Episode Dua Belas Bagian Dua (Hutan ALas Larang)
Kamandanu dan Gajah Mada sudah merasa seperti penghuni pedepokan Sekar Wangi. Mereka melakukan pekerjaan yang sebagaimana dilakukan cantrik dan murid padepokan. Ikut ke sawah, ke kebun dan sesekali berbincang-bincang dengan Resi Rengga. Tampak Gajah Mada tidak canggung melakukan hal itu. Ia begitu cakap mengambil hati penghuni padepokan Sekar Wangi.
Sementara itu Kerling Seta semakin menaruh curiga dengan kehadiran Kamandanu dan Gajah Mada, tapi karena menghormati boponya; Resi Rengga tak ingin ia menunjukkan rasa tidak senangnya. Ia merasa perlu mencari tahu, kecurigaan terhadap tamunya menguat ketika mendengar, bahwa ada orang yang menyelamatkan Panjura dan Libah saat berbenturan dengan murid pedepokan Puncara Agni di pedukuhan Besuki.
''Kalian harus cari tahu siapa mereka sebenarnya," perintah Kerling Seta pada murid kepercayaannya, "kita harus mengetahui dengan jelas tujuan mereka sesungguhnya. Aku tidak yakin mereka hanya menemani anaknya itu mencari bahan obat-obatan di sini. Apalagi sudah satu pekan mereka belum juga berkeinginan untuk segera pergi.''
"Apa kita perlu menghubungi orang-orang Puncara Agni, Guru? Bagaimana kesepakatan kita dengan mereka dulu?" sahut muridnya yang berkepala pelontos.
Kerling Seta mondar mandir di depan murid-muridnya, ''Masalah itu biar aku yang urus," katanya sambil menatap muridnya, "aku tak ingin ada perselisihan dengan Adi Suta, apalagi kalau hal ini membuat Bopo semakin tidak mempecayaiku memimpin padepokan ini."
''Baiklah Guru. Kami mohon pamit untuk kembali mengawasi ketiga orang itu."
''Jangan sampai mencurigakan mereka, kalian mengerti?"
''Iya guru," jawab muridnya hampir serentak lalu meningglkan lelaki berambut cepak dengan sorban berwarna merah.
***
Pada bagian timur hutan Alas Larang, sebuah pedepokan yang tampak tenang berdiri dengan megahnya. Pedepokan ini dikenal dengan nama Puncara Agni, merupakan pedepokan yang kerap melahirkan orang-orang besar di Kadipaten Sadeng. Bahkan Sang Adipati sangat menghormati ketua pedepokan, banyak orang yang mempertanyakan sikapnya ini. Sang Adipati pun mempercayakan tugas-tugas penting pada pedepokan Puncara Agni, apalagi kalau sedang mendapat masalah maka Puncara Agnilah tempat Adipati menyelesaikan masalah-masalahnya.
Angin perbukitan di sekitar hutan itu membelai lembut, daun yang rindang begitu asri meneduhi walaupun di tengah teriknya matahari. Di bawah pohon yang cukup besar duduk seorang gadis berusia belasan tahun dengan seorang wanita yang masih cukup muda pula, di belakangnya dua cantrik perempuan duduk menunggu dan siap melaksanakan perintah.
Puspita begitulah nama gadis yang masih berusia belasan ini, sedangkan yang duduk di sebelah sambil membelai rambutnya adalah biyungnya yang bernama Nyai Tantina.
Puspita adalah putri dari pemilik pedepokan Puncara Agni. Wajahnya yang ayu menampakkan ciri khas gadis-gadis di bumi Djawadwipa. Keayuan gadis itu terkenal di daerah timur Djawdwipa ini. Murid-murid pedepokan acap kali mencuri waktu untuk dapat melihat atau sekadar bertemu dengannya. Namun sebagian dari mereka hanya dapat memanjakan diri dengan khayalan, sebab sangat sulit untuk dapat bertatapan dengan gadis ini, jangankan bersapa ria untuk melihat saja bukanlah perkara mudah, apalagi Puspita banyak menghabiskan waktu bersama biyungnya, Nyai Tantina.
Seperti biasa, Puspita dan Nyai Tantina berlatih ilmu kanuragan bersama, di sekelilingnya tanah terlihat rusak, terlihat dua pedang yang tergeletak tanpa disarungkan.
.Nyai Tantina merasa perlu mengajari putrinya, karena ia tahu banyak lelaki yang menginginkan putrinya itu, oleh alasan itulah Nyai Tantina perlu membekali putrinya agar dapat terhindar dari kejahatan lelaki hidung belang, walaupun dirinya masih dapat tenang sebab putrinya ini berada dalam penjagaan ketat, sangat sulit bagi pendekar untuk mampu memasuki kawasan hutan Alas Larang, apalagi sampai di pedepokan.
