seringkali ia sulit menerima sesuatu yang entah berapa kali menyakitkan hati, sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia rasakan. Oleh siapa pun juga. Untunglah Kamandanu menemukan seorang istri yang mempunyai pendirian kuat dan tidak larut dalam permainan perasaan. Sakawuni dengan telaten memberikan peringatan padanya jika berada dalam kebimbangan. Sakawuni pula yang memberikan cinta dan kasih sayang, seperti memberikan air yang dingin di atas dahaga.
Demikianlah pertarungan itu kembali berlanjut, Jasa Wirat bermaksud menunjukan kehebatan perguruan Wong Agung. Ia yakin dengan segala ilmu kanuragan yang selama ini didapatkannya mampu mengalahkan Kamandanu.
Sementara itu, pada saat terjadi dua pertarungan yang berbeda tujuan. Sesosok bayangan berkelebat ringan kemudian menjejakan kakinya tidak jauh dari dua adu tanding. Dari temaram bulan yang sepotong menampakan sosok bayangan itu adalah lelaki setengah baya, dengan mengenakan pakaian yang bercorak kehitaman. Orang itu tidak lain ketua padepokan Puncara Agni, Ki Mertaka.
''Nyai keluarlah! Aku tahu kau berada di pepohonan itu,'' seru Ki Mertaka, matanya tajam menatap semak yang cukup lebat di antara pepohonan.
Tidak ada jawaban, hanya suara Ayu Wandira yang terlihat semakin sesak namun mulutnya tidak habis-habisnya memaki Arya Dwipangga.
''Keluarlah Nyai dan kau juga Puspita!'' lanjut Ki Mertaka setelah tidak ada jawaban dari semak yang ia yakini tempat orang dicari.
Nyai Tantina dan Puspita gugup ketika mendengar suara Ki Mertaka, mereka memang sengaja mengikuti Gajah Mada dalam pasukan kecil itu selain melaksanakan perintah untuk menagkap orang-orang yang berahasil meloloskan diri, Nyai Tanita juga bermaksud mencari keberadaan Ki Mertaka yang diyakini berada bersama kelompok pelarian para durjana.
Sesaat lamanya Nyai Tantina terdiam, kemudian wanita yang masih cukup muda itu memandang Gajah Mada seakan meminta pertimbangan.
Gajah Mada tersenyum kemudian menganggukan kepalanya pelan. Setelah mendapatkan izin dari Gajah Mada, dengan perlahan-lahan Nyai Tantina dan Puspita keluar dari tempat persembunyiaan. Puspita dengan gugup memegang erat lengan ibunya.
''Kakang!'' panggil Nyai Tantina.
''Bagaimana keadaan kalian, Nyai?'' tanya Ki Mertaka berdiri di depan istri dan anak perempuannya.
''Kami baik-baik saja Kakang, bagaimana dengan Kakang?'' Tanya Nyai Tantina, pertemuan antara kedua suami istri itu terlihat canggung.
''Aku tidak mengalami apa-apa, bagaimana dengan Gusti Putri?'' tanya Ki Mertaka lagi
''Aku baik-baik saja Paman'' sahut Latta Manjari yang kemudian juga keluar dari tempat persembunyiannya.
''Rupanya Gusti Putri juga berada di sini,'' ucap Ki Mertaka membungkuk hormat.
Latta Manjari membalas senyuman lelaki setengah baya itu. "Ah, aku tahu Paman mengetahui keberadaanku, bagaimana Paman, apa yang Paman lakukan setelah mengetahui bahwa aku tidak berpihak pada Paman?''
Sesaat lamanya Ki Mertaka terdiam.
''Paman, atas nama keluarga Nambi, aku sangat berterima kasih pada Paman, apa yang Paman lakukan selama ini membuat aku terharu, Paman adalah orang yang sangat setia pada ayahandaku, bahkan rela mengorban hidup Paman."
''Sudah menjadi kewajiban hamba, Gusti Putri,'' sahut Ki Mertaka dengan suara rendah.
