Part 44 [END]
"Itu salah saya mutusin komunikasi. Setelah putus, saya menjauh karena takut ayah tahu kita dekat lagi. Kami bikin perjanjian di atas materai, kalo beliau masih liat saya berhubungan sama kamu. Dia cabut semua fasilitas. Sebulan setelah putus, saya gak boleh main hape. Kalo saya langgar, ayah bakal mindahin ke sekolah lain saat kelas 12. Saya nggak mau semakin jauh dari kamu.
"Bagus banget sungguhan menuruti ayah. Sas, kamu nggak baca sms saya? Nomor baru itu, dan sepucuk surat dengan bunga mawar di hari sebelum UN itu dari saya," katanya.
Aku membeku mencerna ucapan Arya. Bunga mawar merah di loker, aku masih mengingatnya. Di hari sebelum ujian nasional –tepatnya hari Jumat-- aku mendapat kiriman misterius setangkai mawar merah, dan secarik kertas. Aku membuangnya ke tempat sampah, mengira itu kerjaan anak usil atau cowok lain yang tidak aku harapkan. Aku menyesal tidak membukanya terlebih dahulu. Aku tidak mau menerima bunga dan surat yang bukan dari Arya.
"Kenapa kamu nggak pernah menyapa selama di sekolah? Kamu bahkan menganggap aku ini nggak ada? Kamu sering buang muka dan menghindar? Dan ngasih bunga pas udah mau lulus? Kamu pikir aku apaan?" Aku menggeram.
"Saya juga nggak mau jatuh karena kita dekat lagi. Saya salah, nggak seharusnya jauhin total. Sashi, maafin saya—"
"Kamu bisa jatuh cinta cepat sama cewek lain kayak kamu secepat itu sayang ke aku dulu. Aku sedih saat kamu ngobrol sama Sera, Vero atau Tere," kataku. "Waktu itu aku cemas dan sakit hati, kamu bakalan cepat suka sama mereka juga. Padahal seharusnya aku yang nemenin kamu sampai lulus, Arya." Aku menangis mengeluarkan semua air mata yang kutahan dulu. Bahuku naik turun seirama dengan tangisan yang pecah.
Tere adalah teman sekelas Arya di 12 IPS 4 yang centil dan naksir dirinya. Beberapa kali aku melihat Arya tengah ngobrol dengannya. Mereka tampak serasi dan bahagia. Arya terlihat seperti cowok dewasa ketika di sisinya, beda sekali saat Arya berada di sisiku.
"Nggak! Saya--" Arya menggelengkan kepala. "Aku jatuh cinta secepat itu cuma sama kamu. Kalo bukan sama Sashi, aku juga nggak yakin. Aku cuma sayang sama kamu. Alasan ngobrol sama mereka, aku nggak harus takut bakalan naksir sama mereka. Nggak se-khawatir saat aku sama kamu. Kamu pasti ngerti karena mengalami juga. Kita sama-sama menjauh dan diam karena takut perasaan sayang makin dalam. Kamu merasa gitu, kan?"
Arya menarik napas. Dia ingin bicara lagi. Beberapa tahun tidak bertemu ternyata banyak sekali yang ingin disampaikan olehnya. "Gue kira selesai UN, penderitaanku berakhir. Ternyata kamu memperburuknya, dan kabur. Salah apa si sampai kamu tega banget?"
Aku mengangguk takut dengan pipi masih basah. "Jaga jarak memang lebih baik kan? Biar nggak terbawa suasana lagi. Ar—" Aku menyentuh lengannya, namun segera ditepis. "Kamu masih ingat Kina? Itu aku. Aku nggak bener-bener benci kamu."
Arya menoleh dengan tatapan tajam, rahangnya mengatup rapat. "Kina? Kamu Kina itu? Sashi, kamu keterlaluan! Kenapa nggak bilang kalo itu kamu?!" Tubuh Arya maju mendekat padaku, dia mencengkeram kuat bahuku. Sorot mata dan suaranya begitu kecewa. "Sashi!"
"Takut. Aku takut kalo kamu marah, hiks..."