Puspita memandang bangunan yang tampak lebih besar dari bangunan lain, itu adalah bangunan utama, di sana juga terdapat bangunan khusus yang hanya romo dan tamunya yang boleh memasuki.
Ia mendesah kecewa, "Biyung, apa mereka masih di sana?''
Nyai Tantina menatap putrinya, ia paham keluhan yang selama ini diutarakan anak gadis semata wayangnya ini, ''Bukankah kau sudah tahu kebiasaan mereka? Keluar kalau hari sudah petang."
Puspita menatap balik wanita di sampingnya ini, ia seperti berusaha menyelami wanita yang baginya memiliki hati berlapis-lapis, "Kenapa Biyung bisa diam saja dengan membiarkan Eyang dan Romo bersama mereka?''
Nyai Tantina menghela napas, wanita yang berhati lembut itu mengalihkan pandangan pada daun-daun yang lebat. ''Sudahlah Puspita, sudah berapa kali Biyung katakan, itu demi ilmu Kanuragan.''
Puspita sudah sering mendengar jawaban itu dari biyungnya, dan beberapa kali pula ia tidak mengerti mendapat jawaban seperti ini. Puspita masih belum paham bagaimana bisa harus tidur dengan gadis-gadis cantik maka mereka akan menjadi muda dan kanuragan dapat bertambah pula. Menurut Puspita harusnya dengan berlatih keras jika menginginkan sebuah kanuragan menjadi digjaya.
Ia memang tidak sepaham dengan tindak tanduk romonya, ia sangat tidak terima setiap kali romonya membawa gadis-gadis cantik dan menggunakannya untuk ilmu kedigjayaanya, sebagai sorang gadis hatinya terluka melihat perbuatan romonya.
Nyai Tantina sering pula menjelaskan pada putrinya, menjelasakan alasan suaminya bahwa gadis-gadis yang diambil akan dipertanggung-jawabkan, kalau tidak dinikahkan dengan prajurit-prajurit, gadis tersebut dapat menjadi dayang-dayang Istana Kadipaten. Menurut Nyai Tantina pula dengan begitu ikut membantu jalan hidup gadis-gadis tersebut, memperbaiki derajat dari kaum sudra menjadi orang yang dihormati.
Walaupun alasan itu yang sering diberikan biyungnya, Puspita masih tidak dapat menerimanya. Apalagi ia mengetahui tidak sedikit gadis-gadis tersebut menjadi gila atau pun bunuh diri. Kembali biyungnya ini memberikan sejuta alasan yang pada dasarnya membela suaminya.
''Itu karena mereka tidak mau menerima nasib yang sebenarnya baik untuk mereka, Eyang dan Romomu tidak mau membunuh mereka tapi untuk menutup hal ini dari luar maka perlu diambil ingatannya."
Sebagai seorang gadis pula, Puspita merasa bahwa romonyanya mengambil hak seorang gadis, sama saja dengan gadis-gadis tersebut tidak diberikan hak dalam hidupnya.
''Puspita, kau jangan terlalu banyak mengeluh. Apa kau lupa Romomu sangat marah kalau membahas masalah ini dan akan mengurungmu di bilik yang gelap itu,'' begitulah kata biyungnya setiap kali mengingatkan dirinya jika terus mengeluhkan perbuatan romonya.
Puspita pun tidak dapat berbuat banyak, ia pasrah. Tidak mungkin baginya menyelamatkan gadis-gadis itu, ilmu kanuragan yang dimilikinya tidak seberapa dari romonya apalagi eyangnya.
Puspita mendelik ketika jari telunjuk Nyai Tantina menempel di bibir tipisnya. Nyai Tantina mengisyartkan kehadiran orang yang tidak dikenali, Puspita diam menunggu tindakan biyungnya itu.
"Keluarlah Kisanak, apa kau sudah lama di situ?'' Nyai Tantina mengambil pedangnya, memegangnya dengan erat. Ia menduga bahwa orang ini adalah sekian banyak lelaki yang selalu berusaha mencari perhatian anak gadisnya.
''Maafkan kami Bibi, kami hanya menumpang lewat di jalan ini," seorang lelaki berpakaian aneh menampakkan diri dari balik semak, ia tidak sendirian. Beberapa orang berdiri di belakangnya. "Ketika melihat wanita cantik, teman-temanku ini menjadi sungkan untuk lewat."
"Sepertinya ketiga temanmu itu dari pedepokan Sekar Wangi," ucap Nyai Tantina sambil mengamati orang-orang yang berdiri di belakang orang yang berpakaian aneh, ia yakin dengan ucapannya terlihat dari pakaian yang mereka kenakan menandakan ciri khas pedepokan yang berada di sebelah barat hutan ini.
