Part 6
MOS hari ke-dua sudah separuh berjalan sukses. Jam menunjukkan pukul 12 siang itu pertanda jam istirahat sudah berlaku.
Aku mengipaskan leher dengan handuk putih ikutan capek, ternyata hanya berdiri di pinggir lapangan mengamati anak kelas sepuluh berbaris bisa secapek ini juga. Bagaimana mereka yang dijemur dua jam di lapangan?
Anak-anak itu sudah dibubarkan oleh Ramon -wakil ketua OSIS yang juga anggota paskibra. Lalisa yang bukan anggota paskibra hanya memperhatikan anak-anak itu, biar tidak ada yang ngocol karena beberapa anak kelas sepuluh ada yang sulit diatur dan mereka baru takut jika Lalisa turun.
Lalisa datang duduk di kursi semen sebelahku sambil menyodorkan botol air mineral, di sebelahku Dara, Alva, Gibran dan Denis juga ikutan istirahat.
"Denis, jangan diabisin. Satu botol buat rame-rame. Gibran sama Denis jangan nyosor botol kita," ucap Lalisa saat dilihatnya Denis minum tidak menarik napas sama sekali dan Gibran tampak aus berat melirik botol yang lagi dibuka sama Dara.
Alva tertawa pelan. "Lagian orangnya enam cuma bawa dua."
"Tadi gue liat cuma ada Sashi, lo sama Gibran. Itu berdua tiba-tiba aja dateng," jawab Lalisa membela diri.
"Mana gentong air yang dateng!" ucap Gibran kesal lalu menyerobot botol yang dipegang Denis. Denis menabok kaki Gibran karena dikatain gentong air.
"Nih, Sas!" Dara menyodorkan botol padaku. Sama seperti Denis aku langsung minum tanpa menarik napas.
"Sashi gentong dua!" cibir Denis membuat aku nyaris menyemburkan air, untung dengan susah payah aku bisa menelannya.
Denis tidak sekurus Alva, gedenya sama kayak Gibran berisi cuma dia kalo makan dan minum banyak sekali, benar kata Gibran kalau Denis itu kayak gentong air.
"Aus, mana panas banget lagi!" balasku.
Giliran Lalisa yang minum air botol milik team cewek, Alva juga kebagian yang terakhir. Seperti anak baik pada umumnya Alva menyisakan beberapa senti air botol itu.
"Ada yang mau lagi?" tawarnya pada Denis, Gibran dan aku. Aku menggeleng kuat-kuat.
"Gue sini!" Denis si gentong air menyerobot lagi.
"Lo harus terbiasa panasnya Jakarta, Sas, udah setahunan lo di sini kan?"
Aku mengalihkan tatapan ke Lalisa yang menjawab gerutuanku mengenai panas. Belum sempat aku menjawab suara Dara terdengar.
"Di hutan nggak panas ya Sas?" celetukannya membuat yang lain tertawa.
Aku sudah biasa katain dari hutan karena pengalamanku bersekolah di Permata Hijau bukan rahasia lagi. Jadi sekolahku itu dibangun di tepi hutan yang masih asri, kalau kami sedang menerima materi pembelajaran dilakukan di kelas, sesekali kami belajar di alam menikmati segarnya suasana, prakteknya aku suka keluyuran di hutan, danau dan jika sedang ada study tour kami main ke sawah milik warga.
"Nggak. Adem sejuk. Lo harus ke sana!" usulku pada Dara.
"Nggak-nggak," ucap Dara cepat menolak. "Di sekolah lo ada sinyal?"
"Sinyal di hutannya 2G dapat. Kalo 3G di asrama, bahkan udah ada wifi. Jadi gue chat sama Lalisa lancar sentosa." Pamerku sambil tersenyum riang.
"Buset 2G download kayak siput. Kasihan asupan gizi gue nanti buat nonton anime nggak terpenuhi," ucap Denis yang tidak bisa jauh dari komik dan anime.
"Masa kayak gitu gizi?" Lalisa menatap Denis heran. Beda orang beda selera, aku yakin menurut Lalisa kegiatan yang dilakukan Denis itu useless dan buang-buang waktu doang.
