Part 43

"Ka—"

Jantungku sepertinya berhenti detik ini juga. Pandangan kami sesaat bertemu, tidak ada kata-kata yang meluncur. Aku mana bisa berkata-kata, karena hari ini akhirnya tiba. Hari di mana aku dipertemukan kembali olehnya.

Dia menatapku tajam, kemudian seperti tak pernah mengenalku dia menurunkan dua anak cewek itu dari kursinya. Sekujur tubuhku mendingin.

"Sori, adek saya ganggu. Sori ya.... Yuk, kita keluar dulu!" Arya. Iya benar cowok itu adalah Arya. Arya menarik tangan kedua anak kecil itu.

"Nggak mau!" pekik cewek yang tomboy.

"Hueeee, ec kelim!"

Mereka pun jadi ramai sendiri teriak-teriak heboh. Aku gantian menatap Arya yang kewalahan menenangkan dua anak itu, lalu kedua anak kecil itu ingin kembali duduk di depanku. Arya menahannya tanpa sedikit pun melirikku. Dia tidak ingat padaku? Aku bersyukur tidak pernah muncul lagi di depannya.

"Hueee, Mas! Ec kelim!"

"Mau duduk, cape! Mas lama!"

Ebuset!

Aku tercengang melihat dua anak itu tengah mengambek, Arya mengacak rambutnya gusar gagal membujuk adiknya. Cowok itu menghela napas frustrasi.

"Yuk, kita keluar dulu yuk. Kakak ini mau pulang nanti Aria dan Viela sendirian gimana?" ucap Arya lembut mengusap kepala si kembar.

Kami menjadi bahan tontonan pengunjung. Bala bantuan datang seorang cowok muncul dari pintu, ekspresinya cemas sekali.

"Tuhkan bener pasti di sin—" Dia berhenti ngoceh saat melihatku yang lagi duduk termenung menelan ribuan pil pahit.

Cowok yang datang itu Novan. Novan melirik Arya dengan ekspresi aneh, namun Arya tak acuh menggendong gadis cilik yang kucir satu.

"Mas...." Novan membatu.

"Nov, kamu gendong Viela ya?" kata Arya sambil menggendong cewek yang kutebak bernama Aria.

Aria meronta-ronta minta diturunkan sambil berteriak, menjambaki rambut Arya. Cowok itu tak gentar, Arya melenggang pergi tanpa menoleh lagi padaku. Hatiku sakit. Aku bangkit dari duduk, menatap kepergian Arya.

Tatapanku kembali pada Novan yang menggendong Viela –yang rambutnya digerai. Viela tampak lebih tenang dibanding Aria, padahal tadi dia yang menjerit minta es krim. Mungkin dia takut sama Novan, persis sepertiku dulu.

"Mas, mau ec kerim." Viela menatap Novan lembut.

"Iya nanti ya." Novan tersenyum masam, tatapan Novan tertuju padaku. Aku salah tingkah gemetaran di tempat.

"Hai, udah lama nggak ketemu!" sapanya santai, saking santainya ekspresi wajah cowok itu tetap datar.

Salah tingkah aku gelagapan. "Ah—ah, lo ingat gu-gue?"

"As always, Sashi." Novan melambaikan tangan. "Duluan ya!" ucapnya kemudian pergi.

Hampa.

Aku bersyukur tidak muncul di hadapan Arya dulu, terbukti sekarang dalam kondisi tak terduga seperti ini cowok itu tampak tak peduli bahkan lupa padaku. Dia memang layak mendapatkan yang lebih baik.

Kau tahu kan rasanya jika aku muncul di hadapannya kala itu dan reaksi Arya hanya seperti tadi? Lebih buruk dari mimpi buruk mana pun.

💙💙💙

Hujan sudah reda menyisakan genangan air di area depan restoran tadi. Gerimis kecil bukan penghalang lagi, aku ingin segera pulang. Aku menghirup udara segar yang tercipta usai hujan. Wangi sehabis hujan. Air tiba-tiba turun membasahi pipi, aku mengelus pipiku. Hujan yang nakal mengapa turun membasahi wajah. Lagi, air mengalir di sela pipiku. Ternyata bukan hujan, air mataku sendiri. Aku senang saat ini masih gerimis, aku menangis pun tidak kentara.

