Part 40
Berisik sekali, bagaimana bisa band dengan kualitas jelek begini yang lolos ke babak 10 besar?
Aku menepi dari pinggir lapangan di mana ada sebuah panggung mini yang dibuat untuk lomba band, akustik dan vokal grup dance. Aku memasuki koridor yang rada gelap mau ke toilet lantai dasar yang letaknya di bagian belakang bangunan kelas.
Di area sini hanya berisi beberapa anak murid yang sepertinya sama sepertiku, tidak terlalu suka hingar-bingar musik. Mana suara vokalisnya kacau balau
Di toilet aku berpapasan dengan Sera. Seperti biasa cewek itu tampak tenang, kami berjejer depan westafel. Dari kaca aku bisa melihat pantulan bayangan bibirnya yang sedang tersenyum misterius.
"Orang lain mungkin tahunya kalian cuma dekat, tapi aku tau loh bahwa kalian pacaran. Benar bukan, Sashi Kirana?" Aku tersentak, pertama kalinya Sera mengajakku berbicara. Suaranya tampak tenang, anggun dan teratur.
"Bukan urusan lo," kataku sambil membasuh wajah.
"Tapi, aku ingatin saja, hubungan kalian nggak bakalan lama. Karena Arya setelah lulus nanti akan tunangan dengan Kak Vero," ucap Sera, membuatku menoleh padanya dengan mata melotot.
"Ma—masa?"
"Iya, kamu nggak tahu emangnya? Keluarga mereka memang dekat, kan ya? Keluarganya Arya pasti mau sama keluarga Kak Vero yang tajir banget itu! Hehe..."
"Lo tahu dari mana?"
Sera menoleh dengan ekspresi wajah licik. "Om Gio dong. Kalian bakalan selesai."
"Jangan bilang lo yang bocorin? Lo suka sama Arya? Senang liat kita bakalan hancur nanti?" Aku menatapnya jijik.
Dia mengangkat kedua bahunya. "Kalo iya kenapa? Kalo aku nggak bisa sama Arya. Kamu juga nggak boleh." Senyum miring terukir di bibirnya.
Aku tak menyangka cewek itu memiliki pemikiran yang jahat dan licik. Mataku memanas, secepat kilat aku masuk ke dalam bilik toilet tak mengacuhkan ucapan Sera lagi, kalau mau aku sudah menyiram cewek itu dengan air se-ember.
Di dalam bilik toilet aku menyalakan keran air, menahan agar isakanku tidak terdengar sampai ke Sera. Bisa jadi cewek itu bakal tertawa puas melihat aku menderita.
Getaran di saku rokku terasa, aku merogoh benda pipih tersebut. Mataku melotot sampai nyaris keluar dari lubangnya begitu melihat sang pemanggil. Tamat sudah sampai di sini. Sera sialan!!!! Kenapa bisa Sera membocorkannya?
Om Gio meneleponku.
"Halo?"
"Halo, Sashi." Suara Om Gio begitu dingin, dia terdiam lama. "Sebenarnya saya tidak mau mencampuri urusan kalian. Andai saja kamu menuruti ucapan saya tempo hari. Kenapa kamu malah melanggarnya? Saya sudah ngomong dari awal bukan, kamu pasti mengerti maksud ucapan saya."
"Maaf, Om." Aku menahan sesak.
"Saya sudah tahu hubungan kalian. Saya bicara sama kamu duluan agar kamu tidak terkejut nantinya. Maaf, kalian memang harus secepatnya pisah. Saya tidak membiarkan Arya pacaran untuk saat ini, bahkan sampai lulus sekolah nanti."
Hiks, air mata menggenang. Aku sesak napas tidak mampu mengendalikan emosi yang bergejolak di dada. Hancur dalam sekejap mata.
"Ba—baik, Om. Saya akan—"
"Sashi, ada banyak hal yang bisa kamu lakukan di usia seperti ini, selain pacaran. Dalam agamamu juga tidak ada istilah pacaran, bukan? Sekalian bersiap diri agar bisa masuk kelas reguler. Kamu bisa memperbaiki nilaimu. Kamu bisa memanfaatkan waktu untuk fokus pada pendidikan. Saat kelak kalian dewasa nanti, kami akan datang ke rumah kamu. Arya pasti bisa hanya melihat satu orang wanita."