"Ya-iya..." Denis gagap. Dia sama Lalisa kan beda jalur. Denis nonton anime dan Lalisa dengan buku atom nuklirnya.
"Di sana sama aja kayak sekolah di sini, Sas?" tanya si Alva yang berbicara sepentingnya.
"Sama. Cuma di sana lebih dekat dengan alam aja, gue bisa loh menanam pohon jagung, singkong, dan cabai. Gue juga biasa main di kebun karet, bikin bola dari karet. Seru deh pokoknya."
Teman-temanku menatap dengan sorot terpukau. Aku memang suka pamer menceritakan pengalamanku di sekolah alam.
"Nanti kalo ada kesempatan gue mau menggarap tanah belakang sekolah jadi ladang jagung," ucapku melirik Lalisa.
"Wuih," Gibran terpekik. "Ayo, menanam jagung di kebun kita!"
"Nggak bisa! Bisa digusur duluan dan kita diseret ke kantor. Jadi inget dulu gue sama Sashi mau menanam pohon karsen. Lo pada tau kan buah karsen yang kecil itu? Itu tanaman liar kan ya, masa gue sama Sashi mencabut pohon sampai ke akarnya terus kita tanam dekat asrama.
"Pohonnya layu dan mati. Besoknya kita diomelin sama sekolah, meski tanaman liar mereka ternyata menjaga tanaman itu juga." Lalisa menceritakan pengalaman ini sudah puluhan bahkan ratusan kali pada mereka.
"Kita dulu emang konyol banget, Lis. Tapi pas lulus SD, Lalisa kan pindah ke Jakarta lagi. Gue melihat tuh pohon karsen tumbuh di daerah lembab dekat asrama gitu, jadi keingetan sama Lalisa gue sedih banget," kataku sok sedih.
"Lo berdua emang cocok banget jadi duta tanaman liar." Gibran menatapku dan Lalisa berbinar.
Aku berdeham bangga tetapi Lalisa tampak ingin meledak. Dia mungkin tidak suka di bagian tanaman liarnya.
Denis-Dara bahkan Alva ngakak hebat bikin murid yang lewat di koridor menatap kami ketakutan, mirip orang gila sih.
"Daripada lo sekolah buat tebar pesona doang!" Lalisa mencebikan bibir pada Gibran.
"Ya elah, udah tau gue ganteng nggak usah ditebarin orang juga udah pasti pada tau," jawabnya sambil tertawa bahagia.
Iya-iya lo emang ganteng, Gib. Nggak usah diumbar. Tabu loh wkwkwk...
Lalisa mendesis sebal. "Lo jijik banget sumpah, untung adik."
Gibran menatap Lalisa, "emang kenapa kalo bukan adik? Lo mau macarin gue, Lis?" Kemudian dia tertawa buas.
Lalisa berang siap menyeret adiknya itu ke koridor lalu menghantam kepalanya ke tiang. Sadis...
"Jangan gitu, Gib, nanti si Dara cemburu. Ciee!" Denis menggoda Gibran dan Dara. Dara mencubit lengan Denis dan cowok itu menjerit. "Aw, aw, sadis banget sih cewek-cewek di sini."
"Siapa cewek-cewek di sini maksudnya?" tanya Lalisa.
"Makanya kalo ngomong disaring!" seru Dara memperkuat cubitannya sampai Denis menjerit seperti banci kejepit.
Aku tertawa masih fokus memperhatikan mereka sampai tidak sadar ada bayangan hitam di lapangan. Saat aku menoleh Arya berdiri di belakang kami sambil menebarkan senyum polosnya.
"Oiii!" Arya menyapa mereka sok akrab.
Aku kira dia lagi bertingkah gila lagi tapi ternyata kedatangan Arya disambut hangat oleh Denis, Gibran dan Alva. Mereka langsung menyapa Arya dengan high five ala cowok.
"Buset, lo kok bisa lebih gede dari gue sekarang?" tanya Alva yang pendek.