"Jangan hujanan, nanti sakit."

Aku mencari asal suara serak tersebut, suaranya terdengar dingin tapi penuh perhatian. Aku menelan saliva lambat-lambat, tidak jauh dariku Arya sudah berdiri. Cowok itu tampak berbeda dengan Arya yang dulu, sekarang dia terlihat dewasa. Sorot mata yang kuyu membuat aura yang terpancar menyedihkan. Kini seperti kesedihan yang menjadi teman hidupnya.

Dia berjalan mendekatiku dengan langkah besarnya dan kami saling berhadapan. Aku menundukkan kepala menghindari tatapannya.

"Sashi, say something, please!" seru Arya menggoyangkan tubuhku.

"Maaf."

Hanya itu yang ingin kukatakan, kata yang mewakili penyesalan terbesarku atas keputusan meninggalkannya.

"Saya—"

"Aku mau pulang. Duluan ya," ucapku melangkahkan kaki menjauh. Tanganku ditarik olehnya sampai tubuhku kembali menghadap ke arahnya. Aku menganga tidak percaya dia menahanku.

Arya menatapku tajam penuh amarah. "Bahkan saya nggak tau mau ngomong apa setelah ketemu kamu di sini," gumamnya dengan suara rendah.

Aku baru menyadari gaya bicara Arya berbeda. Saya. Apakah selama perpisahan ini membuat kami benar-benar sudah menjadi orang asing?

"Nggak perlu ngomong apa-apa. Udah selesai. Nggak ada yang harus dibicarain lagi, Ar."

"Nggak ada? Sashi, kamubercanda kan?" Mata cowok itu melebar, ditatapnya diriku penuh kekecewaan.

Air mata sudah bercucuran membasahi pipiku, aku mengusap tak membiarkan air mata itu menjadi tanda bahwa pertahananku selemah ini. Aku masih lemah di hadapan Arya. Apa arti dari semua ini?

"Ikut!" Arya mencengkeram tanganku makin kuat dan menarik diriku, aku meronta menolak ajakannya. Aku menarik tangan mempertahankan posisi berdiriku agar tidak mudah dibawa olehnya.

"Mau ngomong tentang apa lagi? Emang masih ada yang penting? Sekarang kita cuma orang asing satu sama lain. Anggap aja kita nggak pernah kenal! Lepasin! Tolong!!" seruku keras, sialnya di sekeliling sepi sekali maklum habis hujan.

Arya menoleh kepadaku. "Apa kamu bilang, ulangin coba! Jangan ngomong begitu, itu nyakitin hati saya!"

Aku menangis. "Lepasin, aku mau pulang, dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!" seruku kejam.

"Saya salah apa sama kamu, hah? Sashi, saya bisa jelasin semuanya," ujar Arya melemahkan cengkeramannya, dia memeluk tubuhku. Aku menghindar namun sia-sia, dia berhasil mengikat tubuhku dalam dekapannya.

"Udah nggak ada yang perlu dijelasin." Aku meronta.

"Bohong! Kamu menghindar dari saya, pasti ada sesuatu yang kamu tahan dan pengen tanya ke saya. Apa, Sas? Kamu bisa menuntut penjelasan, harusnya saya sih yang menuntut penjelasan dari kamu. Kenapa kabur gitu aja! Saya salah?" tanyanya dengan nada yang membuat hatiku lemah.

Aku membeku beberapa saat dengan perasaan sesak. Suaraku yang serak terdengar begitu asing. "Aku marah."

Arya tertegun, matanya yang melebar menatapku teduh.

"Kenapa kamu seenaknya aja bisa masuk dan pergi dalam hidupku, Ar? Kenapa? Kamu nggak tau penderitaan dan kecewanya aku selama di sekolah dulu. Aku pergi udah cukup buang-buang waktu mikirin semuanya. Sekarang biarin aku pulang, kita udah berakhir dari lama, jangan balik seakan kita bisa bareng lagi. Cukup bagiku," ucapku tegas. Aku menjauhkan diri, pelukan Arya merenggang bersamaan dengan ucapan jujurku.

"Sas, kasih saya kesempatan kedua. Saya masih sayang sama kamu. Saya janji nggak bakal ninggalin kamu lagi. Ada sesuatu yang bikin saya harus lakuin itu dulu, harus jelasinnya detail panjang lebar. Saya—" Arya menghela napasnya berat.