"Tapi tidak denganmu, apa kau pemimpin mereka?" tandasnya kemudian.
Orang yang berpakaian aneh dengan menggunakan caping di kepala yang terkesan menutupi wajahnya maju beberapa langkah. "Benar sekali Bibi, mereka adalah murid-murid dari pedepokan Sekar Wangi, mereka menemani saya mencari tumbuhan-tumbuhan yang akan saya jadikan bahan obat-obatan, tapi ternyata cukup sulit sebab di hutan ini banyak terdapat tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun,'' jelas orang itu.
''Bagaimana bila kami menilai kalian sedang memata-matai pedepokan kami," Puspita angkat bicara, sorot matanya penuh selidik, "di luar sana aku dengar sering terjadi perselisihan antara murid-murid kami dengan murid-murid Sekar Wangi."
''Aku rasa itu hanya kesalah-paham saja, gadis cantik ...''
Sebelum habis orang itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja Puspita melayangkan sebuah pukulan. Puspita merasa tidak senang dengan kata-kata orang itu yang menyebutnya gadis cantik. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan eyang dan romonya yang sering mencari gadis cantik untuk dijadikan tumbal bagi ilmu kanuragan. Konotasi itu begitu negatif dalam alam pikirnya.
Lelaki bercaping itu cukup terkejut, ia segera menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling cepat.
Merasa tidak mendapat sasarannya Puspita tidak mau berhenti ia terus menyerang dengan menjulurkan kakinya mengejar orang berpakaian aneh yang terus berguling-guling menghindari serangannya.
Tidak ingin pakainnya menjadi kotor lelaki bercaping itu melengkungkan tubuhnya lalu melompat ke udara dengan cepat.
Puspita terpaku beberapa saat melihat gerakan itu, ia tak menyangka orang ini mampu melakukannya. Untuk melompat ke udara dalah hal biasa baginya, tapi orang itu melakukannya dengan gerakan yang sangat cepat sehingga begitu sulit bagi pandangannya untuk dapat mengikuti.
Belum habis rasa takjubnya. Puspita merasa tubuhnya dihimpit dari belakang, kedua tangannya disilangkan oleh orang itu sambil memegang pundaknya. Semakin ia mencoba melepaskan diri semakin himpitan itu berasa menyesak dan tangannya merasakan nyilu. Punggungnya menempel dengan orang itu, saat ia menoleh ke belakang ternyata wajah orang itu begitu dekat, hidungnya menempel pada permukaan caping pada pipi orang itu. Ia tak dapat melihat dengan jelas wajahnya, namun mata itu mampu membiusnya, mulut gadis itu terbuka untuk beberapa saat.
Setelah menyadari keadaannya yang belum terlepas ia kembali meronta, namun meski sekuat tenaga memaksa tidak jua berhasil melepaskan diri, akhirnya Puspita menangis dalam himpitan itu.
Orang bercaping terlihat bingung ketika mendapati Puspita menangis. Lalu memutuskan untuk melepaskan ringkusannya. Baru saja ia ingin melonggarkan, tiba-tiba merasa hawa panas datang menyengat.
Rupanya Nyai Tantina menyerangnya menggunakan tenaga dalam.
Mendapat serangan itu, lelaki bercaping meraung keras dengan tubuhnya yang tetap menghimpit Puspita.
Nyai Tantina kalap, ternyata hawa panas itu berbalik menyerangnya, ia jumpalitan, tapi sayang ia kalah cepat. Aneh, seharusnya wanita itu merasakan tubuhnya terbakar oleh kekuatannya sendiri yang berbalik. Ia tidak merasakan hawa panas, hanya saja tenaganya sepertinya terkuras. Ia terjatuh ke tanah. Lalu berusaha untuk dapat berdiri, sia-sia. Istri pemiliki pedepokan Puncara Agni itu tak dapat melakukannya.
Suasana tiba-tiba menjadi hening, mereka yang berada di tempat itu terkesima untuk waktu yang cukup lama.
Puspita menjerit keras. Ia yang tidak lagi berada dalam penguasaan orang bercaping berlari ke arah biyungnya. Ia menangis sejadi-jadinya, tatapannya tertuju pada Nyai Tantina yang terbaring lemah di tanah.
Gadis itu mendelik ke arah lelaki bercaping, ''Kau membunuh Biyungku, akan kubunuh kau!'' teriaknya.
Puspita melompat dengan memutar, pada waktu yang bersamaan ia merasakan tangan orang itu bergerak lebih cepat menyentuh pundaknya. Ia sadar sepenuhnya sekarang, beberapa aliran darah pada persendiannya tersumbat, tenaganya terkuras habis. Lalu roboh ke tanah.