Arya mengibaskan tangan sok, "makanya rajin olahraga."
Cuih, emang dia olahraga apaan?
"Gue kira bokap lo bercanda waktu itu," ucap Denis sumringah.
Aku mengamati mereka bingung. Sudah saling kenal? Oh, sangat wajar mengingat aku baru satu tahun di sini, aku kan baru keluar dari hutan.
"Om Gio beneran masukin lo sama Novan? Hebat! Asyik dah sekarang lengkap."
Lalisa mengamati ekspresiku yang terheran-heran. Bagaimana bisa mereka mengenal makhluk seperti Arya? Dia baru dua hari sekolah di sini, jangan bilang dia anaknya geng bokapnya Lalisa juga?
"Gue pernah cerita nggak punya sepupu?" tanya Lalisa sambil mengelus dagunya.
Seingatku papanya Lalisa itu anak tunggal. Terus dari keluarga mamanya Lalisa, cuma ada satu cewek sepupu Lalisa yaitu Elaine, masih SMP.
"Elaine?"
Lalisa mengangguk. "Iya, Elaine itu sepupu dekatnya gue. Kalo Arya sama Novan sepupu jauh gue. Nyokap gue punya sepupu, nah Arya sama Novan itu anaknya. Eh, jauh atau dekat sih?"
HAH? Aku tidak mengerti mengapa di sekolah ini isinya hubungannya ke Lalisa semua. "Buset, Esa Unggul isinya sodara sama teman lo semua ya?"
Lalisa menyeringai, ngeri banget sumpah. Lalisa dan Gibran memiliki sepupu bernama Arya? Arya yang kemarin bikin darahku mendidih itu? Astaga dunia sempit sekali.
"Sashi, udah makan belum? Makan bareng yuk!"
Suara yang tidak ingin kudenger tiba-tiba masuk indra pendengaranku, perlahan aku melirik Arya. Dia tersenyum lebar. Kini aku menerima tatapan menggoda dari yang lain.
"Kalian sekelas? Wah!" seru Gibran semangat, "mantap IPS 5."
Mantap dari Hongkong! Entah mengapa aku jadi sering mendumel dari Hongkong.
"Iya, gue ketua kelasnya dan Sashi wakilnya." Tambah Arya nggak penting.
Lalisa memberikan senyuman aneh padaku. Sepertinya hanya dia yang memahami sosok Arya, karena kemarin Lalisa sempat bilang Arya rusuh.
"Cie Sashi jadi pengurus kelas," goda Alva.
"Selamat kalian berdua!" Dara berseru polos. Aku melempar tatapan tajam pada Dara, dia tidak peka juga masih cengar-cengir.
Selamat katanya...
Mereka semua tertawa kecuali aku dan Lalisa. Lalisa sih tidak tertawa karena dia hanya melakukan itu jika benar-benar lucu. Sementara aku, tiba-tiba dirindung perasaan aneh, sekarang aku jadi pengurus kelas?
"Yuk makan gue laper!" Urusan makan memang Denis yang paling cepat memberikan ide.
Oke, nanti setelah makan akan aku pikirkan lagi.
"Oke gue yang teraktir pake duit Sashi," kata Arya asal. Aku mendelik padanya menatap tajam dirinya, dia juga balik menatapku tajam dengan sorot matanya yang tiba-tiba berubah jadi menyeramkan. Mirip sepasang mata elang. "Bercanda." Dia ketawa lagi dan sorot mata tajam tadi seketika lenyap berganti matanya yang berbinar.
Dasar makhluk amphibi.
💙💙💙
Sudah hari ke-empat masuk sekolah duitku belum diganti sama Arya. Aku sebenarnya tidak bokek juga sih, pasalnya hari Senin minta duit sama mama. Tapi tiga ratus ribu lumayan untuk membeli novel dan jajan, aku tidak perlu berpikir mengatur uang yang dikit untuk bertahan hidup sekolah lima hari.