"Sori, aku nggak bisa sama kamu lagi. Aku udah kecewa dipermainkan," sahutku kesal.

"Kamu merasa dimainin? Sumpah, saya nggak pernah ada maksud mainin. Ucapan manis saya dulu bikin kecewa? Kamu menganggap saya jahat karena ninggalin, dan menganggap semua kenangan kita nggak ada artinya? Kenapa sih cewek mikirnya pendek banget?" gerutu Arya jengkel.

Wajahku menatap ke arah lain, sebisa mungkin tidak melihat wajahnya lagi. "Iya, kamu nggak bakal ngerti gimana rasanya jadi aku. Diberi harapan palsu dan ucapan manis kayak dulu." Aku berjalan menuju parkiran motor, tetapi ditahan oleh Arya lagi.

Tangan Arya melingkar di pinggangku, aku membelalak menolehkan wajah ke belakang. Dia berbisik tepat di dekat telingaku. "Maaf, saya nggak tepatin janji dan ucapan manis dulu. Tapi, kesempatan kedua yang kamu kasih, janji nggak bakal saya sia-siain. Janji saya buat menikahi kamu itu serius. Sas, kesempatan kedua buat saya. Kita mulai lagi dari awal."

"Aku nggak mau!" tolakku cepat tanpa pikir panjang.

"Oke." Akhirnya Arya menyerah. "Kalo itu mau kamu."

💙💙💙

Semenjak Arya bertemu denganku, beberapa kali aku melihat dirinya berada di sekitarku. Aku jadi sedikit menyesal bertemu dengannya. Begitu aneh saat terakhir di depan restoran mal itu aku sudah jelas-jelas mengatakan tidak mau memberinya kesempatan kedua dan tidak mau mengenalnya lagi. Tetapi cowok itu masih saja nekat muncul di sekitarku tanpa rasa beban.

Sungguh beberapa kali aku melihat dari kaca spion motor, ada cowok itu menguntitku. Rasanya mengerikan sekali diikuti olehnya, aku pernah les selama 3 jam saat pulang Arya masih nongkrong di warung kecil depan tempat lesku sambil ngobrol dengan penjaga warung.

Hari-hari tertentu sih Arya muncul di sekitarku, kalau dia tidak ada, kemungkinannya dia ada kegiatan lain seperti kuliah atau menggambar orderannya.

Sore ini aku habis les bahasa Perancis, aku teringat kencan makan bersama Arya kala itu makan makanan Perancis. Aku berusaha melupakan momen yang terjadi beberapa tahun lalu itu. Semakin membuat dadaku sesak terhimpit, pokoknya aku harus bisa melupakan Arya.

Begitu aku masuk ke dalam komplek perumahan mataku menangkap bayangan sebuah mobil hitam keluar dari salah satu jalan di spion kiri. Mataku masih jeli melihat siluet wajah pengemudinya adalah Arya, cowok itu memakai kaus atau kemeja putih, wajah Arya juga putih sangat kontras dengan mobilnya. Jadi aku yakin sekali itu adalah Arya.

Aku nyaris kehilangan konsentrasi saat mobil itu melaju cepat ke arah sebelah kananku. Aku terkejut saat mobil itu berhenti menyilang di depan motorku, seakan menghalangi diriku. Kalau aku tidak ngerem sekuat tenaga motorku sudah menabrak bagian kiri mobil tersebut.

Jantungku berdegub keras, selain takut aku menabrak mobil itu, aku baru saja mempertaruhkan nyawaku gara-gara pengemudi Panther hitam sialan itu. Nyawaku tidak sebanding dengan harga kerusakan mobil.

Arya turun mendekatiku, dia menarik tangan agar aku segera turun. "Ikut!" Ternyata benar dia adalah Arya, dia memakai kaus tipis warna putih, sepatu hitam mengkilap dan celana bahan hitam.

Aku menganga tetapi menurut saja dituntun olehnya ke mobil. "Motorku?"

"Sebentar aja. Saya mau ngomong."

"Apalagi? Kamu masih nggak ngerti?" pekikku.

"Oke, Sas, kamu udah nyerah sama hubungan kita. Tapi, biarin saya jelasin dulu semuanya. Saya pusing sekarang!" pekiknya muram.