Pipi dan mataku sudah basah, aku sesenggukkan. "Iya, Om. Saya akan memperbaiki pendidikan saya dulu. Nggak usah janji apa-apa, Om. Setiap manusia berubah, apa yang diucapkan sebulan lalu belum tentu dipegang sampai sekarang. Apalagi janji untuk beberapa tahun lagi." Aku tersenyum getir.
Semua ucapan dan janji Arya menguap entah ke mana, perasaan sayangku padanya berubah menjadi rasa kecewa yang sangat amat mendalam. Ini salahku, aku harus terima dengan lapang dada. Setidaknya untuk saat ini, izinkan aku untuk menangis sepuasnya.
"Jangan meremehkan keseriusan pria, Sashi," ucap Om Gio lagi. Ucapan yang sama dengan kata-kata tante Aika. Aku tidak menjawab. Kehilangan kata-kata.
"Arya pasti bisa menepati ucapannya. Maaf, dengan berat hati saya melakukan ini semua," kata-kata om Gio sebelum memutuskan sambungan. "Tradisi keluarga kami memang begitu, saya dulu juga tidak pernah pacaran."
Aku menangis di dalam bilik toilet sejadi-jadinya.
💙💙💙
Begitu aku keluar dari bilik toilet, disambut oleh pemandangan seorang cewek berpita polkadot duduk di atas westafel dengan gaya angkuhnya. Aku ingin pergi ke kaca tanpa mau mendekat ke arahnya, bagaimana ini?
Mataku sudah pedih dan bengkak, wajahku juga tak karuan lagi bentuknya. Mirip dugong salah vaksin, membesar semua bahkan sampai ke bibirku.
"Nih!!" Vero menyodorkan tisu padaku, aku menatapnya curiga. Dia menggoyangkan tisu agar aku segera menerimanya.
"Makasih, Kak." Teringat ucapan Sera bahwa Vero akan bertunangan dengan Arya membuat hatiku nyeri. Tapi tadi ucapan om Gio berbanding terbalik. Apa ayahnya Arya hanya ingin menghiburku dengan bualan?
Beliau tadi berjanji akan datang ke rumahku untuk melamar kan? Atau yang datang ke rumahku adalah Om Gio sendiri melamarku untuk menjadi istri keduanya, sementara Arya bersama Vero?
Astaga, Sashi jangan ngaco!
Aku mengambil tisu dan menghapus sisa-sisa bekas tangisanku. Vero memperhatikanku dalam diamnya, wajahnya yang sendu membuatku bertanya-tanya. Tidak biasanya dia diam saja.
"Arya bikin lo nangis?"
Bukan, bapaknya.
Kepalaku menggeleng lemah. "Nggak, Arya mana mungkin biarin gue nangis." Bibirku terpaksa tersenyum.
"Oh, bagus deh! Gue kira tuh cowok nyakitin lo," kata Vero menggelengkan kepala.
"Kak, lo sayang sama Arya nggak?"
Vero menoleh, lalu menggeleng. "Sayang, hanya sebatas adik. Gue iri dia punya keluarga banyak, sementara gue ... kakak gue dari dulu di Singapore. Jarang di rumah."
"Jangan bilang lo rese sama gue karena jadiin gue pelampiasan bahan keisengan lo?" terkaku.
Vero tertawa riang. "Nah, sayang banget nggak punya adik. Seru kali ya bisa ngisengin mereka, apalagi yang kayak lo. Lucu sih."
"Gue lucu, Kak? Nggak salah?" tanyaku polos. Cewek itu menggelengkan kepala dengan gelinya.
"Lo lucu tau. Jangan nangis lagi, ya? Gue tau lo sayang banget sama Arya. Tapi, keluarganya punya aturan sendiri. Semoga lo mengerti," katanya menatapku penuh rasa sedih.
Aku tidak akan bisa mengerti ini sampai kapan pun. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan Vero. Tidak peduli siapa dia, aku saat ini butuh sandaran untuk menguatkan hatiku.
Untuk menerima sebuah kenyataan pahit.
💙💙💙
Gue mau bicara sesuatu, gue ke rumah lo.
Tanganku mencengkeram kuat memeluk boneka beruang milik Kak Sasa. Aku sudah tidak punya kekuatan lagi, setelah tadi Arya menelepon mengatakan ingin bicara sesuatu dan sekarang dalam perjalanan menuju ke rumahku
Aku menahan air mata supaya tidak turun duluan dan membuat Arya khawatir. Aku tidak mau cowok itu tahu bahwa aku sudah mengetahui maksud kedatangannya yang untuk memutuskan hubungan ini. Saat pulang sekolah tadi aku bersikap seperti biasa agar tidak mencurigainya, dan membuat kenangan terakhir.