Dari sudut matanya, Puspita melihat apa yang di lakukan orang bercaping.
Lelaki itu memeriksa persendian Nyai Tantina. Ia duduk bersedekap seperti menghimpun tenaga murni. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan pada pundak Nyai Tantina.
Nyai Tantina merasakan aliran darahnya kembali berjalan normal, ia melihat orang bercaping itu mengambil sesuatu dari tabung yang berada di balik baju. Nyai Tantina paham bahwa itu sebentuk pil, ia menelannya ketika lelaki itu memasukan benda itu ke dalam mulutnya.
Lelaki berpakaian aneh itu kemudian mendekati dua cantrik yang terlihat pucat pasi, tidak tahu harus berbuat apa. Untuk melawan itu adalah mustahil, majikan mereka yangi ilmu kanuragannya pilih tanding saja sudah tergeletak lemah, mereka hanya dapat pasrah.
''Maaf Nyai saya tidak sengaja membuat dua orang majikanmu terluka, tolong dudukan gadis ini,'' pinta lelaki itu.
Dengan beringsut kedua perempuan itu membangunkan tubuh Puspita. Kemudian lelaki bercaping tersebut melakukan hal yang sama pada Puspita sebagaimana ia menyadarkan kembali Nyai Tantina.
Puspita merasakan tubuhnya lama-lama semakin membaik, bahkan seperti tidak merasakan apa-apa. Setelahnya ia menghambur ke arah Nyai Tantina yang masih belum mampu untuk bangun kembali.
"Biyung, Biyung ..." seru Puspita sambil menggoyangkan tubuh Nyai Tantina.
Wanita itu membuka matanya, dengan senyuman dia menatap Puspita yang masih menangis, "Aku tidak apa-apa Puspita." Lalu ia menoleh pada lelaki bercaping yang berdiri menatap ke arahnya, "Kemarilah, Kisanak."
Orang itu tampak ragu-ragu, ia maju berapa langkah tapi kemudian kembali berdiri seperti semula.
"Kemarilah Kisanak," ucap Nyai Tantina, kini bibirnya mengandung sebuah senyuman, "aku tahu kau tak berniat melukai aku dan anakku."
Orang bercaping kemudian mendekat, ia berjongkok di hadapan Nyai Tantina dan Puspita.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Nyai Tantina, ia berusaha untuk dapat melihat wajah di balik caping orang itu.
''Saya?" katanya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, "Jambu Nada, Bibi."
"Nama Bibi, Nyai Tantina dan ini anak Bibi, Puspita."
Lelaki yang ternyata putra Arya Kamandanu itu mengangguk, lalu berselonjor di depan keduanya. "Maafkan aku, Bibi," katanya dengan tulus, menyesal menyebabkan wanita ini terluka.
''Harusnya Bibi dan anak Bibi yang minta maaf padamu," Nyai Tantina berusaha untuk bangun, ia dipapah oleh Puspita, "kau tidak bersalah. Kamilah yang menyerangmu secara tiba-tiba, maafkan anak Bibi, dia tidak suka kau memanggilnya gadis cantik.''
Jambu Nada tertegun sejenak, sebuah alasan yang sangat tidak masuk akal. "Kenapa tidak suka, Bibi?"
"Pokoknya kau jangan memanggilku gadis cantik!'' sela Puspita.
"Hus, jangan tidak sopan begitu Puspita. Jika dia mau, kita tidak akan selamat dari sini. Sekarang minta maaflah pada Anakmas Jambu Nada."
Puspita mengangkat pandangannya, ia tak melihat apa pun selain sepasang mata bening dari balik caping yang dikenakan Jambu Nada. "Maafkan aku, Tuan."
Jambu Nada terkekeh, "Apa aku kelihatan tua? Panggil saja dengan sebutan kakang."
"Mana aku tahu kau tua apa tidak, buka capingmu dan perlihatkan wajahmu."
Jambu Nada segera berdiri lalu mundur beberapa langkah.
''Bibi, sebaiknya aku segera kembali ke Sekar Wangi," katanya kemudian, "kami khawatir kemalaman di tengah hutan."
Puspita merasa bersalah atas ucapannya, ia menunduk tak berani lagi menatap lelaki di depannya itu.
"Baiklah Anakmas," sahut Nyai Tantina, "lain kali berkunjunglah ke pedepokan kami. Ada beberapa murid dan cantrik kami yang mengetahui tempat di mana banyak ditumbuhi tanaman obat."
''Terima kasih, Bi. Lain waktu pasti aku akan mampir di pedepokan, Bibi," jawab Jambu Nada lalu berbalik dan menghampiri ketiga temannya.