''Aku masih membutuhkan Paman, tapi dengan tujuan lain, maukah Paman ikut bersamaku?'' tanya Latta Manjari
Bagaikan dalam mainan ombakan di laut, Ki Mertaka berada pada jalan yang sulit dipilihnya. Terombang ambing dalam buih ombak itu.
''Apa maksud Gusti Putri?'' tanya Ki Mertaka mencoba mencari kepastian.
''Ikutlah bersamaku, aku berjanji akan meminta pengampunan pada Ibunda Prabu Ratu, asalkan itu benar dari hati Paman aku yakin Ibunda Prabu Ratu tidak keberatan, karena bagaimana pun juga selama ini Paman sudah menjagaku dengan baik,'' terang Latta Manajri tegas.
''Tapi Gusti Putri ...,'' kata Ki Mertaka dengan suara gugup.
Latta Manjari sengaja berdiam diri, memberikan kesempatan pada Ki Mertaka mencerna apa yang di katakannya.
"Kakang sadarlah, apa yang Kakang lakukan selama ini tidak lebih hanya hawa nafsu Kakang yang berlandaskan dendam,'' sela Nyai Tantina.
Ki Mertaka terkesiap mendengar perkataan istrinya itu.
''Aku rasa benar apa yang di katakan Bibi Tantina dan aku yakin Paman menyadari hal itu,'' timpal Latta Manjari.
''Dan satu hal lagi, Paman harus tahu bahwa selama ini Paman sudah di manfaatkan Paman Wirat dan Eyang Panumerta,'' lanjut Latta Manjari.
''Tapi Gusti Putri, hamba melakukan semua ini demi nama baik Gusti Mahapatih Nambi, Majapahit harus mempertanggung jawabkan ini,'' sahut Ki Mertaka dengan wajah menunduk.
''Paman, bukan bearti aku menghianati keluargaku, sebelumnya Paman harus tahu bahwa nama Mahapatih Nambi bagi ibunda Ratu sama sekali bukan seorang pemberontak,'' sela Latta Manjari, "hanya saja tidak mungkin ibunda Ratu mengatakannya pada setiap rakyat Majapahit yang berjumlah ribuan.
''Mungkin diantara rakyat Majapahit juga menyadari hal itu, walaupun memang susah mengembalikan nama baik ayah pada hati rakyat yang sudah terlanjur menyatakan beliau adalah seorang pemberontak."
Nampak raut kekecewaann pada wajah Ki Mertaka mendapat perkataan gadis cantik di depannya.
''Apakah itu benar adanya? Atau bukan karena Gusti Putri sudah nyaman berada di Majapahit sehingga tidak mau bersama Paman, berjuang mengembalikan nama Gusti Mahapatih?
''Tidak demikian Paman, aku sama sekali tidak berpikir demikian bahkan aku sangat senang berada di antara kerabat dan orang-orang yang setia dengan ayahanda,'' jawab Latta Manjari, ''namun satu hal yang harus Paman ingat bahwa ayahanda adalah seorang abdi Majapahit, berjuang dan mengabdi bagi Majapahit."
''Tapi apa balasan Majapahit bagi Gusti Mahapatih, mereka sama sekali tidak menganggap pengabdian Gusti Mahapatih, malahan sebaliknya,'' ujar Ki Mertaka kali ini suara terdengar keras.
''Itulah yang perlu kita luruskan, Paman!'' Sahut Latta Manjari, ''bukankah sebagai keturunan beliau berkewajiban mengembalikan nama ayahanda, tapi tidak dengan cara yang seperti ini, Paman. Percayalah jika Paman menggunakan cara yang seperti ini maka Paman membuat nama Nambu semakin terhina dan tentu ayahanda sangat sedih jika mengetahui hal ini."
''Lalu denga cara apa? Bagaimana Gusti Putri bisa mengembalikan nama Gusti Mahapatih?''