Tidak ada yang tahu kapan terakhir kamu bisa bersama orang tersayang, saat di kemudian hari hanya ada kenangan dan cerita saja.
Arya muncul di pintu rumahku dengan raut wajah marah. Dia menatapku tajam, aku menyuruhnya agar masuk dahulu ke ruang tamu, tapi dia tidak mau.
"Kenapa?" Aku bertanya dengan tenggorokan tercekat. Sikap dingin Arya semakin membuat hatiku sakit. Lututku lemas bersamaan dengan perut yang ikut tidak enak.
"Ayah udah tau, Sas. Gue nggak tau siapa yang bocorin," desis Arya penuh kekesalan.
Aku menunduk tidak kuat menatap wajahnya lagi. "Lalu? Mungkin ayah emang udah curiga, kita pasti bakal tetap ketahuan."
Hatiku sakit, air mata menggenang jika berkedip pasti akan mengalir deras. Arya terdiam beberapa saat. Berbagai pikiran berkecambuk begitu pun dengan Arya. Dia menarik napas kuat-kuat.
"Gue nggak tau gimana mengakhirinya. Gue tau ini jahat." Arya menjilati bibirnya gelisah. Raut wajahnya pias dan penuh rasa putus asa. "Sas, makasih ya atas semuanya. Gue nggak mau bohong lagi. Takut. Kita selesai sampai di sini dulu. Gue bakal balik sama lo, saat menjadi cowok yang bisa lo andalkan. Jadi Arya yang mandiri, kuat, dan bisa lebih tanggung jawab sama lo."
Aku menggelengkan kepala sambil mengusap air mata. Uh, aku tidak suka suasana seperti ini. "Gue yang harusnya bilang makasih. Makasih udah bantu mewujudkan mimpi kecil gue. Makasih sudah bikin masa-masa SMA gue indah dan berkesan. Gue senang bisa mencintai lo, Arya." Tangisanku pecah, aku menangis sesenggukan.
Arya memeluk tubuhku sebentar kemudian menyentuh kepalaku. "Jaga diri baik-baik. I love you so much, Sashi." Dia membalikkan tubuhnya berusaha menghindariku. Aku memanggil namanya saat dia masih berada di teras. Dia menoleh dengan mata memerah.
"Kita masih bisa temenan? Bisa ngobrol kayak dulu?" tanyaku sedih.
Kepala Arya menggeleng membuat dadaku semakin sesak. "Lebih baik nggak. Sashi, Nabi Adam tetap dipertemukan dengan Siti Hawa sejauh apapun dipisahkan. Lo percaya kalo kita jodoh? Gue berharap iya. Dan gue berharap perasaan lo nggak akan berubah sampai dua tahun lagi. Udah ya, jangan nangis. Gue nggak suka kalo lo nangis."
Dia berbalik lagi, berlari meninggalkanku tanpa menoleh lagi. Aku menangis di teras sambil mengenang masa-masaku dulu bersama Arya. Nararya Kuntjoro. Aku berharap cowok itu tidak akan berubah sampai kapan pun, termasuk perasaannya padaku.
Kalo nanti kita harus putus, percaya sama gue kalo itu bukan karena gue udah nggak sayang sama lo lagi, tapi keadaan yang memaksa kita harus berpisah.
Aku menutup pintu rumah dengan perasaan hampa, sama seperti hati yang akan kututup sampai sang pemilik kembali untuk memintanya. Besok dan seterusnya tidak akan sama lagi, tidak ada Arya di sisiku.
Goodbye, Arya, I love you damn much...
💙💙💙
Aku membuka ponsel yang mendadak bergetar dari saku. Begitu aku buka ada pesan dari nomor tak bernama.
Selamat ya lo udah lulus SMA, sori telat, cie udah gede :D
Bibirku tanpa sadar tersenyum lebar, nomor ini beberapa kali mengirim sms padaku semenjak kenaikan kelas. Tapi aku tidak pernah meresponsnya karena itu pasti hanya kerjaan orang iseng. Saat aku mau Ujian Nasional nomor misterius ini juga mengirimku pesan.
Semangat ujian nasionalnya, pasti bisa!
Hampir dua tahun lamanya aku hilang kontak dengan Arya padahal kami satu sekolah. Semenjak putus darinya, aku tidak pernah bertegur sapa dengannya lagi. Arya selalu menghindariku, dan tidak menganggap aku ada.