***
Langit di sebelah barat hutan Alas larang diselimuti gelap, obor-obor menyala di setiap depan pondok. Kamandanu, Gajah Mada dan Jambu Nada duduk-duduk di dalam bilik yang khusus ditempati mereka. Hampir lima belas hari sudah mereka di pedepokan Sekar Wangi.
Selama dua pekan ini sedikit demi sedikit kabut yang menggelapi pikiran mulai terkuak. Gajah Mada dan Kamandanu yang lebih banyak berada di pedepokan, makin yakin bahwa terjadi perpecahan di pedepokan ini.
Kerling Seta yang saat ini memimpin pedepokan ternyata mulai mengecewakan di mata Resi Rengga. Kerling Seta tak lagi memandang pentingnya arti sebuah perguruan, seharusnya menelurkan manusia yang dapat mempertanggung-jawabkan ilmu untuk diamalkan pada kehidupan orang banyak. Ia lebih mementingkan pengabdian pada Adipati dengan tujuan pedepokan ini terkenal seantero Kadipaten. Ia ingin mengkuti jejak Puncara Agni. Jalan satu-satunya adalah bergabung dengan pedepokan tersebut dalam menyokong kadipaten.
Di lain pihak, Suta merupakan adik dari kerling Seta adalah orang yang menjunjung arti sebuah makna sebuah perguruan. Ia menentang keras kebijakan kakangnya. Meski demikian ia tidak mempunyai kendali penuh atas pedepokan, ia memperlihatkan caranya dengan secara terang-terangan menurunkan murid-murid Sekar Wangi yang memihak padanya untuk menghalangi tindakan orang-orang Puncara Agni maupun orang Kerling Seta itu sendiri yang meminta pedukuhan-pedukuhan menyediakan bahan makanan bagi Prajurit yang sedang berlatih di dalam hutan Alas Larang.
Dari Resi Rengga dan Suta. Kamandanu dan Gajah Mada mendapatkan keterangan bahwa racun Bataridewa memang sudah hampir punah, namun yang masih mempunyai ramuan tersebut adalah sesepuh Puncara Agni yang bernama Ki Panumerta. Kesulitan yang sekarang dihadapi bahwa sesepuh pedepokan itu jarang berada di kawasan hutan Alas Larang. Menurut Resi Rengga pula, sudah puluhan tahun yang lalu orang tua itu menyepi yang tidak seorang pun tahu. Ki Panumerta memang masih sesekali mengunjungi pedepokannya, paling tidak dua belas purnama sekali namun tidak ada yang tahu kapan persisnya.
''Setelah sepekan yang lalu aku menemukan jalan ke pedepokan Puncara Agni, aku lalu mencoba mengenali hutan ini. Hampir setiap sudutnya aku ketahui dengan cermat. Aku juga sudah memberi tanda untuk menjadi patokan,'' jelas Jambu Nada guna memberi keterangan pada Gajah Mada dan Kamandanu.
"Bagus Nada," kata Gajah Mada senang mendengar kabar itu, "kau melihat prajurit-prajurit yang sedang direkrut atau sedang berlatih?"
Jambu mengangguk dengan mantap, "Tentu Paman. Di malam hari pun mereka berlatih dengan giat."
''Bagaimana kalau kita ke pedepokan itu? Bukankah Jambu Nada dapat menemu Nyai Tantina yang dia temui sepekan yang lalu,'' usul Kamandanu.
Gajah Mada tampak menimbang, "Nada," katanya, ia menatap anak muda di depannya itu, "kita dapat menemuinya dengan alasan meminta bantuan untuk mencari tempat tanaman obat yang mereka ketahui itu, tapi tak perlu malam ini, sebaiknya pada siang hari saja kita berkunjung ke sana."
Ia menarik napas beberapa saat, pandangan tertuju pada jendela yang terbuka. Awan di kaki langit tampak bergerak dipermainkan angin. Sepotong bulan menyembul di antara kerlipan bintang.
"Kita tak bisa lagi berlama-lama di sini," lanjutnya, "pernikahan agung akan di gelar pekan depan. Karena itu kita harus cepat memastikan keterangan yang sudah kita dapatkan sejauh ini."
Kembali jeda, ruangan bilik yang temaram diisi oleh helaan napas mereka yang terdengar pelan. Gajah Mada kembali melanjutkan ucapannya, "Malam ini kita ke tempat gelar pelatihan prajurit-prajurit itu. Aku ingin mengawasi mereka secara dekat."
Keputusan tersebut kemudian direalisasikan dengan cepat. Ketiganya mengendap dengan menerapkan ilmu penyerap bunyi, sehingga gesekan yang mereka timbulkan tidak terdengar kecuali orang yang memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi. Setelah keluar dari pedepokan Sekar Wangi mereka menerapkan ilmu peringan tubuh untuk mempercepat gerakan. Dengan berkelebat di antara pepohanan. Tidak memakan waktu lama, tangan Jambu Nada terangkat ke atas mengisyaratkan tempat yang mereka tuju. Dari dahan sebatang pohon yang besar mereka dapat melihat perkemahan yang cukup besar.