''Dengan cara melanjutkan pengabdian, Paman. Kita tunjukan bahwa keturunan dan orang-orang ayahanda memang mengabdi pada Majapahit bukan karena jabatan dan imbalan, tapi tulus menjunjung Negeri ini, bukankah Negeri ini adalah milik kita juga,'' jawab Latta Manjari dengan suara lirih.
''Sepertinya kita berbeda dalam pandangan, Gusti Putri," sahut Ki Mertaka, kali ini orang tua itu benar-benar menunjukan kekecewaanya. Ki Mertaka menunjukan dirinya seperti lepas dari junjungannya itu.
"Maafkan Paman jika Paman mempunyai pilihan yang berbeda, jika saja Gusti Putri mengetahui dan mengalami saat itu mungkin Gusti Putri melakukan hal yang sama dengan apa yang Paman lakukan saat ini."
Latta Manjari menyadari perubahan dari pernyataan Ki Mertaka, sesaat lamanya Latta Manjari menghela napas panjang.
''Nyai, marilah kita pergi dari tempat ini! Kita hanya orang pelarian tidak sepantasnya kau bersama orang-orang Majapahit yang menganggap diri mereka agung,'' lanjut Ki Mertaka.
''Maaf Paman, Bibi dan Kangmbok Puspita tetap bersamaku, aku tidak ingin mereka mengikuti jejak Paman, sudah aku katakan Paman hanya dimanfaatkan mereka,'' sela Latta Manjari dengan suara yang tegas.
Ki Mertaka mengerutkan keningnya, kemudian matanya tajam menatap Nyai Tantina tanpa berani memandang Latta Manjari.
''Mereka adalah keluarga Paman, apa pun yang terjadi mereka tetap bersama Paman,'' kini suara Ki Mertaka terdengar semakin keras.
Kembali mereka terdiam, benar-benar suasana yang tidak lagi nyaman.
Namun tiba-tiba saja Ki Mertaka dikejutkan suara tawa dengan melengking. Mereka pun merasakan dada yang menjadi sesak, untunglah mereka bukan orang kebanyakan, sehingga dengan cepat meningkatkan tenaga murni untuk mengimbangi suara tawa yang dilampiri Ajian Gelap Ngampar.
''Bopo!'' desis Ki Mertaka dihadapannya berdiri sosok orang tua bungkuk.
''Apa lagi yang kau tunggu Mertaka, bunuhlah gadis itu!'' perintah orang tua bongkuk yang juga bernama Ki Panumerta.
''Apa maksud Bopo?'' tanya Ki Mertaka heran.
''Bodoh, gadis itu adalah penghianat, terlalu banyak rahasia kita diketahuinya, bisa jadi kekalahan kita karena gadis itu!'' bentak ki Mertaka.
''Jangan Bopo, bagaimana pun juga dia adalah putri dari Gusti Mahapatih," jawab Ki Mertaka.
''Kau berhati lemah Mertaka, untuk apa kau pertahankan orang yang sudah tidak berguna malahan menjadi penghalang cita-citamu, cita-cita kita semua,'' kata Ki Panumerta, ''jika kau tidak bisa melakukannya sendiri, maka biarkan aku melakukannya!"
Mereka yang berada di tempat itu tidak ada yang menduga, dengan cepat tubuh Ki Panumerta melompat dan berdiri di belakang Latta Manjari selanjutnya dengan satu gerakan lelaki tua itu berhasil mematikan persendian Latta Manjari.
''Bopo!'' seru Ki Mertaka dengan wajah yang tampak gugup.
Disusul kemudian bayangan berkelebat menghampiri mereka yang berada dalam kebingungan.
''Aku tahu kau berada di tempat ini anak muda!'' kata Ki Panumerta dengan tanggan erat memegang tubuh Latta Manjari yang hanya bisa bernapas tanpa mampu bergerak.
Bayangan yang berkelebat itu tidak lain Gajah Mada, matanya menatap penuh amarah, ia tidak menduga Ki Panumerta melakukan hal itu. Gajah Mada yang mempunyai tanggung jawab menjaga Latta Manjari kini menjadi kebingungan, khawatir Ki Panumerta melakukan sesuatu yang ditakutkan.