Tangannya memeluk tubuhku yang terguncang. Kini aku menangis dalam pelukannya.
"Secepat itu menghilang dari pandanganku? Mudah ya buat jahat sama aku? Gampang nyakitin aku?"
"Nggak! Aku nggak bermaksud. Maaf. Aku emang jahat. Aku pergi buat kuliah di luar kota. Demi pendidikan. Kayak apa yang ayah kamu pernah bilang."
Arya menghela napas beratnya. Dia mengusap wajahnya tampak frustrasi. "Sashi, aku masih sayang sama kamu," gumamnya pelan. "Kalo kamu udah sama orang lain sekarang, nggak pa-pa selesai sampai di sini. Biar kamu tenang mau jalin hubungan sama dia, dan aku bisa lupain kamu. Meski sulit setidaknya salah paham ini udah dijelasin."
"Kamu udah ada yang baru? Siapa? Vero? Sera?" Miris. Cowok itu benar-benar terlihat lemah dan sedih. Aku memeluk lengannya. "Aku juga masih sayang. Belum pernah jalin hubungan lagi. Abis ngomong sama kamu di mal kemarin, aku jadi mikirin ini terus, ternyata aku masih mau sama kamu lagi, hiks...."
"Nggak ada yang baru. Be-beneran? Aku kira kamu udah—" Dia tersenyum lega. "Jangan pergi lagi. Aku mohon. Kali ini aku nggak bakal lepasin kamu," ucapnya sambil menggenggam tanganku. Dia tersenyum lebar. Cengiran khas Arya. Keningku dikecup lembut olehnya.
"Promise me, Sas? Jangan pergi lagi, jangan tinggalin aku. Aku nggak bisa tanpa kamu."
Kepalaku mengangguk kuat-kuat. "Maaf, aku emang selalu merepotkan. Aku janji nggak bakal mengulangi kesalahan itu lagi. Aku akan selalu ada di sisi kamu."
Di tengah haru biru temu kangen ala kami, aku teringat sesuatu. Aku mengulum senyuman tipis. "Ar, kamu mau ke mana? Mau pergi, kan?" Aku mengendikkan dagu ke arah kursi belakang.
"Hari ini rencananya mau nembak Sera dan dinner. Dia nggak ada berhentinya deketin aku, jadi kupikir dia bisa gantiin kamu. Aku butuh orang yang menginginkanku juga, Sas."
Hatiku sakit mengingat cewek bernama Sera itu lagi. Selama ini cewek itulah yang berada di sisi Arya, apa aku merelakan saja Arya bersamanya? Dia lebih pantas memiliki Arya. Dia yang membantu Arya dan menemani Arya dalam kesusahan. Kasihan Sera bertahun-tahun berharap pada Arya. Kemudian aku datang menghancurkan hubungan mereka. Apa aku relakan saja dan membiarkan mereka bersama?
"Pergi aja. Dia sayang sama kamu, kan?"
Arya menggeleng. "Tapi aku nggak pernah suka sama dia. Apalagi, tadi tumbenan Ayah telepon. Ayah bilang kalo Sera yang dulu nelepon dirinya bocorin hubungan kita. Sera juga mengirim banyak foto kita berdua berlatar sekolah, makanya Ayah percaya banget kita pacaran. Kalo nggak ada bukti gue masih bisa ngeles. Nyatanya, bukti terlalu kuat."
"Kalo dipikir-pikir emang Sera yang pingin banget liat kita hancur," aku terdiam. "Dia bilang setelah lulus kamu bakal tunangan sama Vero," tambahku.
Arya melotot. "Hah? Gila! Apa maksudnya sih? Kalau bukan karena udah telanjur kenal, aku ogah temenan sama dia. Nyeremin. Untung udah beda kampus, tolol untung nggak jadi nembak."
"Hush!! Ayah gagalin usaha kamu nembak Sera? Maksudnya apaan tuh? Apa biar kamu tunangan sama Vero?" tanyaku.
"Kok Vero mulu sih? Nih ya, Vero tuh keluarganya tajir banget pasti keluarganya nyari besan yang tajirnya nggak habis-habis juga. Kalo dia nikah sama gue ancur aja, bokap gue nggak punya perusahaan elah. Nggak cocok!"
