Episode 27 Bagian 2 (Mayat Lelaki Bertotol)
Gunung Welirang berdiri dengan sombong, menyatakan bahwa dirinya sederajat dengan gunung-gunung besar seperti Arjuna. Ngarai yang terbentang menempatkan batu besar kukuh menancap, bahkan di antara batu itu ada yang sebesar sepuluh depa lelaki dewasa. Luar biasa besarnya. Di sekitaran bukit-bukitnya berdirilah beberapa pedukuhan berisikan manusia yang menumpang tanahnya untuk dapat bertahan hidup. Begitu pula dengan pedukuhan Mojosari, yang letaknya persis di kaki bukit Welirang.
Angin pagi segera membelai, setiap embusan yang keluar dari mulut adalah uap. Menyatakan derajat suhu yang sangat rendah. Bila demikian membuat tangan segera menarik kain-kain untuk menghangatkan tubuh. Bagi yang sudah memiliki pasangan, saling mendekap untuk berbagi kehangatan.
Ketenangan kini menjadi sesuatu yang dirindukan warga Mojosari. Sudah lama mereka tak menikmati pulasnya tidur, lahapnya makan dan kenyamanan lainnya. Rasa khawatir selalu menghantui. Dan pagi ini kembali pedukuhan itu geger dengan ditemukan mayat lelaki di tapal batas pedukuhan.
"Tubuh mayat itu bertotol hitam," terang Ki Jagabaya pada kedua tamunya.
Mendengar hal itu Latta Manjari bangun dari duduk. "Di mana mayat itu?"
"Di banjar," sahut Ki Jagabaya keheranan.
Tanpa berkata-kata lagi, Latta Manjari bergegas ke luar. Dari mulut pintu ia melihat orang-orang berkumpul di sekitaran banjar. Ia menghela nafas lega setelah memastikan mayat itu.
"Bukankah lelaki ini yang menghalangi kita di perjalanan?" letup Puspita yang mengamati mayat dengan tubuh penuh totol hitam.
"Kalian yakin?" tanya Ki Jagabaya yang berdiri di smping Puspita.
Gadis itu mengangguk. "Aku masih ingat dengan wajahnya. Dan lebam di wajahnya ini adalah bekas tanganku. Yang menjadi pertanyaan adalah buat apa mayat itu di taruh di tapal batas Mojosari?"
"Kurasa ini berkaitan erat dengan keberadaan kita di sini!" Latta Manjari memeluk kedua tangannya, "aku yakin ada pihak yang tak senang karena telah lancang melanggar peringatan mereka, lebih lagi kita mampu melumpuhkan orang-orangnya."
"Ya, aku sependapat," timpal Puspita yakin
"Sebaiknya kita temui Ki Buyut dan ceritakan hal ini pada beliau." Ki Jagabaya mengajak kedua gadis itu beranjak dari banjaran.
Tidak memakan waktu lama, hanya melewati beberapa gubuk warga, mereka sampai di kediaman Pak Warih. Sebuah bangunan sederhana, yang tak jauh berbeda dari rumah penduduk lainnya, yang membedakannya adalah adanya regol dan di samping rumah itu berdiri dua gondok. Sebelah kiri dan kanan. Rupanya di depan regol, Ki Buyut sudah menunggu, kembali wajah tuanya menyiratkan senyum penuh ketulusan.
"Marilah Nini," ajaknya sambil membuka regol.
Beberapa kudapan dan wedang jahe sudah tersedia di atas tikar pandan. Ki Warih pun mempersilakan tamunya itu untuk duduk.
"Silakan di minum Nini," katanya lagi, "dengan cuaca begini, wedang jahe jadi minuman yang paling dicari. Silakan dicicipi, maaf hanya kudapan sederhana yang dapat saya sajikan."
"Terima kasih, Ki." Jawab Latta Manjari tersenyum, ia memosisikan diri duduk di samping Puspita.
"Sebentar lagi Nyai Mekar ke sini," ujar Pak Warih pada Puspita, "saya sudah meminta bantuan seorang warga untuk membawanya ke sini."
"Kedua tamu kita ini mengenal mayat di banjar itu, Ki," kabar Ki Jagabaya. Lelaki yang mungkin berusia kepala empat itu langsung menerangkan kedatangannya.
Pak Warih pun kembali mengalihkan pandangan pada dua gadis di depannya. Meminta penjelasan.