''Aku mohon Bopo, lepaskan Gusti Putri Latta Manjari, kita sudah kalah Bopi tidak ada yang dapat kita lakukan sekarang,'' Ki Mertaka memohon.
Ki Panumerta tertawa dengan terbahak, tampak orang tua bungkuk itu tertawa dengan puas sekali.
"Aku berubah pikiran, baiklah kita tidak perlu membunuhnya, dengan gadis ini kita bisa kembali menghimpun kekuatan, tapi jika tidak maka dapat kita jadikan sebagai tumbal kekalahan kita."
Ki Mertaka tampak tidak terima apa yang dilakukan guru sekaligus bopo angkatnya itu, bagaimana pun juga ia masih menghormati Latta Manjari sebagai keturunan mendiang Mahapatih Nambi, orang yang menjadi tujuan hidupnya. Tanpa berpikir panjang Ki Mertaka melompat mencoba menyentuh persendian Latta Manjari agar gadis cantik itu mampu bergerak melepaskan diri.
Namun Ki Mertaka tidak menduga, dengan cepat Ki Panumerta membangunkan Ajian Komala Agni yang berada dalam tubuhnya, berikutnya sebuah benturan hebat tidak terelakan, seketika tubuh Ki Mertaka terpental dengan deras kemudian membentur batu besar.
Kesempatan yang sangat sempit itu segera dimanfaatkan Gajah Mada. Pada saat Ki Panumerta yang perhatiannya teralih pada Ki Mertaka tidak menduga jika Gajah Mada telah bergerak cepat meraih tubuh Latta Manjari sehingga terlepaslah Latta Manjari dari kuasanya.
Sementara itu, tubuh Ki Mertaka menggeliat menahan sesak bagaikan dihimpit dua gunung yang maha besar, untunglah daya tahan tubuh orang tua itu luar biasa sehingg tubuhnya tidak mengering terkena Ajian yang sangat mengerikan itu.
Latta Manjari yang terlepas dengan segera memburu tubuh Ki Mertaka yang menggeliat. Tanpa berpikir panjang dengan cepat Latta Manjari mematikan aliran datah Ki Mertaka yang yang dialiri hawa panas. Setelah itu gadis cantik murid Dewi Tunjung biru itu memberikan pil pada Ki Mertaka. Tidak lupa Latta Manjari mencoba mengalirkan tenaga murni membantu Ki Mertaka yang sudah kepayahan.
Nyai Tantina kini meraung dalam tangisan memangku tubuh Ki Mertaka yang terbaring lemah, Puspita pun menagis memeluk tubuh romoonya itu. Puspita kebingungan tidak mampu berbuat apa-apa, ia hanya menangis memeluk tubuh Ki Mertaka.
Dari sudut mata Latta Manjari pun mengalir air yang mengucur membasahi pipi yang ranum.
''Gusti Putri ...,'' kata Ki Mertaka dengan suara yang kepayahan.
''Sudahlah, percuma saja terus mengalirkan tenaga murni Gusti Putri, itu dapat membuat Gusti Putri kehabisan tenaga,'' lanjutnya dengan lirih sambil terbatuk dan mengeluarkan darah yang menghitam.
''Paman ...!'' desis Latta Manjari memandang orang tua itu dengan perasaan yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
''Bolehkah hamba meminta satu permintaan pada Gusti Putri?'' kata Ki Mertaka dengan bersusah payah melawan sesak yang semakin menghimpit.
''Lebih baik Paman tidak banyak bergerak, aku akan membawa Paman dari sini,'' sahut Latta Manjari dengan tangisan.
''Tidak perlu Gusti, sudah tidak banyak waktu lagi''
''Tidak Paman, masih banyak waktu. Paman akan segera sembuh,'' sahut Latta Manjari kini telungkup memeluk tubuh orang tua itu.