Oh, kirain.
"Dasar! Perkawinan perusahaan tuh masih ada ya?" Aku mendenguskan tawa, sebagai penikmat drama Korea dan mahasiswi bidang ekonomi aku sudah tahu istilah itu.
Arya menatapku dalam, bibirnya membentuk garis lurus. Aku melemparkan senyum tertulusku padanya. Dia menarik tubuhnya perlahan sandaran di kursi kemudi. Tangannya mencengkeram kuat kemudi, dengan kepala tertunduk. Aku memahami dilema terbarunya saat ini.
"Arya, udah waktunya pulang ke rumah dan baikan sama ayah. Oke? Kamu idiot banget sih ngambek gara-gara aku!"
Kepala Arya menoleh secepat kilat, mulutnya terbuka, dia pasti terkejut. "Kamu?"
"Aku pernah ketemu ayahmu saat semester 2. Dia udah minta maaf. Kok dia nggak ngasih tau kalo aku di Sukabumi?" Aku heran.
"Aku nggak pernah mau diajak ngomong sama dia. Aku cemas setiap dia nelepon nyuruh pulang, takut disuruh lupain kamu atau dijodohkan ke anak kenalannya. Ayah bisa menyebalkan dan sesukanya kayak dulu!" Tekannya di akhir kalimat. Aku meninju lengannya, tak setuju dengan ucapan Arya.
"Nggak. Ayah udah menyesal, bahkan dia nyuruh aku nemuin kamu."
Arya membenturkan keningnya ke setir mobil sambil menghela napas. "Aku harus gimana?"
"Pulang ke rumah. Tapi, waktu itu kok kamu bisa sama adik-adikmu? Mereka--?"
"Rutin buatku sama mereka pergi bareng. Cuma mereka yang bisa hibur aku. Aku yang jemput mereka di rumah. Ayah sama Ibu tau kok, nggak jarang mereka nitip pesan lewat Novan. Aku juga suka mampir, buat ngobrol dikit-dikit." Arya tiba-tiba tersenyum lebar, seperti energinya sudah terisi.
Aku memundurkan tubuh, ngeri. "Kenapa?"
"Temanin aku ketemu Sera, dia harus berhenti sama usahanya dekatin aku," ucapnya sadis. Tanpa mau dibantah dia melanjutkan, "jangan menolak! Pokoknya abis itu aku mau pergi sama kamu!"
"Ar, besok masih ada hari. Aku cape—"
"Bodo!" tandasnya agak kasar dan cepat tanpa mau dibantah. "Aku nggak mau tau, aku takut kamu pergi lagi dariku, Sas." Ekspresi wajahnya jadi menyebalkan, mirip Arya si anak SMA kelas 11 yang dulu. Dia memanyunkan bibir.
Aku juga sama kangennya dengan Arya, jadi aku mengangguk saja. Hitung-hitung ini kan malam minggu. "Ya udah. Tapi pulangnya jangan malam-malam."
Arya memainkan poni rambutku. "Siap babe! Eh, kenapa ya aku nggak pernah ketemu kamu kalo lagi stalk dekat rumah?"
"Takdir," jawabku santai. Takdir yang sangat pahit. Tapi berbuah manis. Setidaknya masa-masa persembunyianku dulu aman.
Kini aku berakhir kembali padanya. Meski sudah ratusan hari aku pergi berusaha menjauhinya, aku tetap kembali padanya. Kesalahanku di masa lalu yang memperumit keadaan dengan menghindarinya, ternyata membuatku tampak semakin bodoh.
Andai, bisa kuputar ulang waktu lagi. Aku ingin membaca surat dari Arya. Dan tidak akan pergi gara-gara sebuah hipotesis bahwa dirinya sudah move on, dan aku masih terjebak masa lalu.
"Sashi," Arya bergumam. "Aku lagi mimpi nggak sih?" Aku menggelengkan kepala.
"Andai waktu itu aku tetap di sini ya? Pasti nggak akan jadi rumit."
