Episode Dua Puluh Dua Bagian Tiga (Lebur Luapkan Api)

"Hari ini sesuai dengan rencana pasukan Majapahit akan memasuki wilayah Sadeng," kata Raden Jenaka membuka pembicaraan, "kemungkinan besar besok dimulainya pertempuran dengan begitu kita diminta untuk dalam kesiagaan penuh."

Ruang besar di kapal induk yang biasa dijadikan Raden Jenaka sebagai tempat pertemuan itu berasa hening. Baik itu senopati-senopati, Arya Kamandanu, Jambu Nada dan Latta Manjari mendengarkan dengan saksama penjelasan Raden Jenaka.

"Untuk pasukan Ananda Latta Manjari," katanya lagi dengan tatapan tertuju lurus pada putri cantik itu, "akan kami singgahkan di selatan kota Kadipaten, tepatnya di belakang pasukan Sadeng."

Raden Janaka diam sejenak, dengan mengedarkan pandangannya. Di luar matahari semakin meninggi mengeringkan embun-embun yang sempat singgah di dinidng-dinding kapal.

Lanjut ia berkata, "Walaupun pasukan ini kalah jumlah dari pasukan Sadeng, tujuan pasukan Ananda Latta Manjari adalah untuk menghancurkan kosentrasi sekaligus pertahanan Sadeng. Kalian harus bergerak sesuai dengan aba-aba dari Kakang Gajah Mada namun tetap bergerak di bawah pimpinanan Ananda Latta Manjari yang mana sudah kita sepakati akan diapit oleh Paman Kamandanu dan Senopati Jalayuda, serta Anak Mas Jambu Nada menjadi penghubung antara pasukan ini dengan Kakang Gajah Mada."

Pangeran dari Swarnabhumi itu juga menjelaskan bahwa pasukan Latta Manjari akan singgahkan di selatan Kota Kadipaten, tepatnya di belakang pasukan Sadeng. Walaupun pasukan yang berada di bawah kamando putri jelita itu kalah jumlah dari pasukan Sadeng namun diharapkan pasukan ini berperan menghancurkan kosentrasi sekaligus pertahanan Sadeng. Pasukan Latta Manjari sebenarnya tidak diketahui sipapun kecuali Gajah Mada.

Semua ini lantaran permintaan langsung dari Gajah Mada sebagai juru taktik, dalam pasukan Latta Manjari menempatkan Kamandanu dan Senopati Jalayuda sebagai pengapit, sedangkan Jambu Nada bertugas sebagai penghubung pasukan Latta Manjari dan Gajah Mada.

''Kami pun akan bergerak ke sisi barat tepat di muara sungai Bedadung," jelas Raden Jenaka, "jika pasukan Ananda Latta Manjari berhasil maka dapat memudahkan kami lansung bergerak karena kalianlah yang mengarahkan pasukan Sadeng tepat pada sasaran tembak kami."

Beberapa dari mereka menyatakan pendapat dan memberi saran terhadap Latta Manjari yang masih belia namun harus memimpin pasukan yang terlalu banyak untuk gadis seusianya, apalagi pengalamannya yang sama sekali belum pernah terjun ke medan perang.

Namun dari mereka bahkan Senopati Jalayuda meyakinkan bahwa Latta Manjari mempunyai jiwa kepemimpinan yang sangat baik, apalagi selama di tepian pantai, gadis itu banyak mempelajari ilmu kenegaraan termasuk ilmu dalam gelar perang.

Atas berbagai pertimbangan itulah mereka setuju bahwa Gajah Mada menunjuk Kamandanu menjadi senopati pengapitnya sekaligus pendamping dalam arti guru secara lansung pada Latta Manjari. Mereka meyakini Kamandanu adalah bekas panglima perang yang layak ditiru dan tentunya mempunyai banyak pengalaman dalam berbagai gelar perang.

Dengan penjelasan Raden Jenaka maka jelas sudah kedudukan pasukan di bawah pimpinan Latta Manjari, di hari itu juga pasukan itersebut diantarkan ke sisi selatan dimana menempuh jarak satu hari untuk sampai ke kota Kadipaten. Jarak yang cukup jauh dengan tujuan keberadaan pasukan ini tidak diketahui oleh telik sandi Sadeng.