Di sana pada tanah lapang yang membentang, terdapat pasukan segelar sepapan yang berlatih dengan gelar perang. Di setiap barisan tampak beberapa pemimpin mengatur dengan telaten para parajuritnya.
Pada tempat yang sedikit terpisah, adalah lahan bagi orang-orang yang baru ditempa menjadi prajurit. Begitu keras latihan yang mereka dapatkan, itu terlihat dari badan-badan mereka yang luka juga beberapa orang yang bergumul dengan tanah. Dipastikan kelak jika sudah menjadi prajurit, maka mereka adalah prajurit yang tangguh.
''Luar biasa!'' desis Gajah Mada sambil menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan penglihatannya ini.
''Pasukan segelar sepapan yang sangat luar biasa, Adi!'' bisik Kamandanu, "sekarang apa yang harus kita lakukan?"
''Tidak ada yang dapat kita perbuat," jawab Gajah Mada, ia menggeram. Sorot matanya menujukan rasa tidak senangnya, "ini sudah cukup menjadi bahan laporan. Besok aku akan ke Kadipaten, aku harus menanyakan langsung dengan Adipati Sadeng. Kalau tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan tidak ada cara lain, kita harus membumi hanguskan Sadeng."
Kamandanu sebenarnya sudah dapat memperkirakan tindakan Majapahit, namun saat kata-kata itu keluar tetap saja mengejutkan pendengarannya.
Ia paham dengan maksud Gajah Mada, jika tidak cepat bertindak maka kedaulatan Majapahit dapat dirongrong. Belum lagi daerah lain yang barang tentu tidak lagi menaruh rasa percaya atas kedudukan Majapahit sebagai negeri yang berkuasa. Namun satu hal yang membuatnya resah, perang. Ya di mana-mana perang pasti melahirkan korban yang tidak sedikit, baik jiwa maupun materi. Semuanya terkuras, perang adalah sebuah medan yang menghalalkan manusia sebagai makhluk pembunuh.
Setelah puas melihat keadaan di tengah hutan itu, mereka kembali bergerak sebab jika lama-lama di tempat tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru. Dengan tetap menerapkan Ilmu peringan tubuh mereka berkelebat seakan tak memiliki beban tubuh, bila sudah begitu hukum gravitasi tidak bekerja pada mereka.
Ketika hampir memasuki kawasan pedepokan Sekar Wangi, mereka dikejutkan oleh suara benturan. Lalu memutuskan untuk melihat langsung sumber benturan. Di sana terlihat dua orang terlibat adu tanding.
"Puspita!" desis Jambu Nada dengan mata tetap tertuju pada salah seorangnya yang melompat dan sesekali mendaratkan pukulan.
"Kau mengenal Gadis itu, Nada?'' tanya Kamandanu
Jambu Nada mengangguk, ''Dia adalah salah satu wanita yang aku temui ketika mencari jalan menuju pedepokan Puncara Angi. Tapi aneh bukankah yang dia lawan adalah murid-murid pedepokan Puncara Agni itu sendiri.''
''Kita lihat saja apa yang terjadi, kalau tidak ada yang penting lebih baik kita tidak usah ikut campur,'' tegas Gajah Mada.
Sementara itu Puspita tampak begitu lincah menghindar sergapan seorang pemuda yang menyerangnya.
Lawannya ini mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi, ia berusaha mencari titik persendian Puspita agar dapat melumpuhkan, namun bukan hal mudah sebab selain dia tidak berniat melukai gadis itu, Puspita juga begitu lincah mengelak dan sesekali melesatkan serangannya.
"Marilah Puspita kita hentikan semuanya ini. Hanya membuang tenaga yang sia-sia. Bukankah tidak ada yang akan menyakitmu?'' seru pemuda itu sambil menepis tangan Puspita yang mencoba menyerang dadanya.
Sesaat kemudian Puspita melompat ke belakang dan berdiri dengan tegak.
Pemuda itu terkejut ketika melihat gelagat dari tindakan Puspita. "Hei, jangan kau gunakan, Puspita! Itu bisa melukaimu sendiri."
''Bersiaplah Kakang! Lebih baik aku mati jika harus kembali,'' sahut Puspita dengan geram.
Tangannya bersedekap. Dari kedua telapak tangannya itu memancar sinar kemerahan yang walaupun tidak bernyala terlalu terang. Itulah pertanda Puspita menerapkan ajian Komala Agni. Meski masih jauh dari kata sempurna namun dapat membakar apa pun yang dibenturkannya. Sesaat kemudian seleret sinar merah melayang dan menghantam ke arah pemuda itu.