Penutupan MOS kemarin berjalan dengan sukses anak baru lega penderitaan berakhir dan panitia MOS lega sudah bebas pulang jam 3 lagi. Selama MOS aku harus pulang jam 5 sore soalnya.
Huh ngeselinnya kami sekarang harus masuk ke kelas masing-masing menerima pelajaran. Kembali ke kelas artinya ketemu sama Arya.
Hari ini aku melangkah semangat menaiki undakan tangga satu per satu mengabaikan tatapan murid yang lalu lalang melihatku dengan sorot bertanya.
Tadi malam aku sudah mengatur sesuatu yang harus aku lakukan terhadap kelasku dengan nama SK Project. SK aku ambil dari namaku Sashi Kirana.
Aku baru menuliskannya tiga nomor sih; pertama, menjadi siswi teladan dengan tidak datang terlambat. Kedua, menyapa teman-teman. Ketiga, meminta biodata anak kelas agar bisa mengenal lebih jauh lagi.
Aku melirik jam tangan yang jarum panjangnya sudah di angka 3. Tepat sekali. Aku tersenyum saat menapaki lantai dua dan tidak telat. Misi pertama sukses, selanjutnya aku harus menyapa anak-anak kelas.
Begitu aku masuk dalam kelas di kelasku masih kosong. Ke mana teman-teman sekelasku?
Tuh kan betul setelah masuk hari-hari sekolah biasa mereka pasti langsung malas. Kelas ini dikutuk siapa sih mengapa setiap anak yang masuk ke kelas ini jadi tidak benar?
Aku menaruh tas di mejaku dan duduk menekuri papan tulis. Aku tidak bisa tinggal diam, SK Project harus berjalan lebih dari yang aku kira. Dengan langkah penuh keyakinan aku berjalan ke meja guru merapikan taplak dan vas.
Bagaimana bisa aku menyebutnya vas bunga jika bunganya entah berada di mana? Aku mencari bunga, penghapus papan tulis, kemoceng dan sapu dalam lemari penyimpanan tetapi nihil.
Jadi selama tiga hari kemarin tidak ada yang mengurus perlengkapan kelas ini. Aku melotot saat melihat jam menunjukkan pukul 7 kurang 7. Kok bisa? Begitu aku melihat di jam tanganku masih jam 6:23.
Itu jam dicepatin apa emang eror?
Wah, kerjaan anak cowok nih pasti jamnya dicepatin setengah jam. Dasar dodol masa cepatin jam setengah jam, ya jelas kentara banget.
Bruk...
Aku menoleh saat mendengar suara gaduh, Arya berdiri sandaran di tembok dekat pintu sambil memejamkan mata. Suara gaduh tadi adalah suara tasnya yang dibanting ke meja, di sana ada jaket hitam juga.
"Oi, rajin banget udah datang. Uhm, gue kira telat tadi," kata Arya cengengesan.
Aku mengernyitkan dahi. Udah tahu dia hampir kesiangan kenapa menyapaku seolah-olah masih pagi banget?
Arya masih sandaran di tembok dengan mata tertutup, begitu anehnya dia bahkan bisa tidur sambil berdiri. Ckck, aku mendekatinya dan menarik tangan Arya, dia melotot kaget aku tarik dengan kasar.
"Siapa yang utak-atik jamnya? Kemarin gue lihat masih benar," omelku pada Arya. Aku mendorongnya ke kursi bagian paling belakang, agak susah karena badan dia besar. "Naik ke meja terus samain kayak jam gue."
"Ya Allah bini gue rajin banget pagi gini. Biarin aja cepat setengah jam, lo juga pengen istirahat cepat kan?" Arya nyengir polos, aku mendorongnya biar naik ke meja. Dia menoleh padaku yang menunggunya di bawah.
"Nggak ngaruh lo cepatin setengah jam di sini, kan bel istirahat pake jam di kantor guru. Kalo lo mau cepatin jam yang di sana!" seruku dengan ketus.
Arya tertawa dari atas sana. "Oh iya benar juga, gue cepatin jam yang di kantor aja deh."
💙💙💙
12 Agustus 2016
Dont forget vote!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top