***

Menjelang malam yang siap datang, pasukan Latta Manjari sudah sampai di daratan selatan Kadipaten Sadeng. Ketika hari mulai gelap pasukan yang berjumlah sekitar seribu orang itu memilih tempat di bawah bukit untuk menjadi tempat beristirahat, mereka akan begerak setelah mendapat aba-aba dari Gajah Mada yang mana menempatkan Jambu Nada sebagai penghubung.

Oleh Latta Manjari membagi pasukannya dengan dua sayap dan pasukan induk. Puspita dan Nyai Tantina berada dalam pasukan yang di pimpin Ayu Wandira, pasukan ini menjadi rusuk kanan yang akan menyokong pasukan induk kelak dalam gelar perang yang mereka terapkan. Sedangkan rusuk kanan dipimpin seorang lurah yang bernama Raganata.

***

Hutan di seberang sungai Bedadung itu adalah hutan yang tidak terlalu lebat, karena memang tidak terlalu jauh dari kota Kadipaten, hanya saja masih banyak tempat yang berbukit yang membuat hutan itu menjadi tempat yang baik untuk bersembunyi. Jambu Nada berdecak kagum dengan pandangannya, di hadapannya terdapat ribuan prajurit, baik itu pasukan berkuda, pemanah, tombak dan pedang, mereka semua memakai pakain kebesaran prajurit Majapahit, yang membedakan hanya ciri khas dari kesatuan prajurit-prajurit itu.

Ia berdiri tegap di atas dahan yang cukup besar, tangannya bersedekap dan berikutnya ia menggunakan ajian pameling untuk menyatakan kehadirannya pada Gajah Mada. Tidak menunggu waktu yang lama, dari kejauhan bayangan berkelebat ringan menyusuri antara pohon-pohon, kemudian mendarat di atas dahan tepat di hadapan Jambu Nada.

"Bagaimana keadaan pasukan di sana?" tanya Gajah Mada dengan suara yang sangat rendah.

"Kami siap menunggu perintah," balas Jambu Nada singkat dengan wajah tetap pada pasukan segelar sepapan.

"Lalu bagaimana dengan keadaan Kangmbokmu?"

Jambu Nada mengalihkan pandangannya pada Gajah Mada, hanya wajah datar yang diperlihatkan lelaki bertubuh gempal itu. Alis Jambu Nada mencuat lantaran pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan pasukan.

"Aku hanya ingin tahu saja, tidak lebih," kata Gajah Mada memperjelas.

"Dia baik-baik saja, meski memang belum sepenuhnya menerima kepergian Paman Pranayam."

Gajah Mada mengangguk lalu menyandarkan dirinya pada tubuh pohon.

"Tuan Putri Latta Manjari membagi pasukannya menjadi tiga," kata Jambu Nada yang mengembalikan pembicaraan itu sesuai dengan tugasnya.

"Kalian bergerak mulai besok pagi ketika langit menampakan kemerahan," jelas Gajah Mada tentang rencananya pada pasukan yang dipimpin Latta manjari, "pasukan induk kalian biarkan tetap berada di belakang namun siapkan pasukan khusus untuk lebih dulu memasuki kota Kadipaten. Yang kalian lakukan adalah mengambil persedian bahan makanan yang berada di kota Kadipaten, kalian lakukan saat kami sudah menggempur mereka, sehingga kosentrasi mereka terpusat pada pasukan kami yang merangsuk mereka."

Jambu Nada mendengarkan dengan saksama.

"Tugas kau tetap pada rencana awal seperti yang telah aku bicarakan dengan romomu, kau tidak perlu berada dipasukan mana pun."

"Baik, Paman!" sahut Jambu Nada sambil menganggukan kepalanya memahami maksud Gajah Mada.

"Katakan pada Kakang Kamandanu, saat aku melepaskan panah sanderan barulah seluruh pasukan Putri Latta Manjari bergerak, selama kami belum melepaskannya jangan ada dulu yang bergerak!" ucap Gajah Mada dengan wajah yang terlihat berwibawa. "Baiklah, aku rasa untuk saat ini sudah cukup. Sampaikan salamku buat romomu, selamat bertugas Nada!" tandasnya. Berikutnya lelaki bertubuh besar itu bergerak cepat lalu menghilang dikegelapan malam.