Di kelas, aku bermain bersama Putri dan Mala, sedangkan Arya lebih dekat pada Wira dan Sera. Aku tidak tahu mengapa Sera jadi dekat sekali dengan Arya.
Aku sedih, kesal, dan mau marah juga percuma saja. Tidak ada gunanya. Aku sudah tidak punya hak. Aku ingin mengatakan bahwa cewek itu yang membocorkan rahasia kami. Begitu aku mau mendekati Arya, dia akan pergi menarik Wira atau Sera.
Aku tidak memiliki kesempatan apa-apa.
Satu fakta yang pasti, Arya sudah melupakanku. Nilai miliknya menjadi bagus, sehingga cowok itu masuk ke kelas 12 IPS 4. Sementara aku masuk ke kelas 12 IPS 3. Di kelas baru lumayan asyik dan seru, aku diterima dengan baik oleh mereka, selama masa sekolah tahun terakhirku jadi lebih berarti. Aku senang bisa membuat papa tidak malu lagi, meski harus meninggalkan IPS 5.
Sesekali aku masih main kok sama mereka, uniknya mereka masih memandangku sama. Tidak ada permusuhan, kecuali hubunganku dengan Arya yang tidak membaik juga sampai hari ini.
Arya memiliki teman dekat juga bernama Tere, teman sekelasnya, mereka cukup akrab sampai aku sering iri. Aku yakin cewek itu sudah mengisi hati Arya, mengganti posisi diriku. Arya kan sangat mudah dicintai. Beberapa kali aku melihat mereka nongkrong dengan anak kelasnya sambil tertawa bahagia.
Apa aku memang semudah itu untuk dilupakan? Memang betul perasaan akan mati dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, apalagi suasana mendukung.
"Ma, yuk jalan, nanti keburu macet." Aku menginterupsi mama yang masih memeriksa bagasi mobil.
Aku memutuskan untuk kuliah di Universitas Garuda Sukabumi mengambil D3 jurusan periklanan. Papa juga setuju aku kuliah di sana agar bisa fokus belajar tanpa dibayangi oleh Arya.
"Beneran yakin?" Mama memastikan.
"Sashi, udah pamitan? Baru banget lulus kenapa langsung ke rumah Om sih?" tanya Papa dari pintu mobil bagian kemudi. Tidak baru banget, hanya selang dua minggu.
Setelah wisuda dan mengurus ijazah aku mau langsung pergi ke Sukabumi. Saat hari pengumuman kelulusan aku juga sedang di sana liburan bersama sepupuku. Agar tidak tegang mereka mengajakku refreshing.
Aku menggelengkan kepala. "Lalisa lagi di Bandung. Aku kabarin lewat chat juga bisa," senyumku. Meski tak yakin, soalnya aku mau pergi tanpa siapa pun tahu.
"Arya? Sudah bilang ke Arya?"
"Arya nggak bakal peduli. Dia juga pasti lagi senang karena lolos seleksi kampus jalur undangan." Cowok itu sekarang sangat berprestasi, dia lolos masuk ke perguruan tinggi jurusan Arsitektur. Walau aku sudah tidak memiliki hubungan dengannya, aku masih berusaha mencari tahu tentang Arya. Ternyata aku masih sepeduli itu dengannya. Sayangnya, dia tidak.
Maka aku juga memutuskan untuk meraih mimpi dengan jalanku sendiri. Ketika hubungan berakhir, cerita juga berakhir. Aku harus membuka lembaran baru, untuk menjadi Sashi yang lebih baik lagi. Masih berharap untuk kembali, tapi keinginanku melupakan Arya harus lebih besar. Dia sudah melupakanku, untuk apa aku masih berharap?
Terkadang setiap manusia yang hadir memiliki kenangan dan cerita sendiri. Arya adalah bagian dari masa laluku, cerita indah kisah cinta masa SMA.
Aku hanya butuh waktu untuk melupakannya. Aku harap demikian, meski sulit harus kucoba. Aku hanya perlu menerima kenyataan bahwa kami tidak akan pernah kembali seperti dulu, karena kami hanya kepingan masa lalu yang pernah saling mengisi.
Ketika hubungan berakhir, cerita juga berakhir.
Seiring berjalannya waktu dan kenyataan bahwa kami sudah selesai dari lama, pasti akan mempermudah proses melupakannya.
💙💙💙
A/N:
Part ending masih panjang tapi gue potong bagian ini dulu deh yang dipublish :'
I'm always tearing up when read this chapter :")
10 Okt 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top