Latta Manjari kemudian menceritakan alasan mengenali mayat yang ditemukan warga tersebut. Ia mengaku sebatas itu tanpa tahu jati diri mayat.
"Aku rasa tidak lama lagi mereka akan datang ke sini," hampir suara Ki Warih tak kedengaran, "baguslah, dengan demikian kami dapat berhadapan langsung. Menyerahkan hidup dan mati pada Sang Hyang Widhi."
Pada saat itulah seorang lelaki mengantar wanita di depan regol kediaman Pak Warih. Dilihat dari wujudnya wanita itu sudah jauh meninggalkan masa muda. Pipi tirus, mata cekung dan tampak tulang dadanya menonjol.
"Ki, ada yang mencariku?" tanyanya saat sampai di muka pintu.
Pak Warih tersenyum, "Masuklah Nyai, seseorang ingin bertemu denganmu."
Puspitasa sendiri hampir tidak mengenal wanita itu, keadaan fisik yang jauh berubah dari lima tahun silam, mengaburkan. Ia tersentak ketika wanita itu menatap dan menyebutnya namanya.
"Ya Dewa Jagat Batara! Kau ada di sini, Ndok?"
"Bibi!" Puspita kemudian menghambur dalam pelukan wanita tua yang diketahui bernama Nyai Mekar.
Meski pun wanita ini tidak mempunyai hubungan darah dengannya, namun dulu ketika masih anak-anak, Puspita bergaul rapat dengan istri pamannya ini. Biasanya kalau biyungnya sedang berpergian, maka Puspita dalam pengawasan Nyai Mekar.
"Kenapa kau bisa ke sini, Ndok. Seharusnya kau tak ke sini!" Nyai Mekar membusai lembut keponakan suaminya itu.
"Aku memang sengaja mengunjungi Bibi, hanya saja ..."
"Ya beginilah keadaan pedukuhan ini, Ndok," potong Nyai Mekar, "dan semua ini ulah pamanmu, lelaki yang dulu kukenali sebagai dewa penolong."
Masih dalam suatu wilayah yang disebut kenangan. Membekas meski puluhan tahun silam. Nyai Mekar yang merupakan warga asli Mojosari, ketika masa muda dikenali sebagai kembang desa. Sebuah malapetaka datang, adanya sebuah perguruan yang mengumpulkan wanita cantik dijadikan tumbal guna mencapai tataran olah kanuragan. Dirinya bersama gadis-gadis lain dibawa ke sebuah hutan yang konon terkenal keunikannya. Hutan Alas Larang. Siapa pun orang luar yang menjejakan kaki ke sana, maka jarang ada yang dapat kembali dengan selamat. Nasibnya lebih beruntung dari gadis-gadis persembahan lainnya. Adalah lelaki yang bernama Tanju Karang, meminta pada gurunya untuk tidak menjadikan Mekar sebagai tumbal. Tuhan mendengarkan doanya, hingga kemudian dipersunting oleh lelaki itu. Setelah hampir sewindu menetap di sana, saat suaminya tak sepaham dengan perguruan memutuskan pindah. Oleh Mekar membawa suaminya itu ke kampung halaman, Mojosari.
"Bi, ceritalah padaku," kata Puspita pada wanita yang kini matanya telah sembab, "kenapa Paman bisa berubah begini."
Sejenak wanita ringkih itu menghela napas. Mengumpulkan ingatan yang mulai tercecer digerus oleh perputaran waktu. Setelah itu ia menatap Ki Warih dan Jagabaya bergantian.
Ki Warih tersenyum, mengerti maksud tatapan itu. "Ceritakanlah Nyai, jangan ada yang ditutupi. Agar Nini berdua ini tidak bergelut dengan penasaran."
"Berawal dari kedatangan kami ke Mojosari," Nyai Mekar mulai bertutur, memejamkan matanya barang sejenak, saat terbuka tatapan itu berwujud sendu, menerawang.
Lanjut ia bercerita, "Aku tak menyalahkan warga yang enggan menerima kehadiran Kakang Tanju ke pedukuhan ini. Adalah wajar mereka marah dengan komplotan dari aliran sesat. Sedangkan aku sendiri berusaha meyakinkan warga bahwa suamiku itu orang yang baik. Bahkan Kakang Tanju berjanji tidak akan menggunakan olah kanuragannya, dia belajar hidup sebagaimana orang kampung. Bercocok tanam dan sebagainya. Dia kemudian lebih tertarik pada pembuatan gerabah tanah liat, belajar dengan sangat tekun."