Jambu Nada masih berdiam diri, baru saja ia ingin beranjak dari tempatnya sesuatu menarik perhatiannya. Matanya dapat melihat dengan jelas pasukan dari arah kiri bergerak perlahan-lahan, pasukan yang cukup jauh dari pasukan inti itu semakin jelas menuju arah kota Kadipaten.

Pelipisnya mengerut, "Secepat ini kah mereka mulai bergerak, bukankah besok pagi baru kedua rusuk ini bergerak?" tanya Jambu Nada pada dirinya sendiri.

Cukup lama pemuda itu berpikir, akhirnya ia putuskan untuk kembali ke selatan di mana Kamandanu menunggu laporannya, ia menduga bahwa pasukan yang begerak itu juga merupakan bagian dari rencana Gajah Mada.

***

Pasukan rusuk kiri yang dipimpin Ra Kembar terus bergerak, menurut pertimbanganya, pasukan Sadeng tidak sebesar dari apa yang dikatakan orang-orang, apalagi telik sandinya berhasil masuk dan melihat situasi di Sadeng secara dekat, dari laporan itu dirasanya cukup untuk dapat segera maju.

"Maaf Tuan apa ini sudah sesuai rencana Prabu Ratu?" tanya Senopati Gagak Minger pada Ra Kembar yang tersenyum sinis.

"Kau tidak perlu khawatir Minger, besok pagi kita sudah menguasai Sadeng, dan setelah satu malam kita bermalam di kota Kadipaten kita akan kembali ke Kotaraja," sahut Ra Kembar penuh keyakinan.

"Aku sama sekali tidak mengerti dengan maksud Tuan," kata Gagak Minger dengan wajah yang kebingungan.

"Sudahlah Minger, laksanakan apa saja yang diperintahkan Tuan Ra Kembar, bukankah dalam pasukan ini Tuan Ra Kembar sebagai pemimpinnya!" sela Jala Tingkir sambil memandang Gagak Minger yang kebingungan.

Walaupun dengan kebingungan namun Gagak Minger tidak dapat berbuat banyak, sebagai senopati pengapit ia hanya bertugas melaksanakan perintah pemimpin pasukan rusuk kiri.

Setelah beberapa lama maju dengan perlahan, pasukan lengkap itu kemudian menyebar tepat disaat mereka mendapat syarat dari Ra Kembar yang diteruskan senopati kepada lurah kemudian pada prajurit-prajurit.

"Lihatlah Minger, kota ini sudah kita kepung tidak ada penjagaan yang terlalu rapi di sini, hanya beberapa gardu saja yang terisi penuh oleh prajurit jaga," ujar Ra Kembar tersenyum puas.

Gagak Minger bernapas lega, karena kecemasannya benar-benar dugaannya semata. Awalnya ia berpikir bahwa itu adalah jebakan tapi menilik dari apa yang di lihatnya memang benar penjagaan di sekitaran tempat itu tidak terlalu ketat. Bahkan sebagian prajurit jaga itu sudah tertidur.

"Mereka tidak akan menduga, jika malam ini kita sudah mengepung mereka dan esok pagi mereka akan tergagap setelah menyadari bahwa mereka sudah terkepung," kembali terdengar suara Ra Kembat lirih, suara itu juga menampakan kebanggaan atas rencananya itu.

"Tapi Tuan, apa malam ini kita tidak akan istirahat?" tanya Gagak Minger.

"Kita beristirahat barang sejenak, tapi sewaktu hari belum menjadi terang kita harus sudah bergerak dan lansung menuju Istana Kadipaten," jelas Ra Kembar.

"Kami memutuskan untuk bergerak tentunya tidak dengan sembarangan Adi Gagak Minger," timpal Jala Tingkir, "telik sandi pasukan kita bekerja dengan baik dan lebih berpengalaman dari telik sandi manapun, bukankah begitu Tuan Ra Kembar."

Ra Kembar tersenyum sembari mengangguk, dengan mata tidak lepas memandang sekitaran tempat itu.