"Kalo kamu nggak pergi, aku tetap Arya si bocah labil, emosian, tukang ngambek yang manja. Aku nggak bakalan jadi art worker demi duit kuliah." Senyumnya terlihat menawan.
"Tapi, kamu masih pembangkang kayak dulu, kabur dari rumah demi idealis!" cibirku sinis.
"Hem, tapi kalo sekarang aku nikahin kamu bisa dong. Aku udah punya tabungan," sahutnya pongah. Dia terkekeh mendapati wajah memanasku, pasti merah sekali. "Cie, udah siap aku lamar kan?" Tawanya sambil mencolek ujung hidungku.
Ugh, kenapa aku bersemu-semu seperi ABG kasmaran? Senyumku melebar. Kami tertawa sepuasnya. Bahagia.
Sesuatu yang dulu pernah kita akhiri bersama, ternyata memiliki awal yang lebih indah. Dasar, aku jadi senyum sendiri mengingat betapa noraknya kami dulu.
Terima kasih Arya sudah memberikan pengalaman paling berkesan, menjalani hubungan backstreet saat sekolah dulu.
Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin bahagia.
"Surat kamu isinya apaan sih, Ar?"
Arya berhenti cengengesan, tatapannya serius. "Ucapan semangat doang. Udah nggak usah dibahas, pokoknya malam ini aku pengen ngabisin malam bersama kamu. Kalo perlu nggak usah pulang, sampai pagi mau?"
"Eh? Masa nggak pulang sih? Te—terus?" Aku gagap, perasaan takut kembali muncul.
"Pokoknya malam ini kamu bakal abis sama aku."
Ya, aku memang benar-benar habis bersama Arya malam ini. Menghabiskan waktu melepas kerinduan.
Aku anggap ini sebagai awal yang lebih baik dalam hubungan kedua kami.
Semoga...
"Pulangin motor dulu ya?" Ucapanku membuat tawa Arya makin kencang.
"Dasar, dulu juga gitu mau kencan pulangin motor dulu," katanya di sela tawa. Aku tersenyum tipis dan senang. Kami masih mengingat betul kenangan itu.
💙💙💙
Aku sama sekali tidak menyukai gaya berpakaian Arya yang hanya memakai kemeja putih dan celana hitam. Memang sih masih tampak keren dan menawan, tapi dari jauh salah-salah dia dipanggil oleh pelanggan dikira pramusaji. Tangan Arya menggenggam jemari mungilku erat sekali seakan tidak ingin melepasnya.
Cewek cantik berambut panjang dengan make up menor –alis palsu yang tebal nyaris membuatku menyemburkan tawa—dia berdiri dengan wajah kesal begitu melihat Arya datang bersama diriku. Mulut Sera terbuka lalu tertutup lagi, matanya melotot mirip mak lampir.
"Loh, Arya? Kok ada dia?" tanya Sera ketus, sama sekali tidak ramah padahal kami dulu sekelas. Tak ada basa-basi pula.
"Iya, kenapa emangnya? Lo nggak kangen sama Sashi? Udah lama nggak ketemu kan? Kalo gue sih kangen," cetus Arya sambil menoel-noel pipiku yang merona. Aku tersenyum malu. Tangan Arya merangkul tubuhku mesra.
"Jangan bilang lo balikan sama si cewek PHO ini? Sas, lo ngapain sih muncul lagi ngerusak hubungan gue sama Arya?!" tanya Sera menatapku tajam.
Aku bergantian memandangi Arya dan Sera. "Lo kenapa jahat sama gue sih, Ser? Apa gue pernah jahat sama lo?"
"Iya, lo udah rebut Arya dari gue. Gue suka sama Arya dari pertama kenal, sebelum lo masuk kelas dan genitin Arya. Lo kecentilan banget bikin gue muak sama tingkah lo yang caper mulu sama Arya!" seru Sera jujur.
Buset!
Aku menganga dengan dagu melorot, aku menatap Arya yang tengah memandangi Sera kasihan. Kening Arya mengerut, aku yakin dia juga sama terkejutnya.