Begitulah, Tanju Karangan mulai melupakan dirinya adalah seorang pesilat. Tidak mudah memang, tangan yang terbiasa memegang sebilah pedang, tombak dan perisai kini harus bergelut dengan cangkul dan tanah. Belum lagi warga yang tidak mau bergaul dengannya. Hingga kemudian Pak Warih memperkenalkannya dengan sebuah seni, pembuatan gerabah yang berbahan tanah liat. Hal ini ternyata menarik minat Tanju Karangan, siang malam ia belajar. Berusaha mengendalikan tenaganya yang terbiasa untuk bertarung, lambat laun tangannya mulai lembut untuk mengelus tanah liat itu.
Ia mulai menjajakan gerabahnya, sebab di pedukuhan hampir semua pengumpul enggan membeli hasil olahannya. Untuk itulah Tanju Karangan memilih berpergian hingga ke Jenggala guna menjual gerabahnya. Pernah juga ke Kotaraja Majapahit yang waktu itu masih terletak di kawasan hutan Tarik.
Diluar dugaan, orang luar sangat menyukai hasil olahan tangan Tanju Karangan. Kehidupan ekonomi mulai menanjak naik. Bahkan ia tak perlu berpegian, selalu datang pesanan. Tidak hanya dari Jenggala, beberapa daerah dari Tumapel hingga Ponorogo. Kebahagian itu bertambah saat istinya, Nyai Mekar berbadan dua. Berpuluh tahun ia meminta pada Pemilik Jagat Raya agar diberi keturunan. Baru saat itulah, impiannya menjadi seorang romo terkabul.
Rupanya, banyak warga yang iri melihat kehidupannya. Adalah pengumpul gerabah. Ki Parta, mulai tak senang. Sebab gerabah yang ia beli dari warga hampir tidak ada yang laku. Orang-orang di luar malah mencari hasil tangan Tanju Karangan.
"Kurang ajar si Tanju itu," maki Ki Parta kesal.
Lawan bicaranya mengangguk. "Kalau begini terus bisa tak makan kita."
"Dia hanya menumpang di sini," nada suara Ki Parta tinggi.
Ki Parta mulai mencari cara, memengaruhi orang luar agar tidak memesan olahan Tanju Karangan. Namun usahanya itu nyaris gagal, pesanan yang datang pada lelaki yang dibenci itu malah membanjir. Beberapa purnama kemudian, saat berada di di sebuah pedukuhan tidak jauh dari Mojosari ia bertemu dengan segerombolan prajurit dari Kotaraja.
"Kau pedagang bukan?" tanya prajurit itu yang mungkin berpangkat lurah.
"Iya Tuan, saya selalu berpergian dari pedukuhan ke pedukuhan lainnya."
"Bagus," Lurah prajurit itu menatap Ki Parta, "sebarkan pada setiap pedukuhan yang kau lewati bahwa Majapahit sedang mencari buronan. Mereka berasal dari Sadeng, Keta dan juga hutan Alas Larang, padepokan Puncara Agni."
Saat lurah prajurit itu menyebut nama tempat yang terakhir, ingatannya tertuju pada Tanju Karangan. Namun ia perlu alasan kenapa mereka menjadi buronanan.
"Apa kau tidak mendengar, hah?" tanya Prajurit itu tak senang dengan pertanyaan Ki Parta, "seharusnya sebagai rakyat kau harus tahu apa yang terjadi di tanah kita ini. Apa kau tidak mendengar baru-baru ini Majapahit baru saja berperang besar melawan pihak yang hendak makar, dan mereka itu tadi adalah orang-orang yang aku sebut."
Sebagai pedagang Ki Parta memang mendengar desas desus itu. Namun yang paling didengungkan adalah nama kadipaten Sadeng dan Keta. Tidak ada yang menyebut padepokan Puncara Agni ikut terlibat. Ini kesempatan emas baginya untuk mengusir Tanju Karangan. Namun tentu tak dapat begitu saja melaporkan hal ini, apalagi Tanju Karangan datang ke pedukuhan Mojosari jauh sebelum terjadi pemakaran itu. Tetap saja berita ini membawa angin segar baginya.
"Jadi Tanju Karangan itu buronan?" tanya seorang warga saat Ki Parta mengumpulkan mereka dan memberitahukan kabar tersebut.