"Baklah, kita istirahat barang sejenak, jangan ada yang membuat perapian dan terus awasi tempat ini, bagaimanapun juga kita harus tetap waspada," Kata Ra Kembar dengan suara tegas setelah meyakini keadan tempat itu.

Malam terus beranjak, sepotong bulan menyembul di antara ribuan bintang yang memandang manusia dengan tatapan pedih, bintang-bintang itu menyesali tindakan manusia, tidak lagi mementingkan arti kehidupan, yang ada hanya membunuh atau dibunuh.

***

Ketika siang sudah datang, di batas kota Kadipaten terliha prajurit yang setia dengan Ra Kembar semakin terdesak. Putra raja Pemelekehan itu sangat geram setelah mengetahui situasinya yang terjepit.

Di lain pihak Jala Tingkir pun amat geram dan marah, rencananya di ketahui sehingga pasukannya hampir hancur oleh pasukan Sadeng yang berada di batas Kota Kadipaten, dengan susah payah akhirnya ia dapat menjelaskan pada pimpinan pasukan batas kota Kadipaten, karena itulah Jala Tingkir terus mendesak Ra Kembar dan prajurit yang setia padanya, Jala Tingkir ingin menumpahkan kemarahannya pada pasukan Ra Kembar yang sudah semakin sedikit.

Ra Kembar berdiri tegap, tubuhnya sudah dipenuhi goresan pedang dari Jala Tingkir, matanya tajam menatap lelaki tua tersebut.

Sementara itu pasukan Jala Tingkir menggempur pasukan Ra Kembar yang mencoba bertahan melindungi Ra Kembar dan Gagak Minger.

Gagak Minger bagaikan benteng terluka mengamuk sejadi-jadinya beberapa prajurit Jala Tingkir dalam sekali libas berjatuhan, namun sebagai mana kuatnya Gagak Minger, tetap tidak akan mampu melawan prajurit yang sekian banyaknya.

"Lebih baik Raden bergabung bersama kami, Raden bisa membawa pasukan dari Pamekalehan lalu kita bisa menghancurkan Majapahit," lantang suara Jala Tingkir berdiri dengan dua bilah pedang pusakanya.

"Jahanam kau Jala Tingkir! Aku bukan seperti kau yang bisa dengan seenak hati berpindah-pindah dalam mengabdi, jangan kau merasa sombong karena berhasil melukaiku, tapi aku bisa jamin setelah ini sedikit pun kau tidak akan mampu lagi melukaiku!" sahut Ra Kembar tidak kalah lantangnya.

"Aku tahu kau memiliki lembu sekilan, tapi dengan prajurit yang sedemikain banyaknya kau tidak akan mampu bertahan, tetap saja tenaga murni terbatas," balas Jala Tingkir dengan tatapan sinis. "Cobalah berpikir dengan jernih Ra Kembar, Jika aku atau kau terus mengabdi pada Majapahit maka kita tidak akan berkembang, tapi jika aku atau kau memilih di sini kita bisa terus berkembang dan lagian kau lihat banyak Nagara (Negeri bawahan) yang tidak sependapat kalau Majapahit dipimpin seorang ratu. Ratu Tribhuawana tidak akan mampu menjalankan pemerintahan!"

"Kurang ajar! Beraninya kau menghina Prabu Ratu! Akan aku buktikan, sebelum kau menghadapi Prabu Ratu tubuhmu telah menjadi mayat. Aku sama sekali tidak tertarik dengan tawaranmu, itu hanya khayalanmu saja!" kata Ra Kembar dengan suara yang bergetar, darahnya semakin mendidih.

Dengan Ajian Lembu Sekilan, Ra kembar bergerak maju , merangsak ke arah serbuan prajurit yang segera menghalanginya mendekati Jala Tingkir, begitu ketat kepungan itu bagaikan air bah prajurit itu silih beganti mendera tubuh Ra Kembar. Namun dengan Lembu sekilan yang telah diterapkannya, hampir tidak ada pedang ataupun tombak prajurit yang berhasil melukai kulitnya.