Dengan sigap lawannya menerapkan ilmu peringan tubuh. Jumpalitan guna menghindari serangan Puspita.
Puspita tidak berhenti, ia terus mengerahkan ajian yang menggerigis itu, Tapi tampaknya tenaga dalam Puspita belum mencukupi untuk menerapkan ajian Komala Agni terlalu banyak, lambat laun gadis itu merasakan tenaganya mulai terkuras, namun sasarannya belum juga dapat disentuh.
"Bukankah itu Pragolopati, Nada?'' bisik Kamandanu.
Jambu Nada membenarkan, "Begitu cepat peningkatan ilmu kanuragannya.''
"Berarti, Kakang Arya Dwipangga ada hubungannya dengan di pedepokan itu."
"Sepertinya begitu, Romo. Bukankah dua pekan yang lalu Pragolopati berada di Kotaraja. Aku harus mencari keterangan melalui Puspita, bagaimana menurut Romo?"
''Romo juga berpikir begitu, kau pakai jubah ini! Jangan sampai Pragolopati mengenalimu."
Sesaat kemudian Jambu Nada memakai jubah yang diberikan Kamandanu, sehingga kain itu hampir menutupi seluruh tubuhnya.
''Apa yang akan kau lakukan, Nada?" seru Gajah Mada keheranan dengan laku anak muda itu.
''Aku mengenali gadis itu, Paman. Tunggulah di sini."
Jambu Nada meloncat lalu berkelebat menangkap tubuh Puspita yang sudah lemah lantaran tenaganya yang terkuras.
"Hei, siapa kau?'' pemuda yang menjadi lawan Puspita kelabakan. Ia sudah yakin dapat membawa gadis itu dengan aman.
''Maafkan aku Kisanak, aku terpaksa membawanya. Tidak baik seorang gadis harus bertarung dengan lelaki di tengah malam seperti ini,'' sahut Jambu Nada, kemudian tubuhnya melayang ke arah hutan yang lebat.
Pemuda yang diketahui dengan nama Pragolapati tidak mau tinggal diam, dengan sigap ia melompat dan memburu Jambu Nada, ternyata gelapnya malam menciptakan kesulitan baginya, semakin memasuki hutan maka bayangan itu semakin menghilang.
"Kurang ajar!'' maki Pragolapati sambil menjejakkan kakinya ke dahan pohon yang cukup besar.
"Aku harus melaporkan ini pada guru, sepertinya orang itu mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi,'' ucapnya pada diri sendiri. Tubuhnya segera melayang ringan hingga menjejak tanah, berikutnya pemuda dari Kurawan itu berbalik arah menuju pedepokan Puncara Agni.
***
Malam sudah melewati puncaknya saat Jambu Nada bersama Kamandanu dan Gajah Mada kembali ke pedepokan Sekar Wangi. Ketiganya langsung menuju pondok utama, menemui Resi Rengga perihal Puspita yang dibawa Jambu Nada.
Wajah tua Resi Rengga mengerut mendengar penuturan Puspita. Gadis itu kini merasa sedikit tenang, wajahnya sendu, matanya masih merah. Air matanya belumlah mengering.
Puspita merasa terpukul saat mampu mencuri dengar percakapan romo dan biyungnya. Dari pembicaraan itu menyangkut masalah dirinya yang akan dikawinkan dengan Adipati Sadeng dalam waktu dekat ini. Ia tidak terima dengan perjodohan itu. Menurut romonya, dengan perjodohan tersebut dapat mengikatkan hubungan persaudaraan pedepokan Puncara Agni dengan Kadipaten.
''Ndok, sekarang biyung ada di mana?'' tanya Resi Rengga dengan suara yang lembut.
Puspita menyeka tangisnya dengan punggung tangan, ia menunduk. Suaranya terdengar sesegukkan, "Biyung berada di padepokan Eyang. Biyung tahu aku pergi meninggalkan pedepokan. Biyung mengerti kalau aku memang tidak mau menerima perjodohan itu, apalagi kemungkinan aku hanya akan menjadi selir Gusti Adipati."
Puspita sama sekali tidak menyukai Adipati, bahkan Puspita sangat benci dengan Adipati itu. Menurutnya, Sang Adipati-lah yang membuat Romonya berkelakuan aneh, dengan mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk memperdalam ilmu kedigdayaan.
"Ini semua gara teman Romo dan beberapa petinggi Kadipaten yang menyarankannya,'' Lanjut Puspita dengan wajah geram.