"Kita laporkan saja ke Kotaraja!" letup salah satu warga lainnya.
"Tenang!" Ki Parta mengambil alih, "tidak perlu dilaporkan, cukup kita usir saja. Kalau dilaporkan belum tentu prajurit Majapahit percaya, kan bahaya seorang buronan menetap di pedukuhan kita. Sedari awal dia memang bukan orang baik, dari perguruan sesat."
Sebenarnya ada beberapa warga yang tak setuju, berpendapat Tanju Karangan datang sebelum terjadi pemberontakan. Namun suara mereka kalah banyak dari yang setuju dengan pernyataan Ki Parta. Lelaki yang dikenali sebagai pedagang itu senang mendengar antusias warga mengusir lelaki yang menumpang hidup di pedukuhannya ini. Untuk bertarung langsung, sudah pasti kalah. Ia tahu betul Tanju Karangan adalah seorang murid dari padepokan, pastilah mempunyai bekal olah kanuragan. Dan cara ini paling cocok menurutnya.
Hari berikutnya, lebih dari separo warga datang menemui Ki Warih selaku Buyut di pedukuhan itu. Memintanya untuk mengusir Tanju Karangan. Mereka menganggap tak pantas Mojosari menampung seorang penjahat negara. Pak Warih tidak setuju, lagi-lagi ia tak mampu berbuat banyak. Tuntutan itu bukan datang dari satu orang, Pak Warih hanya meminta tidak dengan cara kekerasan.
Tanju Karangan terkejut bukan main, saat hari belum terlalu siang. Ia baru saja mengeloni anaknya yang baru berumur enam bulanan. Warga berteriak dari halaman rumahnya. Wajah-wajah yang memandang dengan tatapan sinis.
"Aku sama sekali tidak tahu menahu dengan pemakaran itu, Ki!" Tanju Karangan membela diri, mohon belas kasihan pada Ki Warih yang ikut hadir dalam rombongan.
Istrinya –Mekar- ketakutan bukan main, berlindung di belakang Tanju.
"Kami masih berbaik hati padamu, Tanju," Ki Partalah yang menjawab, "kami hanya menginginkan kau pergi dan tak menginjakkan kaki lagi ke tanah ini. Kalau kami jahat, pasti sudah dilaporkan pada prajurit Majapahit yang terus mencari orang-orang dari padepokan Pancura Agni, habislah kau dalam jeruji besi."
Tanju bersikeras, tidak mau meninggalkan Mojosari. Ia merasa sudah nyaman di pedukuhan itu. Menurut Ki Parta inilah kesempatan paling bagus untuk mengusir. Kalau menunggu besok-besok belum bisa saja warga berubah pikiran, dengan menggunakan kesempatan warga yang masih marah, Ki Parta menyuruh warga mengikat suami Mekar itu pada sebatang pohon, lalu membakar rumahnya.
Tanju tidak menyangka warga yang mengamuk sedemikian rupa, api mulai memakan bahan rumah kayu tersebut, tentu saja menjadi santapan lezat. Lebih malangnya lagi, bayinya masih berada dalam kamar. Mekar meronta dalam tangis, memohon untuk menyelamatkan bayinya. Namun suaranya kalah oleh penduduk yang bersorak-sorak. Menyadari hal itu, Tanju mengerahkan seluruh tenaganya. Memusatkan daya cipta, sudah lama sekali hal ini tidak lakukan. Setelah bersusah payah mencapai titik ketenangan. Tubuhnya bergetar, dan luar biasa. Pohon sebesar tubuh manusia itu patah.
Ia berteriak, hal ini mengagetkan warga. Dengan mata hampir tak percaya melihat Tanju berlari ke dalam kobaran api. Mereka menunggu dengan jantung berdetak hebat, selang berikutnya sosok tubuh keluar sambil membawa gumpalan kain yang apinya masih menyala. Sekujur tubuh Tanju pun penuh luka bakar. Ia menatap penduduk dengan wajah bak iblis. Mendelik, kemudian berteriak keras. Sebuah kenyataan, bayi yang selama ini diidam puluhan tahun telah terpanggang. Ya, anaknya dibakar saat masih lelap dalam tidur.