"Sori, Ser, lo kayaknya emang belum pernah gue ceritain atau lupa tapi, gue sama Sashi udah pernah ketemu duluan di jalan. Gue pinjam duit sama Sashi," ungkap Arya memandang Sera penuh rasa bersalah. "Tentang hubungan yang tadi lo sebut-sebut, gue merasa nggak begitu. Gue dekat sama lo sama kayak dekat ke Wira, dan anak kelas lainnya. Sebatas teman aja."
"Hah?"
Siapa pun pasti juga akan menganga mendengar cerita pertemuanku dengan Arya. Aku berdeham mengatur agar tidak keceplosan tertawa.
"Lo jahat banget, Ar! Lo juga, Sas! Lo jahat, kenapa harus ada lo sih kan gue nggak bisa sama Arya jadinya!!" pekik Sera kencang, bahunya terguncang dia mulai menitikkan air mata.
"Maaf, Sera. Lo pasti bisa dapatin yang lebih baik dari Arya," kataku membuat Arya mendelik.
Ya-ya, lebih baik dari Arya bagi Sera mungkin lebih baik. Tetapi di mataku tetap Arya yang terbaik.
Sera menyambar tas kecilnya sambil menangis. "Kalian jahat!!!!" katanya tersendat-sendat. "Kalian beruntung bisa saling mencintai. Nggak kayak gue. Maaf. Gue permisi pulang!"
"Sera, sori, gue nggak pernah bermaksud jahat sama lo!" seru Arya namun Sera mengabaikannya, aku tertegun.
Aku menatap kepergian Sera dengan hati nyeri. Arya menundukkan kepala sambil memijat keningnya.
"Ar, kalau ada di posisi Sera pasti lebih sakit," kataku.
Bisa kalian bayangkan berada di posisi Sera menjadi seorang cewek menyukai cowok yang sudah memiliki tambatan hati?
"Iya, kalo di posisi Sera kita antagonisnya, Sas," sahut Arya muram.
Arya merangkul bahuku lagi, menenangkan diriku agar tidak sedih. Sejahat apa pun orang, aku tidak bisa menyalahkannya. Karena, jika dilihat dari sisi yang berbeda tentu berbeda maknanya. Bagiku Sera adalah antagonisnya, dan begitu pun sebaliknya.
Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Aku melempar senyuman kecil ke arah Arya.
"Masih mau pergi?" tanya cowok itu ekspresinya jadi aneh, pasti dia sejak tadi ikut tegang juga.
"Oke. Ke mana?"
Arya melempar senyuman misterius, aku menatapnya curiga.
"Ke rumahku? Mau ngenalin calon istri ke orang tua. Biar sekarang dikasih restu, Sas. Ridho orang tua, ridho Allah. Yuk!"
Aku tidak bisa menahan bibirku yang merekah lebar sekali, kepalaku mengangguk kuat-kuat. Kami berjalan keluar dari kafe tersebut dengan langkah riang. Kini kami kembali melangkah beriringan menjadi Sashi dan Arya.
Ternyata setiap cerita belum tentu berakhir begitu saja, setiap cerita berakhir akan ada awal yang baru.
Terima kasih Arya, atas rasa dan kenangan yang pernah kau berikan untukku yang begitu indah.
Sampai di umurku yang sudah bukan remaja lagi, aku masih mengingat semuanya.
TAMAT
Hai aku mau nanya dong bagaimana pendapat kalian tentang cerita ini?
😢😭
Hueeeee mupeng T,T
Akhirnya tamat juga ngerjain cerita ini lama banget dan panjang banget 😭
Thanks buat yang udah ngikutin sampe tamat. Wkwkwkwkw...
Kutak mengerti cerita ini bakalan jd panjang sekaliiiii hahahaha
Makasih buat yang udah rutin baca, komen dan vote. Tanpa kalian Sashi dan Arya cuma khayalan gue doang.
Endingnya ga jelas kan ya 😢 ikhlasin aja udah wkwkwkw
Sampai jumpa di buku selanjutnya (kalo ada) 😍😘😚😍😍😍😘😚
Love love 😍😚
Kkaing❤Sashi❤Arya❤Novan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top