Pada saat itulah dari kejauhan ribuan panah menghujam prajurit-prajurit Jala Tingkir dan prajurit batas Kota. Betapa terkejutnya Jala Tingkir mendapat serangan itu, mereka berdiri tepat di atas tanah yang terbuka sehingga dengan mudahnya panah - panah itu mengoyakkan kulit prajurit-prajurit Sadeng yang tidak siap dengan serangan itu.

''Bangsat, prajurit mundur!'' seru Jala Tingkir keras

Sumpah serapah di mulut seperti tercurah dari bibirnya, matanya melotot melihat panah-panah yang berhasil menembus tubuh-tubuh prajuritnya.

Ra Kembar menggunakan kesempatan itu mendekati Jala Tingkir, ia terus maju mendekati Jala Tingkir yang sibuk memberi aba-aba pada prajuritnya, dengan darah yang mendidih Ra Kembar menghujamkan tombak panjang milik salah seoarang prajurit yang telah merenggang nyawa.

Ra Kembar terkekeh dengan mata yang merah memandang Jala Tingkir.

"Rasakakan ini bangsat! bermimpilah di neraka!" teriak Ra Kembar.

Terdengar seluruh prajurit bergemuruh menyambut Ra Kembar yang berhasil melumpuhkan Jala Tingkir.

Jala Tingkir terkejut bukan kepalang ketika merasa perutnya merasakan sakit yang sangat luar biasa, ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Ra Kembar. Sepertinya Ra Kembar tidak memedulikan prajurit yang mencoba menghalanginya, dengan sekuat tenaga kembali sebuah pedang menghujam tubuh Jala Tingkir.

Dengan mata melotot Jala Tingkir bersimpuh dan darah yang mengucur deras, mulutnya berdesis dengan kata yang sama sekali tidak jelas. Sementara itu Prajurit Sadeng yang kalang kabut tidak tahu lagi harus berbuat apa-apa, mereka terkepung dengan panah yang siap dilepaskan kembali. Mereka hanya bisa berdiri dengan wajah pucat pasi.

Gagak Minger yang terluka bagaikan arang kranjang nampak tersenyum puas setelah pedangnya menancap tepat di perut senopati yang memimpin pasukan batas Kota, Gagak Minger yang tergeletak di rerumputan dengan segera diangkat oleh beberapa prajurit untuk mendapatkan perawatan.

"Gajah Enggon, terima kasih kau telah datang membantu kami," kata Ra Kembar yang terduduk, tubuhnya terasa pedih dengan sayatan di kulitnya.

"Sebaiknya Tuan segera kembali ke pasukan Induk!" Sahut Gajah Enggon yang berdiri dengan sorot mata tak senang.

"Hei, kenapa aku harus di pasukan induk bukankah aku akan memimpin rusuk kiri?" ucap Ra Kembar dengan mata yang melotot.

"Apa Tuan masih mempunyai prajurit? Apakah dengan sisa prajurit ini Tuan masih ingin memimpin rusuk kiri?" tanya Gajah Enggon yang kini telah naik di atas punggung kuda.

"Maksudmu?" tanya Ra Kembar cepat.

"Pertanyaanku sudah jelas Tuan, tapi jika Tuan ingin kejelasan menghadaplah pada Prabu Ratu," sahut Gajah Enggon kemudian memerintah prajuritnnya menuju perkemahan rusuk kiri.

Prajurit yang di pimpin Gajah Enggon dan prajurit yang telah di tawan kemudian perlahan menuju perekemahan rusuk kiri yang berada di sebarang Sungai Bedadung.

Ra Kembar menggertakan giginya, ia sadar bahwa prajuritnya banyak yang gugur, hanya beberapa kelompok yang tersisa dan tidak mungkin kembali memimpin kesatuan pasukan rusuk kiri.

Perlahan dengan langkah yang lemah putra Raja Pamekelehan itu menaiki punggung kuda, tubuhnya yang terluka masih mengucurkan darah yang walaupun tidak parah tapi tetap saja terasa perih, apalagi terik matahari yang segera membuat peluh mengaliri lukanya.

***

Matahari sudah menampakan dirinya, tidak ada yang berani menunda kedatangannya bahkan para dewa tersenyum melihat kedatangan Sang Surya, rajanyanya api sekaligus sumber dari segala cahaya.