Dengan sisa kekuatan yang ada Tanju menyerang siapa pun yang ada di dekatnya, dengan Ajian Komala Agni yang terkepal dalam tangan menghantam dada salah satu warga. Tentu saja, kematian yang kemudian mendatangi orang yang terkena imbasan ajian yang ngegerigis itu. Warga kalang kabut, amarah pun memuncak. Bersama, mereka mengeroyok Tanju. Sebagaimana pun kekuatannya, saat berhadapan dengan orang yang berpuluh kali lipat banyaknya, lebih lagi tenaga yang hampir terkuras membuat daya tahan tubuh Tanju melemah. Pada saat kondisi seperti itulah warga yang beringas menyerang tubuhnya tanpa ampun. Pukulan dan sepakan seperti hujan yang jatuh ke bumi.
"Dia sudah mati!" teriak warga, mencoba meyakinkan perkiraan. Memeriksa denyut nadi.
"Buang saja ke sungai!" teriak yang lainnya. Tak sudi menguburkan mayat seorang penjahat. Kemudian bersama, mereka gotong mayat lelaki malang itu. Dan dibuang ke aliran kali Berantas yang deras.
Mekar sendiri syok, jatuh pingsan beberapa kali. Hampir hilang kewarasan, pernah bernait bunuh diri. Berkali-kali diselamatkan oleh warga. Oleh Pak Warih kemudian mendirikan sebuah gubuk sederhana, untuk ditempati wanita yang kini menjanda itu.
Belum genap dua belas purnama setelah kejadian tersebut. Saat malam tepat mencapai puncaknya. Segerombolan orang berkuda memasuki pedukuhan Mojosari. Mereka berkumpul di depan kediaman Ki Parta. Satu-satu bangunan yang paling mewah di pedukuhan Mojosari.
Di depan rombongan, masih duduk di atas kuda. Ia diapit oleh lelaki berjambang lebat dan lelaki jangkung bertubuh kurus.
"Tentu kau sudah lupa denganku, Parta," suara lelaki yang diapit berteriak lantang.
Beberapa warga mulai berdatangan. Ki Parta yang ditanya kebingungan, sama sekali ia tak mengenali lelaki di depannya itu. Rambut panjang hingga sebahu, wajah penuh luka bakar.
"Kau lupa sudah pernah membuang orang yang tak berdosa ke sungai Berantas, hah?" bentaknya.
Saat mendapat pertanyaan itu, Ki Parta gagap. Mana mungkin pikirnya, tapi luka bakar itu dan omongan itu mulai meroboh keyakinannya.
"Kau ...?"
"Iya!" jawab lelaki itu kemudian dikuti gelak tawa.
Kemudian perlahan dengan kudanya ia mengelilingi warga yang menatap heran.
"Wahai warga pedukuhan Mojosari yang beradap berderajat dan bermartabat! Masih ingat 'kah kalian dengan lelaki yang dianggap penjahat negara? Yang kalian buang ke sungai Berantas, hah?"
"Jadi kau masih hidup, Tanju?" tanya seorang dari warga yang yakin mengenali lelaki itu.
Lelaki berambut panjang yang memang Tanju Karang itu tersenyum sinis.
"Lalu apa maumu ke pedukuhan kami?" tanya orang itu lagi, "kami tidak menerima kehadiranmu di sini."
Mendengar hal tersebut Tanju turun dari kuda. Kemudian mendekat pada salah satu warga itu.
"Ini yang mau aku lakukan!" teriaknya, lepas berkata dengan kecepatan tangan yang tidak dapat dikuti oleh mata warga.
Ia mengcengkeram rambut warga itu, kemudian mematahkan lehernya. Tubuh orang tersebut langsung tersungkur, jiwanya lepas saat itu juga.
Semua orang menjadi gagap, lebih kepada rasa ngeri. Kini Tanju datang menuntut balas, dan sialnya ia tak datang sendiri, bersama rombongan dengan wajah-wajah yang memiliki mimik keras. Belum habis rasa kaget itu mereda, peristiwa peristiwa kembali mengguncangkan isi dada.
Tanju melompat ringan. Dan berdiri tepat di depan Ki Parta. Pedagang itu sama sekali tak menduga, belum habis menarik satu hisapan nafas. Terasa tubuhnya merasakan panas yang luar biasa. Membakar hingga ke jantung, untuk selanjutnya roboh, berguling-guling ke tanah.Tidak berhenti di situ, Panju memberikan isyarat pada orang-orangnya. Satu persatu keluarga Ki Parta di tebas kepalanya, suara raungan tangis mencekam dalam rumah itu. Setelah merasa tidak ada yang tersisa, bangunan mewah di pedukuhan itu dilalap si jago merah.