Sementara itu Nyai Tantina berusaha melawan tangis, matanya memandang suaminya dengan hati yang pasrah, ia tahu benar akibat Ajian itu, apalgi Ajian itu keluar dari orang yang selama ini mengajari mereka. Namun tidak dengan Puspita, masih meraung, walaupun sangat kecewa dengan perbuatan romoya, namun bagaimana pun juga Ki Mertaka adalah romonya yang selama ini membesarkannya.
''Gusti, hamba memohon untuk sesuatu hal,'' ucap Ki Mertaka, ''tolong bawa istri dan putri hamba, mereka tidak bersalah semoga mereka dapat berguna dan dapat pula mengabdi dengan baik pada Gusti Putri."
''Tidak hanya Bibi dan Kangmbok, Paman pun akan ikut bersamaku,'' sahut Latta Manjari.
Ki Mertaka tersenyum, sebuah ketenangan dalam hatinya baru saja ia dapatkan.
''Terima kasih Gusti," kata orang tua itu dengan lirih. "Maafkan hamba tidak dapat melanjutkan pengabdian. Hamba sudah berusaha namun sepertinya niat hamba tidak di restui-Nya."
''Paman sudah berhasil melepaskan diri Paman dari belitan mereka itu sudah lebih dati cukup, aku tetap bangga dapat bertemu dengan Paman,'' kata Latta Manjari.
Kembali orang tua itu tersenyum, dengan susah payah Ki Mertaka menatap istrinya dan Puspita dengan pandangan lembut.
''Maafkan aku Nyai, aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu, tapi kau harus tahu aku benar-benar mencintaimu, tidak ada wanita lain di hatiku, walaupun selama ini aku hidup dengan banyak wanita namun mereka tidak lebih sebagai tumbal ilmu kanuragan, hatiku hanya aku serahkan padamu semenjak pertama kali kita bertemu."
Lembut tangan Ki Mertaka mengusap pipi Nyai Tantina. Nyai Tantina tidak mampu lagi menahan tangisnya, meledaklah dalam isak.
''Aku tahu Kakang, aku pun demikian, aku hanya menyerahkan hidupku padamu, Kakang,'' sahut Nyai Tantina dengan suara yang bergetar.
Ki Mertaka kembali tersenyum, dengan lembut memandang wajah istrinya itu.
''Terima kasih Nyai, kau adalah wanita yang baik yang setia dan tidak banyak menuntut walaupun kau tahu aku adalah lelaki yang tidak pantas untuk wanita sepertimu."
Sesat lamanya Ki Mertaka terdiam mencoba mengumpulkan sisa tenaganya, mengumpulkan napasnya yang semakin menyesakan dada.
''Puspita,'' katanya sambil memegang lengan anak gadisnya itu, ''maafkan Romo, sekarang kau bebas menentukan hidupmu, jadikanlah pelajaran dari perbuatan Romomu ini. Romo bangga mempunyai seorang putri yang mempunyai pendirian yang kuat tanpa larut dalam suasana.
''Jagalah Biyungmu, Ndok. Teruslah mengabdi pada Gusti Putri, semoga kau mendapatkan kebahgian di hari yang akan datang,'' lanjutnya dengan suara yang semakin melemah, bahkan terkadang terputus-putus.
''Romo ...,'' desis Puspita dengan air yang mengucur deras di pipi.
''Maafkan Puspita, Romo. Maafkan Puspita yang tidak bisa menuruti kata-kata Romo,'' katanya dengan suara yang bergetar.
Ki Mertaka berusaha tersenyum di sela rasa sakit yang semakin dahsyat menyerang.
''Tidak Ndok, kau tidak bersalah!"
Matanya menatap langit yang masih diterangi sepotong bulan bersama ribuan bintang-bintang yang seakan mengintip tubuhnya yang lemah.
Kini Ki Mertaka tidak berusaha melawan rasa sakit, setiap entakan panas yang mengalir diterimanya dengan tanpa perlawanan, lamat-lamat terdengar napasnya semakin memburu dan terasa berat, hingga pada akhirnya Ki Mertaka melepaskannya dengan satu senyuman yang menggantung di bibir tuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top