Dyah Tribhuawana yang berada di pasukan induk sangat terkejut mendengar laporan bahwa pasukan rusuk kirinya telah bergerak mendahului dan terlebih lagi keadaan pasukan itu berada dalam keadaan terdesak.

"Apa Ra Kembar tidak mendengar perintahku sebelumnya, Kakang?" Tanya Dyah Tribhuana pada Gajah Mada yang duduk dengan hormat.

Gajah Mada terlihat mengangukan kepalanya, ia mengerti kekecewaan Dyah Tribhuana yang pastinya kekurangan pasukan, terlebih lagi pasukan di bawah pimpinan Ra Kembar adalah pasukan rusuk kiri, yang menjadi pelengkap seluruh pasukan. Apalah artinya Sipit Urang,Garuda Nglayang dan Dirada Meta tanpa pasukan rusuk kiri.

"Bagaimana dengan utusan ke Blambangan, apakah sudah ada kabar dari mereka, Kakang?'' tanya Raden Cakradara, Bhre Tumapel itu menduga Gajah Mada kesulitan menjawab.

"Sudah Raden, tapi seperti yang kita perkirakan mereka tidak mengirimkan prajurit mereka dengan berbagai alasan," Jawab Gajah Mada.

"Baiklah, ternyata di antara mereka belum yakin dengan pemerintahanku, mereka yang dekat dengan daerah ini pun seperti menutup mata melihat kejadian ini, kita pergunakan apa yang kita miliki, sekarang juga kita akan bergerak!" terdengar suara Dyah Tribhuana meninggi meluapkan kekecewaanya

"Hamba Gusti Prabu Ratu, kurang baik rasanya jika kita bergerak dengan terburu-buru. Baiklah akan hamba terangkan apa yang terjadi dengan pasukan rusuk kiri yang bergerak mendahului kita memang bagian dari rencana," sahut Gajah Mada dengan tangan bersedekap.

"Apa maksud Kakang dengan bagian rencana? Apakah Kakang tidak dengar bahwa pasukan itu mendahului dan dalam keadaan terdesak berarti kita kehilngan rusuk kiri kita!" sahut Dyah Tribhuana dengan wajah keheranan mendengar jawaban Gajah Mada yang dinilainya telah salah dalam bersikap.

"Hamba Gusti Prabu Ratu," ucap Gajah Mada mulai menjelasakan. "Sebenarnya pasukan rusuk kiri yang bersama Ra Kembar lebih dari separuh milik dari Temenggung Jala Tingkir, pasukan tersebut adalah pasukan Sadeng yang telah disusupkan Temenggung Jala Tingkir."

Sontak saja mereka yang berada di tempat itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, terlebih Dyah Tribhuana menampilkan wajah tegang.

Lanjut Gajah Mada menejelaskan, "Jauh hari kami telah mengetahui bahwa Temenggung Jala Tingkir adalah kaki tangan Kadipaten Sadeng, karena itulah mereka tidak mendapatkan kesulitan saat memasuki perbatasan karena mereka adalah prajurit Sadeng itu sendiri yang digunakan untuk menghancurkan gelar yang kita persiapkan."

Sejenak Gajah Mada mengambil jeda, memasukan banyak udara ke dalam tubuhnya.

"Tapi satu hal yang mereka tidak sadari," pelan namun dengan jelas Gajah Mada kembali menuturkan maksdunya. Raden Cakradara, Dyah Wiyat, Raden Kudamerta mengerutkan kening, walaupun belum jelas tapi sedikitnya mereka semakin mengerti arah pembicaraan tersebut.

"Hamba menyiapkan pasukan yang terdiri dari prajurit pilihan hamba kemudian hamba sisipkan dalam pasukan rusuk kiri. Perkiraan kami tepat, Jala Tingkir yang berusaha menutupi dirinya dari kita ternyata tetap membawa pasukannya dengan umbul-umbul dan panji-panji Majapahit, demikian juga pasukannya yang tetap memakai pakaian prajurit Majapahit sehingga memudahkan prajurit pilihan hamba membenturkan mereka dengan pasukan Sadeng yang berada di batas Kota Kadipaten."

"Membenturkan bagaimana, Kakakng?" sela Raden Cakradara cepat.