Tubuhku didorong olehnya masuk lewat pintu kiri. Aku melihat di kursi belakang ada jas hitam dan kemeja panjang berantakan. Di dalam mobil Arya tidak langsung bicara, keheningan panjang menyelimuti kami.

Di sini, akulah sang pelaku kejahatan. Aku yang sebenarnya antagonis. Aku yang jahat menjauhi Arya dan tidak pernah memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Aku yang harus berbicara duluan untuk minta maaf atau menjelaskannya terlebih dahulu, aku tak tahu.

"Aku yang salah," suaraku memecah keheningan. Arya menoleh dengan wajah heran. "Aku nggak tahu harus cerita dari mana," kataku menatap aspal jalanan dengan tatapan kosong dari jendela mobil.

"Maksudnya? Oh. Kenapa kamu pergi, satu tahun lebih kita satu sekolah nggak ada masalah kan? Saya nggak menganggap kamu sebagai mantan yang harus dijauhi. Satu tahun terakhir kita nggak sekelas karena akhirnya kamu naik ke kelas 12 IPS 3. Kamu benci banget sama saya makanya pergi?" tanyanya dengan suara keras.

Mataku terpejam. Aku takut. Aku mencengkeram kuat tali tas selempangku.  "Aku mau berhenti berharap. Sangat sedih ketika dipaksa putus dari kamu, dan selama di sekolah dibayangi kamu terus. Meski hubungan kita dibilang baik-baik aja, itu menyakitkan bagi aku nggak bisa menyapa kamu atau ngobrol. Aku takut rasa ingin memiliki itu muncul lagi." Napasku tersenggal-senggal.

"Kamu pikir saya nggak sedih? Coba kamu yang ada di posisi saya, Sas. Kamu bebas nggak dikekang keluarga. Kamu harusnya nggak usah khawatir, saya nggak bakal pacaran lagi sampe lulus terikat aturan itu. Justru, saya yang takut kamu sama cowok lain karena bebas. Karena kamu sudah saya lepas begitu aja. Saya menyesal!" Arya menghela napas. Dia memukul setir mobilnya berkali-kali. "Brengsek!"

Aku terisak. "Aku jadi bego banget mengira kamu udah lupain aku. Semenjak kita kelas duabelas, kamu keliatan udah move on. Kamu juga jadi pintar, nilai bagus. Jadi aku pikir, masih aku aja yang terjebak kenangan."

Arya menoleh padaku dengan mata memerah. "Saya belajar mata pelajaran sekolah bahkan belajar menggambar biar nilai bagus dan lulus ke perguruan tinggi negeri. Biar bisa buktiin ke ayah dan kamu. Saya manfaatin waktu biar pikiran tentang kamu teralihkan. Tapi, looks, saya nggak pernah benar-benar bisa melupakan kamu!"

Aku terlalu sibuk dengan dugaanku bahwa Arya sudah melupakanku, sementara dia juga terlalu sibuk membenahi dirinya sendiri. Waktu itu aku mengira Arya bisa secepatnya melupakanku.

Dia baik, ganteng, lucu dan seru, pasti mudah baginya membuat cewek lain jatuh cinta. Arya juga mudah jatuh cinta –mengingat kami hanya butuh waktu yang singkat untuk bisa pacaran—dia pasti cepat menyukai wanita lain. Begitu pikirku.

"Kenapa menghindar dan nggak pernah hubungin aku lagi? Kenapa? Kenapa nggak mau temenan sama aku lagi? Jawab!" Aku memberondongnya segala pertanyaan itu. "Terlalu banyak pertanyaan yang bikin aku nyimpulin sendiri, karena takut nanya sama kamu. Takut sama jawaban lo. Jadi gue memilih ... pergi."

Arya bungkam, matanya lurus menatapku dan tatapan matanya yang kosong membuatku sedih.

TBC....

💙💙💙

Yhaaaaa digantung lagi

Next part itu ending penentuan kelanjutan hubungan mereka, diupdate kalo views udah 100k 😄😃

HEHEHE

AYO BANTU PROMOTE CERITANYA 😅

Btw gemas gak sama saya kamu ala Arya? Wkwkw kok cocok ya dia berubah jadi pria sekarang😎

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top