Setelah beberapa lama, Resi Rengga kemudian memerintahkan pembantunya untuk mengantarkan Puspita istirahat. Untuk sementara ini gadis itu diperkenankan tinggal di Sekar Wangi. Orang tua itu paham, suatu saat ia harus mengembalikan gadis ini, bila tidak maka hubungan dengan pedepokan Puncara Agni tentu semakin memburuk.
***
''Aku bercita-cita menjadi seorang tabib," kata Jambu Nada ketika ia dan Puspitasari menyusuri hutan tak jauh dari pedepokan.
"Tabis istana adalah tujuan utamaku," lanjut Jambu Nada tangannya sibuk memilih daun yang dianggap sebagai bahan untuk obat-obatan. "Kau kau sendiri, Puspita?
Gadis itu menggeleng, "Hidupku sepertinya tidak memiliki tujuan," ia membuka penutup bakul yang berada dalam pelukannya saat Jambu Nada memasukan daun yang baru dipetik.
Lalu mendesah kecewa, "Aku tak bisa memiliki keinginanku sendiri," katanya, suaranya terdengar bergetar, "seluruh perjalanan hidupku ditentukan oleh romoku."
"Ah sayang sekali, seharusnya gadis secan ...." ucapannya menggantung di udara, "ah lupakan saja," katanya menuntaskan.
"Kau mau bilang apa, Kakang?" desak gadis itu dengan menggulum senyumnya.
"Nah, jangan terlalu banyak murung Puspita," balas Jambu Nada, ia memerhatikan wajah gadis itu demi mencari kata-kata yang tepat, "sayang kalau wajah ayumu ini dikalahkan oleh kemurunganmu."
Wajah Puspita bersemu merah lalu memalingkan mukanya, "Ah, Kakang, kau bisa saja."
"Ceritakanlah keadaan pedepokanmu, sebenarnya aku pengin main di sana," kata Jambu Nada mengalihkan pembicaraan. Langkahnya mengiringi Puspita yang berjalan pelan.
"Tidak ada yang menarik di sana, membosankan. Setiap hari terlihat hanyalah petinggi Kadipaten yang silih berganti menemui Romoku?"
"Kau mengenali di antara mereka?" Jambu Nada menghentikan langkahnya, kembali dia menatap gadis itu.
Puspita tampak berpikir sejenak, ia memegang dagu lancipnya. Matanya tertutup sejenak seolah mengingat sebuah rekaman dalam memori otaknya. "Dwipangga," katanya kemudian, "orang itu yang paling sering mengunjungi Romoku."
Jambu Nada kaget, ia pun berbalik dan berpura-pura memilah daun.
"Ada apa Kakang?" tanya Puspita seperti mampu membaca gelagat Jambu Nada, "kau mengenalinya?"
"Tidak," jawab Jambu Nada dengan cepat, "tentu saja tidak. Sebaiknya kita kembali sekarang. Ini sudah cukup."
Selama perjalanan pulang pembicaraan keduanya bergeser ke masalah lain. Dan banyak lagi yang membuat Puspita merasa betah bersama Jambu Nada
Hubungan keduanya semakin rapat, di mana ada Jambu Nada maka Puspita mengekorinya. Gadis itu merasa senang tinggal di Sekar Wangi, ia dapat meluapkan keinginan yang terpendam selama ini. Di sini ia dapat membantu para cantrik memasak dan belajar banyak hal tentang ilmu keperempuanan. Hal-hal sederhana seperti inilah yang ia inginkan, bila dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya yang berasa membosankan. Di sana ia lebih banyak mengurung diri. Yang ia dapatkan hanyalah ilmu bela diri.
Dan tanpa ia sadari dari kenyamanan itu menumbuhkan sebuah harapan dalam hidupnya. Ia mulai tersenyum sendiri, dengan mengkhayalkan berbagai hal.
***
Selama bergaul dengan Puspita Jambu Nada banyak mendapatkan keterangan. Termasuk tentang Uwaknya, Arya Dwipangga. Ia adalah orang kepercayaan paman Puspita yang bernama Jasa Wirat. Jambu Nada juga mendapatkan keterangan bahwa pemuda yang bernama Pragolopati dan lelaki paruh baya bernama Ki Ponco ternyata berguru dengan Arya Dwipangga. Menurut Puspita pula, Pragolopati kini sudah menjadi seorang prajurit di Kadipaten Sadeng.
"Sepertinya aku tak perlu ke Kadipaten menemui Adipati," kata Gajah Mada setelah mendengarkan banyak hal dari Jambu Nada, "biarlah nanti akan aku bicarakan dengan Gusti Mahapatih. Gambarannya sudah cukup jelas bagiku dan keamanan Kotaraja lebih mengkhawatirkan. Kita akan kembali ke Kotaraja beberapa hari lagi. Sebelumnya aku ingin melihat perkembangan di sini dulu dan juga menemui telik sandiku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top