"Mereka sengaja membuat keonaran dalam barisan pasukan, kemudian menyerang pasukan Sadeng yang berada di batas Kota. Pasukan Sadeng yang mendapat serangan tiba-tiba menduga mereka dijebak oleh Jala Tingkir apalagi dengan ciri yang mereka bawa menandakan pasukan Majapahit, mereka tidak mengetahui prajurit pilihan hambalah yang telah melakukan serangan tiba-tiba itu. Sehingga yang sekarang terjadi adalah pertempuran antara prajurit perbatasan Sadeng dengan prajurit mereka sendiri yang di bawa Jala Tingkir," jawab Gajah Mada.

''Jika memang demikian, kita perlu pasukan cadangan untuk mengisi rusuk kiri, karena sekarang berarti kita tidak mempunyai pasukan rusuk kiri," Kata Dyah Tribhuawana setelah mendengarkan penjelasan Gajah Mada.

''Pasukan rusuk kiri memang telah hamba persiapakan Gusti Prabu Ratu. Pasukan itu adalah pasukan Bhayangkara dan pasukan cadangan yang hamba tempatkan di belakang pasukan kita, pasukan inilah yang akan membantu parjurit pilihan dan prajurit yang setia dengan Ra Kembar untuk lansung menghancurkan sisa pasukan Jala Tingkir dan pasukan di batas Kota Kadipaten."

"Apakah Adi Ra Kembar tidak bersokongkol dengan mereka?" tiba -tiba Raden Cakradara bertanya dengan nada khawatir bagaimana pun juga Ra Kembar mempunyai hubungan kerabat dengannya.

"Hamba rasa tidak Raden. Ra Kembar hanya termakan hasutan Jala Tingkir, sebenarnyalah Ra Kembar adalah seorang satria Majapahit yang sangat mencintai negerinya hanya saja perasaanya yang terlalu berlebihan dan meluap-luap," sahut Gajah Mada pelan.

Raden Cakradara cukup bernapas lega mendapat keterangan dari Gajah Mada, paling tidak kerabatnya itu tidak termasuk orang yang telah makar terhadap Majapahit.

Sebenarnya Gajah Mada mengetahui sifat Ra Kembar yang sangat membenci dirinya, namun sebagai prajurit apalagi dengan suasana seperti ini tidak baik menjatuhkan nama seseorang yang bersama-sama berjuang demi kedaulatan Majapahit. Gajah Mada pun berpikir memang Ra Kembar sangat iri dengan keberhasilannya dalam berbagai hal, tapi kesetian putra raja Pemekelehan itu terhadap Majapahit tidaklah menjadi susut.

"Baiklah Kakang, kita akan menunggu kabar dari pasukan pengganti pasukan rusuk kiri, semoga mereka berhasil melumpuhkan pasukan Jala Tingkir," ujar Dyah Tribhuawana kali ini wajah Ratu Majapahit itu tidak setegang tadi.

"Kakang Gajah Enggon yang memimpin pasukan Rusuk kiri itu, Kakang?'' tanya Dyah Wiyat.

"Hamba Gusti Putri, memang Adi Gajah Enggon sendiri yang memimpin pasukan rusuk kiri, sedangkan untuk sementara pasukan Bhayangkara di Istana akan dipimpin Mahesa Sumping, hamba minta Ra Kembar ditarik di pasukan induk ini, agar tidak terjadi perselisihan di pasukan rusuk kiri kelak," jawab Gajah Mada.

"Benar Kakang, aku pun berencana demikian," sahut Dyah Tribhuawanna.

Sesaat Ratu Majapahit itu terdiam, satu hal yang masih sangat mengganjal pikirannya, dan menjadi alasan kuatnya untuk memimpin sendiri pasukan Majapahit. Putri angkatnya, Latta Manjari, sampai saat ini ia terus mencari keberadaan putrinya itu, ia ingin sekali lagi meyakinkan bawa rasa cintanya tulus tanpa menyangkut masa lalu putrinya, bahkan dirinya sebelumnya sama sekali tidak mengetahui latar belakang putri angkatnya itu, sekarang amat pedih rasanya harus berhadapan dengan putrinya di medan perang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top