Lutut warga bergetar, rasa ngeri melahirkan rasa hampir tak percaya. Kemauan hidup masih besar, tanpa diperintah masing-masing berusaha menyelamatkan diri. Masuk ke rumah. Saat itulah para pengikut Tanju memasuki kediaman warga, kemudian mengambil paksa bayi-bayi. Berbulan-bulan keadaan mencekam itu menghantui pedukuhan Mojosari, mereka datang mengambil hasil panen, dengan memberikan harga yang seenak hati. Tidak ada pilihan, melepas hasil bumi itu atau mati kelaparan.
"Lalu, apa Paman pernah menemui, Bibi?" tanya Puspitasari setelah Nyai Mekar mengakhiri ceritanya.
Wanita yang dulunya kembang desa itu menggelengkan kepala. "Lebih tepatnya dia menghindar, dia datang ke sini hanya dua kali, malam itu dan terakhir lima purnama yang lalu. Saat Bibi mengejarnya, dia hanya menatap ..." Nyai Mekar menyeka sudut matanya yang basah, "pandangan itu bukan lagi milik Kakang Tanju, penuh kebencian."
Puspita kembali memberikan pundaknya untuk wanita yang ditimpa nasib malang itu. Untuk beberapa lama ruangan dalam kediaman Pak Warih hening, suara isakan pelan saja yang terdengar. Mereka yang berada di tempat itu, baik Pak Warih, Jagabaya dan Latta Manjari menunduk. Masing-masing berbicara dengan benak.
Latta Manjari bersama Puspita kemudian meminta izin pada Ki Warih untuk menginap di kediaman Nyai Mekar. Sebenarnya Buyut yang sudah beruban itu keberatan, sebab kediaman wanita yang dianggap sudah menjanda itu berisikan satu bilik. Oleh keinginan itu datang langsung dari kedua tamunya, Pak Warih tak dapat menyanggah.
Ruangan yang sangat kecil memang. Namun, baik itu bagi Latta Manjari dan Puspita sudah terbiasa dengan keadaan yang demikian. Sebagaimana yang mereka alami dulu di padepokan, bahkan pernah tidur di atas pohon di hutan Alas Larang. Jadi ini bukanlah sebuah masalah.
"Tidak ada cara lain, kita harus kembali ke tepian sungai itu. Kemudian mengikuti jejak mereka," kata Latta Manjari setelah lama menimbang.
"Itu sangat berbahaya, jumlah mereka tidak sedikit." Puspita menatap heran pada putri cantik di depannya.
Latta Manjari, gadis yang pernah menjadi senopati pada saat pecah perang antara Majapahit dan Sadeng menyandarkan tubuhnya pada dinding yang terbuat dari anyaman bambu. "Kita tidak perlu melakukan apa pun, cukup mengetahui sarang mereka."
"Setelah itu, apa kita kembali ke Kotaraja?"
Latta Manjari mengangguk. "Ini menyangkut nyawa orang banyak, hal seperti ini tak boleh didiamkan. Tanah ini harus aman dalam naungan Ratu Prabu Tribhuana."
"Lalu bagaimana cara kita menyampaikan hal ini pada Ki Warih? Tentu beliau tidak akan setuju"
Sebelum Latta Manjari menjawab pertanyaan sahabatnya, Nyai Mekar yang baru saja selesai menyiapkan makanan menghampiri mereka dengan tangan membawa bakul berisi nasi.
"Makanlah dulu, Ndok. Maaf hanya ini yang dapat Nyai hidangkan, ini pun tadi pemberian Ki Warih."
Puspita mengurai senyum. "Ah, Bibi tak perlu repot, ini pun makanan yang lezat buat perut kami."
Sambil menikmati santapan siang, Nyai Mekar banyak bertanya pada Puspita, tentang tempat tinggal dan cara menjalani hidup. Untuk menjaga kerahasian jati diri, Puspita mengaku tinggal di Tumapel. Bersama sahabatnya itu, Latta Manjari . Nyai Mekar juga ikut prihatin saat Puspita mengabarkan romo dan biyung sudah tiada. Bahkan kini padepokan Puncara Agni hanya tinggal nama, murid-murid yang masih hidup banyak menjadi tahanan Majapahit. Lalu yang berhasil melarikan diri tak tahu kabar beritanya..
Terima kasih selalu setia menunggu cerita ini. Ditunggu komentarnya ya. Salam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top